"Aku mau pulang sekarang, Mas," ucap Dira saat aku baru saja masuk ke ruangannya setelah menelpon Karenina. "Kenapa? Dokter bilang kamu istirahat dulu di sini," balasku berusaha tetap tenang. "Aku mau pulang sekarang!" Dira sedikit membentak. "Kamu baru kuret, Dira. Istirahatlah dulu," balasku lagi sembari mengusap lengannya. "Anak-anak butuh aku, Mas. Apalagi Arvin baru sembuh. Aku nggak mau melihatnya sakit lagi. Untuk sementara, aku tinggal bersama ibu boleh?" tanya Dira dengan mata berkaca. Sebenarnya aku takut jika dia tinggal di rumah ibu. Takut jika ibu atau Dina keceplosan bicara atau Karen melihat Dira saat dia video call dengan Dina. Karen pasti bertanya banyak hal pada adik perempuanku itu sebab selama ini aku memang belum pernah memperkenalkan Dira pada Karenina. Bukan tanpa sebab aku menyembunyikannya, meski Dira tak mungkin terus terang pada Karen siapa dirinya. Hanya saja Arvin dan Irvan selalu memanggilku ayah, mereka tak mengenal Mas Rangga dan hanya tahu akulah
POV : Arga"Ka-- Karen?!" Aku makin gelagapan saat melihat Karen sudah ada di rumah ibu. Dia berdiri di samping pintu sembari menatapku dan Dira yang masih membisu di halaman. Tak lama kemudian, terdengar suara ibu dan Dina yang bersahutan. Dina muncul di ambang pintu dengan tatapan entah. Melihatku sekilas lalu beralih ke arah Karen yang masih mematung di sampingnya. "Ayo masuk, Mas," ajak Dira di belakangku. Dia melangkah perlahan mendahuluiku yang masih membeku. Aku bingung, apa yang akan kulakukan sekarang? Kulihat Dira berhenti sejenak di depan Karen yang masih menatapnya tajam, lalu masuk ke dalam rumah diiringi teriakan anak-anak memanggil ibunya. "Siapa yang sakit, Mas? Saudaramu atau istrimu?" tanya Karen tak berkedip saat melihatku. Sementara Dina merasa tak enak hati hingga dia kembali ke dalam rumah setelah menatap kami bergantian. "Duduk dulu, Sayang. Aku akan jelaskan semuanya," ucapku berusaha menenangkan. Kulingkarkan tanganku ke lengannya, namun Karen berusaha me
POV : ArgaAku tahu, itu adalah senyum untuk menertawakan dirinya sendiri atau mungkin menertawakan ucapanku saja. Senyum pasrah yang terpaksa sebab tak bisa berbuat apa-apa. "Kamu lupa dengan semua janjimu pada bapak, Mas. Dan itu membuatku sangat sakit. Jika sejak awal kamu bilang sejujurnya, mungkin aku tak terlalu mencintai dan menyerahkan seluruh hatiku padamu. Sayangnya, kamu menipuku sejak awal menikah bahkan hingga tiga tahun setelahnya," ucapnya lirih. Aku menelan saliva. Kutahu perasaannya detik ini. Dia pasti kecewa. Semua memang salahku. Aku tak mampu menceritakan padanya tentang masalah ini sejak awal menikah dulu sebab aku terlalu takut kehilangan dia. Aku terlalu mencintainya. Rasanya nggak sanggup jika harus melihatnya pergi hanya karena masalah ini. Pernikahanku dengan Dira bukan karena cinta, hanya karena aku menghormati wasiat Mas Rangga saja. Aku pikir, setelah Dira bisa menata hati dan hidupnya lebih baik, aku akan meninggalkannya. Dengan begitu aku tak terlal
POV : Karenina Perjalanan panjang dalam hidupku akhirnya berada di titik ini. Titik di mana aku merasa terlalu sakit dan rapuh. Benar kata bapak, jika kita terlalu mencintai dan berharap pada manusia yang ada hanya kecewa sebab hati manusia memang sering kali terbolak-balik. Namun jika memasrahkan semua padaNya, tentu hati aman ikhlas dan tenang sebab percaya apapun yang akan terjadi, itulah yang terbaik untuk hidup kita sekalipun menurut kita itu tak ada sisi baiknya. Allah tahu apa yang kita butuhkan, bukan sekadar kita inginkan. Berulang kali bapak memberi nasehat agar aku tak terlalu 100% mempercayai seseorang, sebab bisa saja dia akan berubah seiring berjalannya waktu. Nafsulah yang akan mengubahnya. Namun dulu aku tak percaya jika cintaku pada Mas Arga akan membuatku sekecewa ini. Setiaku, cintaku dan pengorbananku selama ini untuknya, ternyata dibalas dengan sebuah sandiwara. Itu menyakitkan meski cinta dan kasih sayangnya selalu tercurahkan. Kejadian di rumah sakit itu be
