Share

Dua

"Ekmm... Sepertinya aku ingin pindah kampus," celetukku tanpa sadar.

"Buat apa? Lebih baik kamu tetap di kampus itu. Malahan kamu harusnya bahagia karena yang menjadi Dosen di fakultasmu itu Gavin!" sahut Papaku.

Aku mengangkat alisku sebelah. "Harusnya bahagia? Kenapa?"

Ku dengar Papa mendengus kesal. "Kalau Dosen kamu itu Gavin, otomatis nilai kamu juga bagus!"

"Maaf, Om!" celetuk Gavin mendadak.

"Prinsip itu tidak berlaku pada saya. Mahasiswa tetaplah mahasiswa dan istri tetaplah istri!" lanjutnya.

Papa menatap pria yang bernama Gavin itu kagum. "Om suka model laki-laki yang seperti kamu! Profesional!"

"Bolehkah kita berbicara sebentar?" Pria itu menatapku dengan tatapan tajam.

Aku yang tak sengaja menatap matanya juga sontak gelagapan. "I-iya bisa, silakan!"

"Saya maunya berbicara empat mata dengan Anda!" ucap pria itu.

Tante Anggun menyenggol lengan anaknya. "Jangan terlalu kasar pada perempuan!" peringat Tante Anggun.

Namun pria itu hanya diam tak menggubris perkataan Bundanya.

Pria itu beranjak dari kursinya, lalu berkata, "saya tunggu di depan."

Punggung pria itu sudah tidak terlihat lagi oleh penglihatanku, namun aku masih tetap duduk diam di kursi. Jujur, aku tidak siap jika harus berbicara empat mata dengannya.

"Inka, lekas jumpai Gavin!" titah Papa yang membuatku mau tak mau harus beranjak.

Aku berjalan dengan sangat lambat untuk menemui laki-laki yang bernama Gavin itu.

Aku berdeham. "Ekhm!" Hal itu sengaja aku lakukan agar ia yang sedang melihat lurus ke depan mengetahui keberadaanku.

Namun aku salah, aku pikir laki-laki itu menoleh ternyata tetap menatap lurus ke depan. Bahkan wajahnya sangat menyeramkan.

"Ada apa, Kak?" tanyaku pelan.

Laki-laki itu mengangkat alisnya sebelah. "Kak? Kita berbeda tujuh tahun!"

"Eh iya, Mas!"

"Saya Dosenmu, bukan suamimu! Panggil saya bapak!"

Aku tercengang. Ini sangat aneh, aku dan dirinya itu di rumah ini berstatus dijodohkan bukan kuliah.

"Oke, Bapak!"

Tadinya ia duduk, tapi kini ia beranjak. Tangannya ditaruh di saku lalu pandangannya lurus ke depan. "Ingat ya! Pernikahan kita cuma empat tahun, setelahnya kita cerai! Jangan anggap aku spesial di mata kamu! Karna kamu hanyalah titipan bagiku, seperti pengasuh anak dan anak yang dijaganya!" tegas Pak Gavin galak.

"Loh, emangnya Bapak menerima perjodohan ini?" tanyaku bingung.

"Ck! Ini semua karena kamu makanya saya terpaksa menerima ini!"

Mataku melebar mendengar itu. Aku tidak terima dengan apa yang ia katakan. "Kenapa saya?"

"Kamu gak usah banyak bicara! Kepala saya sangat pusing jika mendengar beban sedang bicara!" sentaknya sembari memijit pelipis.

Aku hanya mendengus kesal. Pria ini sangat kasar. Tak bisa ku bayangkan jika ia menjadi sosok suamiku.

"Kamu mengerti enggak?"

Memang saat ini pikiranku sedang buntu. "Mengerti apanya?" tanyaku enteng.

"Kalau kelak kamu hanya titipan untukku bukan istriku!"

Aku menganggukkan kepalaku tanda paham.

Gbrakk!

"Mengerti enggak?!" senggaknya tiba-tiba dengan menggebrak meja di sampingnya yang membuatku sontak terkejut. Jantungku  berdebar sangat kencang.

"I-iya mengerti."

Lalu pria itu pergi meninggalkanku yang termenung menatap kolam dengan lantai biru yang berisi air.

Semakin lama aku termenung, cairan bening jatuh perlahan ke pipiku. Dari dulu, aku gak suka dengan pria kasar seperti Pak Gavin. Tapi entah takdir apa yang membawaku hingga aku menjadi calon istri kontraknya.

