"Saranku lebih baik kamu berterus terang. Jangan sampai Melody melihat sendiri apa yang kamu lakukan dikamar itu.""Tak mungkin Ras, kuncinya selalu aku bawa. Melody tak akan pernah bisa masuk ke sana."Rasti tertawa mengejek."Kamu kira Melody wanita bod*h? seorang wanita bisa melakukan apa saja ketika dia merasa dirinya teracam, atau merasa ada sesuatu yang harus dia ketahui." tuturnya."Gampang mencari tukang kunci lalu memasang kamera di rumah yang sudah menjadi daerah kekuasaannya itu, Ndra!" lanjut Rasti.Aku memijit kening. Kepalaku mulai terasa sakit. Sangat sakit, hingga aku berjalan sempoyongan dan akhirnya muntah di toilet. Saat itulah aku diberikan sapu tangan oleh Yogi, kain segi empat milik Rasti yang kemudian membuat Melody menaruh curiga pada Rasti. Sejak perkataan Rasti itu aku mulai menelisik setiap sudut, aku melihat sebuah benda aneh menempel di plafon. Sekilas tak akan tampak, tapi jika diperhatikan dengan seksama, sangat jelas itu sebuah kamera mini.***Semua b
"Benar apa yang dikatakan Widya, Hendra!" bentak Papa ketika aku baru saja menjatuhkan bobot tubuh di sofa. Mama tampak tersedu. Ada Mbak Widya disamping Mama.Aku memilin jari jemari, mengusir takut dan malu yang saling tumpang tindih."Jawab!" teriak Papa lantang.Terkaget, mataku mengarah tepat pada mata Papa. Lalu kembali menunduk, menetralkan detak jantung yang sudah tak karuan."Iy-iya, Pa." desisku."Astaghfirullah, Hendra ..." raungan Mama terdengar menyayat hati."Siapa yang mengajak kamu seperti itu, Ha!" lantang suara Papa membahana.Aku menatap Mbak Widya, ragu. Tapi Mbak Widya justru buang muka, seakan jijik melihatku."Dulu waktu Hendra masih duduk dikelas dua SD, Hendra melihat Mama dan Papa, melakukan aktivitas malam." lirihku."Ya Allah ..." Mama makin tergugu.Sedangkan Papa mengusap wajahnya kasar, lalu terduduk lemas di sofa. Memang tak ada yang salah, saat itu kami tak se-berjaya seperti sekarang ini. Hidup di sebuah petakan. Rumah dengan tiga sekat, yang digunaka
"Hendra yang salah, Pa." sahutku."Sekiranya Papa dari dahulu becus menjadi seorang Ayah, tentu kalian tak akan hidup susah. Dan ini semua tak akan terjadi." suara Papa bergetar,Seumur-umur baru kali ini aku melihat air mata Papa mengalir deras."Papa memang payah!" rutuk Papa sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Begitu pun Mama, tangisnya kian kencang."Sudah, Pa. Semua sudah berlalu, kini gimana caraagar rumah tangga Hendra bisa kembali utuh." ujar Mbak Widya menenangkan Papa."Utuh? memang apa yang terjadi?" tanya Papa kaget.Mbak Widya menatapku cemas. Sepertinya dia belum cerita jika Melody kabur dari rumah."Melody pergi, Pa." cicit Mbak Widya kemudian."Ya Allah ..." Suara Papa bergetar pilu."Ya Allah, Ndra, kamu sudah cari Melody, Nak? kamu harus mendapatkan dia kembali. Mama banyak salah. Mama berdosa pada Melody." Mama terisak.Melihat air mata dari orang-orang yang kusayangi, hati ini terasa ditusuk ratusan pisau, sakit."Iya, Ma. Hendra akan mencari Melody.""Ap
Aku menajamkan penglihatan, foto yang di kirim Ata, berulangkali aku zoom. Dari sisi mana pun perempuan itu sangat mirip dengan Melody. Tanganku gemetaran.Ya Allah, apa Melody tertekan, stres lalu berubah menjadi perempuan seperti itu?"Ta, kamu masih di sana? tolong ikuti perempuan itu." Aku langsung melakukan panggilan telepon kepada Ata. Ga ada waktu lagi untuk berkirim pesan."Ga, Ndra. Dia sudah naik sebuah mobil mewah dan meluncur cepat. Aku ga sempat memperhatikan karena keberadaannya ada diseberang jalan."Aku mendengkus. Gimana cara menyelidikinya kalau begini?"Jadi, hanya foto itu aja, Ta?" "Iya, sorry, Bro. Aku juga ga nyangka istri kamu yang berkerudung itu nekat mengubah penampilan seperti itu.""Bukan, Ta! itu bukan Melody! Melody tak mungkin menjadi wanita ga bener! dia wanita yang tau agama." kilahku. Tak terima Ata menghakimi Melody seperti itu."Maaf, Ndra. Aku pikir setahun kamu abaikan dia, membuat jiwanya sakit. Apalagi setelah kesalahanpahaman yang terjadi di
