"Saya bekerja untuk keluarga Dharmawan sejak dari pertama saya tahu apa itu sebuah pekerjaan, dan akan seterusnya disini, sampai akhir hidup saya nanti." Vin tersenyum meremehkan. Nada bicaranya masih berikan intimidasi pada Sekretaris Li. Namun, hal ini memang Vin sengaja, untuk memberikan suatu tes, akan beberapa dugaan buruknya pada sang sekretaris senior perusahaan ini. "Kalau anda mengabdi pada Helena, itu juga disebut sebagai pengabdian pada keluarga Dharmawan. Setujukan anda dengan pemikiranku ini, Sekretaris Li?" "Tuan muda. Anda begitu menyakiti hati saya. Saya tipe loyal akan dimana bila saya sangat dihargai, dan selama ini, Ayah anda sangat menganggap keberadaan serta pengabdian saya selama ini. Bahkan sampai saat ini, saya tidak berpikir untuk menikah, jadi bagaimana bisa anda melabeli saya tidak setia, dan mencoba untuk membelot?" "Obsesi mungkin. Ada satu atau entah berapa keinginan terpendam, yang belum kesampaian." "Tuan Muda, please. Saya tidak bisa melanjut
Sedangkan Lea yang masih dalam kebingungan, kemudian kembali membuat posisi duduknya agar lebih nyaman untuk memulai bicara, setelah Sarah memintanya naik ke tempat tidur di rumah sakit yang belum sepenuhnya dia ketahui ini. "Jahat bagaimana maksud Mama?" Lea gulung bagian ujung selimut yang sudah ia naikkan, lalu ditutupkan pada sebatas kakinya saja. "Katanya, Pak Vin akan tinggalkan perusahaan, dan juga kemungkinan mau tinggalin kamu juga." "Kata siapa? Dani?" simpul Lea. "Iya, dan Dani dapatkan informasi ini valid, bisa dipastikan kebenarannya." "Apa lagi yang Dani ceritakan ke Mama?" selidik Lea, jadi semakin penasaran. "Pak Vin akan kembali ke negara ibunya, terus buka perusahaan disana. Beliau juga sebenarnya sudah punya calon istri disana. Katanya, gadis itu memang sudah lama dia pacari, tapi putus nyambung. Mama takut, kalau sekarang memang Pak Vin lagi nyambung sama mantannya itu, jadi sudah lupa sama kamu." "Tapi aku istrinya, Ma. Kalaupun Pak Vin seperti itu,
Lea gunakan waktu dimana pelayanan juga belum menyentuhnya. Lea beringsut perlahan menuruni bednya, di awal ada keraguan untuk meminta tolong, tapi terpaksa dia lakukan karena sudah tak sabar ingin bertemu dengan Vin. "Permisi," sapa Lea malu-malu. Tiga orang dihadapannya menoleh bersamaan padanya, Lea lebih lebarkan senyumannya. Sisa rasa sakit di sekujur tubuhnya, terkesampingkan karena usaha demi cinta ini. "Iya?" Pria berperawakan sedang dan sedang memegang anaknya di atas kasur tempat sang istri dirawat yang berikan jawaban. "Bisa minta tolong?" Kedua suami istri saling berpandangan terlebih dulu, sebelum akhirnya sang istrilah yang berikan tanggapan. "Iya, Mbak? Kenapa?" tanyanya ramah. "Ponsel saya masih direparasi, bisa pinjam buat kirim pesan saja. Ini penting." Lea masih terlihat malu-malu utarakan maksudnya, selain terus berharap dalam batin. "Oh, nggak apa-apa. Pakai aja." "Terima kasih." Sambut Lea, bersamaan dengan uluran tangan dari wanita ramah itu me
Winda menggeser posisi duduknya. Senyumnya nenggambarkan, tidak kalah senangnya akan tanggapan Lea. "Tapi gue nggak bisa lama-lama di sini. Nanti ibu lo datang. Aduh, Lea. Senang banget gue ketemu lo. Apalagi dapat tugas prestisius dari Pak Vin kayak jadi agen rahasia begini, rasanya tuh bikin jantung dag dig dug bersensasi seneng tapi menegangkan, tahu!" ungkap Winda, mengatakan dengan berapi-api seperti biasanya. "Aih lebay deh!" sahut Lea dengan mengarahkan cubitan kecil di perut Winda yang terlihat lebih buncit. "Lo jauhan sama gue, pasti nggak ada yang ngomelin kebiasaan jajan lo yang keblabasan nih pasti!" tebak Lea dengan kebiasaan sahabatnya itu. "Iya, gue bingung nyariin lo. Tiba-tiba aja menghilang, gue stress nggak ada yang di ajak ngobrol, jadi larinya ke makanan lagi deh. Eh, tapi." Winda menoleh kanan berganti kiri, sekali celingukan ke arah beberapa pejalan kaki. "Ibu lo masih jauh, kan? Misi gue cuma boleh ketemu kamu, nggak boleh siapa-siapa, apalagi Dani." "U