Aku mendekat ke arah kolam, lalu duduk di tepi dan merendam kakiku di sana. Saat ini ingin menyendiri untuk menjernihkan pikiranku.

Sudah satu jam aku duduk di sini tanpa kembali ke meja makan. Mungkin pun pria itu dan keluarganya sudah pulang.

Mendadak aku merasakan seperti ada yang menepuk bahuku. Aku membalik, ternyata ada Mama ku yang menatapku seolah berkata 'ada apa?'.

Aku langsung memeluk Mama dengan tangisan yang memecah.

Mama yang bingung melihatku menangis langsung mengelus rambutku. "Ada apa, Inka?"

"Ada apa, ini?" Suara itu mampu melepaskan pelukanku terhadap Mama. Suara yang sangat tegas.

Aku menatap Papaku dengan cairan bening di pipiku. "Papa, Inka gak mau dijodohkan."

"Iya, Pa. Kasihan Inka masih kecil harus nikah dengan pria Duda. Apalagi kalau nikahnya kontrak," timpal Mama membelaku.

"Waktu Inka SMA keputusan Papa kalian bantah, oke gak apa-apa. Tapi kali ini saat Inka  kuliah gak ada yang boleh ngebantah keputusan Papa. Pernikahan itu tetap dilanjutkan," tegas Papa lalu pergi meninggalkan kami.

"Mama, ini gimana? Inka gak mau menikah dengan pria tadi," ucapku dengan sesenggukan.

Mama menatapku dengan penuh kasihan. "Mau gimana lagi, Inka? Ini semua sudah keputusan Papa kamu, Mama gak bisa menolaknya. Begitu pun juga denganmu."

___

"Saya terima nikah dan kawinnya Rainka Adriana binti Gery Laksmana dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!" Dengan tegap, sosok Pria itu menjabat tangan Papaku dan menyebut namaku.

"Bagaimana para saksi? Sah?"

"Sah!"

Tak ku sangka, ternyata pernikahan ini telah terjadi. Pernikahan yang tak pernah aku dambakan. Bahkan saat aku bercermin di kamar hotel tadi, tidak ada raut bahagia di wajahku.

"Ayo Gavin tanda tangan di sini!" titah seorang saksi sembari memberikan selembar kertas. Dengan lihai, Pak Gavin menandatangani kertas itu.

Setelah selesai, Pak Gavin mengoperkannya padaku. Tak lupa ia memberiku sebuah pulpen tanpa mengucapkan sepatah dua kata.

Dari tandatangan, pemakaian cincin, hingga menyalami keluarga. Beberapa lampu flash yang ke arahku maupun Pak Gavin. Memang acara ini sangat sederhana, karena pernikahan ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Bahkan teman dekatku tidak ada yang tahu jika aku sedang menikah.

Jam 20:45

"Kelly!" panggilku seraya berlari ke arah kecil yang masih berumur 3 tahun. Anak kecil itu adalah keponakan Pak Gavin. Sangat imut.

"Tantee!" balas Kelly seraya tersenyum manis.

"Dapat!" Aku langsung menggendong Kelly walaupun masih mengenakan baju pernikahan.

"Udah jam sembilan, Inka! Ganti bajumu, Gavin sudah menunggumu di kamar!" perintah Tante Anggun.

"Iya, Tante bentar lagi. Inka masih main sama Kelly," balasku.

"Apa kamu bilang? Tante? Panggil aku, Bunda!" titah Tante Anggun.

Aku hanya cengengesan lalu berkata, "Iya, Bunda!"

"Sudah kamu gak usah main sama Kelly terus! Cepat temui suamimu!" titah Bunda lagi dengan nada sedikit tekanan.

Di saat bermain dengan Kelly, aku terus tersenyum. Tapi entah mengapa, saat Bunda berkata begitu senyumku pudar. 

"Ya ampun, Inka!" Anggun mengambil Kelly dari pangkuanku. "Sana buruan ke kamar! Ganti baju, berikan aku cucu lagi!"

Aku beranjak, tapi sambil melamun. "Itu gak mungkin, Pak Gavin pasti jijik denganku," batinku.

Perlahan demi perlahan aku melangkahkan kakiku hingga sampai ke kamar yang sudah disewa untukku dan juga Pak Gavin.

Sebenarnya aku dihantui oleh perasaan ragu-ragu. Aku sangat takut mengetuk pintu yang kini berada pas di hadapanku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status