Di luar begitu gelap. Tak ada bintang yang terlihat. Dengan mengendap Lani berjalan melewati belakang rumah , menyusuri belukar hinggah jatuh berkali-kali. Pedih dan perih tak lagi dia rasakan.
"Ya, Allah, beri aku kekuatan untuk keluar dari semua ini," untaian do'a terus dipanjatkan Lani. Kakinya sudah banyak mengeluarkan darah saat dia menyusuri semak-semak.
"Aww!" Lani meringis saat duri menancap di kakinya. Segera dia lepaskan duri itu dan dia kembali berlari dengan tertatih.
"Ini ke mana ujungnya, ya Allah?" Lani merasa tidak kuat lagi, terlebih dengan kerongkongannya yang terasa kering. Dia lalu menggapai air di aliran air yang kini terhampar di depannya. Meminumnya untuk mengeluarkan dahaga yang menyerangnya.
"Hey, wanita sialan, mau lari ke mana kamu?"
Lani sontak menoleh dengan teriakan dari kejauhan. Dua lelaki itu kini bahkan mengejarnya.
"Ya, Allah, tolong aku! Tolong aku! Izinkan aku keluar dari kejaran mereka." Dengan bingung Lani segera menceburkan diri ke aliran air yang karena musim hujan, begitu deras alirannya. Pedih dan perih dia tahan dengan terus merapalkan do'a, menghanyutkan dirinya di aliran air dengan memegang sebuah batang pisang yang dia tak tau ke mana ujung dari semua itu. Dengan sisa kekuatan yang tak lagi ada, hinggah dia tak ingat lagi.
"Bos, ini bagaimana, kita telah menghilangkannya, Bos," ucap Sam, penculik itu.
"Wah, kita ghak akan dapat sisa pembayarannya kalau gini," sesal Pram juga. " kamu juga sih yang memiliki ide ini, jadi kalau udah begini, gimana kita?"
"Kenapa Bos sekarang malah marah, bukankah bos yang mau menyekap dia dengan bermaksud menikmatinya terlebih duluh, padahal Mbak e sudah bilang suruh masukkan rumah bordir."
"Kamu jangan makin bikin aku bingung. Ayo kita cari!"
Pagi-pagi.
Seorang pemuda tengah berjongkok mengambil air di depannya. Rasa segar dia rasakan setelah diusapnya air yang mengalir deras itu ke mukanya. Alzam, pemuda tinggi putih dengan rambut pendek rapi itu hampir saja berbalik, namun dia melihat ada sesuatu yang tersangkut di akar pohon tembesi.
Alzam berusaha menghampirinya. Karena tak bisa dengan mudah, dia pun menjeburkan dirinya. Diangkatnya tubuh lemah tak berdaya itu dari sana. Kecantikan wajah dan rambutnya yang tergerai panjang , sejenak membuat Alzam terpana dan berdebar. Diangkatnya tubuh itu, lalu dibaringkannya. Nafas buatan pun dia berikan dengan ragu saat kembali dia menatap wajah di depannya.
"Bismillah! Astaghfirllah, ampuni aku ya Allah!"
Agak lama, wanita itu kemudian terbatuk, memuntahkan isi perutnya. Dia menatap Alzam. Mata indahnya yang mengerjab, makin membuat jantung Alzam berdetak. Namun tak lama, mata itu kembali terpejam, dan tubuhnya luruh, lemas.
Alzam segera membopongnya dengan berlari kecil, ke tempat tinggalnya lewat jalan pavin yang dia bangun untuk menghubngkan sungai dengan rumahnya. Di sisi jalan, jeruk nipis yang merupakan ikon desa itu, tumbuh terawat.
"Mbok, cepat, bantu aku!"
"Mas, ada apa ini? Siapa dia?" tanya Mbok Sarem, pembantu Alzam.
"Nanti saja ceritanya. Cepat carikan dia baju punya Mbok!"
Masih dengan menutup mata, wanita itu tersadar kembali dengan meringis kesakitan. Kakinya penuh dengan luka duri. Segera Alzam mengambil ponselnya, dan menelpon seseorang.
