Tiga tahun setelah kedatangan Bang Adnan bersama ibunya ke rumah kami. Sekarang mereka tak lagi menggangguku dan anak-anak. Bahkan ia tak sekalipun mengunjungi anak-anak atau sekedar berkirim pesan dan menanyakan bagaimana kabarnya.Pernah kukirimkan pesan agar ia menjenguk Zafran karena Zafran pernah menanyakannya. Justru Lulu yang membalas dan marah-marah kepadaku. Setelah itu aku tak lagi menghubunginya, aku pun tidak tahu di mana ia tinggal sekarang.Setahun setelah pernikahanku dengan Bang Fatur kami dikaruniai anak perempuan yang kami beri nama Zelia Al Muslimah. Aku bersyukur kami dapat hidup dengan tentram bersama. Mas Hamdan juga sudah dibebaskan. Ia sering berkunjung ke rumah untuk menjenguk ibu bersama kedua putranya.Sementara Zain ia sering pergi ke Solo di mana ia tinggal dulu. Saat pesantren anak yatim yang ibu bangun tidak terlalu padat jadwalnya. Usaha kaligrafi Bang Fatur juga berkembang pesat, ia sering membuka pameran.Zafran masuk ke pesantren atas keinginannya se
"Sudah siap, Dik?" dari balik pintu Bang Fatur bertanya padaku."Sebentar, Bang.""Cuma ini yang akan kita bawa?""Iya, Bang.""Abang ke mobil, Zelia sudah sama Zain.""Iya, Bang, sebentar lagi aku menyusul."Aku kembali merapikan hijab dan riasanku. Kupoles bedak dengan tipis agar tak terlihat aku habis menangis.Hari ini aku akan mengantar anakku menuju rumah gadis yang hendak ia pilih untuk menjadi makmumnya mengarungi bahtera rumah tangga. Namun, hatiku seperti tak merelakan karena kita akan terhalang jarak Jakarta Solo.Setelah aku mengatur nafas dan hatiku agar jauh sedikit lebih tenang. Aku keluar dengan tas kecil menghiasi penampilanku.Bang Fatur menatapku tanpa berkedip. Ia berucap lirih tepat di telingaku, "Kamu cantik, Dik.""Memang kemarin aku tak cantik, Bang?" Aku menjawab sambil mencubit perutnya.Bang Fatur kembali berkata tepat di telingaku, "sekarang jauh lebih cantik.""Jangan seperti itu, malu dengan anak-anak."Ibu dan Zain yang memperhatikanku dan Bang Fatur ter
"Apa aku tak salah lihat, Umi?"Suaranya bergetar ia menggelengkan kepalanya. Ibu mengambil Zelia dari gendongannya dan memberikan kepada Saka."Zelia, ikut Om Saka beli es krim, ya?"Zelia mengangguk dan tak protes seperti tadi.Ibu memegang tangan Zain. Berkata lirih di dekat telinga Zain, "tenangkan hatimu, Zain. Istiqfar."Sementara di seberang pintu. Bang Adnan dan Lulu yang menggandeng Ana sama terkejutnya dengan kami."Zain?"Bang Adnan mendekati Zain, tetapi Zain langsung menjauhinya."Ana, apa yang kamu maksud Al itu adalah Zain?" tanya Bang Adnan pada Ana n yang masih tersenyum tak mengerti apa-apa."Iya, Abi. Dia Zain Al Adnan lelaki yang hendak menikahiku.""Apa!"Lulu berteriak dan melepaskan tangan Ana dengan kasar.Aku masih terdiam tak percaya dengan kenyataan ini, bagaimana mungkin ini bisa terjadi."Ana, dia Abangmu!" seru Bang Adnan."Apa? Abi, tidak usah berbohong. Bagaimana bisa dia Abangku? Kalian jangan berbohong!"Zain terduduk di depan pintu, air matanya menet
"Zain!"Aku memeluk tubuhnya yang basah kuyup tak sadarkan diri. Bang Fatur kemudian memindahkannya bersama Saka yang terbangun karena teriakanku, begitu juga dengan umi dan ibu.Bang Fatur mengganti baju Zain, badannya panas. Aku mengompres Zain semalaman, Bang Fatur menawarkan untuk bergantian menjaganya tetapi aku tak mau. Biarlah aku yang merawatnya.Aku tertidur di samping tempat tidur Zain, ia masih belum bangun tetapi badannya tak lagi panas seperti semalam."Sudah bangun, Dik?" Bang Fatur membawa secangkir teh."Shalat Subuh dulu, biar Abang yang menjaga Zain," lanjut Bang Fatur menyambung ucapanya."Abang, tidak shalat?""Abang sudah selesai, Abang tak tega membangunkanmu karena tidurmu terlalu nyenyak. Cepatlah shalat sebelum fajar.""Iya, Bang."Semalam Bang Fatur yang mengganti mengompres Zain ketika aku tertidur, aku tak sadar karena terlalu lelah.Setelah selesai shalat aku menghirup sedikit udara segar bersama Zelia, ibu dan umi menyiapkan makanan.Aku kembali ke rumah
