Agna menyesap air putih, lalu menatap hidangan sahur yang tersaji. Nasi hangat, lauk menggugah selera dengan berbagai jenis masakan, dan teh manis. Ini hari pertama ia berniat berpuasa setelah sekian lama meninggalkan kebiasaan itu.Sandra mengunyah pelan sambil menatapnya. "Kamu yakin mau puasa?"Agna tersenyum kecil. "InsyaAllah.""Jangan sampai terjadi apa-apa lagi dengan kandungan kamu. Kamu sekarang sudah baikan dan sudah mau berangkat kerja kan?""Aku akan coba., jika masih tak nyaman, aku akan berhenti. Ini juga tinggal beberpaa hari, Mi.""Bagaimana, kamu apa sudah menghubungi Arhand kembali?"Sejenak kata-kata Arya membuat Agna menatapnya.Beri aku waktu, Pi." Arya mendengus."Aku semalaman sedang berfikir, Papi yang salah atau Arhand kah yang salah?""Papi tak pernah salah, Agna. Semua itu demi kebaikanmu. Demi kariermu.""Tapi Arhand juga benar, Pi. Dan Agna yang beberapa hari ini ingin belajar banyak tentang agama, tau bahwa Arhand benar."Sandra diam sesaat. Matanya taj
Dari tadi Sandra mondar-mandir di depan jendela, melirik ke luar, berharap melihat Agna pulang. Namun, langit mulai menggelap, tanda waktu berbuka puasa semakin dekat, dan Agna masih belum juga tiba.“Ke mana sih anak itu?” gumam Sandra.Di sofa, Arya duduk dengan ekspresi yang tak kalah cemas. Ia mencoba tetap tenang, namun gerak-gerik resah Sandra membuatnya ikut waspada.“Jangan-jangan dia mencari Arhand?”Sandra menoleh cepat. Tatapan tajamnya menyiratkan ketidaksukaan. “Kalau benar, ini salah siapa? Kamu yang buat ide gila itu, kan?”Arya menghela napas. “Aku hanya ingin menyelamatkan reputasi keluarga.”Sandra menatapnya sinis. “Menyelamatkan? Atau memperburuk? Agna jelas masih berharap pada Arhand, tapi kamu malah mengancam menikahkannya dengan orang lain!”Arya menajamkan rahangnya. “Lalu, apa kau tahu apa yang kudengar dari seorang teman yang mnelponku?”Sandra mengerutkan dahi.Arya menarik napas panjang sebelum berkata, “Siang tadi, seorang teman memberitahu kalau dia melih
Arhand menggeser ponselnya ke ujung meja, menatap layar yang baru saja ia buka kembali setelah beberapa hari dia blokir. Nama Agna terpampang jelas di sana.Pesan itu masuk seketika."Arhand, ku di mana? Aku telah mencarimu dan menghubungimu berkali kali tapi kamu tak dapat dihubungi."Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tahu, cepat atau lambat, perbincangan ini harus terjadi. Ia tak bisa terus menghindar.Tangannya bergerak lambat, mengetik balasan. ",Kenapa?"Tak sampai lima detik, panggilan masuk. Arhand menatap layar sebentar sebelum akhirnya mengangkat.Suara Agna terdengar lemah, namun penuh desakan. “Kenapa kamu blokir aku? Kamu tahu betapa susahnya aku mencarimu?”Arhand mengusap wajah, mencoba meredam emosi. “Aku butuh waktu.”“Tapi aku nggak punya waktu, Arhand.”Hening.Agna menarik napas dalam. “Kita harus menikah.”Arhand menutup mata. Ia sudah menduga ini. “Karena tekanan keluarga atau karena kamu benar-benar ingin?”“Kalau aku bilang dua-duanya?” suara Agna merendah.Ar
Sandra melipat tangan, bersandar di meja makan. Mata beningnya menatap Arya yang tengah bersiap mengenakan jam tangan."Papi tahu itu Sendang Agung?" tanyanya.Arya menghentikan gerakannya sejenak, melirik ke arah istrinya. "Duluh sih pernah ke sana. Cuma sekarang sudah lupa-lupa ingat."Sandra menggeleng kecil. "Kalau nggak tahu, tanya Agna. Dia pasti tahu daerah itu. Itu daerah terbesar yang mendukung Agna saat pemilu.""Baiklah. Aku lebih baik tanya dia daripada tanya Geoglemap."Dari arah ruang tengah, Agna yang baru saja keluar dari kamarnya mendengar percakapan itu. Alisnya mengernyit."Siapa yang ada di Sendang Agung?"Arya menoleh. "Tamsir tonggal di sana. Dia mengajar di perguruan terbesar di desa itu."Agna terdiam. Nama itu tak familiar di telinganya. "Mengajar? Dia guru?"Arya melanjutkan, nada suaranya datar. "Iya. Aku mau bicara dengannya soal pernikahanmu."Jeda singkat.Agna melipat tangan di dada. "Papi yakin dengan anak itu?""Yang penting bisa menutup aib. Setelah an
Malam turun ketika Tamsir melangkah ke tepi jalan. Ransel digendong erat, tubuh sedikit lelah setelah seharian penuh aktivitas. Udara terasa lembap, aroma tanah setelah hujan masih terasa. Lampu jalan berpendar redup, sesekali bayangan kendaraan melintas cepat di depan matanya."Kak, mau ke mana?" Senja dan Azra yang mau pergi darusan ke mushola, menyapanya."Kakak mau pulang, Senja. Kan pembelajaran sudah selesai," ucap Tamsir sambil tengok berkali- kali barangkali ada angkot yang lewat."Tapi habis lebaran, kembali kan?"Azra menyikut sahabatnya itu."Ya, tentu. Kan belum libur sekolahnya.""Aku nanti sekolah pindah ke sini lho, Kak," ucap Senja sambil lebih dekat dengan Tamsir. Gadis yang akan genap sebelas tahun di hari lebaran dengan tinggi badan sudah 160cm itu, tak jauh tingginya dari Tamsir. Tamsir bahkan merasa kikuk didekati Senja."Kalau gitu selamat. Dan seharusnya mulai sekarang kamu latihan panggil aku, Pak.""Ntar deh. Kan belum juga resmi pindahnya. Nunggu tahun ajaran
Arhand keluar dari rumah dengan langkah cepat, kunci mobil sudah tergenggam erat. Dadanya sesak, pikirannya kacau. Bayangan Agna terus berputar dalam kepalanya, seakan menghantuinya.Dia membuka pintu mobil dengan kasar, masuk, dan menyalakan mesin. Suara deru mesin seolah menyadarkannya sedikit, tapi tetap tak menghilangkan kekalutannya. Dengan satu tarikan napas dalam, dia menginjak pedal gas dan melaju ke jalanan Makassar yang semakin ramai menjelang berbuka puasa.Lalu lintas padat. Kendaraan melambat di beberapa titik, orang-orang mulai memenuhi trotoar, berburu takjil atau sekadar menunggu azan Maghrib. Aroma makanan bercampur dengan asap kendaraan, menciptakan suasana khas bulan Ramadan.Arhand menggertakkan gigi, tangannya mencengkeram kemudi. Dia harus menemukan tempat servis HP secepat mungkin. Dia harus bicara dengan Agna.Saat lampu merah menyala, dia memukul setir dengan frustasi."Sial!"Tak pernah sebelumnya dia merasa segelisah ini. Seandainya dia tak terbawa emosi, sea
Malam semakin larut ketika Tamsir selesai istikharah. Tak ada jawaban pasti. Hatinya tetap ragu, pikirannya tetap penuh pertanyaan."Aku tak mendapat petunjuk, Bu."Tami mengangguk pelan. "Ibu juga berdoa tadi malam. Tak ada jawaban.""Kita harus bagaimana?"Hening sejenak sebelum Tami menjawab, "Mungkin ini bukan soal mendapat jawaban, Nak. Tapi tentang memilih yang paling benar."Tamsir menatap ibunya, mencoba memahami maksudnya."Kalau kamu tak menikahi Agna, apa kamu sanggup melihatnya jatuh ke tangan orang lain yang mungkin tak bertanggung jawab?"Tamsir diam."Dan kalau kamu menikahinya, apa kamu siap dengan segala konsekuensinya?"Ia menggeleng. "Aku tak tahu, Bu."Tami tersenyum tipis. "Maka mungkin jawabannya ada di hatimu sendiri."Tamsir menghela napas panjang. "Kalau aku menerima ini, apakah itu artinya aku menikah karena kasihan, bukan karena cinta?""Kasihan bukan alasan buruk, Nak. Kadang, rasa sayang lahir setelah kita memilih bertanggung jawab."Tamsir menggenggam can
