"Dek, ingat kalau keluar pakek masker, kalau perlu pakek cadar saja," ucap Irfan pada Airin, istrinya.
"Iya, Mas," jawab Airin seraya mengangguk.
Dia mengambil masker yang sudah banyak tersedia di atas meja. Airin tahu, suaminya menyuruhnya memakai masker bukan demi kesehatannya, apalagi karena takut wajahnya dilirik pria lain.
Semua itu karena dia tidak ingin para tetangga melihat wajahnya yang buruk. Benar, luka bakar membuat sebagian wajahnya itu terlihat seram jika dilihat oleh orang lain.
"Mas, apa Mas malu jika para tetangga melihat wajahku?" tanya Airin setiap kali suaminya menyuruhnya memakai masker.
"Bukan begitu, Dek. Mas cuma gak mau kamu sedih kalau mereka bicara buruk tentang wajahmu," jawab Irfan, yang selalu berhasil membuat Airin merasa lega.
Di tempat tinggal mereka yang dulu, para tetangga memang suka berkata nyinyir padanya, tanpa peduli itu menyakiti hatinya.
"Kamu itu beruntung, Airin, ada orang yang mau menikah sama kamu. Sudah ganteng, kaya lagi," kata para tetangganya dulu sebelum mereka pindah ke kota lain.
"Iya, siapa tahu nanti suamimu mau membiayai operasi plastik untukmu," sahut tetangga yang lain.
Airin hanya tersenyum mendengar perkataan mereka, berharap semua yang mereka katakan akan benar-benar suaminya lakukan. Nyatanya, jangankan menyarankan untuk merawat diri atau melakukan operasi plastik, Irfan bahkan menentang keras dia melakukan hal itu. Mungkin karena biayanya terlalu mahal, pikir Airin.
"Jangan dengarkan omongan orang, yang penting Mas menerima kamu apa adanya," ucap Irfan.
Lamunan Airin buyar ketika mendengar suara tukang sayur dari depan rumahnya. Dia segera memakai maskernya dan keluar untuk membeli beberapa keperluan dapur di tukang sayur yang selalu lewat di sepanjang jalan kompleks perumahan mewah itu.
"Non Airin, kenapa cuma ke depan rumah saja harus pakai masker?" sapa tetangga barunya yang sama-sama sedang memilih sayur.
"Mungkin takut kena wajahnya matahari, Buk," sahut tetangga yang lain.
"Iya juga, istri pengusaha besar kayak Pak Irfan memang harus terlihat cantik dan sempurna di mana saja," timpal yang lain.
Airin hanya diam saja mendengar omongan para tetangga. Dia cepat-cepat memilih apa yang dia butuhkan, lalu segera membayar dan langsung masuk kembali ke dalam rumah.
Gawainya tiba-tiba berdering begitu dia meletakkan sayur yang dibawanya ke atas meja dapur.
"Bagaimana kabarmu hari ini, Airin?" tanya suara di seberang telepon begitu Airin mengangkatnya.
"Baik, Bell," jawab Airin.
"Bagaimana? Apa suamimu sudah mengijinkanmu operasi?"
"Belum, " jawab Airin lirih sambil membuang napas.
"Kamu itu bodoh, Airin," ucap Bella, mantan asisten Papanya dulu sebelum meninggal dalam kebakaran.
Dia selalu menelpon Airin untuk mengetahui keadaannya, karena sudah diamanahkan oleh mendiang Papa Airin untuk menjaganya.
"Kamu itu punya harta, punya segalanya. Kenapa justru menyembunyikannya dari suamimu? Kalau mau, kau bisa melakukan operasi plastik dalam sekejap untuk bisa tampil cantik lagi," lanjutnya.
"Aku mau tahu apakah suamiku benar-benar menikahiku dengan tulus, Bell," jawab Airin.
"Tapi kamu juga harus melakukannya demi dirimu sendiri, Airin."
Airin diam sesaat, lalu teringat sesuatu.
"Begini saja, Bell. Aku akan melakukan operasi untuk kejutan untuknya di hari ulang tahun pernikahan kami," ucap Airin kemudian.
"Bagus lah, aku akan segera mencarikan dokter profesional yang terbaik untukmu," jawab Bella kemudian.
Airin segera menutup telepon, saat melihat suaminya keluar dari kamarnya.