Sudah satu pekan Ana di rumah sakit. Zain dan aku bersama Bang Fatur selalu menemaninya. Zain tak pernah ingin datang ke sana sendiri tanpa aku dan Bang Fatur.Dokter bilang ia harus di temani agar pikirannya tak kembali melakukan hal buruk yang dapat mencelakainya.Kami baru sampai di rumah saat Bang Adnan dan Lulu menghampiri kami tepat di depan pintu rawat kamar Ana."Fatur, Kinan, kami sudah melakukan tes DNA dengan Ana, ia bukan anak kami. DNA kami tidak ada yang cocok," ungkapnya."Apa? Bagaimana bisa terjadi seperti itu."Aku terkejut begitu juga Zain dan Bang Fatur."Kemungkinan anak kami tertukar saat di rumah bersalin, karena saat itu Lulu pergi sendiri tanpa ada yang menemani jadi tidak tahu jika suster mungkin melakukan kesalahan."Zain tersenyum dengan manis, gigi gingsulnya yang sejak lama tak menampakkan diri kini terlihat dengan manis."Aku dan Lulu akan memberitahu Ana, Zain bisa menikahinya.""Apa Bang Adnan sudah memastikan bahwa tes itu benar? Aku tidak ingin anakk
Zelia berlari memelukku saat kami sampai di rumah, mungkin ia rindu karena beberapa hari ini ia takku perhatikan pikiranku sedang tertuju pada Zain."Umi," panggilnya manja."Iya, sayang. Maafkan Umi, ya? Sudah ninggalin Zelia. Zelia rindu, ya?"Aku menggendongnya.Zain menghampiri kami."Assalamualaikum, Zelia?"Zain mencium pipi Zelia yang ia balas dengan pelukan. Sejak dulu Zain selalu akrab dengan adik-adiknya. Sifatnya yang penyayang dan lemah lembut membuat anak kecil cepat akrab dengannya."Assalamualaikum, Umi, Ibu?"Bang Fatur meraih tangan umi dan ibu bergantian, begitu juga denganku."Walaikumsallam."Kami mengikuti umi masuk, Arini sudah membuatkan minuman dan cemilan."Bagaimana keadaan Ana, Mbak?""Alhamdulillah sudah membaik, Arini.""Alhamdulillah.""Ibu, Umi, besok kita akan pergi ke rumah Bang Adnan untuk menikahkan Zain dan Ana?""Apa kamu tidak salah, Fatur?"umi bertanya dengan raut wajah heran."Ternyata Ana bukan anak Lulu dan Bang Adnan, Umi. Mungkin, mereka te
Malam ini terasa sangat dingin. Lepas shalat Magrib dan makan malam aku putuskan untuk berbicara dengan Bang Fatur soal Arini. Kebetulan Bang Fatur tengah mengaji di dalam kamar. Bang Fatur memang lebih senang mengaji di dalam kamar karena itu tempat istirahatnya.Aku merebahkan kepalaku di pangkuan Bang Fatur. Dia tersenyum dan melanjutkan bacaan Qur'annya.Setelah ia selesai membaca Al-Qur'an aku putuskan untuk berbicara padanya,"Abang?""Hemm."Bang Fatur terus membelai rambutku yang tergerai. Aku sengaja melepas hijab jika hanya dengan Bang Fatur karena memang dia menyukainya."Tadi aku berbicara dengan Arini, ia tampak murung.""Lalu?""Ia menangis tak henti."Bang Fatur terkejut."Kenapa? Ada apa dengannya?"Aku kembali menarik tangannya yang berhenti membelai rambutku. Aku memegang dengan erat dan menaruhnya di dadaku."Dia bilang hatinya sakit dan sesak serta air matanya jatuh begitu saja saat mendengar Zain akan bersama dengan Ana?""Maksudnya apa, Dik? Abang gak ngerti.""A
"Zain, sudah siap, Nak?" tanyaku dari balik pintu."Sebentar, Umi."Aku dan Bang Fatur melihat Zain, ia bersiap di depan cermin. Kemeja putih pemberian Bang Fatur dengan jam tangan Hadiah dari Bang Adnan menghiasi tubuhnya.Bang Fatur merangkul Zain,"Jangan gugup, Zain.""Iya, Abi."Aku memasangkan peci di kepalanya, peci hadiah dariku dengan ukiran nama Arab di dalamnya."Semoga menjadi imam yang bertanggung jawab, Nak."Aku menitikkan air mata memeluk tubuhnya."Jangan menangis, Umi. Umi harus bahagia bersamaku."Aku dan Bang Fatur tersenyum dan memeluk Zain."Ayo kita berangkat."Kami berjalan beriringan, Semua keluarga sudah bersiap, tapi aku tak melihat Arini bersama kami."Umi, di mana Arini?" "Ada di kamar, Kinan. Ia bilang tidak enak badan jadi tidak ikut.""Aku akan melihat Arini sebentar, Umi."Umi Husna mengangguk mengiyakan, Bang Fatur mengikutiku menuju kamar Arini.Aku mengetuk pintu kamar Arini."Assalamualaikum, Arini?""Walaikumsallam, sebentar Mbak."Arini membuka