"Nak, kamu kenapa?" Lani masih berusaha membujuk."Jangan nangis terus, Nak. Kasihan Bunda, kelelahan." Alzam mengambil dan menciuminya.Namun Excel terus menangis. Suara rengekannya memenuhi seluruh rumah, menggema di dinding-dinding, membuat malam semakin panjang bagi Lani. Tubuhnya masih lelah setelah berkali-kali terbangun menyusui, sementara Alzam mondar-mandir dengan wajah tegang. dan berkali-kali menimangnya."Sayang,... kamu tidur aja duluh, biar aku yang jagain.""Gimana bisa tidur, Mas? dia menangis terus?" ucap Lani. Namun karena terlalu lelah, akhirnya dia terlelap juga saat anak itu diam sejenak di dekapan Alzam."Anak pinter. Tidur ya?"Baru juga ditidurkan, sudah kembali meraung. Dengan cekatan, Alzam yang sudah terbiasa mengganti pampers itu, menggantinya lagi."Pampersnya sudah diganti?" tanya Lani dengan mata yang masih setengah terpejam.Alzam mengangguk. "Sudah, berkali-kali malah."Lani melirik tempat sampah di sudut kamar. Plastik-plastik popok berserakan. "Kenap
Menjelang pagi, suasana rumah Lani dan Alzam perlahan kembali hening setelah malam penuh kebahagiaan. Namun pagi itu juga menjadi momen yang berat bagi Mira. Ia harus berpamitan."Lani...," suara Mira lirih, menahan air mata. "Aku pamit ya. Seperti yang kita rencanakan, aku resign. Lagian, kehamilanku udah masuk tujuh bulan. Kayaknya waktunya istirahat dan fokus siapin semuanya."Lani memeluk Mira erat. "Kamu yakin? Aku belum siap kehilangan kamu, Mir. Excel juga pasti cari-cari."Alzam menghampiri dengan senyum hangat. "Tenang aja, Lani. Kita bisa sering main ke sana. Lagi pula rumah Rey juga kan deket, cuma dua jam lebih dikit. Rey juga bisa mancing di sini."Mbok Sarem menenteng tas kecil sambil mengelus perut Mira. " Mbok doakan lancar sampai lahiran. Tapi ya itu, nanti kalau kamu lahiran, Mbok boleh ke sana, kan?"Mira tertawa kecil. "Wajib, Mbok. Nggak lengkap rasanya tanpa kehadiran Mbok."Excel yang baru bisa merangkak cepat, tiba-tiba menghampiri Mira sambil menyodorkan botol
Sore mengendap di antara sela-sela pepohonan di halaman belakang rumah Arhand yang dipenuhi harum rempah dan suara tawa. Tapi tak ada yang bisa menyaingi keharuan yang hadir hari itu.Di bawah naungan tenda sederhana berhiaskan lampu-lampu kecil, Arhand dan Agna duduk bersisian. Seorang kyai sepuh dari pesantren dekat rumah memimpin akad nikah yang syahdu, hanya dihadiri oleh keluarga, Evran, Arman, Manda, Thoriq, Salma, Elmi, Aksa, Alzam dan Lani. Tak ketinggalan, Arya dan istrinya yang kini telah berdamai dengan masa lalu.Mereka memang menggelar acara itu di halaman belakang rumah yang luas namun tertata rapi, para tamu keluarga duduk di atas tikar pandan, menyaksikan prosesi kecil yang begitu sakral. Tak ada gaun mewah, tak ada undangan bertumpuk, hanya kehadiran orang-orang terkasih yang telah menemani perjalanan panjang Arhand dan Agna.Evran duduk di sisi depan, menggenggam tangan Arman erat. Di sebelah mereka, Manda tak mampu menahan air mata saat melihat putranya berdiri teg
Menjelang maghrib, sebuah mobil boks putih bertuliskan nama catering ternama berhenti tepat di depan rumah Alzam. Beberapa pekerja turun dengan sigap, membongkar kotak-kotak makanan, mengangkat panci besar, dan menurunkan nampan berisi hidangan lengkap. Tak lama kemudian, satu per satu terop berdiri di halaman rumah. Warga mulai berdatangan, heran dan penasaran dengan suasana yang tiba-tiba ramai ini.Lani, yang sedang menidurkan Excel, langsung keluar begitu mendengar suara gaduh. "Mas, ini semua apa?" tanyanya dengan nada bingung.Alzam hanya mengangkat bahu sambil tersenyum, pura-pura tak tahu. "Aku juga baru lihat ini, Lani. Mungkin ada orang yang salah alamat?""Mas... jangan bercanda. Ini rumah kita. Lihat itu, teropnya sudah hampir jadi."Mbok Sarem yang baru saja selesai menyiapkan camilan untuk semua orang, ikut keluar dan berdiri di samping Lani. "Masya Allah, ini ada acara apa, to, Mas Zam? Kok kayak mau mantenan aja."Lani memutar-mutar ponselnya, mencoba menghubungi Mira.
