tekan tombol subs yuk. Awalnya pernikahan Nurul dan Yaqin sangat bahagia. Yaqin yang suka bertingkah konyol terpaksa harus dewasa dan terus berurai air mata saat istrinya lumpuh. Demi kebaikan anak-anak, ibunya mendesak Yaqin menikah. Apakah posisi Nurul di hati Yaqin akan tergeser karena istri keduanya tak lain adalah teman masa kecilnya. ataukah Nadia lah yang tidak mendapatkan keadilan karena suaminya hanya fokus ke istri pertama? ikuti ceritanya ya
Lihat lebih banyakISTRI SEMPURNAKU
"Pita! Cepat mandi, Nak! Mama lagi suapin adek. Wandi! Cepat susun mainannya, Nak!"
Suara istriku bergema dari arah dapur. Sepertinya Nurul tak mendengar suara kenderaan roda empatku berhenti di halaman, karena biasanya dia langsung menyambut dan mencium tanganku dengan takzim.
Hari ini aku memang sengaja pulang lebih cepat untuk melihat aktivitas istriku. Setiap aku pulang, semuanya sudah bersih dan dia juga berdandan menyambutku. Tiada pernah ia bercerita kalau anak-anak kami begitu menyibukkannya setiap hari.
Aku masuk tanpa mengucapkan salam dan kebetulan pintu rumah terbuka sedikit.
Pandanganku nanar menatap anak kedua kami yang berusia tiga tahun. Semua mainan berserakan di lantai karena anak lelaki kami itu sangat aktif.
"Mandinya yang bersih, Nak!" seru istriku lagi. Ia menyusul ke kamar mandi untuk melihat anak perempuan kami yang berusia lima tahun. Dapat kulihat dengan jelas, dia masih menggendong bayi tujuh bulan kami yang belepotan bubur nasi. Dari ruang tamu ke dapur yang di lengkapi kamar mandi memang hanya menggunakan sekat setinggi ketiak orang dewasa.
Kukira selama ini aku yang paling capek kerja di kantor. Tadi salah satu rekan bisnisku bercerita kalau mereka baru punya anak satu dan istrinya sudah kerepotan. Mereka harus memperkerjakan asisten rumah tangga untuk membantu urusan rumah.
"Hati-hati, Nak! Lantainya licin," seru Nurul lagi. Ia menuntun putri kami berjalan keluar dari kamar mandi.
"Abang sudah pulang?" tanya istriku saat pandangan kami bertemu. Netraku sudah basah melihat repotnya istriku. Dia tak banyak menuntut karena Nurul memang wanita sederhana yang menemaniku mulai dari nol. Akulah yang salah, tidak peka dengan kesusahannya.
"Ma-maaf, Bang. Semuanya masih berantakan. Abang ke kamar saja. Nanti aku buatin teh hangat ya," ujarnya dengan wajah bersalah.
Aku menggeleng. Kuletakkan tas kerjaku di tempat yang tidak terjangkau Wandi, anak kedua kami.
Kutuntun istriku ke kamar dan mendudukkannya di bibir ranjang.
"Maafkan Abang selama ini tidak pernah membantu, karena kamu tidak pernah mengeluh. Kamu ganti baju sama dedek Dimas, lalu istirahat. Semuanya biar Abang yang bereskan," ujarku.
Nurul masih menatapku bingung. Kutinggalkan istri dan anak bungsu kami di kamar dan bergegas membantu Pita memakai bajunya. Untung saja dia sudah bisa memakai pakainnya meskipun belum rapi.
"Papa yang sisir rambutnya, ya," tuturku.
Pita mengangguk.
"Aw, sakit, Pa. Yang lembut lah, Pa, kayak Mama," protes putriku.
Beberapa menit aku habiskan untuk menyisirnya. Aku beralih mengambil bedak tabur dan menepuk-nepukkannya di wajah Pita.
"Papa, Pita jadi kayak hantu kalau bedaknya tebal begini," protes gadis cantikku.
Karena tanganku sedikit basah, wajahnya jadi berdempul bedak. Astaga, untuk membedaki anak saja pakai teknik khusus.
