Maia terus berargumen dalam hati sambil terus melangkah tanpa menoleh ke belakang lagi. Namun, langkahnya terhenti saat suara Juan memanggilnya, “Kapan aku mengizinkanmu pergi?”
‘Benar juga. Kenapa aku tidak menunggunya saja?’ gumam Maia, lalu berbalik untuk menghadap Juan lagi.
Juan mendekat, memperkecil jarak di antara mereka, “Satu kesempatan dan ini yang terakhir. Lakukan yang kau anggap baik. Tapi…”
“Tapi?” Maia mengulangi kalimat Juan yang menggantung.
“Tapi jika saja Leo semakin terlukai, aku bahkan tidak bisa memikirkan hal baik apa lagi yang harus kuberikan padamu,” Juan menjawab tegas, “Aku juga minta maaf karena sikapku padamu, tapi memang seperti inilah aku. Sampai jumpa,” sambungnya bicara sebelum pergi melewati istrinya.
Maia tersenyum melihat punggung Juan yang kokoh dan terlihat sempurna, ‘Terima kasih. Tenang saja, bersama Maia, punggungmu yang kokoh
"Sudah bangun?" tanya Juan lembut pada Maia yang masih memandangnya tajam. Ia menunggu istrinya bangun setelah dipindahkannya ke kamar. Ya, Juan mendapati istrinya tidur dalam keadaan mabuk di dapur.Sekali dua kali Maia mulai membuka-tutup matanya, mencoba memproses apa yang ada di hadapannya."Kenapa ada lelaki tampan di sini?" tanya Maia bodoh. Saat ini dirinya tidak sadar dengan berhadapan dengan siapa. Yang ia tahu, saat ia membuka matanya, hanya ada lelaki tampan di sampingnya."Hmm, aku memang tampan, apa kau baru menyadarinya?" jawab Juan sambil tersenyum. Tangan Juan baru saja akan menyentuh anak rambut yang menghalangi mata Maia, namun dengan cepat ditangkap Maia sambil memicingkan matanya dengan tajam."Walau kau tampan, siapa yang mengizinkanmu menyentuhku?" ucapan Maia terdengar dengan nada berbeda dan dengan cengkeraman tangan yang semakin erat.Juan menyerngitkan d
Sore itu, Maia duduk termenung di ruang santai, sebuah buku catatan kecil terpegang di pangkuannya. Di halaman yang terbuka, tertera daftar pendekatan yang telah ia pikirkan sejak pagi. Tulisan tangannya rapi, menyusun berbagai rencana yang ia anggap cocok untuk anak seusia Leo.Belikan mainan edukatif, membuat kue bersama, mengajak menonton kartun, pulangnya membeli robot-robotan, dan hal pertama ialah memeluknya ketika pertama kali bertemu.Ia menghela napas panjang, ‘Anak kecil pada umumnya pasti menyukai hal-hal semacam itu, kan?’ pikirnya.Namun tetap saja, ada rasa ganjil yang mengusik benaknya. Semakin ia mengenal Leo, semakin jelas bahwa anak itu tak bisa didekati dengan cara-cara biasa. Terlebih setelah ia menyidak bagaimana interior kamar dan taste Leo untuk dekorasi ruang pribadinya.Menurut Maia itu terasa… janggal.Tak lama kemudian,
Film di layar terus berjalan. Aksi kejar-kejaran mobil dan dentuman tembakan saling bersahutan, tapi tak satu pun dari mereka benar-benar memperhatikan. Maia sudah lama tak fokus. Tangannya memeluk lutut, sorot matanya kosong, dan dadanya terasa sesak.Juan masih di posisi yang sama—tenang, diam, dengan mata tetap mengarah ke layar. Tapi ia sadar Maia tidak tenangMaia memutar tubuhnya perlahan, menatap Juan dari samping. Suaranya keluar pelan, tapi tajam.“Kalau aku bertanya, menurutmu… kita ini orang tua yang baik atau tidak untuk Leo?”Juan tidak langsung menjawab, tapi Maia tampaknya tidak sedang ingin menunggu jawaban.“Aku tahu aku banyak salah. Aku ibu yang buruk. Aku tinggalkan Leo di masa paling penting dalam hidupnya. Aku mengabaikan dia… Bahkan mungkin saja dia sudah lupa bau tubuh ibunya…” suara Maia mulai bergetar, tapi masih tert
