Demi biaya pengobatan anak, aku rela dinikahi secara siri. Tapi siapa sangka, pria itu telah memiliki istri? Aku pun dicap sebagai pelakor, bahkan nyaris dibunuh. Untungnya, aku bertemu dengan seorang tentara yang menawarkan sebuah pernikahan sementara untuk melindungiku ....
Lihat lebih banyakDi luar begitu gelap. Tak ada bintang yang terlihat. Dengan mengendap Lani berjalan melewati belakang rumah , menyusuri belukar hinggah jatuh berkali-kali. Pedih dan perih tak lagi dia rasakan.
"Ya, Allah, beri aku kekuatan untuk keluar dari semua ini," untaian do'a terus dipanjatkan Lani. Kakinya sudah banyak mengeluarkan darah saat dia menyusuri semak-semak.
"Aww!" Lani meringis saat duri menancap di kakinya. Segera dia lepaskan duri itu dan dia kembali berlari dengan tertatih.
"Ini ke mana ujungnya, ya Allah?" Lani merasa tidak kuat lagi, terlebih dengan kerongkongannya yang terasa kering. Dia lalu menggapai air di aliran air yang kini terhampar di depannya. Meminumnya untuk mengeluarkan dahaga yang menyerangnya.
"Hey, wanita sialan, mau lari ke mana kamu?"
Lani sontak menoleh dengan teriakan dari kejauhan. Dua lelaki itu kini bahkan mengejarnya.
"Ya, Allah, tolong aku! Tolong aku! Izinkan aku keluar dari kejaran mereka." Dengan bingung Lani segera menceburkan diri ke aliran air yang karena musim hujan, begitu deras alirannya. Pedih dan perih dia tahan dengan terus merapalkan do'a, menghanyutkan dirinya di aliran air dengan memegang sebuah batang pisang yang dia tak tau ke mana ujung dari semua itu. Dengan sisa kekuatan yang tak lagi ada, hinggah dia tak ingat lagi.
"Bos, ini bagaimana, kita telah menghilangkannya, Bos," ucap Sam, penculik itu.
"Wah, kita ghak akan dapat sisa pembayarannya kalau gini," sesal Pram juga. " kamu juga sih yang memiliki ide ini, jadi kalau udah begini, gimana kita?"
"Kenapa Bos sekarang malah marah, bukankah bos yang mau menyekap dia dengan bermaksud menikmatinya terlebih duluh, padahal Mbak e sudah bilang suruh masukkan rumah bordir."
"Kamu jangan makin bikin aku bingung. Ayo kita cari!"
Pagi-pagi.
Seorang pemuda tengah berjongkok mengambil air di depannya. Rasa segar dia rasakan setelah diusapnya air yang mengalir deras itu ke mukanya. Alzam, pemuda tinggi putih dengan rambut pendek rapi itu hampir saja berbalik, namun dia melihat ada sesuatu yang tersangkut di akar pohon tembesi.
Alzam berusaha menghampirinya. Karena tak bisa dengan mudah, dia pun menjeburkan dirinya. Diangkatnya tubuh lemah tak berdaya itu dari sana. Kecantikan wajah dan rambutnya yang tergerai panjang , sejenak membuat Alzam terpana dan berdebar. Diangkatnya tubuh itu, lalu dibaringkannya. Nafas buatan pun dia berikan dengan ragu saat kembali dia menatap wajah di depannya.
"Bismillah! Astaghfirllah, ampuni aku ya Allah!"
Agak lama, wanita itu kemudian terbatuk, memuntahkan isi perutnya. Dia menatap Alzam. Mata indahnya yang mengerjab, makin membuat jantung Alzam berdetak. Namun tak lama, mata itu kembali terpejam, dan tubuhnya luruh, lemas.
Alzam segera membopongnya dengan berlari kecil, ke tempat tinggalnya lewat jalan pavin yang dia bangun untuk menghubngkan sungai dengan rumahnya. Di sisi jalan, jeruk nipis yang merupakan ikon desa itu, tumbuh terawat.
"Mbok, cepat, bantu aku!"
"Mas, ada apa ini? Siapa dia?" tanya Mbok Sarem, pembantu Alzam.
"Nanti saja ceritanya. Cepat carikan dia baju punya Mbok!"
Masih dengan menutup mata, wanita itu tersadar kembali dengan meringis kesakitan. Kakinya penuh dengan luka duri. Segera Alzam mengambil ponselnya, dan menelpon seseorang.
Tak lama, Dandi, dokter sekaligus teman kerjanya, datang. Rumah dia memang tak jauh dari rumah Alzam yang memilih membangun rumah di tanah yang dia beli karena melihat keindahan tanah itu. Dandi pulalah yang mengatakan kalau tanah itu dijual, dan Alzam membelinya beberapa tahun yang lalu. Lalu dia membudidayakan tanaman jeruk nipis yang menjadi ikon desa yang mereka tempati di samping bangunan rumahnya yang berlantai dua.