"Mau ke mana, Mas?" tanya Airin saat melihat Irfan berdandan begitu rapi.
Wangi parfum mahal memenuhi ruangan. Irfan tak langsung menjawab pertanyaan istrinya, justru memperhatikan penampilannya sekali lagi di depan cermin.
"Mas mau pergi ke acara pertemuan besar para pengusaha," jawabnya kemudian setelah memastikan penampilannya rapi.
"Loh, Mas ke sana sendirian?" tanya Airin lagi.
Irfan melirik Airin sesaat, lalu membuang napas.
"Iya, Mas ke sana sendirian," jawabnya.
"Biasanya kan semua orang mengajak istrinya ...."
"Sini sebentar, Dek," panggil Irfan.
Dia menarik tangan istrinya, lalu menghadapkannya ke depan cermin. Airin perlahan mengangkat wajahnya, melihat dirinya sendiri di dalam cermin itu.
"Kamu yakin mau ikut Mas ke acara itu, Dek? tanyanya.
Airin menunduk mendengar ucapan suaminya. Benar, dia tidak ingin suaminya malu dengan wajahnya yang seperti itu.
"Sudah, Mas mau berangkat dulu," ucap Irfan kemudian.
Airin hanya bisa mengangguk mendengar ucapan suaminya. Dia mengantarkan keberangkatan suaminya sampai ke depan pintu, lalu masuk kembali ke dalam rumah.
Tiba-tiba pandangannya jatuh pada beberapa buah map di atas meja. Airin mengerutkan kening, sambil memeriksa berkas-berkas itu. Ah, ini berkas penting yang seharusnya suaminya bawa. Pasti ketinggalan, pikirnya.
Airin cepat-cepat mengambil masker dan memesan taksi online. Pasti suaminya akan sangat berterima kasih saat dia mengantarkan berkas penting yang ketinggalan itu.
Sesampainya di depan gedung pertemuan, Airin segera masuk ke dalam, dan seketika dihentikan oleh petugas keamanan.
"Maaf Nona, ada keperluan apa?" tanya petugas itu pada Airin.
"Saya Airin, istrinya Pak Irfan Setiawan. Saya mau mengantarkan berkas suami saya yang ketinggalan," jawab Airin.
Wajah petugas itu sedikit bingung, lalu memperhatikan Airin.
"Maaf Nona, tapi Nona Airin ada di dalam bersama Pak Irfan," ucapnya kemudian.
Mata Airin seketika membulat karena terkejut. Dia cepat-cepat masuk ke dalam tanpa mempedulikan petugas itu mencegahnya. Benar saja, begitu dia sampai di ruangan yang penuh dengan para tamu undangan, tampak suaminya sedang memperkenalkan seorang wanita di depan rekan-rekan kerjanya.
Wanita cantik itu tampak tersenyum sambil bergelayut manja di lengan suaminya. Airin seketika mengepalkan tangannya. Siapa wanita itu? Kenapa suaminya memperkenalkan wanita itu sebagai dirinya?
Ternyata begini kelakuanmu, Mas! Apanya yang menerimaku apa adanya? jerit Airin dalam hati.