"Maksudmu apa, Karen?" Mas Arga membulatkan kedua matanya. Aku yakin, tak pernah terbesit sedikit pun di benaknya jika aku akan mengambil keputusan ini. "Aku nggak bisa jika harus berbagi hati. Sampai kapanpun aku nggak akan pernah bisa," balasku lagi. Kuseka air mata yang menetes ke pipi lagi dan lagi. "Karen ... kita hanya butuh waktu agar Dira mandiri dan bisa merawat anak-anaknya sendiri. Dengan begitu aku tak akan dihantui rasa bersalah seumur hidupku jika meninggalkannya. Percayalah, aku tetap memilihmu sebab hanya kamu yang ada dalam hatiku saat itu, detik ini dan kapan pun." Mas Arga kembali mengiba dan memohon. Tak tahukah dia, dengan ucapannya itu sudah membuktikan bahwa dia memang belum pantas beristri dua. Dia masih berat sebelah dan itu terlalu ketara. "Aku tahu, Mas. Karena itu pula aku tak ingin memaksamu. Aku ingin kita berpisah secara baik-baik. Kita bisa bersilaturahmi selayaknya saudara." Aku menatap kedua matanya yang basah. Kucoba mengatakannya sekalipun rasa
POV : Karenina Mas Arga dan ibu gegas ke dalam rumah, meninggalkanku sendiri di teras. Aku tak terlalu peduli, bahkan saat Dina keluar dan memintaku untuk ikut masuk. "Ayo, masuk dulu, Mbak. Mbak baru aja sampai, pasti sangat capek. Istirahat di kamarku yuk," ajak Dina sembari tersenyum tipis. Seperti biasanya, Dina memang selalu melakukan hal yang sama tiap kali aku datang ke Jogja. Tak ada yang berubah darinya. Tetap perhatian, manja dan lembut. Ibu pun sebenarnya sama. Tak ada yang berbeda. Hanya saja saat ini aku merasa tak dihargai. Mereka mengabaikan perasaanku yang kecewa dan terluka. Apakah mereka tak sepeduli itu padaku? Seakan menganggapku akan tetap baik-baik saja dengan segala sandiwara mereka selama ini. Apakah hanya perasaan Dira dan anak-anaknya saja yang harus dijaga sedemikian rupa? Sementara aku ... seakan dibiarkan begitu saja. Entahlah. Aku tak tahu apakah ini hanya perasaanku saja atau memang mereka sengaja mengiyakannya. Yang pasti hingga detik ini hanya Din
"Ayo masuk dulu, Mbak. Biarlah Mbak Dira sama ibu, Mbak Karen sama aku aja yuk. Kita ngobrol-ngobrol seperti biasanya. Aku masih kangen loh, Mbak. Masa udah mau pulang, sekalian bareng Mas Arga saja pulangnya," rengek Dina lagi. Tak tega membuatnya kecewa, aku pun mengiyakan saja. Aku penasaran apa yang dilakukan Dira dan Mas Arga di dalam. Kenapa Mas Arga nggak keluar lagi sekadar memintaku masuk ke rumah. Di ruang keluarga hanya nampak ibu yang masih memijit lengan Dira, sementara Mas Arga tak ada di sana. Kamar ibu sedikit terbuka, mungkin dia masih menidurkan anak sambungnya di sana. Suara mereka tak terdengar lagi setelah tadi cukup histeris, menangis bersahutan. "Ren ... istirahat di kamar Dina dulu ya? Dira barusan pingsan. Jadi ibu menemaninya sebentar. Kamu nggak apa-apa sama Dina aja kan?" tanya ibu saat menoleh ke arahku. Perempuan itu sudah sadar, tapi masih terbaring di sofa sementara ibu duduk di sofa single di depannya sembari memijit lengan dan keningnya. Aku da
POV : Karenina"Jangan pernah berpikir aku akan terus diam, Karen. Dulu aku tak peduli sebab aku memang belum menyukai Mas Arga, tapi sekarang kondisinya berbeda. Kelembutan, tanggungjawab dan keikhlasan Mas Arga membuatku semakin mencintainya. Dia adalah ayah SMA ung terbaik untuk anak-anakku. Jadi, aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan cintanya. Bertahanlah kalau kamu mau berbagi hati, kalau nggak sanggup mundurlah daripada terus sakit hati," ucap perempuan itu lagi setelah aku sampai depan pintu kamar mandi. "Ternyata dugaanku benar tentangmu, Dira. Kamu tak sepolos yang mereka kira. Kamu culas. Kamu licik dan kamu-- "Cukup! Tahu apa kamu tentang hidupku. Kamu hanyalah benalu dalam rumah tanggaku dan Mas Arga. Ingat statusmu yang kedua. Kamu tahu apa artinya kedua? Itu artinya kamu sengaja hadir dalam hidup kami!" ucapnya lagi sembari tersenyum sinis. "Aku banyak tahu tentangmu, Dira. Jangan kamu pikir aku tak tahu apa-apa!" sentakku tak mau kalah. "Tahu apa?"