"Jika nanti kamu sembuh, aku bisa menjatuhkan talak untukmu. Dan kamu bisa pergi seperti kemauanmu." Alzam masih menerangkan maksudnya. Dia mendengar dari cerita Mbok Sarem kapan hari kalau Lani rajin minum obat dan rajin makan walau mulutnya pahit, dengan mengatakan kalau dia ingin segera sembuh dan pergi.
Lani menggeleng kuat.
"Kita hanya menikah sirih, disaksikan pak kyai."
"Aku sudah pernah menyetujui pernikahan siri yang berujung dengan kesengsaraanku seperti ini, kenapa aku harus terjun kembali?"tanya Lani dengan menatap pria yang kini ada di hadapannya. "apalagi denganmu, orang yang mengingatkanku pada orang yang paling aku benci di dunia."
" Ini hanya untuk membuat kita menjadi muhrim, sementara sampai kamu kuat kembali dan aku bisa melepasmu." Perkataan Alzam agak meninggi melihat sikap Lani.
"Tidak, aku tidak ingin lagi terlibat dalam masalah," tekat Lani dengan terus menggigil. Giginya kembali gemertak.
"Entah apa masalahmu kepadaku sampai kamu seolah membenciku. Nama saja kalau tidak Mbok Sarem, kamu tak ingin mengatakannya. Siapa lelaki yang mengingatkanmu itu sampai aku kamu samakan dengannya?"
Lani hanya menajamkan matanya ke Alzam. Gemertak giginya makin keras.
Dalam bingung karena merasa bukan muhrim, Alzam menarik tangan Lani dan menggosokkan minyak kayu putih ke telapak tangan Lani dengan harapan akan menghangatkannya. Namun itu tak membantunya. Digosokkan ke kakinya, Lani bahkan menjerit karena perih sebab kakinya yang lecet- lecet penuh luka.
"Aduh, perih, perih. Kamu mau bunuh aku?"
Alzam bergegas ke kamar mandi, mengambil washlap dan mengelap kaki Lani. Namun setelah terkena air, dia malah menggigil keras.
Tak sabar lagi Alzam sudah naik ke tempat tidur dan memeluk Lani, membenamkan Lani di dekapannya dengan terus istighfar. Sampai wanita itu terlelap.
Setelah hampir semalaman Alzam merawat Lani, dia terbangun kembali setelah adzan Subuh telah berkumandang.
"Lani, kamu mau sholat Subuh?" tanyanya dengan menepuk pipi Lani.
Lani yang bangun, segera mengibaskan Alzam dari sisinya sampai Alzam hampir terjatuh.
"Kamu ghak ada rasa terimakasihnya ya, sudah aku tolong masih juga jahat padaku."
Lani terdiam. Entah kenapa benci itu ada tiap melihat matanya. Saat dia melakukannya memang dia tak sadar, hinggah dia merasa telah jahat pada pria yang menolongnya dengan baik itu.
Alzam meninggalkan Lani, beranjak ke kamarnya. Bersiap untuk pergi kerja. Namun perasaan tak enak hati membuatnya kembali ke kamar Lani.
"Lani!" pekik Alzam lalu mengangkat Lani yang tergeletak ke tempat tidur.
Lani hanya bisa menatapnya dengan diam. Rasa berputar di kepalanya yang dia derita tak jua hilang membuat keseimbangan tubuhnya sering goyah.
"Kamu sudah sholat?"
Lani menggeleng.
"Sudah wudhu?"
Dia mengangguk.
"Sholatlah, aku akan menunggumu."
"Tapi ini sudah kesiangan. Dari tadi aku tergeletak tak bisa bangun. Kepalaku berputar tiap aku bangun," ucap Lani dengan merasa bersalah telah jahat pada Alam yang begitu tulus merawatnya.
Sejenak Alzam menyesali keputusannya pergi meninggalkan Lani tadi.
"Sholatlah, aku akan panggilkan Mbok Sarem sementara aku pergi kerja," ucapnya sambil menyelimuti Lani.
Lani menatapnya dengan sesal kembali. Dia telah membuktikan kebaikannya, kenapa aku terus membencinya hanya karena dia mirip seseorang yang tak mungkin juga ada hubungannya.
"Kenapa memandangku seperti itu?"
"Enggak," Lani membuang pandangannya, berusaha mengelak.
Alzam hanya tersenyum sekilas lalu meninggalkan Lani yang memulai sholatnya dengan tidur.
"Mbok, jangan lupa sering dampingi dia, kuatir kalau dia jatuh. Baru saja dia jatuh setelah dari kamar mandi."
"Oala, kasihan sekali dia. Pikir Mbok tadi segera masak biar dia segera makan dan minum obat, ghak taunya ditinggal malah jatuh."
***
"Kamu kok tidak menelponku, apa tidak ada masalah dengan wanita itu?" tanya Dandi begitu Alzam sampai di ruangannya dan duduk di depannya.
" Dia sering menggigil. Entah kenapa. Dia juga kehilangan keseimbangan jika badannya dibangunkan. Kepalanya katanya berputar."
"Aku nanti ke sana, kita lakukan tes darah. Dia sepertinya kena puyeng bahasa jawanya. Kepala berputar itu."
"Terimakasih, Dandi."
"Kenapa kamu harus berterimakasih? Aku juga hanya bermaksud menolongnya, sama juga sepertimu."
Alzam terdiam. Dandi sampai menelisik sikap sahabatnya itu.
"Kamu ada masalah?"
"Enggak," elak Alzam. Pikirannya memang tak bisa lepas dari Lani. Sampai dia sendiri heran dengan hatinya.
"Jangan kamu bilang, kamu memikirkan gadis itu, Alzam."
"Aku sudah memikirkan dia sejak pertama melihatnya."
"Kamu mau main api?"
"Entahlah, aku tak bisa mengelaknya. Kamu tau sendiri aku bukanlah orang yang mudah jatuh cinta. Namun saat melihatnya pertama kali, aku merasakan ada yang lain."
"Lupakan, Alzam. Kamu tidak tau siapa dia. Lagipula sudah ada orang yang lebih pantas untukmu."
Alzam hanya diam, membuang pandangannya jauh ke jendela, menatap barisan anak buahnya yang masih berlari mengitari lapangan. Hari ini bahkan karena Lani aku tak lari pagi, gumannya.
Alzam sendiri heran dengan perasaannya. Bisa-bisanya dia berdebar saat mata itu pertama mengerjab. Sekarang pun dia tak sabar untuk pulang dan bertemu dengan Lani kembali.
"Kamu dengan jabatanmu, tak bisa dengan begitu saja memilih gadis sembarangan, Alzam. Kamu harus pikirkan gadis yang bisa kamu ajak hidup bersama. Gadis yang menjadi panutan untuk ibu-ibu yang lain di persit. Bukan sekedar paras yang cantik, tapi otak nol. Apalagi tidak tau asal usulnya."
"Kenapa orang berfikir jodoh saja ribet? Kalau aku, sebenarnya yang kuingin hanyalah wanita yang bisa membuat aku mencintainya, dan merindukannya setiap saat. Dan itu belum aku dapatkan di diri siapapun, sampai,.." Alzam tak meneruskan kata-katanya, dia sadar diri, pemikiran itu takkan sejalan dengan pemikiran Dandi.
"Sampai apa, Alzam?"
Menjelang pagi, suasana rumah Lani dan Alzam perlahan kembali hening setelah malam penuh kebahagiaan. Namun pagi itu juga menjadi momen yang berat bagi Mira. Ia harus berpamitan. "Lani...," suara Mira lirih, menahan air mata. "Aku pamit ya. Seperti yang kita rencanakan, aku resign. Lagian, kehamilanku udah masuk tujuh bulan. Kayaknya waktunya istirahat dan fokus siapin semuanya." Lani memeluk Mira erat. "Kamu yakin? Aku belum siap kehilangan kamu, Mir. Excel juga pasti cari-cari." Alzam menghampiri dengan senyum hangat. "Tenang aja, Lani. Kita bisa sering main ke sana. Lagi pula rumah Rey juga kan deket, cuma dua jam lebih dikit. Rey juga bisa mancing di sini." Mbok Sarem menenteng tas kecil sambil mengelus perut Mira. " Mbok doakan lancar sampai lahiran. Tapi ya itu, nanti kalau kamu lahiran, Mbok boleh ke sana, kan?" Mira tertawa kecil. "Wajib, Mbok. Nggak lengkap rasanya tanpa kehadiran Mbok." Excel yang baru bisa merangkak cepat, tiba-tiba menghampiri Mira sambil menyodorkan
Sore mengendap di antara sela-sela pepohonan di halaman belakang rumah Arhand yang dipenuhi harum rempah dan suara tawa. Tapi tak ada yang bisa menyaingi keharuan yang hadir hari itu.Di bawah naungan tenda sederhana berhiaskan lampu-lampu kecil, Arhand dan Agna duduk bersisian. Seorang kyai sepuh dari pesantren dekat rumah memimpin akad nikah yang syahdu, hanya dihadiri oleh keluarga, Evran, Arman, Manda, Thoriq, Salma, Elmi, Aksa, Alzam dan Lani. Tak ketinggalan, Arya dan istrinya yang kini telah berdamai dengan masa lalu.Mereka memang menggelar acara itu di halaman belakang rumah yang luas namun tertata rapi, para tamu keluarga duduk di atas tikar pandan, menyaksikan prosesi kecil yang begitu sakral. Tak ada gaun mewah, tak ada undangan bertumpuk, hanya kehadiran orang-orang terkasih yang telah menemani perjalanan panjang Arhand dan Agna.Evran duduk di sisi depan, menggenggam tangan Arman erat. Di sebelah mereka, Manda tak mampu menahan air mata saat melihat putranya berdiri teg
Menjelang maghrib, sebuah mobil boks putih bertuliskan nama catering ternama berhenti tepat di depan rumah Alzam. Beberapa pekerja turun dengan sigap, membongkar kotak-kotak makanan, mengangkat panci besar, dan menurunkan nampan berisi hidangan lengkap. Tak lama kemudian, satu per satu terop berdiri di halaman rumah. Warga mulai berdatangan, heran dan penasaran dengan suasana yang tiba-tiba ramai ini.Lani, yang sedang menidurkan Excel, langsung keluar begitu mendengar suara gaduh. "Mas, ini semua apa?" tanyanya dengan nada bingung.Alzam hanya mengangkat bahu sambil tersenyum, pura-pura tak tahu. "Aku juga baru lihat ini, Lani. Mungkin ada orang yang salah alamat?""Mas... jangan bercanda. Ini rumah kita. Lihat itu, teropnya sudah hampir jadi."Mbok Sarem yang baru saja selesai menyiapkan camilan untuk semua orang, ikut keluar dan berdiri di samping Lani. "Masya Allah, ini ada acara apa, to, Mas Zam? Kok kayak mau mantenan aja."Lani memutar-mutar ponselnya, mencoba menghubungi Mira.