Arhand dan Agna saling berpandangan ketika suara dari ponsel membuat mereka terdiam. Arhand mengernyit, mencoba mengenali nada bicara itu—terdengar lelah, namun juga penuh tekanan."Maaf, apa benar ini nomornya Mas Arhand?""Iya. Ini saya sendiri. Maaf, ini siapa ya?"Dari seberang sana, terdengar helaan napas berat sebelum suara lain, jauh lebih familiar namun dibalut amarah dan kekhawatiran, mengambil alih sambungan."Arhand! Astaghfirullah, kamu ke mana aja? Kami tunggu dari kemarin sore di Munding Wangi. Kamu ke mana? Omahmu ini udah nyaris sesak karena semua nanya kamu di mana!""Oma?" Arhand langsung berdiri, panik. Ia memutar langkah ke arah jendela, mencoba menjauh dari Agna agar percakapan lebih tenang. "Oma, maaf... aku—aku...""Apa kamu sama perempuan itu, hah? Oma bisa terima kamu memang sudah sah menurut negara, tapi menginap, satu apartemen? Ya Allah, Arhand... jangan cemari darah keluarga kita dengan aib!" Suara Oma Evran meninggi, dan di latar belakang terdengar suara M
Arhand merapatkan pelukannya. Hawa malam yang sejuk dari jendela balkon tetap terasa hangat di antara mereka. Agna merebahkan kepalanya di bahu Arhand, mencoba menenangkan debaran jantungnya sendiri. Aroma parfum lembut yang ia kenali sejak dulu masih melekat di kemeja pria itu."Aku nggak nyangka... kita bisa begini," lirih Agna."Kenapa? Kamu nggak suka?" tanya Arhand pelan, hampir seperti berbisik di telinga."Suka... Tapi takut," jawab Agna jujur."Takut kenapa?""Takut kita kelewatan. Kita bawa diri ke tempat yang terlalu nyaman, lalu kita kehilangan kendali."Arhand menarik napas panjang, tapi tak menjauh. Sebaliknya, ia justru menyentuh pipi Agna dengan lembut, menatap wajah perempuan itu dengan serius."Aku bawa kamu ke sini bukan buat itu, Agna. Aku cuma pengen kita bisa bicara dari hati ke hati, jauh dari ributnya dunia luar. Tapi aku juga manusia, aku... aku nggak bisa bohong, rasa untuk itu ada. Aku lelaki normal, di dekatmu aku seperti hilang kendali. Agna, aku,.."Agna m
"Mir, kamu kenapa?"Mira makin mengeratkan pelukannya, bahkan mencium Rey dengan begitu saayangnya. Binar ceria nampak tergambar di matanya."Mira, jangan bikin aku takut kayak gini, dong."Mira makin terkekeh dan mengajak Rey bercanda dan bermanja.Malam semakin larut ketika aroma embun mulai merambat dari sela jendela kamar yang terbuka sedikit. Lampu redup menemani keheningan malam di rumah Alzam yang kini kembali tenang setelah membahas soal keramaian resepsi siang tadi. Kamar yang biasanya hanya ditempati Mira kini terasa lebih hangat—bukan hanya karena Rey yang kini hanya di kamar, tapi juga karena kehadiran cinta yang tak terbendung di antara mereka.Rey duduk di tepi ranjang, sementara Mira bersandar di bahunya. Tangannya yang besar membelai pelan rambut istrinya, seperti mencoba menghapus kelelahan yang masih menggantung di wajah cantik itu."Kamu ngapain mandangin aku terus?" Mira melirik."Lagi jatuh cinta, Mir. Sama istri orang."Mira mencubit lengan Rey pelan. "Istrimu se