Tak lama, Dandi, dokter sekaligus teman kerjanya, datang. Rumah dia memang tak jauh dari rumah Alzam yang memilih membangun rumah di tanah yang dia beli karena melihat keindahan tanah itu. Dandi pulalah yang mengatakan kalau tanah itu dijual, dan Alzam membelinya beberapa tahun yang lalu. Lalu dia membudidayakan tanaman jeruk nipis yang menjadi ikon desa yang mereka tempati di samping bangunan rumahnya yang berlantai dua.
"Buset, cantik betul dia, Zam. Ranting dari mana yang katamu nyangkut di akar pohon?"
Alzam menyikut sahabatnya itu. "Cepat periksa, ghak lihat apa dia mengeram kesakitan."
"Bukannya kita sudah terbiasa melihat orang kesakitan. Kenapa dengan dia kesakitan saja kamu jadi bingung kayak gini?" Dandi segera memeriksa. Tubuh di depannya yang kini mulai demam. Tangan dan kakinya penuh luka. Dia lalu menyuntiknya.
"Makasih, ya."
"Nanti kalau ada apa-apa, hubungi aku."
***
Alzam terus menunggui Lani. Hinggah malam dia melihat gadis itu membuka matanya.
"Kamu lapar? " tanya Alzam saat Lani terbangun. Dia lalu memberi air putih lewat sedotan
"Menjauh dariku. Siapa kamu?"
"Aku?" Alzam keget dengan reaksi wanita yang kini tengah dirawatnya.
"Matamu dan tatapanmu mengingatkanku pada seseorang. Menjauh dariku!" ucap Lani dengan berusaha bangun dan menggapai dinding untuk ke kamar mandi.
Belum sampai, Lani tersungkur karena sempoyongan. Alzam segera membopongnya walau Lani berontak.
"Kamu ingin ke kamar mandi, kan?" tanya Alzam diantara jengkel dan kasihan. Lalu mendudukkan Lani di closet dan berbalik meninggalkannya.
Alzam hampir meninggalkannya, namun karena tak tega, dia kembali. Dilihatnya Lani sudah terduduk lemas kembali di lantai kamar mandi dengan memegangi kepalanya. Kembali Alzam membopongnya dengan rasa bingung, terlebih setelah itu tubuh Lani menggigil kedinginan.
Bolak balik ke kamarnya Alzam berusaha mencari selimut dan baju hangat, namun Lani tetap kedinginanna. Dalam bingung, Alzam beristighfar dan membaringkan tubuhnya di samping Lani. Ampuni aku ya, Allah! Ampuni aku. Dia bukalah muhrim untukku tapi aku memeluknya.
"Kamu jangan GR. Aku hanya tak tega melihatmu kedinginan!" bentak Alzam saat Lani memberontak dengan mengatakan dia membencinya.
"Menikahlah denganku. Aku tak bisa terus mendekapmu atau membopongmu ke kamar mandi jika kita tidak muhrim," ajak Alzam suatu hari saat Lani belum ada perkembangan.
Lani membelalakkan matanya.
"Jika nanti kamu sembuh, aku bisa menjatuhkan talak untukmu. Dan kamu bisa pergi seperti kemauanmu." Alzam masih menerangkan maksudnya. Dia mendengar dari cerita Mbok Sarem kapan hari kalau Lani rajin minum obat dan rajin makan walau mulutnya pahit, dengan mengatakan kalau dia ingin segera sembuh dan pergi.Lani menggeleng kuat."Kita hanya menikah sirih, disaksikan pak kyai.""Aku sudah pernah menyetujui pernikahan siri yang berujung dengan kesengsaraanku seperti ini, kenapa aku harus terjun kembali?"tanya Lani dengan menatap pria yang kini ada di hadapannya. "apalagi denganmu, orang yang mengingatkanku pada orang yang paling aku benci di dunia."" Ini hanya untuk membuat kita menjadi muhrim, sementara sampai kamu kuat kembali dan aku bisa melepasmu." Perkataan Alzam agak meninggi melihat sikap Lani."Tidak, aku tidak ingin lagi terlibat dalam masalah," tekat Lani dengan terus menggigil. Giginya kembali gemertak."Entah apa masalahmu kepadaku sampai kamu seolah membenciku. Nama saja
"Lupakan! Ayo, kita ke ruang rapat sekarang. Katanya mau ada operasi khusus."Dandi hanya diam sambil berjalan mengikuti Alzam. Dia sedikit heran dengan arah pembicaran Alzam. Terlebih saat Alzam begitu terlihat menghawatirkan Lani."Maaf, ini agak sakit." Dandi mengambil sampel darah.Lani hanya memandang jarum itu menghisap darahnya. Padahal Alzam malah memalingkan pandangannya seolah tak tega."Aku sudah kebal dengan rasa sakit sejak aku lari dari orang-orang biadab itu, dan tidak lagi merasakan duri yang menancap di kakiku.""Bagaimana kejadiannya hinggah kamu mengalami hal seperti itu?" "Aku hendak pulang ke desa, ada dua orang mencegatku, dan membekamku. Sepertinya mereka suruan seseorang melihat segala macam yang mereka ungkapkan dan laporkan.""Kamu tau orangnya, kenapa dia sampai berniat buruk padamu?"Lani menggeleng."Kamu punya musuh?""Apa mungkin dia tega melakukan itu," gumannya."Dia siapa?""Ini memang salahku, aku menyetujui menikah siri dengan suami orang hanya k
"Silahkan masuk Pak Kyai!" Alzam mempersilahkan tamunya."Saya izin masuk sebentar.""Lani, maaf jika aku tak memberitahumu. Kita harus menikah siri sampai kamu merasa kuat dan pergi dari rumah ini seperti keinginanmu. Seperti yang aku katakan, aku tak ingin berbuat dosa dengan tak muhrim untukmu tapi selalu melakukan kontak fisik denganmu.""Kamu melakukan hal ini tanpa persetujuanku?" Lani sampai membulat matanya."Aku hanya ingin menjaga kita agar tak menjadi dosa."Lani menggeleng."Tolonglah, hanya nikah siri. Setelah semuanya ghak ada masalah, aku akan menjatuhkan talak untukmu. Dan kamu bisa pergi jika itu kemauanmu.""Tidak, Mas!""Jangan keras-keras, Pak Kyai sudah di sini.""Apa? Kamu ya, bisa-bisanya kamu,.."Alzam menbekam mulut Lani. "Nurut saja. Apa kamu tidak percaya padaku?""Tapi jangan menuntut yang tidak-tidak kamu.""Contohnya?""Kamu bukan lagi anak kecil yang harus dijelaskan secara rinci.""Kalau kamu yang mulai duluan?" canda Alzam dengan menyimpan senyumnya mel
"Mau ke kamar mandi?" tanya Alzam.Lani sejenak memandang Alzam. Rasa aneh dan canggung menjadi terasa di hatinya. Demikian juga dengan yang dialami Alzam. Padahal sebelumnya itu justru tak mereka rasakan."Aku mau sholat saja duluh dengan tayamum. Aku takut tiap pegang air selalu kedinginan.""Baiklah, kalau begitu aku akan ke kamar mandi duluh. Aku mau wudhu, nanti sholatnya aku imami, ya."Lani mengangguk. Lalu tayamum.Alzam kemudian ke kamar mandi dan sebentar saja sudah kembali. Mereka pun segera berjamah. Ada yang sejuk dirasakan Lani saat mendengar ayat suci dilantunkan Alzam dengan fasihnya saat dia menjadi imam. Diam-diam Lani merasa jika benar dia dinikahi Alzam memang karena pria itu tak ingin melakukan dosa dengan terus bersamanya tanpa ada kata muhrim."Kenapa memandangiku?" "Enggak, ghak apa-apa," sahut Lani bingung."Jangan terus memandangi aku, nanti kamu jatuh cinta sama aku.""Aku takkan berani jatuh cinta padamu. Aku tau aku siapa. Hidupku telah hilang dibawa lela
"Sepertinya dia hanya trauma. Syukurlah dia tidak mengalami seperti dugaanku," ucap Dandi."Memangnya apa dugaanmu?""Aku kira orang-orang itu sudah sampai memperkosanya dan menularkan penyakit tertentu.""Syukurlah tidak, setidaknya aku bisa lega," ucap Alzam dengan tersenyum. "Hari ini puyengnya sepertinya mulai hilang. Hanya rasa dinginnya yang sepertinya belum pulih.""Tenaganya terkuras waktu melarikan diri itu. Terlebih dia harus melawan arus sungai yang lagi deras-derasnya.""Setidaknya dia bisa diajak bicara dan mulai mempercayai aku. Tidak seperti saat awal-awal duluh yang seperti membenciku.""Kamu tidak bertanya kenapa dia seolah membencimu dengan mengatakan mata dan tatapanmu itu mengingat dia pada seseorang yang teramat dia benci ?""Aku takut itu bisa mengusik masa lalunya yang sesungguhnya ingin dia buang.""Bener juga kamu, Kep."" Aku tak bisa membayangkan kehidupan apa yang telah dialaminya. Saat masih SMA telah mengalami pelecehan dan bahkan harus melahirkan anak da
"Dhuk, katanya tadi makan, ayo!" ajakan Mbok Sarem membuat Lani melupakan kecurigaannya.Lani dengan pelan berdiri. Namun kemudian dia terhuyung, dan hampir jatuh. Untungnya Alzam segera menangkapnya, dan mendekapnya. Sejenak mereka salin berpandangan. Melihat itu timbul kekhawatiran di diri Mbok Sarem. "Ayo, biar Mbok saja yang gandeng ke ruang makan," sela Mbok Sarem.Lani yang masih bersitatap dengan Alzam segera menunduk. Lalu menyambut tangan Sarem yang membimbingnya."Emang masak apa, Mbok?" tanya Alzam begitu mereka sudah sampai di meja makan."Mas Alzam mandi duluh, baru ikutan makan," cegah Mbok Sarem saat melihat Alzam sudah mengambil posisi duduk di dekat Lani. Mbok Sarem memang berusaha menjauhkan Lani dari Alzam."Kalau gitu tunggu, dong, Mbok. Aku mandi duluh. Kayaknya enak kita bisa makan bertiga. Kayak punya keluarga.""Sebentar lagi juga Mas bisa seperti itu," ucap Mbok Sarem dengan pelan, padahal Alzam sudah pergi ke kamarnya. Lani hanya tersenyum menanggapinya. Ta
Dengan canggung Lani membiarkan Alzam tidur di sampingnya. Tidak lama sudah terdengar dengkuran halusnya. Lani hanya tersenyum melihat betapa cepatnya dia tertidur. Dengan tidur meringkung Lani membelakangi Alzam. Tak lupa, selimut pun dipakainya. Kalau kemarin dia tak merasa canggung karena dia sakit, tak bisa berfikir logis. Tapi entah kenapa kini dia merasa tidak enak hati. Dia bahkan meletakkan bantal guling di tengah-tengah mereka.Namun saat Lani terbangun di akhir malam, dia sudah mendapati tangan Alzam di pinggangnya. Bantal yang tadi dia letakkan di sebelahnya, malah pindah di belakang Alzam. Dengan pelan walau agak kaget, tahu semua itu, Lani meletakkan tangan Alzam. Dia lalu duduk sebentar, hendak ke kamar mandi. Sejenak Lani merasa kepalanya sudah enteng. Namun saat dia melangkah, mau berjalan, dia kembali terhuyung.Alzam segera menangkapnya. Lalu membawa Lani ke kamar mandi. Dan menurunkan Lani di dekat closet."Apa kamu hanya pura-pura tidurnya, Mas?" "Aku sudah biasa
