Share

Lima

"Ngomong-ngomong kalian sudah pada makan?" tanya Bunda.

"Ak-" Lagi-lagi ucapanku terpotong. Tapi kali ini bukan Bunda yang memotongnya, melainkan Mas Gavin.

"Sudah kok, Bunda." Pria itu sangat tega, egois. Ia hanya mengatakan kondisi perutnya, bukan istrinya.

"Beneran?" Bunda memastikan.

Mas Gavin tersenyum ke arah Bunda. Senyum yang tak pernah aku lihat. "Beneran, Bunda."

"Bunda, kami langsung pulang, ya!" izin Mas Gavin.

Bunda refleks melihat jam yang melingkar di tangannya. "Ini masih jam delapan, cepat sekali kalian pulangnya. Lagian kenapa gak barengan aja sama Bunda dan Ayah?" tanya Bunda.

"Maaf, Bunda. Sepertinya Gavin tidak mampir ke rumah Bunda. Gavin langsung pulang saja dengan Rain," tutur Mas Gavin.

"Kalau kalian langsung pulang, bagaimana dengan pakaian Inka?" tanya Bunda.

"Itu tak masalah, Bunda. Nanti sore Gavin bakal menemani Rain pulang mengambil pakaiannya."

Sementara aku yang dari tadi hanya  mendengarkan interaksi anak dan ibu itu hanya bisa menganga. Aku tak menyangka di umur Mas Gavin yang masih mudah tapi ia sudah memiliki rumah sendiri. Bahkan aku pikir Mas Gavin masih tinggal dengan Bunda Anggun dan Ayah Bayu.

"Ya sudah." Bunda mengizinkan.

"Bunda balik ke kamar bunda dulu, ya," pamit Bunda seraya berjalan ke arah pintu.

Aku memperhatikan punggung Bunda yang makin lama makin menghilang, lalu baku berkata pada Mas Gavin, "mas kenapa jawabnya sudah sarapan?" rajukku.

Mas Gavin mengangkat alisnya sebelah. "Ya, memang saya tadi sudah sarapan 'kan?"

"Ck! Tapi aku belum, Mas!"

"Gak usah seperti anak kecil!" decit Mas Gavin.

"Tega banget, sih!" gumamnya karena saking geramnya.

Jujur, perkataan yang barusan Mas Gavin ucapkan membuatku merasa down.

Mas Gavin mengambil koper mininya yang sebelumnya sudah aku susun rapi dalamnya. "Ayo pulang!"

Mataku sontak terbelalak. Mas Gavin sudah menggeret kopernya, sedangkan aku membereskan baju pun belum.

"Mas, aku belum membereskan baju!"

Walaupun aku sudah mengatakan begitu, namun Mas Gavin masih melanjutkan langkahnya hendak keluar kamar. "Dari tadi ngapain aja?"

Pertanyaan itu membuatku kesal.

Mas Gavin melihat jam yang melingkar di tangannya. "Sepuluh menit dari sekarang. Kalau sepuluh menit belum sampai parkiran, saya tinggal!" ancam Mas Gavin membuatku buru-buru membereskan baju-bajuku.

Di sela membereskan bajuku, tak sengaja air mataku menetes. Aku terus berkepikiran, jika di awal saja sudah begini, lantas bagaimana lagi hari-hariku ke depannya?

"Mama, aku lelah kalau begini terus," gumamku sembari menyeka air mata.

Pada akhirnya, aku telah sampai di parkiran tepatnya di depan mobil Mas Gavin. Aku membuka pintu mobil dan duduk di samping Mas Gavin, kemudian aku memasang sabuk pengaman.

"Kalau tadi kamu lewat tiga puluh detik aja tadi, bakal saya tinggal," tutur Mas Gavin sembari melihat jam tangannya. Namun sia-sia, aku tak menggubris perkataannya.

Mas Gavin mengerutkan dahinya saat sadar jika aku tak membalas tuturannya. Dan dahi Mas Gavin lebih mengerut saat sadar bahwa wajahku terus-terusan menoleh ke arah jendela dengan tertunduk. Mas Gavin tak bisa melihat wajahku karena tertutup dengan rambutku yang ku gerai.

"Hei!" Mas Gavin mengangkat daguku ke arahnya hingga refleks aku menatapnya. Tapi dengan cepat, aku menunduk kembali.

"Mata kamu merah. Kamu nangis?"