Arhand dan Agna saling berpandangan ketika suara dari ponsel membuat mereka terdiam. Arhand mengernyit, mencoba mengenali nada bicara itu—terdengar lelah, namun juga penuh tekanan."Maaf, apa benar ini nomornya Mas Arhand?""Iya. Ini saya sendiri. Maaf, ini siapa ya?"Dari seberang sana, terdengar helaan napas berat sebelum suara lain, jauh lebih familiar namun dibalut amarah dan kekhawatiran, mengambil alih sambungan."Arhand! Astaghfirullah, kamu ke mana aja? Kami tunggu dari kemarin sore di Munding Wangi. Kamu ke mana? Omahmu ini udah nyaris sesak karena semua nanya kamu di mana!""Oma?" Arhand langsung berdiri, panik. Ia memutar langkah ke arah jendela, mencoba menjauh dari Agna agar percakapan lebih tenang. "Oma, maaf... aku—aku...""Apa kamu sama perempuan itu, hah? Oma bisa terima kamu memang sudah sah menurut negara, tapi menginap, satu apartemen? Ya Allah, Arhand... jangan cemari darah keluarga kita dengan aib!" Suara Oma Evran meninggi, dan di latar belakang terdengar suara M
Arhand merapatkan pelukannya. Hawa malam yang sejuk dari jendela balkon tetap terasa hangat di antara mereka. Agna merebahkan kepalanya di bahu Arhand, mencoba menenangkan debaran jantungnya sendiri. Aroma parfum lembut yang ia kenali sejak dulu masih melekat di kemeja pria itu."Aku nggak nyangka... kita bisa begini," lirih Agna."Kenapa? Kamu nggak suka?" tanya Arhand pelan, hampir seperti berbisik di telinga."Suka... Tapi takut," jawab Agna jujur."Takut kenapa?""Takut kita kelewatan. Kita bawa diri ke tempat yang terlalu nyaman, lalu kita kehilangan kendali."Arhand menarik napas panjang, tapi tak menjauh. Sebaliknya, ia justru menyentuh pipi Agna dengan lembut, menatap wajah perempuan itu dengan serius."Aku bawa kamu ke sini bukan buat itu, Agna. Aku cuma pengen kita bisa bicara dari hati ke hati, jauh dari ributnya dunia luar. Tapi aku juga manusia, aku... aku nggak bisa bohong, rasa untuk itu ada. Aku lelaki normal, di dekatmu aku seperti hilang kendali. Agna, aku,.."Agna m
"Mir, kamu kenapa?"Mira makin mengeratkan pelukannya, bahkan mencium Rey dengan begitu saayangnya. Binar ceria nampak tergambar di matanya."Mira, jangan bikin aku takut kayak gini, dong."Mira makin terkekeh dan mengajak Rey bercanda dan bermanja.Malam semakin larut ketika aroma embun mulai merambat dari sela jendela kamar yang terbuka sedikit. Lampu redup menemani keheningan malam di rumah Alzam yang kini kembali tenang setelah membahas soal keramaian resepsi siang tadi. Kamar yang biasanya hanya ditempati Mira kini terasa lebih hangat—bukan hanya karena Rey yang kini hanya di kamar, tapi juga karena kehadiran cinta yang tak terbendung di antara mereka.Rey duduk di tepi ranjang, sementara Mira bersandar di bahunya. Tangannya yang besar membelai pelan rambut istrinya, seperti mencoba menghapus kelelahan yang masih menggantung di wajah cantik itu."Kamu ngapain mandangin aku terus?" Mira melirik."Lagi jatuh cinta, Mir. Sama istri orang."Mira mencubit lengan Rey pelan. "Istrimu se