"Lupakan! Ayo, kita ke ruang rapat sekarang. Katanya mau ada operasi khusus."
Dandi hanya diam sambil berjalan mengikuti Alzam. Dia sedikit heran dengan arah pembicaran Alzam. Terlebih saat Alzam begitu terlihat menghawatirkan Lani.
"Maaf, ini agak sakit." Dandi mengambil sampel darah.
Lani hanya memandang jarum itu menghisap darahnya. Padahal Alzam malah memalingkan pandangannya seolah tak tega.
"Aku sudah kebal dengan rasa sakit sejak aku lari dari orang-orang biadab itu, dan tidak lagi merasakan duri yang menancap di kakiku."
"Bagaimana kejadiannya hinggah kamu mengalami hal seperti itu?"
"Aku hendak pulang ke desa, ada dua orang mencegatku, dan membekamku. Sepertinya mereka suruan seseorang melihat segala macam yang mereka ungkapkan dan laporkan."
"Kamu tau orangnya, kenapa dia sampai berniat buruk padamu?"
Lani menggeleng.
"Kamu punya musuh?"
"Apa mungkin dia tega melakukan itu," gumannya.
"Dia siapa?"
"Ini memang salahku, aku menyetujui menikah siri dengan suami orang hanya karena aku membutuhkan uang untuk biaya operasi anakku. Sebenarnya aku mau melunasi hutangku dengan kerja di tempatnya, tapi dia hanya memberikanku pilihan menikah dengannya."
"Kamu punya anak?" tanya Dandi heran, lalu menatap Alzam yang sikapnya terlihat lain.
"Aku punya anak tanpa suami," ucap Lani dengan senyum getir. "hidup aku hancur saat aku masih SMA dinodai seseorang. Dia seorang exportir yang kebetulan tinggal di desa kami dan aku juga ibuku mengurus segala keperluannya saat tinggal di rumah pakdeku yang menjadi kepala desa." Sekilas Lani menatap Alzam. "beasiswa kuliah yang akan aku dapat aku tinggalkan setelah tau aku hamil."
"Tapi kenapa orang itu menyekapmu?" Dandi berusaha mengalihkan masa lalu Lani dengan bertanya ke hal lain setelah dia melihat raut wajah Alzam yang aneh.
"Saat istrinya tau kami akan menikah, dia marah besar. Dia berusaha membatalkan pernikahan kami. Tetapi lelaki itu masih terus berusaha mendekatiku walau aku mengatakan aku tak ingin bertemu dengannya dan aku pasti melunasi hutangku kapan-kapan. Sampai malam itu, wanita itu yang mengetahui suaminya masih berusaha datang kepadaku, mengancamku. Dengan mengatakan akan menjadikanku wanita yang paling hina. Entah apa maksudnya. Apa seperti yang dilaporkan orang-orang itu yang sepertinya mau membawaku ke rumah bordir."
Lani sebentar tersenyum getir. "Aku tak mengira, aku mengalami hal seperti ini dalam hidup."
"Kamu yakin wanita itu pelakunya?"
Lani menggeleng. "Aku tidak yakin orang seperti dia pelakunya. Apa benar dia setega itu. Namun aku cuma bisa mendengar saat orang itu melapor dengan menyebut Mbak."
"Aku rasa dia pelakunya,"guman Alzam .
"Aku rasa juga begitu. Baiklah, aku akan bawa sampel darah ini ke laboratorium. Untuk sementara saya akan beri obat untuk kepala kamu. Sepertinya kamu terkena puyeng."
"Terimaksih," ucap Lani. "maaf merepotkan."
"Aku tidak merasa kamu repotkan. Ghak usah segan." Dandi tersenyum dan pamit.
"Ghak main duluh di sini, Mas?" tanya Mbok Sarem.
"Lain kali saja, Mbok," ucapnya tersenyum dengan memindai Alzam yang sudah duduk di kursi dekat Lani dan menatap wanita itu.
"Kamu sudah sholat Ashar?" tanya Alzam kemudian.
Lani menggeleng lemah.. Lalu berusaha turun dari tempat tidur. Baru juga duduk di tepi tempat tidur, dia memegangi kepalanya yang seolah berputar.
"Biar aku bantu ke kamar mandi."
"Ghak usah, aku bisa sendiri," ucap lani dengan berpegangan ke tembok. Namun tak lama dia terhuyung.
Alzam segera menangkapnya, lalu menggendong Lani ke closet dengan didudukkan di sana. "Kencinglah, aku keluar duluh."
Lani terdiam dan malu. Setelah selesai dia mengambil air wudhu. Rasa dingin kembali menyeruak kulitnya. Dengan menuntun tembok, dia keluar dan kembali hampir tersungkur kalau saja Alzam tidak segera menangkapnya.
Melihat Lani yang kembali menggigil, Alzam segera merangkulnya dengan membawanya ke tempat tidur. Kembali mulutnya berucap istighfar atas apa yang dia lakukan. Baru setelah Lani tenang, dia beranjak pergi.