"Buset, cantik betul dia, Zam. Ranting dari mana yang katamu nyangkut di akar pohon?"
Alzam menyikut sahabatnya itu. "Cepat periksa, ghak lihat apa dia mengeram kesakitan."
"Bukannya kita sudah terbiasa melihat orang kesakitan. Kenapa dengan dia kesakitan saja kamu jadi bingung kayak gini?" Dandi segera memeriksa. Tubuh di depannya yang kini mulai demam. Tangan dan kakinya penuh luka. Dia lalu menyuntiknya.
"Makasih, ya."
"Nanti kalau ada apa-apa, hubungi aku."
***
Alzam terus menunggui Lani. Hinggah malam dia melihat gadis itu membuka matanya.
"Kamu lapar? " tanya Alzam saat Lani terbangun. Dia lalu memberi air putih lewat sedotan
"Menjauh dariku. Siapa kamu?"
"Aku?" Alzam keget dengan reaksi wanita yang kini tengah dirawatnya.
"Matamu dan tatapanmu mengingatkanku pada seseorang. Menjauh dariku!" ucap Lani dengan berusaha bangun dan menggapai dinding untuk ke kamar mandi.
Belum sampai, Lani tersungkur karena sempoyongan. Alzam segera membopongnya walau Lani berontak.
"Kamu ingin ke kamar mandi, kan?" tanya Alzam diantara jengkel dan kasihan. Lalu mendudukkan Lani di closet dan berbalik meninggalkannya.
Alzam hampir meninggalkannya, namun karena tak tega, dia kembali. Dilihatnya Lani sudah terduduk lemas kembali di lantai kamar mandi dengan memegangi kepalanya. Kembali Alzam membopongnya dengan rasa bingung, terlebih setelah itu tubuh Lani menggigil kedinginan.
Bolak balik ke kamarnya Alzam berusaha mencari selimut dan baju hangat, namun Lani tetap kedinginanna. Dalam bingung, Alzam beristighfar dan membaringkan tubuhnya di samping Lani. Ampuni aku ya, Allah! Ampuni aku. Dia bukalah muhrim untukku tapi aku memeluknya.
"Kamu jangan GR. Aku hanya tak tega melihatmu kedinginan!" bentak Alzam saat Lani memberontak dengan mengatakan dia membencinya.
"Menikahlah denganku. Aku tak bisa terus mendekapmu atau membopongmu ke kamar mandi jika kita tidak muhrim," ajak Alzam suatu hari saat Lani belum ada perkembangan.
Lani membelalakkan matanya.
Menjelang pagi, suasana rumah Lani dan Alzam perlahan kembali hening setelah malam penuh kebahagiaan. Namun pagi itu juga menjadi momen yang berat bagi Mira. Ia harus berpamitan."Lani...," suara Mira lirih, menahan air mata. "Aku pamit ya. Seperti yang kita rencanakan, aku resign. Lagian, kehamilanku udah masuk tujuh bulan. Kayaknya waktunya istirahat dan fokus siapin semuanya."Lani memeluk Mira erat. "Kamu yakin? Aku belum siap kehilangan kamu, Mir. Excel juga pasti cari-cari."Alzam menghampiri dengan senyum hangat. "Tenang aja, Lani. Kita bisa sering main ke sana. Lagi pula rumah Rey juga kan deket, cuma dua jam lebih dikit. Rey juga bisa mancing di sini."Mbok Sarem menenteng tas kecil sambil mengelus perut Mira. " Mbok doakan lancar sampai lahiran. Tapi ya itu, nanti kalau kamu lahiran, Mbok boleh ke sana, kan?"Mira tertawa kecil. "Wajib, Mbok. Nggak lengkap rasanya tanpa kehadiran Mbok."Excel yang baru bisa merangkak cepat, tiba-tiba menghampiri Mira sambil menyodorkan botol
Sore mengendap di antara sela-sela pepohonan di halaman belakang rumah Arhand yang dipenuhi harum rempah dan suara tawa. Tapi tak ada yang bisa menyaingi keharuan yang hadir hari itu.Di bawah naungan tenda sederhana berhiaskan lampu-lampu kecil, Arhand dan Agna duduk bersisian. Seorang kyai sepuh dari pesantren dekat rumah memimpin akad nikah yang syahdu, hanya dihadiri oleh keluarga, Evran, Arman, Manda, Thoriq, Salma, Elmi, Aksa, Alzam dan Lani. Tak ketinggalan, Arya dan istrinya yang kini telah berdamai dengan masa lalu.Mereka memang menggelar acara itu di halaman belakang rumah yang luas namun tertata rapi, para tamu keluarga duduk di atas tikar pandan, menyaksikan prosesi kecil yang begitu sakral. Tak ada gaun mewah, tak ada undangan bertumpuk, hanya kehadiran orang-orang terkasih yang telah menemani perjalanan panjang Arhand dan Agna.Evran duduk di sisi depan, menggenggam tangan Arman erat. Di sebelah mereka, Manda tak mampu menahan air mata saat melihat putranya berdiri teg
Menjelang maghrib, sebuah mobil boks putih bertuliskan nama catering ternama berhenti tepat di depan rumah Alzam. Beberapa pekerja turun dengan sigap, membongkar kotak-kotak makanan, mengangkat panci besar, dan menurunkan nampan berisi hidangan lengkap. Tak lama kemudian, satu per satu terop berdiri di halaman rumah. Warga mulai berdatangan, heran dan penasaran dengan suasana yang tiba-tiba ramai ini.Lani, yang sedang menidurkan Excel, langsung keluar begitu mendengar suara gaduh. "Mas, ini semua apa?" tanyanya dengan nada bingung.Alzam hanya mengangkat bahu sambil tersenyum, pura-pura tak tahu. "Aku juga baru lihat ini, Lani. Mungkin ada orang yang salah alamat?""Mas... jangan bercanda. Ini rumah kita. Lihat itu, teropnya sudah hampir jadi."Mbok Sarem yang baru saja selesai menyiapkan camilan untuk semua orang, ikut keluar dan berdiri di samping Lani. "Masya Allah, ini ada acara apa, to, Mas Zam? Kok kayak mau mantenan aja."Lani memutar-mutar ponselnya, mencoba menghubungi Mira.