"Lani, aku ini masih bujang. Aku saja belum pernah menyentuh perempuan. Mana aku ngerti beginian?" kelunya dengan bingung, membolak-balik benda itu.Lani yang awalnya cemas kini tersenyum lega. "Negatif.""Benarkah?" Alzam tampak lega, begitu senangnya sampai dia tak sadar langsung memeluk Lani erat-erat.Lani sedikit terkejut, kebingungan dengan tindakan Alzam yang mendadak."Syukurlah, apa yang aku takutkan tidak terjadi," seru Alzam melepaskan pelukannya dengan rasa canggung. "Maaf, saking gembiranya aku sampai memelukmu."Lani mengerling, lalu menyindir, "Bukannya kamu udah bisa peluk aku, Mas?"Alzam garuk-garuk tengkuk, salah tingkah. "Iya juga sih," gumamnya malu. Dia pun berjalan ke arah tempat tidur, siap untuk tidur.Lani yang melihatnya hanya bisa mendesah, "Ei, ngapain ke situ lagi?""Mau tidur lah. Masak buang air di tempat tidur?" jawab Alzam sambil tersenyum lebar."Aku udah baikan, Mas. Tadi aku minum susu yang kamu bawa, perutku udah nggak mual lagi. Jadi, kamu nggak
Menjelang pagi, suasana rumah Lani dan Alzam perlahan kembali hening setelah malam penuh kebahagiaan. Namun pagi itu juga menjadi momen yang berat bagi Mira. Ia harus berpamitan."Lani...," suara Mira lirih, menahan air mata. "Aku pamit ya. Seperti yang kita rencanakan, aku resign. Lagian, kehamilanku udah masuk tujuh bulan. Kayaknya waktunya istirahat dan fokus siapin semuanya."Lani memeluk Mira erat. "Kamu yakin? Aku belum siap kehilangan kamu, Mir. Excel juga pasti cari-cari."Alzam menghampiri dengan senyum hangat. "Tenang aja, Lani. Kita bisa sering main ke sana. Lagi pula rumah Rey juga kan deket, cuma dua jam lebih dikit. Rey juga bisa mancing di sini."Mbok Sarem menenteng tas kecil sambil mengelus perut Mira. " Mbok doakan lancar sampai lahiran. Tapi ya itu, nanti kalau kamu lahiran, Mbok boleh ke sana, kan?"Mira tertawa kecil. "Wajib, Mbok. Nggak lengkap rasanya tanpa kehadiran Mbok."Excel yang baru bisa merangkak cepat, tiba-tiba menghampiri Mira sambil menyodorkan botol
Sore mengendap di antara sela-sela pepohonan di halaman belakang rumah Arhand yang dipenuhi harum rempah dan suara tawa. Tapi tak ada yang bisa menyaingi keharuan yang hadir hari itu.Di bawah naungan tenda sederhana berhiaskan lampu-lampu kecil, Arhand dan Agna duduk bersisian. Seorang kyai sepuh dari pesantren dekat rumah memimpin akad nikah yang syahdu, hanya dihadiri oleh keluarga, Evran, Arman, Manda, Thoriq, Salma, Elmi, Aksa, Alzam dan Lani. Tak ketinggalan, Arya dan istrinya yang kini telah berdamai dengan masa lalu.Mereka memang menggelar acara itu di halaman belakang rumah yang luas namun tertata rapi, para tamu keluarga duduk di atas tikar pandan, menyaksikan prosesi kecil yang begitu sakral. Tak ada gaun mewah, tak ada undangan bertumpuk, hanya kehadiran orang-orang terkasih yang telah menemani perjalanan panjang Arhand dan Agna.Evran duduk di sisi depan, menggenggam tangan Arman erat. Di sebelah mereka, Manda tak mampu menahan air mata saat melihat putranya berdiri teg
Menjelang maghrib, sebuah mobil boks putih bertuliskan nama catering ternama berhenti tepat di depan rumah Alzam. Beberapa pekerja turun dengan sigap, membongkar kotak-kotak makanan, mengangkat panci besar, dan menurunkan nampan berisi hidangan lengkap. Tak lama kemudian, satu per satu terop berdiri di halaman rumah. Warga mulai berdatangan, heran dan penasaran dengan suasana yang tiba-tiba ramai ini.Lani, yang sedang menidurkan Excel, langsung keluar begitu mendengar suara gaduh. "Mas, ini semua apa?" tanyanya dengan nada bingung.Alzam hanya mengangkat bahu sambil tersenyum, pura-pura tak tahu. "Aku juga baru lihat ini, Lani. Mungkin ada orang yang salah alamat?""Mas... jangan bercanda. Ini rumah kita. Lihat itu, teropnya sudah hampir jadi."Mbok Sarem yang baru saja selesai menyiapkan camilan untuk semua orang, ikut keluar dan berdiri di samping Lani. "Masya Allah, ini ada acara apa, to, Mas Zam? Kok kayak mau mantenan aja."Lani memutar-mutar ponselnya, mencoba menghubungi Mira.