"Mbok, tunggui Lani, saya keluar sebentar," ucapnya setelah sudah berganti dari baju dinasnya.
Mbok Sarem yang menelisik penampilannya terheran. Mau ke mana pakai sarung? tanyanya dalam hati.
Sementara di rumah Damar.
"Dari mana kamu sampai malam begini baru pulang, Mas?" sapa Vero yang mendapati Damar baru pulang hinggah larut malam.
"Dari luar, apa kamu ghak lihat?"
"Luar itu ada namanya, Mas."
"Apa aku sekarang harus apa-apa lapor kamu?" tanya Damar dengan membelalakkan matanya.
"Apa kamu cari wanita lain lagi, Mas?"
"Kamu benar-benar ya, ghak mikir. Apa aku bisa mencari wanita lain, sementara wanita yang kucintai kamu singkirkan dan sampai sekarang tak ada kabarnya?" ucap Damar yang telah mengetahui dalang hilangnya Lani adalah Vero istrinya.
"O, kamu masih sekarang terang-terangan mengatakan cinta itu, Mas?"
"Iya, puas kamu! Aku mencintainya. Dan takkan berhenti mencarinya."
"Tega kamu, ya, Mas, kepadaku? Aku telah berusaha berubah demi kamu, kamu malah memikirkan wanita lain dalam hidup kamu."
"Kalau saja kamu tidak melakukan tindakan itu, mungkin aku telah kembali kepadamu. Tapi kesalahan yang kamu perbuat itu tak dapat aku maafkan bergitu saja. Jika sampai Lani benar-benar meninggal karena kamu, pernikahan kita,..."
"Apa? Apa maksudmu, Mas?" Vero menarik tangan suaminya yang hendak keluar.
" Aku tak terima dengan apa yang telah kaulakukan ke Lani. Sebagai konsekwensinya, harus kamu yang menanggungnya."
"Pikiranmu telah penuh dengan Lani!"
"Semua itu karena kamu yang tak pernah mau mengerti kebutuhanku sebagai lelaki."
Vero terdiam, lalu menatap Damar nyalang. "Baik. Kita cerai!"
Sementara Alzam yang telah datang ke rumahnya.
"Lho, Mas, ada apa ini kok sama Pak Kyai Abduh?" tanya Mbok Sarem dengan memindai Kyai Abduh dengan tiga orang santri yang dikenal selalu mengikutinya ke manapun beliau pergi.
Menjelang pagi, suasana rumah Lani dan Alzam perlahan kembali hening setelah malam penuh kebahagiaan. Namun pagi itu juga menjadi momen yang berat bagi Mira. Ia harus berpamitan. "Lani...," suara Mira lirih, menahan air mata. "Aku pamit ya. Seperti yang kita rencanakan, aku resign. Lagian, kehamilanku udah masuk tujuh bulan. Kayaknya waktunya istirahat dan fokus siapin semuanya." Lani memeluk Mira erat. "Kamu yakin? Aku belum siap kehilangan kamu, Mir. Excel juga pasti cari-cari." Alzam menghampiri dengan senyum hangat. "Tenang aja, Lani. Kita bisa sering main ke sana. Lagi pula rumah Rey juga kan deket, cuma dua jam lebih dikit. Rey juga bisa mancing di sini." Mbok Sarem menenteng tas kecil sambil mengelus perut Mira. " Mbok doakan lancar sampai lahiran. Tapi ya itu, nanti kalau kamu lahiran, Mbok boleh ke sana, kan?" Mira tertawa kecil. "Wajib, Mbok. Nggak lengkap rasanya tanpa kehadiran Mbok." Excel yang baru bisa merangkak cepat, tiba-tiba menghampiri Mira sambil menyodorkan
Sore mengendap di antara sela-sela pepohonan di halaman belakang rumah Arhand yang dipenuhi harum rempah dan suara tawa. Tapi tak ada yang bisa menyaingi keharuan yang hadir hari itu.Di bawah naungan tenda sederhana berhiaskan lampu-lampu kecil, Arhand dan Agna duduk bersisian. Seorang kyai sepuh dari pesantren dekat rumah memimpin akad nikah yang syahdu, hanya dihadiri oleh keluarga, Evran, Arman, Manda, Thoriq, Salma, Elmi, Aksa, Alzam dan Lani. Tak ketinggalan, Arya dan istrinya yang kini telah berdamai dengan masa lalu.Mereka memang menggelar acara itu di halaman belakang rumah yang luas namun tertata rapi, para tamu keluarga duduk di atas tikar pandan, menyaksikan prosesi kecil yang begitu sakral. Tak ada gaun mewah, tak ada undangan bertumpuk, hanya kehadiran orang-orang terkasih yang telah menemani perjalanan panjang Arhand dan Agna.Evran duduk di sisi depan, menggenggam tangan Arman erat. Di sebelah mereka, Manda tak mampu menahan air mata saat melihat putranya berdiri teg
Menjelang maghrib, sebuah mobil boks putih bertuliskan nama catering ternama berhenti tepat di depan rumah Alzam. Beberapa pekerja turun dengan sigap, membongkar kotak-kotak makanan, mengangkat panci besar, dan menurunkan nampan berisi hidangan lengkap. Tak lama kemudian, satu per satu terop berdiri di halaman rumah. Warga mulai berdatangan, heran dan penasaran dengan suasana yang tiba-tiba ramai ini.Lani, yang sedang menidurkan Excel, langsung keluar begitu mendengar suara gaduh. "Mas, ini semua apa?" tanyanya dengan nada bingung.Alzam hanya mengangkat bahu sambil tersenyum, pura-pura tak tahu. "Aku juga baru lihat ini, Lani. Mungkin ada orang yang salah alamat?""Mas... jangan bercanda. Ini rumah kita. Lihat itu, teropnya sudah hampir jadi."Mbok Sarem yang baru saja selesai menyiapkan camilan untuk semua orang, ikut keluar dan berdiri di samping Lani. "Masya Allah, ini ada acara apa, to, Mas Zam? Kok kayak mau mantenan aja."Lani memutar-mutar ponselnya, mencoba menghubungi Mira.
