“Elang, dokter Vero sudah tiada. Kasihan Mas Budi! Bagaimana kalau dia tahu istrinya sudah tiada. Dia pasti sangat sedih.” Zahra menghentikan langkahnya. Lalu menatap wajah sang suami.Elang menarik napas panjang. Entah kenapa dia merasa tidak nyaman saat mendengar ucapan istrinya. Bukan berarti tak percaya kepada istrinya, tapi wanita yang dicintainya mudah sekali iba dan berani berkorban demi orang lain walaupun harus mengorbankan kebahagiaan dirinya sendiri.Elang tak mau kehilangan istrinya. Dia sangat takut kalau Zahra memutuskan untuk kembali bersama Budi.Bukan berarti Elang tak bisa terima dengan kematian Vero. Seandainya bisa mengubah takdir, Elang ingin Vero hidup dan bahagia bersama Budi. Setidaknya hal itu takkan mengancam hubungannya dengan Zahra.“Elang. Kenapa kamu diam?!” zahra menggoyangkan tangan suaminya.“Oh. Ti ... tidak!’ Elang tersentak. Lamunannya buyar seketika. “Kamu bilang apa tadi?”“Kamu dengar sendiri’kan tadi Vero berpesan apa kepadaku?” Zahra duduk di k
Zahra melihat dr. Femi yang baru saja keluar dari ruang di mana Budi di rawat. Dengan cepat Zahra menghadang jalan dr. Femi.“Dokter Femi! Maaf apa benar dr. Budi akan menjalani operasi untuk mengamuptasi kakinya?” tanya Zahra dengan bibir gemetar. Sejujurnya dia tidak siap menerima jawaban dari pertanyaannya.“Benar!” jawab dr. Femi dengan singkat.‘Tapi bagaimana mungkin. Bukankah yang terluka parah adalah bagian kepala?”“Kami sudah berhasil menangani luka pada bagian kepala. Dan operasi di bagian kaki harus dilakukan dengan kemungkinan terburuk adalah amputasi!”Jawaban dari dr. Femi membuat Zahra tak berdaya. Seolah separuh nyawanya terasa melayang.“Dokter Femi. Tolong lakukan yang terbaik dan usahakan untuk tidak mengamputasi kaki dr. Budi!” Zahra memohon kepada rekan sejawatnya.Dokter bertubuh tambun itu menarik napas panjang. Dia juga sangat mengerti dengan kekhawatiran Zahra.“Bukan saya yang akan menangani. Kita menunggu dr. Jamal yang ahli bidangnya. Dan tentunya, dr. Jam
Setelah pemakaman Vero usai, Zahra segera menuju rumah sakit ditemani oleh sang suami. Di setiap detik pikirannya terus tertuju kepada Budi. Menurut informasi yang didapat dari sang adik, Budi sudah selesai menjalani operasi. Kakinya benar-benar harus diamputasi pada batas pergelangan kaki karena terlindas mobil yang melintas. Entah bagaimana kronologis kecelakaan hingga Budi bisa berada di luar mobil. Zahrapun belum mengerti secara pasti kejadiannya.Saat tiba di rumah sakit, zahra segera berjalan menuju ruangan di mana dr. Budi di rawat. Baru saja adiknya mengabarkan sang kakak sudah sadar dan sedang menangis karena mendengar kabar kematian istrinya juga tentang keadaan kakinya. Tentu saja hal itu membuat pikiran Zahra semakin kacau sampai tak mengindahkan panggilan suaminya berkali-kali.Zahra menghentikan langkah saat tiba di depan kamar perawatan Budi. Hatinya begitu teriris saat mendengar tangisan dr. Budi yang begitu memilukan. Rasa putus asa terdengar jelas dari ratapannya.“A
“Kalaupun rumah sakit tak bisa mempekerjakanmu lagi, kita bisa wujudkan cita-cita kita yang tertunda. Yaitu membangun klinik untuk pengobatan gratis bagi orang tidak mampu. Ilmu yang kau pelajari akan tetap berguna. Tak ada waktu yang terbuang sia-sia!” zahra terus berusaha mengembalikan kepercayaan diri pria yang sangat membekas dalam setiap ingatannya. Rasanya tak tahan melihatnya dalam kondisi seperti ini.“Zahra. maukah kau menemaniku melewati hari-hari yang menyulitkan ini? tolong jangan tinggalkan aku!” secara tiba-tiba Budi memeluk zahra.Tentu saja Zahra amat terkejut dengan apa yang dilakukan oleh mantan kekasihnya. Zahra tak berani membalas pelukan itu. Apalagi permintaannya juga sangat memberatkan. Tak mungkin dia bisa menemani Budi sedangkan dia sendiri sudah punya suami.Zahra merasa bingung dan tak tahu harus berbuat apa.Sementara itu Elang baru sampai dan membuka pintu. Sejenak dia terperanjat melihat apa yang terjadi. Wajahnya yang semula ceria berubah mendung. Dia ta