Masih di area taman rumah aakit, Lea bangkit berikan senyuman terbagi antara telah bohongi ibunya sekaligus tak ingin lukai hatinya. Lea tahu, ibunya telah termakan hasutan Dani, dan dia tak ingin menyalahkan atau bahkan membencinya. "Sudah selesai makan, Ma?" tanya Lea bersambut melingkarkan tangannya pada lengan Sarah. Sekarang yang di pikirkan Lea adalah bagaimana mengambil hati ibunya ini agar bisa mengerti akan keinginan hatinya untuk selalu bersama Vin. "Sudah. Lumayan juga masakannya. Setelah ini kamu mandi terus istirahat lagi aja, lumayan bikin keringetan tuh habis kena matahari pagi," pengingat Sarah, seraya membantu Lea dengan selang infus yang masih di gunakan. "Entahlah. Semalam benernya aku susah tidur, tapi ku paksakan." Sarah menengleng, menatap wajah putrinya seperti baru saja mengenalnya. "Jadi semalam kamu nggak bisa tidur? Kamarnya terlalu banyak orang ya?" tanyanya panik. "Mungkin. Kurang nyaman," jawab Lea dengan kerdikkan kedua bahu. "Mau pindah kama
"Dani itu tidak mencintaiku, tapi dialah yang mencoba memanfaatkanku. Apa yang fia katakan itu sebenarnya menceritakan dirinya sendiri tapi mengkambinghitamkan orang lain buat tutupi kebusukannya sendiri. Mama paham kan maksudku?" "Tapi untuk apa?" "Karena aku lebih dari dirinya, sebenarnya Dani nggak suka hal itu. Dia berharap, aku masih gadis polos yang maish berharap besar miliki hatinya, jadi gadis bodoh yang rela mati-matian, lakuin apapun buat menarik perhatiannya. Tapi kan ternyata nggak, Ma. Pak Vin hadir, lalu Dani jadi emrasa Pak Vin itu pemantik nyala diriku yang seharusnya ada di tanganya, namun selama ini nggak mau dia keluarkan." Sarah mencerna terlebih dulu curahan hati putrinya ini untuk beberapa saat, baru tercetus akan sesuatu. "Kalau Dani memang berniat nggak baik, terutama sama kamu, berarti dia sedang lakuin suatu rencana. Gitu kan arah pikiranmu, Lea? Dan dia lakuin rencana itu kira-kira sendirian atau ada yang bantuin? Soalnya Mama masih mengira, dia lak
Lea di masukkan ke dalam sebuah mobil MPV warna hitam dengan 2 pintu geser. Duduk di tengah dua pria tegap, membuatnya sulit untuk lakukan upaya meneyelamatkan diri, bahkan untuk percobaan berteriak meminta tolong pada siapapun yang berada di area pintu keluar yang dalam kesehariannya selalu terkunci ini. "Kalian siapa, sih?! Ngapain nangkap gue!" bentak Lea tak ada rasa takut. "Di bilang diam ya diam!" salah satu pria tegap di sisi kanan Lea tidak kalah kerasnya. Upaya Lea saat ini adalah beberapa orang yang terheran dengan kehadiran mobil ini. Lorong yang sejatinya di gunakan untuk evakuasi keadaa. darurat seperti kebakaran hebat ini, memang jarang sekali di gunakan. Lea condongkan tubuhnya ke sisi kiri, berusaha meraih bagian kuncian pembuka pintu meski dengan bersusah payah, di sertai sebuah teriakan. "PAK TOLONG!" ucapnya sekuat tenaga, berharap pada seorang pria yang sempat menoleh. Lea perkirakan adalah salah satu petugas jaga parkir yang sedang patroli. Usaha Lea
Vin sudah berada di kondominiumnya, tempat yang menurutnya paling aman untuk lakukan pembicaraan dengan pengacaranya dari Indonesia. "Tuan Vin," sapa sang pengacara bernama Ricko, yang selama ini lebih banyak di belakang meja, mengatur semua dari jauh, sekaligus kepanjangan tangan Vin bila berhubungan dengan Joe Jamal Jr. yang ada di New York. "Duduklah. Kita tidak punya banyak waktu," sambut Vin. Pikirannya terbelah antara urusan perusahaan, Helena, dan tentu saja penguras pikiran terbesarnya adalah Lea yang sudah dia tahu keberadaannya, tapi masih di percayakan pada Morgan. Ricko yang berusia mendekati 40 tahun itu refleks terbawa suasana dan ekspresi serius selain dingin yang Vin tunjukkan. "Saya sudah bawa dokumen-dokumen yang anda perlukan, sekaligus ini." Ricko berikan selembar semacam surat pernyataan. "Apa ini?" tanya Vin seraya mulai membaca, dan kemudian di dengarkan penjelasan dari Ricko. "Surat permohonan untuk pihak kepolisian seperti yang anda minta minggu l