Arhand dan Agna saling berpandangan ketika suara dari ponsel membuat mereka terdiam. Arhand mengernyit, mencoba mengenali nada bicara itu—terdengar lelah, namun juga penuh tekanan."Maaf, apa benar ini nomornya Mas Arhand?""Iya. Ini saya sendiri. Maaf, ini siapa ya?"Dari seberang sana, terdengar helaan napas berat sebelum suara lain, jauh lebih familiar namun dibalut amarah dan kekhawatiran, mengambil alih sambungan."Arhand! Astaghfirullah, kamu ke mana aja? Kami tunggu dari kemarin sore di Munding Wangi. Kamu ke mana? Omahmu ini udah nyaris sesak karena semua nanya kamu di mana!""Oma?" Arhand langsung berdiri, panik. Ia memutar langkah ke arah jendela, mencoba menjauh dari Agna agar percakapan lebih tenang. "Oma, maaf... aku—aku...""Apa kamu sama perempuan itu, hah? Oma bisa terima kamu memang sudah sah menurut negara, tapi menginap, satu apartemen? Ya Allah, Arhand... jangan cemari darah keluarga kita dengan aib!" Suara Oma Evran meninggi, dan di latar belakang terdengar suara M
Arhand merapatkan pelukannya. Hawa malam yang sejuk dari jendela balkon tetap terasa hangat di antara mereka. Agna merebahkan kepalanya di bahu Arhand, mencoba menenangkan debaran jantungnya sendiri. Aroma parfum lembut yang ia kenali sejak dulu masih melekat di kemeja pria itu."Aku nggak nyangka... kita bisa begini," lirih Agna."Kenapa? Kamu nggak suka?" tanya Arhand pelan, hampir seperti berbisik di telinga."Suka... Tapi takut," jawab Agna jujur."Takut kenapa?""Takut kita kelewatan. Kita bawa diri ke tempat yang terlalu nyaman, lalu kita kehilangan kendali."Arhand menarik napas panjang, tapi tak menjauh. Sebaliknya, ia justru menyentuh pipi Agna dengan lembut, menatap wajah perempuan itu dengan serius."Aku bawa kamu ke sini bukan buat itu, Agna. Aku cuma pengen kita bisa bicara dari hati ke hati, jauh dari ributnya dunia luar. Tapi aku juga manusia, aku... aku nggak bisa bohong, rasa untuk itu ada. Aku lelaki normal, di dekatmu aku seperti hilang kendali. Agna, aku,.."Agna m
"Mir, kamu kenapa?"Mira makin mengeratkan pelukannya, bahkan mencium Rey dengan begitu saayangnya. Binar ceria nampak tergambar di matanya."Mira, jangan bikin aku takut kayak gini, dong."Mira makin terkekeh dan mengajak Rey bercanda dan bermanja.Malam semakin larut ketika aroma embun mulai merambat dari sela jendela kamar yang terbuka sedikit. Lampu redup menemani keheningan malam di rumah Alzam yang kini kembali tenang setelah membahas soal keramaian resepsi siang tadi. Kamar yang biasanya hanya ditempati Mira kini terasa lebih hangat—bukan hanya karena Rey yang kini hanya di kamar, tapi juga karena kehadiran cinta yang tak terbendung di antara mereka.Rey duduk di tepi ranjang, sementara Mira bersandar di bahunya. Tangannya yang besar membelai pelan rambut istrinya, seperti mencoba menghapus kelelahan yang masih menggantung di wajah cantik itu."Kamu ngapain mandangin aku terus?" Mira melirik."Lagi jatuh cinta, Mir. Sama istri orang."Mira mencubit lengan Rey pelan. "Istrimu se