Pita mengeringkan wajahnya hingga tertinggal polesan tipis.
Aku menghela napas. Kerjaan begini saja sudah membuatku keringatan. Namun ini belum selesai, masih ada mainan Wandi yang harus kurapikan.
"Ayo dimasukkan ke keranjang mainannya, Wan," ajakku.
Ya Robbi, bedak yang tidak kututup tadi sudah dimainkan Wandi hingga berserakan di lantai.
"Hati-hati, Wan! Lantainya licin," seruku cemas saat melihat bocah aktif itu berlari-lari.
Akibat tidak hati-hati, aku terpeleset setelah menginjak lantai yang kena tumpahan bedak. Ya Allah, ini lumayan sakit. Tapi ini lebih baik daripada anakku yang jatuh.
"Sakit ya, Pa?" tanya Pita, mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri.
"Enggak kok, Nak," balasku, berusaha tersenyum, menirukan mimik istriku yang tidak pernah mengeluh.
Aku berdiri dan segera mengumpulkan mainan yang dibantu putriku. Setelah selesai, aku mengepel lantai yang terkena tumpahan bedak tadi. Lumayan susah hingga lantainya tidak licin lagi.
"Jagoan Papa mandi dulu, ya," bujukku. Mendengar kata mandi, Wandi langsung bersemangat. Hampir setengah jam ia habiskan waktu bermain air hingga bajuku pun basah.
"Bang, biar aku saja," ujar Nurul. Ia membujuk bocah super aktif kami dan langsung menurut. Sebegitu tak dekatnya kami sehingga anakku tidak mau mendengarkan ucapanku. Padahal, ucapanku dan Nurul tidak jauh berbeda.
Nurul dengan cekatan memandikan, memakaikan baju dan menyuruh Wandi tidur siang. Speaker murottal Al-Qur'an menemani tidurnya hingga terlelap.
"Kenapa Bang Yaqin cepat pulang? Aku belum sempat mandi, Bang. Pasti bau kan. Dedek Dimas baru saja tidur," ujar Nurul dengan wajah sedih.
"Sesekali aku pengen bantu kamu, Dek. Ternyata pekerjaanmu melibihi capeknya kerjaan Abang di kantor. Maafkan Abang sering main game setelah pulang kerja. Maafkan suamimu yang sering bersantai di saat libur. Padahal kita satu tim untuk mengurus keluarga kecil kita ini," tuturku, mencium tangannya dengan penuh cinta.
"Abang kok jadi mendadak aneh begini?" tanya Nurul dengan wajah serius. Sudah lama aku tak bersikap seperti ini.
"Abang serius, Dek. Abang akan mencari orang untuk bisa meringankan pekerjaanmu. Ini daster koyak juga harus diganti. Kita mulai kehidupan rumah tangga yang lebih baik agar cinta kita semakin kokoh."
Kuajak dia duduk di sofa.
"Aku ingin menguatkan ikatan cinta kita agar tidak ada wanita lain di luaran sana yang mencoba masuk ke dalam hubungan kita. Jabatan Abang yang sudah bagus membuat para wanita silau dan ingin ikut menikmati jerih payah Abang. Padahal yang paling pantas mendapatkann itu semua adalah kamu dan anak-anak kita," tuturku.
Istriku menangis dan memelukku erat.
"Kukira Abang sudah berubah. Kusangka aku sudah bukan selera Abang. Maafkan Nurul tidak bisa mengimbangi karir dan penampilan Abang," lirihnya.
Aku mendekap tubuhnya sambil mencium pucuk kepala ibu dari anak-anakku. Bukan dia yang tak bisa mengimbangi, akulah yang tak peka dengan kegundahan hatinya.
"Besok kita shoping dan ke salon ya, Dek," ajakku karena besok hari libur.
"Tapi anak-anak sama siapa, Bang?" tanyanya cemas.
"Abang yang akan menjaga mereka," ujarku meyakinkan.
"Beneran, Bang?" tanyanya lagi.
"Iya, Sayang. Benda apa yang pengen kamu beli, Dek?"