Arhand dan Agna saling berpandangan ketika suara dari ponsel membuat mereka terdiam. Arhand mengernyit, mencoba mengenali nada bicara itu—terdengar lelah, namun juga penuh tekanan."Maaf, apa benar ini nomornya Mas Arhand?""Iya. Ini saya sendiri. Maaf, ini siapa ya?"Dari seberang sana, terdengar helaan napas berat sebelum suara lain, jauh lebih familiar namun dibalut amarah dan kekhawatiran, mengambil alih sambungan."Arhand! Astaghfirullah, kamu ke mana aja? Kami tunggu dari kemarin sore di Munding Wangi. Kamu ke mana? Omahmu ini udah nyaris sesak karena semua nanya kamu di mana!""Oma?" Arhand langsung berdiri, panik. Ia memutar langkah ke arah jendela, mencoba menjauh dari Agna agar percakapan lebih tenang. "Oma, maaf... aku—aku...""Apa kamu sama perempuan itu, hah? Oma bisa terima kamu memang sudah sah menurut negara, tapi menginap, satu apartemen? Ya Allah, Arhand... jangan cemari darah keluarga kita dengan aib!" Suara Oma Evran meninggi, dan di latar belakang terdengar suara M
Arhand merapatkan pelukannya. Hawa malam yang sejuk dari jendela balkon tetap terasa hangat di antara mereka. Agna merebahkan kepalanya di bahu Arhand, mencoba menenangkan debaran jantungnya sendiri. Aroma parfum lembut yang ia kenali sejak dulu masih melekat di kemeja pria itu."Aku nggak nyangka... kita bisa begini," lirih Agna."Kenapa? Kamu nggak suka?" tanya Arhand pelan, hampir seperti berbisik di telinga."Suka... Tapi takut," jawab Agna jujur."Takut kenapa?""Takut kita kelewatan. Kita bawa diri ke tempat yang terlalu nyaman, lalu kita kehilangan kendali."Arhand menarik napas panjang, tapi tak menjauh. Sebaliknya, ia justru menyentuh pipi Agna dengan lembut, menatap wajah perempuan itu dengan serius."Aku bawa kamu ke sini bukan buat itu, Agna. Aku cuma pengen kita bisa bicara dari hati ke hati, jauh dari ributnya dunia luar. Tapi aku juga manusia, aku... aku nggak bisa bohong, rasa untuk itu ada. Aku lelaki normal, di dekatmu aku seperti hilang kendali. Agna, aku,.."Agna m
"Mir, kamu kenapa?"Mira makin mengeratkan pelukannya, bahkan mencium Rey dengan begitu saayangnya. Binar ceria nampak tergambar di matanya."Mira, jangan bikin aku takut kayak gini, dong."Mira makin terkekeh dan mengajak Rey bercanda dan bermanja.Malam semakin larut ketika aroma embun mulai merambat dari sela jendela kamar yang terbuka sedikit. Lampu redup menemani keheningan malam di rumah Alzam yang kini kembali tenang setelah membahas soal keramaian resepsi siang tadi. Kamar yang biasanya hanya ditempati Mira kini terasa lebih hangat—bukan hanya karena Rey yang kini hanya di kamar, tapi juga karena kehadiran cinta yang tak terbendung di antara mereka.Rey duduk di tepi ranjang, sementara Mira bersandar di bahunya. Tangannya yang besar membelai pelan rambut istrinya, seperti mencoba menghapus kelelahan yang masih menggantung di wajah cantik itu."Kamu ngapain mandangin aku terus?" Mira melirik."Lagi jatuh cinta, Mir. Sama istri orang."Mira mencubit lengan Rey pelan. "Istrimu se
Kota Makassar malam itu gelap tanpa bintang. Awan menggantung rendah, seolah tahu ada yang sedang gundah turun dari pesawat malam. Arhand menapakkan kakinya di bandara dengan langkah berat, membawa koper kecil dan tas selempang yang lebih berisi kegelisahan daripada barang-barang.Baru beberapa langkah keluar dari pintu kedatangan, sebuah tangan menarik pergelangan tangannya. Lembut, tapi membuat jantungnya berdegup."Bukan aku ingin menghianati janjiku, Arhand," suara Agna lirih namun tegas. Matanya menatap Arhand, dengan kelopak yang lelah, seperti habis menangis.Arhand berhenti, menatap perempuan yang kini berdiri di hadapannya. Ada syal panjang membalut kepala Agna. Tidak seperti biasanya. Bukan hijab penuh, tapi semacam penyesuaian. Agna mencoba, meski belum yakin."Tapi setelah aku bertemu ibumu tadi... aku takut, Hand. Takut aku tak akan bisa menjadi menantu yang baik untuk beliau. Dia membenciku. Tatap matanya seolah tak sudi padaku."Arhand tidak langsung menjawab. Ia hanya
Keluarga besar Arhand sudah lebih dulu tiba di Munding Wangi, membiarkan Arhand bicara dengan mertuanya. Mereka sejak belum selesai acara sudah ingin pulang. Bukan hanya Thoriq dan Salma yang mendengar perbincangan tak enak di kalangan orang besar itu, khususnya di kalangan partai yang dinaungi Agna. Walau mereka berusaha bungkam dengan seolah tak terjadi apa-apa, sampai waktu mereka dipakai untuk menimang cucu mereka, Excel, mereka tak bisa menutup telinga."Ternyata dengan menggelar pesta pun takkan membuat orang lain kagum, justru makin mengumpulkan orang untuk membicarakan aib pengantin," ucap Lani berbisik pada suaminya."Bener, Lani. Mereka kan nggak kenal aku sama Rey, hinggah mereka enak aja ngobrol soal yang kini berdiri di pelaminan dengan tak melihat kami yang makan sambil memperhatikan mereka. Bener kan, Rey?""Apa?""Rey, kamu ini gimana sih, dari tadi kita ngomong banyak hal, kamu cuma merhatiin Mira saja," timpuk Alzam yang merasakan beban yang ditanggung nenek juga tan
Pesta pernikahan Agna dan Arhand digelar megah di ballroom hotel bintang lima. Bunga mawar dan lili putih mendominasi dekorasi, sementara lampu-lampu gantung kristal menciptakan kilauan mewah di setiap sudut ruangan. Musik alunan saxophone dari panggung utama melantun lembut, menyambut para tamu undangan yang datang berbusana formal nan elegan.Agna duduk di pelaminan, mengenakan gaun rosegold berpotongan longgar berhias renda halus dan mutiara kecil yang dijahit tangan. Hijab satin senada melingkupi rambutnya, sementara riasan wajahnya natural dan lembut. Namun, sorot matanya tak sepenuhnya bahagia. Ia mencoba tersenyum pada setiap tamu yang menyalami, meski jauh di dalam dadanya, ada sesak yang tertahan. Sejak bertemu dengannya, keluarga Arhand tak menampakkan keramahannya. Manda bahkan sering berpaling saat dia menatapnya. "Baru juga di sini mereka seperti ini. Bagaimana jika aku nanti jadi ikut ke sana? Bahan aku seolah tak membawa apa-apa. Apa yang bisa aku lakukan untuk menghad