Airin menggertakkan rahang, mencoba menahan emosi yang memuncak. Dia membayangkan saat itu juga dirinya melangkah maju menembus kerumunan tamu undangan.Suaminya akan sangat terkejut melihat dia tiba-tiba datang ke tempat itu. Dengan penuh emosi dia menampar suaminya, lalu menampar wanita yang saat itu sedang bersama suaminya. Diambilnya jus yang ada di atas meja, lalu disiramkannya ke muka keduanya sambil melontarkan berbagai macam cacian. Dijambaknya rambut panjang wanita itu, dan mereka akhirnya berkelahi tanpa memperdulikan para tamu di sekeliling mereka.Airin tersadar dari lamunan. Tidak, dengan berbuat seperti itu dia justru akan merendahkan dirinya sendiri. Airin membuang napas, lalu menatap suaminya yang masih berbincang dengan koleganya sambil merangkul pinggang ramping wanita cantik itu.Airin mengambil gawainya, lalu mengambil foto mereka berdua dari kejauhan. Dia segera mengirimkan foto itu pada Bella. Gawainya seketika berdering, dan Airin segera mengangkatnya."Apa ini,
"Aku tidak bisa menikah denganmu, Mas," ucap Airin saat Irfan datang untuk melamarnya.Saat itu Airin masih terbaring di rumah sakit karena luka bakar di tubuhnya."Kenapa, Airin?" tanya Irfan sambil menatap Airin penuh tanda tanya."Aku takut kamu malu karena wajahku seperti ini, Mas," jawab Airin lagi. "Aku juga sudah tidak punya apa-apa. Di luar sana masih banyak wanita cantik dan mapan yang cocok menjadi istrimu."Irfan menggenggam erat tangan Airin."Dengar, Airin. Mas tidak peduli apapun perkataan orang. Mas mau kamu menjadi istri Mas, seperti apapun keadaan kamu," ucap Irfan meyakinkannya."Meskipun luka di wajahku tidak bisa disembuhkan?""Iya, Mas tetap mau menjadi suamimu."Airin tersentak bangun. Ah, rupanya mimpi dari masa lalu. Dia menoleh ke samping dan mendapati suaminya sudah tidak ada di sampingnya. Dia bangkit, lalu langsung menuju ke kamar mandi. Hari ini dia punya janji untuk bertemu dengan Bella."Mau ke mana, Mas?" tanya Airin ketika mendapati suaminya sudah berd
"Ayo, jawab! Kamu pergi ke mana?" Nyonya Mia tetap menekan putranya untuk mengaku.Irfan menelan saliva, lalu membuang mukanya."Pergi dengan teman, Ma," jawab Irfan kemudian."Teman kamu yang mana?" selidik Mamanya lagi.Irfan meringis menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal."Sudah, sudah. Mama duduklah, biar Airin buatkan minum," ucap Airin sambil mempersilahkannya duduk.Airin mengambil belanjaannya dan berjalan menuju dapur."Jangan macam-macam kamu, Irfan!"Airin menghentikan langkah, urung menuju dapur. Dia menyandarkan tubuhnya di dinding pembatas ruang tamu, mendengarkan apa yang mereka bicarakan."Kamu kan tahu keluarga kita punya banyak hutang pada mendiang orang tua Airin!" ucap Mama mertuanya dengan suara yang tertahan.Deg! Jantung Airin berdegup kencang mendengar perkataan Nyonya Mia. Hutang?"Orang tua Airin kan sudah meninggal, Ma?""Bodoh kamu! Semua itu masih tercatat dalam data notaris! Sekali Airin tahu, tamat riwayat kita. Makanya kamu jangan macam-macam!""Ma
"Mas berangkat dulu ya, Dek. Ingat, kalau keluar pakai masker, jangan sampai para tetangga ngomong yang gak enak tentang kamu," ucap Irfan sebelum berangkat.Dia menarik kopernya dan memasukkannya ke bagasi mobil."Iya, Mas, aku mengerti," jawab Airin sambil berdiri di samping mobil suaminya yang sudah dipanasi mesinnya dari pagi itu. "Mas juga, selamat menikmati ya?"Irfan tersentak mendengar ucapan Airin. Dia seketika menoleh pada Airin dengan gugup."Apa maksudmu, Dek?" tanyanya. "Mas kan ke sana untuk kerja?" Airin tertawa geli dalam hati. Dia menatap pria yang belum lama dinikahinya itu."Maksudku selamat menikmati perjalanannya, Mas. Kenapa Mas jadi gugup begitu?" tanya Airin lagi."Ooh," Irfan mengusap pelipisnya yang tiba-tiba berkeringat. "Iya, doain Mas sampai dengan selamat, ya?""Iya, Mas. Pasti," jawab Airin. "Cepet pulang ya, Mas?""Iya, begitu pekerjaan Mas selesai, Mas akan segera pulang," ucap Irfan lagi.Airin membuang napas. Pekerjaan? Mempersiapkan acara pernikah
