Untungnya hari ini hari Sabtu, karena kalau hari Sabtu dan Minggu kami libur. Lagi-lagi bang Ardan tidak tidur di rumah biarkan saja dia maunya apa. Aku sudah tidak peduli lagi. Hingga hari Minggu malam pun dia datang ke rumah, tapi kami berdua hanya diam saja. Buat apa bicara kalau hanya akhirnya bikin suasana tambah panas saja.
"Dek, emmm ini ada uang lima ratus ribu dari mamah. Kata beliau ini buat bantuin bayar cicilan mobilku," ucap bang Ardan memulai pembicaraan. "Aku minta maaf ya tentang masalah beberapa hari lalu."Aku yang mendengar sontak kaget. Ini orang kesambet apa, sampai rela meminta maaf padaku. Orang kayak bang Ardan kan masih menjunjung tinggi harga diri. Hedeh harga diri apaan? Wong nafkahin istri aja nggak pernah. Kalau nanti suatu saat aku sudah tidak tahan lagi dengan ulahnya yang tidak berubah itu. Jangan salahkan aku kalau nanti aku menggugatnya ke maja hijau. "Hmm gimana ya? Oke deh aku terima. Tapi abang harus berubah ya?" Kini aku berusaha memaafkan. Kalau masih mengulangi awas aja nanti kau Bang. Ups, kalau cuma masalah gini aja sih mungkin aku masih menimbang rasa. Tapi kalau pengkhianatan, tiada maaf bagimu. Akan kutarik fasilitas mobilmu itu. Tunggu tanggal mainnya. "Makasih ya dek," balas bang Ardan sambil memeluk dan mencium keningku. * * * Pagi hari, setelah kami sarapan. Kami bersiap-siap akan berangkat ke kantor. Tiba-tiba turun hujan, ya walaupun tidak terlalu deras. Tapi lumayan basah bila tidak pakai jas hujan. "Bang, antarin aku ya ke kantor. Kan hujannya lumayan deras ini," kataku meminta bang Ardan agar mengantarku ke kantor dengan mobilnya. Ya aku kan udah beberapa bulan ini nggak pernah merasakan jalan naik mobil. Punya mobil aku yang bayar, tapi aku tidak pernah diajaknya jalan-jalan. Bila hari libur alasannya mager lah, capek lah udah lima hari kerja. Eh malah mementingkan jalan-jalan dengan teman-temannya itu."Yah, gimana dong? Abang hampir telat nih. Mana ada rapat di kantor. Lagipula kantor kamu kan jauh. Bisa telat nanti abang menghadiri rapat. Kamu bisa kan pakai jas hujan. Untuk apa punya jas hujan kalau nggak pernah digunakan saat hari hujan gini. Percuma dong mahal-mahal beli. Kalau cuma untuk disimpan di jok motor," jelas bang Ardan panjang lebar. "Ih tega kamu bang. Masa cuma anterin aku aja ke kantor, kamu perhitungan gitu. Untuk apa juga aku beli'in kamu mobil kalau aku nggak menikmati." Aku sudah marah padanya yang terlampau perhitungan itu. "Udahlah dek, kamu ini pagi-pagi udah ngajak gelut. Bisa-bisa ambyar mood kerjaku." Bang Ardan langsung meninggalkanku tanpa rasa bersalah. Dia tak peduli denganku walau aku sudah memasang muka bete. Ya Tuhan, suami macam apa dia. Tega sekali dengan istrinya. Gimana nanti kalau kami punya anak. Mungkin dia akan lebih tidak peduli dengan anak-anak. Aku sudah pasrah dengan Tuhan mau memberi kami anak atau tidak. Itu hak prerogatif Tuhan. Walaupun kadang banyak yang nyinyir sana sini, pasalnya sudah dua tahun lebih kami menikah belum dikaruniai momongan. Akhirnya dengan membungkus baju dan sepatu kerjaku, aku pakai baju biasa dulu ke kantor. Kemudian aku pakai jas hujan. Sebenarnya aku bisa saja ke kantor memakai jasa taksi online. Tapi setelah dipikir-pikir sayang uangnya. Bisa untuk makan dua hari ke depan. Jadi aku ke kantor naik motorku dan pakai sendal jepit. Setelah setengah jam naik motor, tibalah aku di kantor. Aku menggigil kedinginan. Mita yang sudah sampai duluan di kantor iba melihatku. Aku langsung ke kamar mandi bertukar pakaian dan langsung ganti sepatu, untung bos belum datang. Tapi bosku orang yang baik dan pengertian. Hanya aku saja yang kurang enak bila aku datang lebih lambat dari bosku. "Key, kamu kenapa basah-basahan gini. Kan kemarin habis beli mobil. Kok si Ardan nggak nganterin kamu?" tanya Mita padaku terheran-heran. "Bang Ardan duluan ke kantor, katanya ada rapat penting," jawabku sekenanya. Aku malas menjawab pertanyaan Mita panjang lebar. Nanti jadinya malah merembet kemana-mana. "Tega amat sih jadi laki. Nggak kasian apa ama istrinya, udah hujan-hujanan, basah, dan kedinginan lagi. Dimana sih hati nuraninya. Kalau aku jadi kamu udah kubuang aja ke laut laki macam gitu, Key," sahut Mita dengan emosi. "Ya sabar dong Ta, aku juga pengen nendang dia. Tapi aku masih mengumpulkan bukti kuat. Aku kasihan juga pada ibuku, kalau beliau mendengar aku tiba-tiba cerai. Bisa serangan jantung nanti beliau. Pelan-pelan lah dulu Ta, aku mau mengikuti alur bang Ardan sampai dimana perlakuan dia padaku," kataku membela diri. Entahlah keberanian dari mana aku bisa berbicara seperti ini. "Kalau aku mah nggak bisa sabar-sabaran kayak kamu Key. Aku wanita yang pantang di hina.""Iya Ta aku ngerti, tapi semua perlu waktu dan proses. Jangan gegabah, main nyosor aja."Beberapa saat Mita terdiam dan memikirkan sesuatu. Entahlah apa yang dia pikirkan. "Gimana dengan jualan frozen food kamu Key? Apa sudah ada yang laku? Tapi bukan berarti aku menagih uang modal ya, aku hanya bertanya saja. Siapa tahu bisa memberimu semangat dan tips-tips berdagang," tanya Mita yang membuatku sulit menjawab. Kalau kujawab bisa-bisa emosinya makin tersulut lagi. "Emmm, baru dua atau tiga bungkus Ta yang laku, mungkin komplekku tidak seramai komplekmu. Atau aku sibuk dengan pekerjaan kantor jadi aku selama ini kurang promosi, hehe," jawabku sekenanya. Kalau kujawab jujur nanti Mita marah lagi. Aku akhirnya jadi bad mood mengerjakan tugas kantor. "Oh iya, nggak apa-apa Key. Namanya usaha perlu proses. Atau kamu juga nyambi jualan pulsa dan kuota internet seperti Soni. Jadi kamu tinggal mengantarkan ke toko kounter pulsa dan kuota internet yang memerlukan. Ya semacam distributor gitu."Soni yang dimaksud adalah sesama rekan kantor kami seorang ASN juga tapi berbeda divisi denganku. Aku tidak terlalu akrab sih. Tapi sampai saat ini Soni belum menikah dan masih menjomblo. Kalau deket-deket dia jadi fitnah gimana? "T-Tapi kan Soni masih jomblo Ta. Entar kalo aku berbisnis dengan dia, apa nggak jadi fitnah?" tanyaku pada Mita ragu. "Ya ampun Key, masa cuma urusan bisnis jadi fitnah sih. Katanya mau nambah penghasilan dan melunasi utangmu? Udahlah tenang aja. Nanti aku temani kami deh berbicara dengan Soni.""Iya deh."Kok aku malah jadi deg-degan gini. Emang sih tampang Soni cakep dan orangnya juga baik. Tapi masa hari gini dia masih jomblo. Hmm, aku nggak percaya. Loh Keyla, gimana sih kamu malah mikirin cowok lain. Ingat kamu masih istri orang. Hihihi. Aku jadi terkikik geli. Apa salahnya toh membayangkan cowok lain, toh suami sendiri kurang bertanggung jawab padaku. * * *Aku Ardan Aditama, aku seorang karyawan honerer di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di kotaku. Orangtuaku berasal dari keluarga mampu, tidak terlalu kaya juga sih. Aku anak bungsu dari tiga bersaudara, dua kakakku perempuan semua dan sudah berkeluarga juga. Kakakku yang pertama seorang manager di sebuah perusahaan makanan, suaminya adalah kepala cabang sebuah bank. Sedangkan kakakku yang kedua adalah seorang pengusaha salon di kotaku dan suaminya juga seorang pengusaha minimarket. Papahku seorang pensiunan pegawai di Dinas Pemuda dan Olahraga sedangkan mamahku hanya ibu rumah tangga biasa. Kedua kakakku hidup kaya, punya pekerjaan sendiri, punya rumah besar, dan mobil mewah, ditambah mempunyai suami yang mapan pula. Aku pun juga ingin hidup enak seperti kakak-kakakku. Pada awal berpacaran dengan Keyla. Orang tuaku dan kedua kakakku menginginkanku menikah dengan wanita yang berprofesi sebagai pegawai negeri. Tapi aku sudah terlanjur cinta dengan Keyla yang pada waktu itu seorang guru ho
PoV KeylaHari ini juga setelah mendengar saran Mita untuk berjualan pulsa dan kuota, ketika istirahat siang nanti kami sepakat untuk menemui Soni. Soni yang tengah duduk-duduk di depan kantor tengah asyik memainkan gawainya. Entahlah dia sedang berbalas pesan dengan siapa. Dengan pacarnya mungkin. Kulihat dia sambil senyam-senyum memandangai layar gawainya. Lah kenapa aku jadi mikirin Soni chat dengan siapa? Itukan bukan urusanku. Kan wajar, toh dia masih bujangan. Mau chat sama siapa aja itu hak dia. Atau mungkin dia sedang main game? Tapi emang orang main game sambil senyum sih? Yang ada kan orang kalau lagi main game mukanya tegang. "Hei Soni, kamu sibuk nggak? Ini ada hal yang mau kita bicarakan sama kamu," tanya Mita dengan ramah. "Eh, nggak nih. Cuma lagi santai aja hehe. Oh iya ada apa nih?" jawab Soni dengan santai. "Ini Son, Keyla mau ikutan gabung bisnis kamu. Kamu kan jualan pulsa dan kuota. Siapa tahu dengan jadi reseller kamu, Keyla juga bisa menambah penghasilan," s
Pov KeylaPerkembangan bisnis pulsa dan kuota internetku alhamdulillah berjalan dengan lancar. Kecuali pulsa ada sedikit kendala, kadang teman-teman kantorku dan juga teman baiknya masih ada yang ngebon. Ya paling ada satu dua orang yang terlambat membayar. Aku maklumi. Aku juga tidak mungkin menagih utang mereka secara paksa. Mereka baik semau kepadaku. Bosku alias kepala divisi, ibu Elsa mempercayakan kepadaku untuk memegang dan mengelola keuangan yang akan direncanakan untuk pengelolaan tanaman apotik hidup di beberapa kelurahan di kotaku yang akan di kelola oleh ibu-ibu PKK. Wah aku sangat senang bisa terlibat kegiatan ini. Selain menambah pengetahuan, siapa tahu juga bisa menambah penghasilan. Kabarnya dari tanaman apotik hidup seperti jahe, kunyit, kencur, lengkuas dan lain-lain, para ibu akan membuat unit usaha kecil seperti membuat jamu tradisional. Nah ini bisa jadi ide untuk bisnisku selanjutnya. Ketika aku sedang mengetik beberapa laporan bulanan, bu Elsa ke mejaku. Aku ka
Beberapa hari kemudian, aku kaget bang Ardan memberikanku ganti uang kantor utuh sebesar yang dia ambil. Aku bingung dia dapat uang dari mana, toh selama ini kan gaji dia hanya cukup untuk kebutuhannya. Apa dia meminjam uang kepada kedua orangtuanya? "Dek, ini abang balikin ya uang yang sempet abang pinjam kemarin?" Kata bang Ardan sambil menyerahkan sebuah amplop berwarna coklat. "Ah bener ini bang," mataku berbinar menerima amplop coklat itu. Dalam hatiku akhirnya insyaf juga ini suamiku. Dapat hidayah dari mana ya dia? "Ya bener dong dek, kapan abang nggak nepatin janji ke adek," sahut bang Ardan santai banget. "Halah biasanya juga nggak pernah nepatin janji. Katanya mau bantuin aku membayar cicilan mobil. Ini udah beberapa bulan abang nggak pernah bantuin! Gimana adek mau percaya dengan abang!" Jawabku sengit. "Sabar dek, nggak usah diungkit-ungkit hal itu. Pusing kepala abang. Ini aja abang mutar otak tujuh keliling supaya mendapatkan uang ini.""Emang abang dapat uang darima
"Dan, itu mobil merah depan rumah punya siapa? Punya kantor, punyateman kamu, atau punya kamu?” tanya mamah beruntun. Sebenarnya sudahdua kali aku membawa mobil ini ke rumah mamah, tapi beliau hanya diam saja. Baru kali ini beliau bertanya. Mungkin beliau kepo karena ini kali ketiga, aku membawa mobil tersebut ke rumah mamah.“I-itu mobil Ardan mah,” jawabku gugup. Wah bakalan di introgasi mamah nih aku beli mobil ini pakai apa.“Loh memang kamu punya banyak uang nak? Bukannya uang yang mamah kasih untuk kamu dan Keyla sewaktu sesudah kalian nikah itu untuk membangun rumah itu kan nggak sampai seratus juta. Maksud mamah uang itu pasti kurang untuk membeli rumah. Nah tinggal kamu dan Keyla menambahkan dengan menyisihkan uang gaji kalian untuk membangun rumah. Terus uangnya kamu belikan mobil? Mana cukup? Apa Keyla punya tabungan untuk membeli mobil?” omel mamah panjang lebar.Aku hanya diam saja, karena bingung mau menjawab apa. Tapi kalau mamah sudah mengomel seperti ini artinya sudah
Namaku adalah Rosalinda. Mirip dengan nama tokoh wanita telenovela jadul tahun 90-an itu ya. Orang-orang memanggilku bu Ros. Suamiku bernama pak Iwan. Aku seorang ibu rumah tangga dan suamiku seorang pensiunan pegawai negeri. Walau hanya ibu rumah tangga, sebenarnya aku juga mempunyai usaha karet di desa asalku. Anak-anakku tidak ada yang tahu. Karena usaha karet tersebut untuk tabungan di masa tuaku bersama suamiku. Yang terpenting aku sudah merawat dan membiayai ketiga anakku hingga mereka sarjana dan mempunyai pekerjaan. Anak-anak perempuanku memiliki usaha sendiri dan sudah lumayan besar karena mereka tidak mau melamar pekerjaan, jadinya mereka kuberikan sejumlah uang modal untuk membuka usaha. Dan akhirnya mereka pun bersuamikan laki-laki yang sukses. Tapi aku heran dengan anak laki-lakiku satu-satunya, dia adalah Ardan, apa karena dia anak bungsu. Salahku dan suamiku juga sih terlalu memanjakannya, apa yang dia minta selalu kami turuti. Sejak zaman sekolah dia selalu malas bel
PoV Keyla Sehari sesudah kedatangan para penagih hutang tersebut. Aku lihat tidak ada tanda-tanda bang Ardan akan berbicara tentang soal dia berhutang kepada perusahaan pembiayaan. Aku hanya diam saja. Lagipula tekatku sudah bulat, bahwa aku tidak mau memberi tahu tentang kedatangan Badri dan Tio. Nanti malah tambah runyam. Malam hari ketika selesai makan malam, terdengar suara mobil memasuki pekarangan rumah kami. Dan tak berapa lama rumah kami diketuk. Setelah kubuka ternyata kedua mertuaku lah yang datang. "Assalamualaikum apa kabar Key," mamah mertuaku mengucapkan salam. "Wa'alaikumussalam," jawabku dan bang Ardan serempak. "Eh mamah dan papah, silakan masuk. Apa kabar mah pah, udah lama banget kita nggak ketemu. Maaf kalau Keyla belum sempat mengunjungi mamah papah." Sapaku kepada mamah dan papah bang Ardan dengan ramah. Tapi ada perasaan tidak enak karena sudah beberapa bulan aku tidak mengunjungi mereka dikarenakan aku sekarang lebih disibukkan dalam urusan bisnisku. Aku s
PoV Keyla Hari ini pekerjaanku lumayan banyak, teman-temanku yang lain juga pada sibuk. Terlihat Soni mampir ke ruanganku, dia bertanya dan meminta bantuanku cara menyelesaikan laporan. Kulihat Mita senyum-senyumkepadaku. Entah apa maksudnya. Eh tapi aku malah deg degan dekat Soni, kulirik dia malah menatapku. Aku jadi ge-er nih. Ya beginilah diriku, istri yang kurang asupan gizi kasih sayang dari suami. Dan yang jomblo pun malah terlihat memberikan kode. Aku bisa apa dong? Lebih baik aku nikmatin aja yang ada sekarang. Dua jam kami berkutat dengan laporan akhirnya selesai juga. Kuserahkan laporan yang kami kerjakan kepada bos kami, bu Elsa. Beliau terlihat membolak-balikkan laporan dan tersenyum puas atas hasil kerja kami hari ini. Jam istirahat pun tiba. Soni terlihat menghampiriku. “Key, yuk makan di luar! Makasih ya tadi sudah membantuku mengerjakan laporanku,” kata Soni mengajakku makan siang. “Eh iya ayo. Sama-sama Son, nanti kalau aku ada kesulitan kan juga bisa minta bantu