Share

05. Tidak Peduli

Ini tidak mungkin.

Berulang kali, Vivian meyakinkan dirinya kalau ini mustahil. Mantan pacarnya yang sudah dia buang mendadak jadi bos besar?

Tidak pernah terpikirkan sebelumnya kalau ini sunguhan. Pria yang dulu dia remehkan, dia buang karena terlalu miskin untuk memenuhi kehidupa hedonnya adalah seorang CEO Sunmart?

Perusahaan ritel yang menaungi ratusan cabang Supermarket Sunmart di seluruh negeri itu?

Vivian tak mau percaya. "Gimana mungkin kamu jadi CEO-nya Sunmart? Kamu itu cuma yatim piatu, orang miskin! Ini cuma bohongan, iya 'kan? Kamu pikir aku nggak tahu, CEO jaringan ritel Sunmart itu Pak Tonny Hardana, fotonya tersebar di seluruh situs Sunmart."

"Itu pamanku, aku dulu cuma main-main saja. Aku bosan hidup enak, jadi aku ingin tahu rasanya hidup sangat miskin .... sepertimu." Vito tersenyum palsu, senang bisa membalikkan hinaan Vivian barusan. Dengan bangga, dia kembali berkata, "kalau kamu nggak percaya, coba buka saja situs atau media sosial Sunmart, akan terlihat siapa CEO yang sekarang."

Vivian mengambil ponselnya, kemudian melihat postingan terbaru dari media sosial Sunmart.

Berita terbaru menunjukkan ucapan selamat bagi CEO baru Sunmart, Vito Vincent Ravello.

Di situ juga terpajang foto Vito. Kolom komentar dipenuhi pujian dari para wanita yang tak mengira CEO Sunmart masih terbilang muda dan tampan.

"Kamu ..." Vivian memandangi Vito. "Kamu melakukan ini semua karena menginginkanku 'kan?"

"Menginginkanmu?"

"Kamu menikahi Elitta! Kamu melakukannya agar bisa dekat denganku. Iya 'kan?"

"Enggak."

"Jangan bohong kamu. Aku tahu kamu tergila-gila denganku."

Vito menunjukkan pandangan meremehkannya kepada Vivian. Dia seperti ingin tertawa melihat betapa menyesalnya wanita yang pernah menghinanya secara keji setahun silam itu.

"Kenapa kamu diam aja, Vito? Kamu emang menginginkanku. Ini bukan kebetulan. Aku menikahi ayah Elitta, jadi kamu menikahi Elitta agar bisa dekat denganku."

"Ini cuma kebetulan aja."

Vivian mendekati pria itu. Raut wajahnya terlihat memelas. Dia selalu melalukan itu ketika ingin menaklukkan hati pria manapun. "Maafkan aku, Vito."

"Untuk apa? Kenapa tiba-tiba minta maaf?"

"Aku dulu meninggalkanmu, tapi itu bukan keinginanku, aku terpaksa. Aku dari dulu menyukaimu, kamu itu ganteng banget. Kalau saja kamu nggak perlu pura-pura miskin, kita pasti bahagia bersama."

"Aku nggak pura-pura miskin, emangnya aku bilang kalau aku miskin dulu? Kamu yang nganggap aku cuma pria kampung miskin."

"Maaf. Aku butuh uang dulu ... kamu tahu 'kan, kebutuhanku banyak dulu."

"Nggak usah minta maaf, sudah aku bilang ... aku cuma main-main dulu, tapi kamu memberiku pengalaman bagus. Aku harusnya hati-hati kepada wanita."

Vivian tidak suka dipandangi hina begitu. Dia menyentuh dada Vito, membelainya perlahan, berharap diberikan kesempatan untuk menunjukkan rasa sesalnya. "Vito, aku tahu kamu pasti sakit hati dulu, maaf, sungguh ... aku bukannya mau menghina kamu miskin, aku memang butuh uang. Siapa sih yang nggak butuh uang? Kosmetik sekarang itu mahal. Wajar 'kan dulu aku marah waktu kamu bilang nggak ada uang untuk membelikanku barang-barang yang kumau. Semua wanita cantik itu butuh uang."

"Iya kamu benar, semua wanita cantik itu butuh uang. Sekarang singkirkan tanganmu dariku, aku suami Elitta, aku eksklusif untuk istriku, jangan coba-coba menyentuhku." Vito menyingkirkan tangan Vivian dari dadanya. Dia mundur selangkah sambil merapikan jas.

Vivian cemburu mendengar perkataan itu. Dia bertekad untuk memiliki Vito lagi. Daripada kekayaan ayah Elitta, kekayaan Vito jauh lebih baik. Selain itu, Vito juga masih muda, sangat tampan, bertubuh bagus, dan berkelas.

Dia mendekati mantan pacarnya itu sambil merayu, "jadi, kamu masih dendam sama aku? Udahlah, nggak usah menyakiti hati Elitta hanya untuk membuatku cemburu. Aku minta maaf ninggalin kamu."

"Udah aku bilang, kita kebetulan ketemu. Aku nggak peduli sama kamu. Aku bahagia menikahi Elitta."

"Bohong! Aku tahu kamu masih sayang sama aku! Ini cuma akal-akalan kamu aja pengen dekat sama aku. Iya 'kan?"

"Sayang? Emangnya kamu itu siapaku?"

"Vito, tega banget kamu."

Tak ada ucapan apapun yang keluar dari mulut Vito. Raut wajahnya masih sedatar dan sedingin tembok. Dia sama sekali tidak memiliki perasaan tertentu terhadap Vivian. Tidak benci, tidak suka, tidak peduli.

Tak berselang lama, Elitta memasuki ruangan itu lagi. Dia curiga dengan mimik wajah Vivian yang sedang ngambek ke Vito. Iya, seolah-olah mereka saling kenal.

"Sedang apa kalian?" Dia bertanya.

Otot kaku di wajah Vito perlahan menjadi lemas. Dia berjalan melewati Vivian seakan tak menganggapnya ada, lalu mendekati sang istri. "Nggak ada apa-apa. Ibu tiri kamu ini berkata kalau mengenalku, padahal mana mungkin aku kenal dengan wanita murahan. Iya 'kan?"

"Kamu bisa aja." Baru kali in, Elitta tersenyum ketika mendengar orang lain dihina.

Vivian murka. Kebenciannya bertambah begitu menatap Elitta. Dia tidak terima, kenapa harus Elitta yang mendadak jadi istri bos besar ini? Sementara dirinya terjebak dengan pengusaha tua bangka, Elitta mendapatkan CEO tampan?

Dia sudah susah payah membuatnya batal menikah dengan Leon yang seorang pengusaha muda, lalu menikahi ayahnya juga— semua itu agar Elitta tak punya apapun, tak berdaya.

Tapi, keberuntungan seolah berpihak padanya terus. Ini tidak adil.

Elitta bicara ke suaminya, "kamu ditunggu papa ke ruang tamu depan, ini bawa berkasnya, aku akan nyusul setelah nyari berkas lain di bekas kamarku."

"Jangan lama-lama, cepat susul."

"Iya."

Vito pergi meninggalkannya tanpa mengatakan apapun lagi.

Kedua tangan Vivian mengepal, begitu marah dan cemburu. Dia bagaikan bola api yang disiram minyak tanah— kobarannya semakin hebat. Tekadnya sudah bulat, tidak akan dia biarkan Elitta menang darinya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status