Ara menatap luar jendela rumah sakit, sambil memangku laptopnya. Wajahnya masih dibalut perban. Diliriknya sekali lagi rekaman yang terpampang di layar laptopnya. Terlihat Irfan dan Amel berfoto dengan pakaian pengantin di samping patung singa. Airin membuang napas, lalu menutup laptopnya.Tiba-tiba gawai Airin berdering. Telepon masuk dari Irfan. Airin tersenyum miris, lalu mengangkatnya."Hallo, Dek," terdengar suara Irfan di seberang telepon. "Maaf, Mas baru sempat telepon. Sibuk sekali di sini. Kamu sudah makan?"Sudah, Mas, makan hati, batin Airin."Belum, Mas," jawab Airin."Kok belum sih, Dek? Nanti kamu sakit loh."Airin membuang napas, muak dengan perhatian yang cuma pura-pura semata."Iya, Mas. Sebentar lagi. Mas ada di mana? Kok kayak dengar suara air mancur?""Oh, iya, Mas lagi keluar kantor jalan-jalan sebentar," jawab Irfan terdengar gugup."Ke Taman Merlion, Mas?""I-iya, Mas kan kerja di Distrik Bisnis Center yang ada di dekat sini, Dek," jawab Irfan lagi."Owh, sendir
"Ayo, Mas, kita masuk," Amel menarik tangan Irfan masuk ke dalam toko.Pandangan Irfan masih belum bisa lepas dari Airin."Mas kenapa menatap ke arah wanita itu terus sih?" tanya Amel kesal. "Mas kenal dia?"Irfan tersentak kaget, lalu menatap Amel."Bukan begitu, Dek. Mas sepertinya pernah melihat wanita itu," jawab Irfan gugup."Bilang saja Mas terpesona karena dia cantik," ucap Amel lagi, mulai cemberut."Tidak, Dek, bener. Muka dia tembem begitu, jauh dari kamu lah," ucap Irfan sambil merangkul Amel, meskipun dalam hati dia mengakui kalau wanita itu memang cantik.Mereka berjalan dan berdiri di samping Airin, sehingga membuat jantung Airin berdegup kencang. Bella menyenggol lengan Airin dengan sikunya, sehingga membuatnya tersentak kaget."Bersikap biasa saja. Ingat, wajahmu sudah berubah," bisik Bella padanya.Airin menarik napas dalam-dalam, mencoba menghilangkan dirinya yang dari tadi merasa. Benar juga, Irfan tidak mungkin mengenalinya. Tak ada alasan baginya untuk merasa gugu
Para tamu undangan yang hadir masih fokus menatap Airin yang berdiri di depan microphone."Sebelumnya saya ingin mengucapkan selamat atas pernikahan kalian," ucap Airin seraya tersenyum manis."Apa kalian tidak mengenaliku?" tanya Airin pada Irfan dan Amel.Irfan dan Amel membulatkan mata mereka, lalu saling bertatapan. Mereka masih bingung tentang siapa wanita yang berdiri di hadapan mereka itu. Apa mungkin dia seseorang yang mereka kenal?Sementara itu Bella mengawasi semua itu dari jauh."Ayolah Airin, bongkar semuanya, permalukan mereka. Aku sudah tidak sabar ingin melempar kue pernikahan itu ke muka mereka berdua," gumannya sambil mengepalkan kedua tangan.Tiba-tiba pandangannya jatuh pada sosok pria yang berdiri tak jauh dari kedua mempelai. Mata Bella membulat dengan jantung yang berdegup kencang. Bukankah pria itu ....Bella berjalan mendekati pria itu, untuk memastikan dia tidak salah lihat. Benar saja, ternyata pria itu benar-benar Handoko, salah satu orang yang masuk dafta
Airin mencoba menenangkan dirinya agar tidak panik. Dia harus tenang agar bisa berpikir. Akhirnya dia mengambil masker di atas meja dan memakainya, lalu membuka pintu."Loh, Mas sudah pulang?" Airin pura-pura terkejut seraya mencium tangan suaminya."Kok kamu pakai masker, Dek? Mau ke mana?" Irfan balik bertanya."Mau pergi belanja sebentar, Mas," ucap Airin beralasan. "Mas pulang kok gak ngasih kabar?"" Iya, Dek. Pekerjaan Mas sudah selesai, ini mau ke kantor untuk membuat laporan," ucap Irfan sambil membawa kopernya masuk.Airin diam. Pasti ada sesuatu sampai Irfan tiba-tiba harus pulang."Katanya mau pergi belanja, Dek? Pergi saja, Mas gak apa-apa. Sebentar lagi Mas mau berangkat lagi ke kantor," ucap Irfan yang membuat Airin semakin curiga."Iya, aku pergi dulu ya, Mas?"Airin pura-pura keluar rumah, tapi dia berbelok ke samping pagar. Dia ingin tahu apa yang Irfan lakukan. Irfan tampak sedang menelpon seseorang setelah memastikan dia pergi.Tak beberapa lama kemudian tampak seb