BAB 133 ELANG KECEWA“Ayo!” Elang menggandeng tangan sang istri. Sesampainya di luar, Elang melepas tangan Zahra dan meninggalkannya. Hati Elang masih diliputi kekesalan karena mengingat saat pria itu memeluk istrinya. Sebagai seorang suami jelas saja hal itu mengusik harga dirinya.Kalau saja mantan kekasih istrinya itu melakukan pada kondisi sehat dan baik-baik saja, tentu Elang akan memberikan pelajaran kepadanya karena berani menyentuh bidadarinya.“Elang, tunggu!” zahra berusaha mengejar suaminya.Elang menghentikan langkah sambil membuang napas dengan kesal.“Kau marah, ya?” tanya Zahra saat berada di hadapan sang suami sembari menatap matanya dengan tajam.“Sudahlah. Kalau kau masih mau di sana, pergilah! Aku tak berhak melarangmu!” Elang membuang pandangan. Kemudian melanjutkan langkah.Dia tak ingin membahasnya saat ini karena sedang berada dalam balutan emosi, hingga tak ingin ucapannya melukai hati istri tercinta.“Elang. Demi Tuhan. Tadi itu tidak sengaja. Mas Budi tadi te
Elang berjalan mondar mandir di dalam kamar. Sudah lebih dari jam sebelas malam, tapi sang istri belum juga pulang. Bahkan seharian tak memberi kabar. Tentu saja hal itu bukan hanya membuat Elang marah, tapi juga khawatir. Suami mana yang tak khawatir saat hampir tengah malam sang istri belum juga pulang. Dan dia juga sudah jelas sedang bersama mantan kekasihnya.Elang melihat ke arah ponsel yang berada di tangan. Nomor sang istri terakhir membuka aplikasi berwarna hijau pada siang hari saat masih bersamanya. Jelas saja hal itu membuat Elang kebingungan. Mau berusaha untuk menelpon lebih dulu, tapi gengsi.“Ya, Tuhan. Bagaimana ini?” Elang memijit pelipisnya. Kepalanya terasa sangat berat.Terdengar suara pintu gerbang yang dibuka. Terlihat seorang wanita yang dinanti masuk ke dalam rumah. Ada sedikit lega dalam dadanya.“Aku tak mau berdebat. Lebih baik berpura-pura tidur saja.”Elang meletakkan ponsel di atas nakas. Lalu bergelung dalam selimut dan memejamkan mata. Dia sengaja tak m
“Elang! aku mau minta maaf, karena baru pulang di tengah malam begini dan tak mengabarimu seharian. Kau pasti marah dan cemburu. Tapi Demi Alloh, tak terjadi apa-apa antara aku dan Mas Budi.”Elang mengepalkan tangan saat sang istri menyebut nama mantan kekasihnya. Mulai timbul rasa kekesalan dalam dadanya.“Bagiku Mas Budi hanya masa lalu. Kau sudah sangat baik terhadapku hingga tak mungkin aku menghianati kesetiaanmu.”Elang bisa bernapas lega saat mendengar ucapan sang istri. Itu artinya perjuangannya tak sia-sia karena sang istri mulai menghargainya.“Kalau aku boleh jujur, aku mulai merasa selalu ingin bersamamu. Seperti seharian ini, aku sangat merindukanmu. Dan setiap detik pikiran ini tak bisa lepas dari bayang-bayangmu. Aku tak tahu apa artinya perasaanku ini.”Elang sangat terkejut sekaligus bahagia saat mendengar ungkapan hati sang istri yang selalu dinanti. Tak menyangka jika wanita mengagumkan itu sudah mulai bisa menerima kehadirannya. Bukan hanya menerima tapi juga menc
Namun Elang harus menelan kekecewaan saat sang istri menghentikan aksinya dengan menutup bibir Elang yang siap untuk menyatukan kenikmatan yang tiada tara.“Maaf. Aku belum siap,” ucap Zahra lirih sembari memalingkan wajah.“Kenapa?” tanya Elang sembari menahan gejolak hasratnya yang menggebu.“Aku tidak tahu. Tolong, beri aku waktu.” Zahra memejamkan mata. Sebenarnya dia pasrah saja jika sang suami mau melakukannya karena sudah terdesak oleh syahwatnya. Sebagai seorang istri tak mungkin menghindar jika sang suami meminta.Sungguh Zahrapun menginginkan sentuhan itu. Namun entah kenapa bayangan Budi melintas begitu saja. Rasanya tak tega jika dia bersenang-senag di atas penderitaan mantan kekasihnya.Elang bangkit dan duduk di tepi ranjang. Pria itu menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Dia mencoba membuang hasratnya. Rasanya sangat tidak mengenakkan bagi seorang pria jika hasrat yang tengah memuncak, tak tersalurkan. Namun Elang berusaha untuk menetralisir perasaann