"Sutil," balasnya singkat. Aku tertawa. Masa di pikirannya cuma ada sutil.
"Itu saja?" tanyaku sambil terkekeh.
"Panci, baskom, teflon, gayung, sendok makan, garfu, talenan, baju, tas, sepatu, bedak, gincu, parfum, âŚ."
"Stop! Abang pingsan dulu," ujarku karena sudah menahan nafas mendengar daftar panjang belanjaan besok. Nurul tertawa dan mencubit pinggangku dengan pelan.
Astaga, mungkin lebih baik tokonya saja diangkut ke sini. Istriku ternyata punya banyak kebutuhan dan juga keinginan.
Yaqin menautkan jemarinya yang dingin saat berkali-kali menghapal ijab qobul sebelum pengantin wanitanya datang."Kayak baru pertama kali mau ijab qobul aja, Mas. Keringatan gitu. Santai saja dong," ledek Pandi, calon suami sang pemilik panti. Ia menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Yaqin yang ia dengar kabar pernah beristri dua. "Ini jauh lebih mendebarkan, Pan. Sebentar lagi kamu juga akan merasakan hal yang sama saat mau menikahi Isma," balas Yaqin. Pandi tersenyum dan melirik calon istrinya sekilas. Mereka ikut bahagia melihat kisah cinta yang tak biasa itu. Tak berapa lama, rombongan pengantin sudah datang. Sengaja tak menggelar acaranya di hotel agar anak-anak panti ikut menyaksikan acara bahagia itu. Pandi yang merupakan pengusaha sekaligus youtuber terkenal sudah menyiapkan tim untuk mengabadikan kisah mengharukan ini. Mengabarkan pada dunia bahwa pasangan ini layak disebut sebagai pecinta sejati. Kesalahpahaman yang sempat memisahkan, tapi kalau sudah ditakdirkan be
"Tidak usah dengarkan dia, Nurul. Jangan sampai hatimu merasa terpaksa mengiyakan keinginan anak ini. Dia pergi dan meninggalkan luka untuk kita semua. Sekarang Bapak adalah orang tuamu, jadi turuti perkataan Bapak," tegas pria yang memiliki andil menghadirkan aku ke dunia ini. Matanya berkaca-kaca, tapi tetap menampilkan ketegasan di hadapan semua orang. Bapak, orang yang sangat membelamu sejak dulu. Sekarang beliau begitu marah kepadaku. "Kamu memang gak punya malu, ya, Qin. Baru pertama berjumpa setelah sekian tahun, kamu berani mengajaknya dalam kesusahan. Bikin malu saja. Orang mengajak bahagia saja, masih ada susahnya juga. Apalagi niatnya mau menyusahkan Nurul."Ibu pun ikutan bicara. Nurul masih saja bungkam. Jika memang dia menolakku, aku sudah siap. Aku hanya mengekspresikan rasa yang ada dalam hati ini. Aku butuh dia. Dia, wanita sempurna di hatiku dan selamanya akan begitu."Aku ingin tanya satu hal, boleh?" tanya Nurul. Aku mengangguk pasti. Mendengar suaranya saja s
"Iya, kami udah sampai, Nad, tapi belum ketemu sama orangnya," jelasku pada Nadia melaui sambungan telepon. "Hati-hati, ya, Mas. Aku merindukanmu. Kamu harus pulang ke rumah sebelum maghrib. Aku mau buatkan makanan spesial untukmu," balas wanita yang akrab disapa Bunda oleh anak-anakku. "Iya, Mas juga merindukanmu," bisikku, lalu menutup telpon. Takut kalau Nurul cemburu dan justru itu bisa memperngaruhi kesehatannya. Aku mau memutar badan saat ponselku bersering lagi, ada panggilan masuk dari bosku. Aku begitu antusias saat mendengar kabar gembira dari bos. "Baik, Pak. Makasih telah mempercayakan saya untuk proyek besar ini. Bapak memang orang baik, sangat peduli dengan karyawan biasa seperti saya. Saya akan segera ke sana," ujarku, mengakhiri perbincangan melalui ponsel dengan atasan. Berita ini sangat bagus karena aku memang butuh biaya banyak. Aku punya dua istri dan tiga anak yang merupakan tanggung jawabku. Aku tidak mau kalau Nadia terlalu banyak mengeluarkan uang untuk ke