Maia mengingat sebuah pagi yang kacau. Hari itu Mariana bercerita tentang sekolah Leo. Saat itu Leo memukul seorang anak. Tapi tak pernah jelas siapa korbannya, karena kasus itu mendadak ditutup rapat. Mariana bilang Juan sudah membereskan semuanya tanpa banyak penjelasan.Jantung Maia berdebar. Ia ingin bertanya, ingin memastikan. Tapi di saat yang sama, Mariana menarik pelan lengannya.“Nyonya, mari kita pergi. Ini tidak penting.”Maia mengangguk pelan. Ia menunduk sopan ke arah si ibu gemuk dan berkata pelan, “Maaf atas ketidaksengajaan tadi.” ia menuruti Mariana untuk tetap diam.Langkah Maia terhenti hanya beberapa meter dari mobil. Suara nyaring ibu tambun itu kembali membelah udara, tak peduli berapa pasang mata yang mulai memperhatikan.“Hei! Jangan seenaknya minta maaf lalu kabur begitu saja! Masalah belum selesai, wanita sombong?!”
Matahari belum tinggi saat aroma harum daging panggang memenuhi dapur. Maia berdiri di dekat meja makan, menata piring dan gelas dengan hati-hati.Ia mengenakan blus krem sederhana dan celana kain abu-abu, wajahnya tampak lebih cerah dari biasanya. Tidak ada lagi kantung hitam di bawah matanya. Semalam ia tidur nyenyak sambil bergandengan tangan dengan Juan.Langkah kaki terdengar dari arah tangga. Juan muncul dengan enampilan terbaik seorang pimpinan perusahaan. Pria itu diam sejenak di ambang pintu, memandangi punggung istrinya yang sibuk menyendok selai ke roti."Selamat pagi," sapa Juan pelan.Maia menoleh, tersenyum kecil, “Pagi... Mau kopi atau teh? Mariana sudah membuatkan keduanya dan masih hangat,”“Kopi saja,” jawabnya. Ia mendekat dan duduk di kursi dekat jendela, mengamati gerak-gerik Maia dengan mata yang jernih. Tidak ada lagi dingin di
Kamar itu sunyi. Hanya suara detak jam dinding dan hembusan AC yang terdengar samar.Juan memutar tubuhnya menghadap dinding. Helaan napasnya panjang, seperti ingin menunjukkan bahwa ia siap untuk tidur. Tapi terlalu rapi dan terkesan terlalu dibuat-buat.Maia yang duduk di sisi tempat tidur menatap punggung Juan dengan senyum geli, “Tidur cepat sekali. Padahal barusan masih bicara soal keteguhan,” gumamnya pelan, cukup jelas untuk terdengar oleh Juan yang masih berpura-pura terlelap.Tak ada respons. Juan tetap diam, matanya tertutup rapat, bahkan napasnya mulai diatur seolah benar-benar tertidur.Maia menggigit bibir bawahnya, menahan tawa. Ia mengendap pelan mendekat, lalu mengangkat satu jari telunjuknya.Toel…toel…toel…Jarinya mulai menoel pipi Juan. Satu kali. Dua kali. Lalu ia berbisik dengan nada menggoda, “Ck... ini suami jenis apa, sih? Sok-sokan nguji kesungguhan istri, tapi dia sendiri takut-takut mencium istrinya. Bahkan tidur pun pura-pura...”Juan menahan senyum. Tapi