Setengah jam berlalu, rasa sakit sudah mulai hilang, walau berat dibagian tengkuk masih aku rasakan. Jam ditangan menunjukkan angka dua. Aku belum sholat. Gegas aku menyalakan mobil dan meninggalkan tempat itu. Tak jauh dari rumah Ayah Melody, ada mesjid. Aku akan sholat dulu disana. Walau sudah lewat waktunya. Mesjid sudah sepi, hanya beberapa driver ojek online yang rebahan di pelataran bangunan suci itu. Tak apa yang penting berniat untuk beribadah. Tak lupa berdoa agar masalah ini cepat teratasi.Usai sholat aku kembali melanjutkan perjalanan. Tinggal beberapa jarak lagi aku akan sampai dirumah mertuaku. Ingin kesana, tapi takut jika Ayah Melody akan terpancing emosinya. Tapi, aku penasaran apakah Melody ada disana atau tidak. Khawatir jika Ayah menyembunyikan anak perempuannya itu karena kecewa padaku. Mengingat itu aku melajukan mobil ke sana, mengintai dari jauh.Rumah minimalis itu tampak sepi, tapi pintunya terbuka lebar. Dua buah mobil parkir di depan rumah Ayah Dahlan. Yang
Hari sudah gelap, badanku sudah lemas rasanya tubuh ini tak bertulang. Seharian aku mutar-mutar mencari Melody. Beberapa orang di dekat kampus Melody dulu, yang kuperlihatkan foto istriku itu, sama sekali tak mengenalnya. Aku memutuskan ke rumah Mama badanku sungguh tak nyaman aku takut tinggal sendirian. Jika nanti mati, siapa yang akan tau.Mobilku sampai dihalaman rumah Mama. Pintu langsung terbuka. Mama dan Mbak Widya menatap ke arahku. Baru saja aku turun dari mobil. Pandanganku tiba-tiba saja berputar. Badan terasa berat, aku terhempas ke tanah. Hanya samar-samar suara Mama dan Mbak Widya memanggil-manggil namaku cemas.***"Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Ndra." suara Mama menyambut kesadaranku."Ini dimana, Ma?""Rumah sakit, Ndra. Kamu pingsan kemarin. Kamu ini gimana toh, Ndra. Seharian mesti ga makan?" sungut Mama."Mencari istri ya harus mikirin kesehatan juga, Ndra. Kalau kamu begini gimana mau mencari Melody! pikir kesehatan kamu!" potong Mbak Widya yang mendekat ke bib
"Aku kan sakit, Ta.""Iya, tapi taunya Pak Ryan kamu itu ngayap di jalan-jalan. Kayak orang bingung." ketus Ata.Aku mengeryitkan kening. Kenapa Pak Ryan bisa tau."Pak Ryan tau dari mana?""Dia melihat kamu, Ndra. Beberapa hari ini Pak Ryan memang ada perlu bolak balik ke PT. Inti Mas. Dia lihat mobil kamu."Aku terdiam. Mau memberi alasan apa lagi setelah ini."Besok kamu harus masuk, Ndra.""Ga bisa, Ta. Istriku belum ketemu.""Wah, bisa-bisa kamu di pecat!"Aku membuang napas kasar. Pekerjaan ini penting bagiku.Ata mendekat lalu duduk dibibir ranjang kemudian meraih tanganku. Aku terkejut, menatap lelaki itu tanpa suara. Apa-apaan Ata? "Tenang aja, Ndra. Yakin masalah kamu, akan segera selesai. Pokoknya kamu besok harus masuk, aku pamit dulu." lelaki itu melepaskan tanganku lalu menepuk pundak sekilas dan bangkit meninggalkan senyum yang penuh misteri.Darahku berdesir. "Astaghfirullah ..." desisku.Motor Ata sudah terdengar menjauh, aku baru hendak bangkit ketika terdengar sua
Saat sampai di depan jalan rumah Ayah Melody, benar saja seorang wanita berkerudung menatapku dengan senyum manisnya. Hatiku begitu berdesir. Senyum yang seminggu ini aku nantikan.Melody?Senyumku merekah, wajah cantik Melody terus melempar senyum.Tiiiiiiin!"Woi! cari mati lu! berhenti sembarangan!" umpat seseorang yang mengendarai motor yang kemudian mendahuluiku.Aku yang tersentak, segera menepikan kendaraanku. Pandangan kembali menatap kearah rumah Melody. Sepi, tak ada orang. Ternyata hanya halusinasiku saja. Kembali melanjutkan perjalanan dengan hati yang kecewa. Mungkin saking inginnyabertemu, bayang-bayang Melody seakan ada di pelupuk mataku.Sejam kemudian aku sampai dikantor. Awalnya semua normal, hingga aku dipanggil Pak Ryan keruangannya."Kemana saja kamu akhir-akhir ini, beralasan sakit tapi nyatanya kamu berkeliling kota seperti orang yang tak punya pekerjaan. Setelah ini tak ada toleransi lagi atas kelalaian kamu!"Hardik Pak Ryan."Sekarang segera buat laporan pema