Sebisa mungkin aku menormalkan wajahku. Setidaknya bisa menghilangkan ekspresi sedihku, kemudian aku menggeleng.

Bukannya kasihan, Mas Gavin malah melepaskan cekalan tangannya di daguku, lalu tersenyum dengan sinis. "Baru diancam seperti tadi saja sudah nangis, dasar cengeng!" ledeknya.

Rasanya tak sabar aku ingin menemui Mamaku di rumah dan mengaduh apa yang ku rasakan.

Setelah perjalanan setengah jam, akhirnya kami sampai ke titik lokasi. Tak henti-henti aku menatap rumah Mas Gavin dari luar. Sangat cantik dan minimalis. Namun dalam sekejap aku berpikir, buat apa rumah minimalis kalau sifat orangnya seperti itu?

Ku lihat Mas Gavin menggeret kopernya memasuki rumah, aku sontak mengikuti Mas Gavin dari belakang sembari menggendong tas ranselku.

"Kamar kamu di bawah!" beritahu Mas Gavin.

Aku mengernyitkan dahi heran. "Loh, kita gak satu kamar?"

"Sudah berapa kali saya bilang, saya gak sudi satu kamar dengan kamu apalagi satu kasur. Kamar kamu di bawah dan kamar saya di atas."

Aku termangu "Terus kamar aku di bawah dimana-Nya?"

"Itu di belakang hampir dekat dapur." Mas Gavin menunjuk ke arah kamar yang sepetak kecil.

Aku pun terbelalak. "Mas pikir aku pembantu, Mas?" celetukku geram akibat terbawa suasana.

Aku mendapat tatapan tajam dari Mas Gavin. "Itu masih mending daripada tidak sama sekali. Lagian itu kamarnya ada toiletnya kok, walaupun gak sebesar kamar saya."

Aku langsung berjalan ke kamar yang dimaksud oleh Mas Gavin. Aku merebahkan tubuhku di kasur sembari menatap langit-langit kamar untuk mengistirahatkan diri. Lantas aku berkepikiran untuk pergi ke rumah Mama secara diam-diam.

Dari balik celah pintu kamar, aku terus memperhatikan Mas Gavin yang berjalan mondar-mandir dengan handphone yang berada di dekat kuping.

Mata ini terus terarah pada langkah Mas Gavin yang berjalan ke atas, lalu ke bawah dan keluar rumah. Menurutku ini adalah sebuah kesempatan. Aku mengambil tas ku dan berendap-endap berjalan keluar rumah.

Di saat aku melihat mobil suamiku telah pergi, aku pun keluar gerbang.

Aku melihat dompetku, hanya ada uang lima puluh ribu selembar. Aku menepuk jidat, kemarin sebelum menikah aku lupa untuk meminta uang pada Papa.

"Gak bisa pesan taksi, dong. Cukup sih, tapi pas-pasan," gerutuku.

"Terpaksa naik angkot."

____

"MAMA!" seruku saat sudah sampai di kediaman Mama dan Papa.

"Kata Anggun, kamu di rumah Gavin," heran Mama seraya berjalan menemuiku.

"Papa mana, Ma?"

"Papa keluar sebentar, katanya ada urusan kantor."

Setelah ku rasa aman, aku langsung memeluk Mama erat-erat.

"Eh, ada apa, Nak?" Mama juga bingung denganku yang mendadak memeluknya.

"Inka mau tinggal di sini aja sama Mama. Inka gak mau tinggal sama Mas Gavin," ujarku.

Mama mengelus punggungku. "Inka sudah makan?" alih Mama.

Aku menggeleng.

"Kenapa?" tanya Mama, namun aku hanya senyum terpaksa. Dan jangan lupakan air mataku yang masih membasahi pipi.

"Makan dulu, yuk!" Mama menuntunku menuju meja makan.

"Inka gak makan, Ma!" Memang tadi perutku sangat lapar, tapi saat air mataku sudah terjatuh, otomatis hilang nafsu makan.

"Makan ya, nanti sakit," bujuk Mama.

Aku tetap menggeleng. "Inka sudah gak lapar lagi, Ma."

"Kamu memang gak lapar, tapi perut kamu harus tetap diisi."

Mama beralih mengambil piring dan mencentongkan nasi untukku.

"Sedikit aja, Ma."

Tatapan Mama terus ke arahku yang sedang makan secara perlahan. "Makannya yang banyak. Mama takut setelah nikah ini tubuh semakin kurus akibat menghadapi Gavin."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status