"Ibu, Bapak, Puspita, Wandi, Dimas!" panggil Nurul membuat jantungku hampir copot. Belum usai keterkejutanku bertemu dengannya, yang lainnya juga ternyata ada di sini. Entah apa yang membawa mereka ke panti asuhan ini. Tergopoh-gopoh Ibu dan Bapak menyongsong wanita yang tetap cantik itu, sementara aku panik. Entah mau bersembunyi di mana.Detak jantungku berpacu lebih cepat, was-was seperti buronan yang tertangkap polisi. Peluh membasahi pelipis dan bajuku pun dibanjiri keringat. Aku ingin menghilang dari sini, tapi tak punya daya. Aku bukan Yaqin yang dulu. Aku tidak berdaya, hanya insan lemah yang akan menyusahkan orang-orang yang kusayang. "Ada apa, Nur? Kamu bikin kaget Bapak sama Ibu saja. Kamu baik-baik saja, kan, Nak?" tanya Ibu dengan raut cemas. Beliau masih cantik meskipun sudah menua. Perhatian beliau masih sama seperti dulu saat aku memperkenalkan Nurul sebagai calon menantu.Aku melirik dengan ekor mata dan terasa berkaca-kaca saat wanita yang melahirkanku begitu khaw
Aku menyajikan minuman dan kue untuk Ibu dan Bapak yang sedang mengobrol dengan bersuka cita bersama dokter Endru dan Bu Tyas.Sejak aku resmi bercerai, Ibu dan Bapak sangat bersemangat. Mereka semakin senang saat dokter Endru mengabarkan akan datang beberapa hari lagi. Aku gelisah hingga sekarang orang yang ditunggu mantan mertuaku telah ada di depan mata.Dokter Endru sesekali melirik padaku dan mengajak bicara Dimas. Sejak pria berkemeja garis-garis itu datang, ia begitu bahagia. Mungkin karena merindukan sosok seorang ayah yang perhatian, Puspita, Dimas dan Wandi antusias saat dibawakan bermacam mainan. Aku merasa seperti disogok melalui anak-anak. Aku berhutang budi pada mereka, tapi apakah aku harus berkorban perasaan? Pernikahan tidak sekadar hubungan sebulan dua bulan, melainkan seumur hidup. Tapi jika aku menolak, banyak hati yang kecewa. Aku bimbang. "Duduk di sini, Nak. Sejak tadi kamu pura-pura sibuk saja," ujar Ibu sambil mengulum senyum. Aku tersenyum hambar dan dudu
"Kalian tidak malu menangis di sini? Orang-orang yang lewat bisa heran melihat kelakuan kalian. Pita saja tahu kalau mau menangis itu bukan di ruang terbuka. Ayo kita nangis di dalam saja," ujar Bapak, menyusut sudut mata dengan telunjuk. Sindiran halus yang mengena ke hati. Aku melonggarkan pelukan di bahu Ibu mertuaku dan mengusap mata dengan kasar. Kenapa kami malah terlena dalam kesedihan? Putriku lagi butuh penjelasan. Aku bersegera masuk dan mengetuk pintu kamar putriku. Kulihat gadis kecil sainganku itu sedang telungkup di atas ranjangnya. "Sayang, kamu kenapa menangis sih?" tanyaku sambil mengusap-usap rambutnya yang lurus sebahu. Gadis berwajah manis itu duduk dan menghadapku. Dengan jempol kanannya, ia mengusap pipiku. "Ibu sama Nenek menangis gara-gara Pita, ya, Ma. Maafkan Pita telah nakal," ujarnya sambil mencium tanganku. Ah, putri solehaku. "Ibu yang harusnya minta maaf karena tidak bisa bahagiain Pita," balasku. "Enggak, Bu. Pita janji tidak akan marah-marah l
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen