"Jangan pernah katakan hal seperti itu, Dek. Abang ingin kamu cepat sembuh. Melihatmu sakit saja sudah membuat Abang kehilangan separuh semangat. Kamu mau membunuh Abang dengan bercerai saat raga masih menyatu dengan ruh? Bunuh saja Abang sekarang, Dek," sentak Bang Yaqin, meletakkan tanganku di lehernya.Ia menitikkan air mata di hadapanku gara-gara kalimat yang juga menyakitiku. Aku sama terlukanya karena memang cintaku semakin subur melihat kesabaran Bang Yaqin mengurus keluarga. Rumah tangga kami tidak seoleng yang kukira. Dia tetap bisa berpikir waras di saat keadaanku seperti ini. Aku sengaja mengatakan akan berpisah karena merasa sudah banyak hutang budi pada Nadia. Perlahan juga binar cinta mulai terlihat di netra suamiku. Jika aku sudah sembuh, berarti bisa beraktivitas tanpa membebani mereka lagi. Hampir setahun menjadi manusia tak berguna itu rasanya menyakitkan. Angan-angan banyak, tapi raga tak mampu melakukannya. Berbagai cita-cita yang sempat kami rencanakan tinggal
Selesai sarapan, aku tak melewatkan kesempatan untuk memeluk ketiga anakku. Seperti mau pergi jauh dalam waktu yang lama. Padahal aku akan pulang jika sudah sembuh dan semoga saja pengobatan ini cocok padaku. Aku tak sempat lagi bicara dengan Olin karena gadis itu seolah menjauh dariku. Dari wajahnya aku menduga kalau Olin seperti takut dengan salah satu anggota keluarga ini.Jika itu memang benar, aku akan menelponnya nanti saat dia sudah pulang ke rumahnya. Dia berhutang penjelasan padaku. "Baik-baik di sini, ya, Nak. Kamu harus bisa jaga adik-adikmu," ujarku, lalu mengecup kening putriku. "Iya, Ma. Mama cepat sembuh, ya," balasnya. Aku menggangguk, lantas memeluknya sekali lagi. Aku dan Bang Yaqin berangkat sekitar tengah delapan menuju tempat pengobatan yang dimaksud oleh bos suamiku. Menghabiskan sekitar dua jam perjalanan melewati jalan raya, lalu masuk lagi ke dalam. Jalannya sudah beraspal, tapi jarak rumah lumayan jauh-jauh. Mobil berhenti di depan sebuah rumah bercat w
"Jangan suka mempengaruhi pikiran pasien, Pak Dokter! Dokter suka kalau seorang istri membenci suaminya? Kalau iya, berarti kamu tak lebih seperti saudara setan," cibirku. "Jangan terlalu tegang, Bu Nurul. Saya cuma bercanda. Gak mungkinlah suami Anda yang kelihatan baik itu tega berbuat jahat pada istri yang ia cintai," tepisnya dengan seulas senyum. Aku beristighfar. Betapa mudahnya aku terpengaruh dan sedikit curiga pada suami sendiri hanya karena ucapan orang yang baru kukenal ini. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat dalam menjalani bahtera rumah tangga. Jika memang Bang Yaqin tidak mencintaiku lagi dan ingin melabuhkan cinta seutuhnya pada wanita lain, kenapa tidak dari dulu? Rasa curiga masih menguasai hati. Olin, Nadia ataupun suamiku pun memang berpotensi menjadi pelakunya. Atau bahkan ibu mertua yang sering menjengukku. Namun aku tak ingin langsung menuduh salah satu di antara mereka, apalagi suamiku sendiri. Dia bagai malaikat dalama hidupku. Berkat kemurahannhatinya,
"Jangan tegang begitu, Bu Nurul! Saya cuma bercanda. Saya tidak lupa kalau Anda itu sudah punya suami yang sangat mencintai Anda tentunya. Lina, tolong suapi pasien kita," ujar Dokter Endru, lalu tertawa sekilas. Ia menggeleng-gelengkan kepala seolah yang ia katakan barusan adalah lelucon. Padahal hatiku sudah ketar-ketir, takut kalau dia beneran mau menyuapiku. Entah kenapa, sejak pertama bertemu, aku merasa tatapannya aneh padaku. Apakah itu perasaanku saja atau memang ada sesuatu? Tapi seingatku, kami tidak pernah bertemu sebelumnya. Aku juga pertama kalinya menginjakkan kaki di desa yang asri ini. Aku menepis pikiran agar tidak berkelana pada sang dokter. Aku ini sudah bersuami dan punya tiga anak yang harus kupikirkan masa depannya. Ikhtiarku sekarang hanyalah dengan berusaha cepat sembuh. Memunguti keping-keping ingatan kebersamaanku dengan anak dan suami sebelum semuanya terlambat menjadi debu yang tak bisa lagi direkatkan. Mereka segalanya bagiku. Selesai makan, aku diban
"Kenapa bukan kalian saja yang nikah, Lin? Kalian cocok loh. Kalian juga bukan saudara kandung. Serasi banget jadi partner kerja juga teman dalam kartu keluarga," kekehku, menyerang balik gadis itu. Wajahnya bersemu malu, sepertinya memang suka dengan sang dokter, tapi belum bersambut saja. Atau si dokter gak tahu kalau ada wanita cantik yang mengangumi dirinya."Kakak bisa saja. Saya bukan selera dokter Endru," balas Lina, masih senyam-senyum."Hmm, belum nyadar mungkin kalau bidadarinya sudah ada di dekatnya. Kamu usaha dong, katakan perasaanmu padanya. Kalau diam-diam saja, mana dia tahu. Jangan-jangan kalian saling mencintai dalam diam," godaku. "Malu lah, Kak. Masa perempuan nyatakan perasaan duluan," balasnya."Bunda Siti Khadijah saja meminta pelayannya untuk melamar Rosululloh jadi suaminya. Itu bukan suatu hal yang berdosa, Dek," balasku.Lina tersenyum, memilin-milin ujung jilbabnya yang sekarang memakai gamis. Ia lalu pamit mau ke belakang. Aku menggeleng-mengelengkan
"Ada apa, Kak Nurul?" tanya Lina, mengguncang bahuku. Aku tak bisa menjawab karena tengggorokan rasnya tercekat. Air mataku juga semakin deras membasahi pipi. Lina mengambil ponselku, lalu matanya membulat dan beristighfar. "Ada apa?" tanya Bu Tyas panik. Aku sudah merosot ke lantai memeluk lutut. Saat aku sudah siap pulang, kenapa badai selalu datang merobohkan pertahananku?"Aku tidak mau pisah dengan Bang Yaqin, Bu. Aku tidak mau. Aku sudah sehat, tidak akan merepotkannya lagi," isakku. Tangan wanita tua itu mengusap-usap kepalaku. Tangisku semakin kencang, meluapkan perasaan yang seperti ditusuk ribuan jarum. Dokter Endru yang masih bingung langsung mengetatkan rahang saat membaca pesan di ponselku. "Laki-laki tak bertanggung jawab. Jadi dia sudah menikah dan meninggalkanmu? Astaga, kenapa kamu bisa sangat mencintai orang sepertinya? Kamu berhak bahagia dengannya ataupun tanpa dirinya. Sekarang kamu sudah sehat dan bisa mengurus anak-anakmu lagi. Kumohon jangan menangis lagi,"
"Jangan bercanda, Dok, gak suka," balasku sewot. Dia memang suka bercanda, tapi waktunya tidak tepat."Aku gak bercanda, Nur. Serius, aku akan menyayangi ketiga anak kamu sekaligus menggantikan tugas seorang ayah untuk menafkahi mereka sampai dewasa," tegasnya.Mataku membeliak. Jujur aku sedang bingung dengan masa depanku dan juga anak-anak, tapi haruskah aku memikirkan menikah sekarang?Tidak, aku tidak siap membagi cintaku yang masih seluruhnya buat Bang Yaqin. Aku belum percaya kalau dia meninggalkanku seperti ini, apalagi sampai berpisah dengan tiga darah dagingnya.Masih terbayang saat aku mengatakan akan berpisah dengannya setelah sembuh, pria kesayanganku itu begitu marah. Dia memberiku pilihan agar membunuhnya saja daripada berpisah saat raga masih bisa bernapas. Lalu dimana bukti semua kata-katanya yang melenakan itu?Aku masih berharap kalau priaku itu akan kembali dan meminta maaf. Aku tidak keberatan suamiku tetap berpoligami meskipun aku sudah sehat. Aku tidak bisa egoi
"Nurul, kan? Istrinya Yaqin?" tanya seorang ibu yang kebetulan lewat."Iya, Bu," balasku sambil menyunggingkan senyum. Aku tidak terlalu kenal dengan warga sini karena beberapa bulan setelah menikah, Bang Yaqin mengajakku tinggal di kontrakan sederhana sebelum akhirnya bisa membeli rumah. "Ibu dengar kamu lumpuh, sekarang udah sehat, ya?" tanyanya lagi."Iya, Bu. Atas izin Allah.""Alhamdulillah. Ibu tinggal dulu, ya," pamitnya dengan seulas senyuman aneh sambil melihatku dari kepala sampai kaki."Kita masuk, Nur. Kamu tidak usah heran kalau orang sini sangat ingin tahu masalah tetangganya. Ada yang benar-benar peduli, tapi sebagian cuma mencari informasi untuk digosipkan. Bapak harap kamu bisa menyesuaikan diri," ujar Bapak.Aku mengangguk paham. Tidak jauh beda kehidupan masyarakat sini dengan tempat tinggalku, walaupun lebih dekat dengan kota.Aku menatap sekeliling, mencari keberadaan hewan berbulu dan bisa terbang itu. Setahuku, Bapak sangat hobi memelihara burung hingga tidak a