Kota Makassar malam itu gelap tanpa bintang. Awan menggantung rendah, seolah tahu ada yang sedang gundah turun dari pesawat malam. Arhand menapakkan kakinya di bandara dengan langkah berat, membawa koper kecil dan tas selempang yang lebih berisi kegelisahan daripada barang-barang.Baru beberapa langkah keluar dari pintu kedatangan, sebuah tangan menarik pergelangan tangannya. Lembut, tapi membuat jantungnya berdegup."Bukan aku ingin menghianati janjiku, Arhand," suara Agna lirih namun tegas. Matanya menatap Arhand, dengan kelopak yang lelah, seperti habis menangis.Arhand berhenti, menatap perempuan yang kini berdiri di hadapannya. Ada syal panjang membalut kepala Agna. Tidak seperti biasanya. Bukan hijab penuh, tapi semacam penyesuaian. Agna mencoba, meski belum yakin."Tapi setelah aku bertemu ibumu tadi... aku takut, Hand. Takut aku tak akan bisa menjadi menantu yang baik untuk beliau. Dia membenciku. Tatap matanya seolah tak sudi padaku."Arhand tidak langsung menjawab. Ia hanya
Keluarga besar Arhand sudah lebih dulu tiba di Munding Wangi, membiarkan Arhand bicara dengan mertuanya. Mereka sejak belum selesai acara sudah ingin pulang. Bukan hanya Thoriq dan Salma yang mendengar perbincangan tak enak di kalangan orang besar itu, khususnya di kalangan partai yang dinaungi Agna. Walau mereka berusaha bungkam dengan seolah tak terjadi apa-apa, sampai waktu mereka dipakai untuk menimang cucu mereka, Excel, mereka tak bisa menutup telinga."Ternyata dengan menggelar pesta pun takkan membuat orang lain kagum, justru makin mengumpulkan orang untuk membicarakan aib pengantin," ucap Lani berbisik pada suaminya."Bener, Lani. Mereka kan nggak kenal aku sama Rey, hinggah mereka enak aja ngobrol soal yang kini berdiri di pelaminan dengan tak melihat kami yang makan sambil memperhatikan mereka. Bener kan, Rey?""Apa?""Rey, kamu ini gimana sih, dari tadi kita ngomong banyak hal, kamu cuma merhatiin Mira saja," timpuk Alzam yang merasakan beban yang ditanggung nenek juga tan
Pesta pernikahan Agna dan Arhand digelar megah di ballroom hotel bintang lima. Bunga mawar dan lili putih mendominasi dekorasi, sementara lampu-lampu gantung kristal menciptakan kilauan mewah di setiap sudut ruangan. Musik alunan saxophone dari panggung utama melantun lembut, menyambut para tamu undangan yang datang berbusana formal nan elegan.Agna duduk di pelaminan, mengenakan gaun rosegold berpotongan longgar berhias renda halus dan mutiara kecil yang dijahit tangan. Hijab satin senada melingkupi rambutnya, sementara riasan wajahnya natural dan lembut. Namun, sorot matanya tak sepenuhnya bahagia. Ia mencoba tersenyum pada setiap tamu yang menyalami, meski jauh di dalam dadanya, ada sesak yang tertahan. Sejak bertemu dengannya, keluarga Arhand tak menampakkan keramahannya. Manda bahkan sering berpaling saat dia menatapnya. "Baru juga di sini mereka seperti ini. Bagaimana jika aku nanti jadi ikut ke sana? Bahan aku seolah tak membawa apa-apa. Apa yang bisa aku lakukan untuk menghad