Arhand dan Agna saling berpandangan ketika suara dari ponsel membuat mereka terdiam. Arhand mengernyit, mencoba mengenali nada bicara itu—terdengar lelah, namun juga penuh tekanan."Maaf, apa benar ini nomornya Mas Arhand?""Iya. Ini saya sendiri. Maaf, ini siapa ya?"Dari seberang sana, terdengar helaan napas berat sebelum suara lain, jauh lebih familiar namun dibalut amarah dan kekhawatiran, mengambil alih sambungan."Arhand! Astaghfirullah, kamu ke mana aja? Kami tunggu dari kemarin sore di Munding Wangi. Kamu ke mana? Omahmu ini udah nyaris sesak karena semua nanya kamu di mana!""Oma?" Arhand langsung berdiri, panik. Ia memutar langkah ke arah jendela, mencoba menjauh dari Agna agar percakapan lebih tenang. "Oma, maaf... aku—aku...""Apa kamu sama perempuan itu, hah? Oma bisa terima kamu memang sudah sah menurut negara, tapi menginap, satu apartemen? Ya Allah, Arhand... jangan cemari darah keluarga kita dengan aib!" Suara Oma Evran meninggi, dan di latar belakang terdengar suara M
Arhand merapatkan pelukannya. Hawa malam yang sejuk dari jendela balkon tetap terasa hangat di antara mereka. Agna merebahkan kepalanya di bahu Arhand, mencoba menenangkan debaran jantungnya sendiri. Aroma parfum lembut yang ia kenali sejak dulu masih melekat di kemeja pria itu."Aku nggak nyangka... kita bisa begini," lirih Agna."Kenapa? Kamu nggak suka?" tanya Arhand pelan, hampir seperti berbisik di telinga."Suka... Tapi takut," jawab Agna jujur."Takut kenapa?""Takut kita kelewatan. Kita bawa diri ke tempat yang terlalu nyaman, lalu kita kehilangan kendali."Arhand menarik napas panjang, tapi tak menjauh. Sebaliknya, ia justru menyentuh pipi Agna dengan lembut, menatap wajah perempuan itu dengan serius."Aku bawa kamu ke sini bukan buat itu, Agna. Aku cuma pengen kita bisa bicara dari hati ke hati, jauh dari ributnya dunia luar. Tapi aku juga manusia, aku... aku nggak bisa bohong, rasa untuk itu ada. Aku lelaki normal, di dekatmu aku seperti hilang kendali. Agna, aku,.."Agna m
"Mir, kamu kenapa?"Mira makin mengeratkan pelukannya, bahkan mencium Rey dengan begitu saayangnya. Binar ceria nampak tergambar di matanya."Mira, jangan bikin aku takut kayak gini, dong."Mira makin terkekeh dan mengajak Rey bercanda dan bermanja.Malam semakin larut ketika aroma embun mulai merambat dari sela jendela kamar yang terbuka sedikit. Lampu redup menemani keheningan malam di rumah Alzam yang kini kembali tenang setelah membahas soal keramaian resepsi siang tadi. Kamar yang biasanya hanya ditempati Mira kini terasa lebih hangat—bukan hanya karena Rey yang kini hanya di kamar, tapi juga karena kehadiran cinta yang tak terbendung di antara mereka.Rey duduk di tepi ranjang, sementara Mira bersandar di bahunya. Tangannya yang besar membelai pelan rambut istrinya, seperti mencoba menghapus kelelahan yang masih menggantung di wajah cantik itu."Kamu ngapain mandangin aku terus?" Mira melirik."Lagi jatuh cinta, Mir. Sama istri orang."Mira mencubit lengan Rey pelan. "Istrimu se
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen