ISTRI KEDUA AYAHKU 16Aku bisa tenang menghadapi segala masalah. Tapi satu hal yang membuatku tak bisa mengendalikan diri adalah jika itu menyangkut keselamatan Bunda dan Amira. Sebelum telepon ditutup, aku langsung menghubungi Ayah dan Huda dengan ponsel yang lain, dan bergerak cepat menghubungi polisi untuk melacak lokasinya. Riris, atau siapapun dia tak akan pernah kubiarkan lolos jika sampai menyakiti adikku. "Kak Elisa. Tunggulah di kantor. Jangan kemana-mana!" Seru Huda dari seberang telepon. "Aku dan Ayah yang akan ke sana bersama polisi.""Berikan lokasinya padaku Huda!" "Tidak Kak. Ayah melarang. Kakak sedang lelah dan banyak masalah.""Dengar aku! Tidak ada masalah yang lebih penting dari pada Amira. Dan kau pikir aku bisa istirahat sementara adikku dalam bahaya? Cepat kirim lokasinya!""Kak…""Cepat Huda! Atau aku tak akan mengakuimu sebagai adikku!""Oke oke…!"Aku menutup ponsel. Sedetik kemudian Huda mengirim lokasi tempat Amira di sekap. Polisi bergerak sangat cepat.
ISTRI KEDUA AYAHKU 17Aku duduk menunggu di sofa kecil di depan pintu kamar kami di lantai atas. Di dalam, Bunda tengah menemani Amira diperiksa oleh Dokter Sonya, yang datang sambil menangis. Aku telah mengeluarkan sejumlah uang untuk menutup mulut siapa saja yang tahu peristiwa yang menimpa Amira agar tak sampai ke publik. Tapi dokter Sonya adalah pengecualian. Dokter berusia empat puluh delapan tahun itu telah bekerja pada kami sejak aku masih kecil.Semalam, Amira mengerang kesakitan dalam tidurnya. Aku khawatir alat vitalnya infeksi sehingga subuh subuh aku memanggul Dokter Sonya.Pintu terbuka. Dokter Sonya keluar dengan wajah murung. Dia langsung memandangku, tersenyum tipis."Bagaimana Amira? Apakah terjadi sesuatu?"Dokter Sonya menggeleng dan duduk di hadapanku."Tidak. Fisiknya baik baik saja. Luka di alat vitalnya juga sudah mengering dan akan segera sembuh. Tapi, luka disini." Dokter Sonya memegang dadanya. "Luka ini yang membuat tubuhnya terus merasa sakit. Trauma dan ba
ISTRI KEDUA AYAHKU 18"Tunggu apa lagi Mas? Cepat ceraikan dia. Kau punya aku dan Huda. Kamilah yang akan menjadi tangan kanan dan penerusmu. Bukan hanya anak anak perempuan yang menyusahkan ini."Bunda menahan lenganku. Beliau tahu bahwa aku benar-benar murka oleh kata-kata Mama. Aku menarik nafas, memenuhi rongga dadaku dengan oksigen. Aku menoleh pada Bunda. "Bunda sungguh-sungguh?"Bunda mengangguk. Meski jelas terlihat mendung di wajahnya. "Semua harta ini tak lebih berharga dari kalian berdua." Ujarnya sambil tersenyum.Aku membalas senyum Bunda. Kini kami berdua menatap Ayah, yang berdiri seperti orang kehilangan arah. Lunglai dan kosong. Namun hentakan tangan Mama menyadarkannya."Mas! Mbak Anind dan Elisa ini sudah durhaka padamu. Kau tunggu apa lagi? Ceraikan dia dan usir mereka dari sini."Tanpa diduga, Ayah menyentak tangah Mama dengan keras hingga Mama terhuyung-huyung."Aku tidak akan menceraikanmu Anind. Sampai kapanpun tidak akan!" Lalu Ayah menatap Mama. "Dan kau La
ISTRI KEDUA AYAHKU 19PoV HUDAAku menatap Mama, menghembuskan nafas dengan keras. Aku telah tahu sejak lama bahwa Mama berambisi menguasai rumah utama Ayah ini, berikut Wijaya Group. Tapi aku tak pernah menyangka jalan yang akan Mama ambil akan sekejam ini.Tiga hari yang lalu, aku menemui Riris di penjara. Gadis itu tertawa sinis melihatku. Hubungan kami memang tak pernah melibatkan hati. Nafsu binatang yang kupelihara dan akhirnya menjadi penghancur keluargaku. Sayang, aku terlambat menyadari. Adikku sendiri yang akhirnya menjadi korban."Kau benar-benar gila!"Riris tertawa. Matanya melirik ke kiri dan kanan, memindai petugas penjara yang tengah mengawasi kami. Dia dan lelaki yang disuruhnya menodai Amira dengan kejam terancam hukuman seumur hidup. Ayah dan Kak Elisa bahkan meminta hukuman mati bagi mereka berdua. Proses pengadilan baru akan berjalan. Riris terlalu berani mengambil resiko menentang keluarga Wijaya."Kau tahu? Orang yang sakit hati tak lagi memikirkan masa depan. D
ISTRI KEDUA AYAHKU 20PoV HUDAAku menatap lelaki yang kini tampak asing di mataku. Sejak dia mengucapkan kata cerai pada Mama, terasa sekali betapa luas jurang membentang. Sejak dulu, aku memang bukan anak kebanggaan. Ayah, tak seperti Eyang, tidak pernah membedakan perlakuannya padaku dan kedua saudaraku. Bahkan aku merasa Ayah mengandalkan Kak Elisa. Tentu saja, karena aku sebagai satu satunya anak lelaki kerap membuatnya kecewa."Aku tahu apa yang ingin kau tanyakan Huda. Ya. Aku memang telah menceraikan Mamamu."Aku terdiam, tak ingin membantah. Apapun yang akan Ayah lakukan tak ada lagi hak-ku ikut campur. Ibarat anak yang lahir dari seorang selir, aku tak bisa menganggap diriku jauh lebih berharga dari pada anak seorang ratu. "Tapi kau tak perlu khawatir. Apapun yang terjadi antara aku dan Mamamu, kau tetap anakku. Ayah rasa kau sudah cukup dewasa untuk menilai mana yang salah dan benar."Aku mengangguk."Aku… aku kesini bukan untuk itu. Aku tidak akan protes atau bahkan berta
ISTRI KEDUA AYAHKU 21Pesawat Lion Air rute Jakarta - Bandar lampung menyentuh landasan Bandara Radin Inten II tepat pukul enam sore. Aku memandang keluar jendela, pada jejeran mobil mobil travel dan taksi online serta orang-orang yang menjemput di luar sana. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Suasana lebih gelap dari pada seharusnya karena mendung. Anomali cuaca membuat bulan juli yang seharusnya cerah ceria kerap membawa kabar tentang hujan.Aku melangkah ke ruang tunggu dan duduk di salah satu kursinya, memesan taksi online. Aku memang sengaja tak memberitahu siapapun tentang kepulanganku kesini. Kedatangan yang tiba-tiba kadang kala diperlukan untuk melihat suatu kebenaran.Setelah menunggu sepuluh menit, taksi online yang ku pesan akhirnya tiba. Sang driver memintaku keluar dan menunggu di depan, tempat mobil melintas. Setelah mencocokkan mobil dengan keterangan yang ada di aplikasi, aku naik dan duduk dengan tenang. Aku memang tak membawa apa apa kecuali shoulder bag kecil
ISTRI KEDUA AYAHKU 22Aku menatap siaran langsung konferensi pers yang dilakukan Ayah di depan kantor utama Wijaya Group. Di sana, Ayahku tampak tegar dan berwibawa. Beliau didampingi Om Ferdi, pengacara keluarga kami. Eyang, yang duduk di kursi goyang sambil menyimak berita itu diam saja. Sesekali beliau memejamkan mata. Tadi, sebelum Ayah pergi ke kantor, kami berkumpul dan bicara. Sebuah moment yang sungguh menguras emosi dan air mata. Di hadapan Ayah, Eyang mengakui bahwa dua puluh tahun yang lalu, dialah yang menyebabkan Eyang kakung meninggal dunia. Meski tak disengaja, tapi tingkah Eyang yang memaksa dan menekan Eyang kakung membuat beliau terserang gagal jantung hingga akhirnya meninggal dunia."Antar Eyang ke kantor polisi Bagus. Biarkan Eyang menebus dosa ini."Ayah duduk terpekur, menutup wajah dengan kedua tangannya. Dan ketika beliau mengangkat tangan, matanya yang memerah itu telah menjawab betapa terlukanya hati Ayah."Aku tidak akan membawa Ibu ke polisi. Aku tidak bis
ISTRI KEDUA AYAHKU 23PoV HUDAGemetar. Takut. Sedih dan sesal. Semua perasaan itu berbaur, membuat dadaku terasa sesak. Masih kuingat mata bening yang biasanya bersinar sinar itu, sesaat tadi meredup menahan sakit. Dan yang semakin membuatku sedih adalah, rasa kecewa yang teramat besar terpancar dari sana.Kak Elisa tentu tak percaya bahwa aku dapat menyakitinya seperti itu.Aku menghentikan mobil di pinggir jalan Kampung yang lengang. Malam telah turun, gelap dan sepi. Tak mampu mengendalikan air mata yang mengalir dan membuat pemandangan menjadi buram. Kupukul kepalaku berkali-kali. Menyesali semua yang telah terjadi. Ya. Sumber masalah ini adalah aku. Aku yang menyebabkan Saskia mati. Aku juga penyebab Amira celaka. Karena Mama ingin aku menjadi satu satunya ahli waris, maka dia mencelakai keluarga Bunda. Ya Tuhan. Aku benar-benar pendosa dan pecundang!Ponselku berdering. Aku menyambarnya dengan jantung berdebar. Sebuah nomor tak dikenal menghubungiku. Dadaku berdebar kencang. Ap