Share

Bab 9

Otaknya yang tengah kalut tak bisa berpikir jernih. Berada dalam keadaan yang tak menyenangkan membuat Ines semakin merasa tertekan. Dia beranjak berdiri dan berjalan mendekati jendela. Menatap keluar dengan pandangan kosong. Berharap ada pangeran berkuda putih yang datang mengeluarkannya dari penjara itu. Namun semua asa itu hanya taburan harap belaka, pada kenyataannya kini dia tengah terkurung di rumah suaminya sendiri.

“Kapan aku bisa hidup dengan kebahagiaan, ya? Rasanya dari kecil hanya pedih, sedih dan luka saja ….” Ines memejamkan mata. Membiarkan hembusan angina menyapu wajahnya. Menyelinap dari jendela yang terbuka. Andai tak ada trails yang menghalanginya, mungkin dia sudah melompat saja. Meninggalkan rumah yang semakin hari semakin membuatnya gerah.

Berulang kali dia mengecheck pintu, tetapi masih saja terkunci dari luar. Sepertinya anak kuncinya sengaja tak dilepas, jadinya anak kunci yang dia pegang menjadi tak berguna. Hanya bisa masuk, tapi tak bisa berputar.

“Aku ini kenapa, ya? Padahal ini rumah suamiku sendiri? Kok berasa takut banget sekarang?” Ines tersenyum miring. Sekilas bayangan wajah manis Arlan melintas pada saat pertemuan pertama mereka.

***

“Saya bersedia menikahi Ines, Bu! Saya berjanji akan menjaganya dan membuatnya nyaman hidup dengan saya! Ibu jangan khawatir, di Jakarta nanti Ines pasti akan betah. Walau kami belum saling cinta, tapi pasti semua perasaan cinta itu akan tumbuh sedikit demi sedikit. Iya ‘kan, Nes?” Arlan menatapnya dengan tatap yang menurutnya tulus saat itu. Beberapa jam sebelum pernikahan akhirnya digelar.

Ines hanya mengangguk. Dia tak memiliki alasan untuk menolak. Arlan memiliki karir bagus dan juga tampak bertanggung jawab. Selain itu, dia adalah anak teman lama Ibu yang pastinya sudah diketahui latar belakangnya.

“Alhamdulilah makasih, Arlan! Kalau Ines sudah menikah, Ibu bisa hidup tenang. Tahu sendiri omongan orang kampung di sini. Perempuan yang sudah dilangkah itu biasanya gak dapat jodoh dan suka kena serangan mental. Ibu sangat cemas, adiknya Ines bahkan sudah memiliki anak.” Raut bahagia pada wajah Ibu membuat hati Ines semakin yakin untuk menerima perjodohan itu.

“Kalau begitu, sebaiknya pernikahannya diadakan sekarang, Mbak. Mumpung Arlan ikut, jadi bisa sekalian. Nanti sore, Ines bisa langsung ikut kami pulang ke Jakarta.” Retno tersenyum manis dan menepuk punggung tangan Ibu. Karena usia Ibu lebih tua dua tahun darinya, dia memanggilnya Mbak.

Akhirnya acara pernikahanpun digelar sederhana. Dengan alasan tak ada persiapan yang mumpuni, Ines harus puas dengan statusnya sebagai istri siri. Sore harinya pelukan Ibu melepas kepergian putri sulungnya ke Jakarta.

“Semoga rumah tanggamu sakinah, mawaddah, warohmah … maafin Ibu yang memaksamu segera menikah. Ibu takut, gak ada umur lagi dan menyaksikan kebahagiaanmu.”

Ines menyeka air mata lalu memeluk Ibu kembali dengan cukup lama. Ada rasa yang bercampur baur tak menentu. Usai melepas pelukan, Ines menoleh pada Inara---adik perempuannya. Dia memeluk Inara dan menitipkan ibu padanya. Lalu berlaih pada Hasan---suami Inara yang tengah menggendong Hamidan---anak pertama mereka.

“Titip Ibu, ya! Jaga raganya, jaga hatinya!” tukas Ines seraya menyeka sudut matanya yang basah.

“Iya, Mbak! Moga betah ya di kota!” Inara menepuk punggung tangan Ines yang memegang bahunya.

“Iya, doakan saja!”

Akhirnya sore itu, Ines ikut dengan Arlan dan keluarga. Mereka sekalian menjenguk kakek dan neneknya Arlan yang sudah sepuh. Mereka berdua tinggal dengan adik-adik dari Retno dan tidak mau dibawa ke Jakarta. Hidup di kampung lebih enak, katanya.

***

Suara derit pintu membuat memori Ines kembali. Dia mengalihkan perhatian dari lambaian daun pohon mangga yang terlihat dari balik jendela. Tampak Arlan---suaminya sudah berdiri di sana. Dia sudah rapi mengenakan pakaian kantor.

“Ines, kamu bertengkar dengan Mama?” tanyanya lembut. Sikap lembut yang dulu sudah membuatnya tertipu dan percaya jika dia adalah sosok lelaki baik dan layak dijadikan imam olehnya.

“Enggak, Mas! Aku hanya mempertanyakan perempuan itu. Cuma Ibu malah menekanku. Aku bukan perempuan hebat yang bisa berbagi suami, Mas! Kalau dia istri pertamamu, maka biarkan aku pergi! Aku tak akan mengganggu kebahagiaan rumah tangga kalian!” Ines menatap Arlan yang berjalan mendekat.

Dia berdiri menjejeri Ines dan ikut menatap ke luar jendela. Pintu kamar yang terbuka membuat Ines tak merasakan curiga apapun pada suaminya itu. Ines berjalan mengambil tasnya yang sudah berisi pakaian. Namun Arlan terus mengikutinya sambil bicara.

“Kehadiran kamu sama sekali gak merusak kebahgiaanku dengan Aniska, Nes! Aku pun menyukaimu karena itu aku bersedia menikah. Jadi tetaplah di sini. Kita akan membina rumah tangga ini hingga maut memisahkan kita. Asal kamu tahu, aku menikahi Aniska karena hutang budi. Jadi tolong tetap di sini, jadi istriku. Temani aku hingga tua nanti!” Arlan berbicara lembut. Jemarinya meraih tangan Ines, tetapi perempuan itu menepisnya. Ines memakai tas gendongnya dan bersiap untuk pergi. Dia menoleh pada Arlan dan mengungkapkan kekesalannya yang terpendam.

“Kamu egois, Mas! Apa kamu pernah bertanya bagaimana perasaan Aniska? Bagaimana kalau dia tahu kamu mengkhianatinya? Apa kamu tak berpikir kalau bukan hanya aku yang terluka, tapi dia pun sama?” Ines menatap Arlan dengan mata mengembun. Sakit rasanya berada pada posisinya saat ini. Ketika hidupnya dulu merasa sudah sangat lelah dan rapuh, akhirnya menemukan sandaran. Seorang pria baik, tampan dan mapan. Namun belum genap tiga puluh hari, semua sandaran itu seolah roboh dengan sendirinya. Arlan tak sebaik kesan pertemuan pertama mereka.

“Ya, aku memang egois! Aku sudah mulai mencintaimu sekarang, Ines! Dan aku pun tak mungkin meninggalkan Aniska, jadi tolong mengertilah … jangan berikan pilihan sulit untukku!” Arlan berucap penuh penekanan. Dia kembali mendekat dan memegang dua bahu Ines. Namun lagi-lagi tangan kokoh itu, Ines lepaskan paksa.

“Aku mau kita cerai, Mas! Kamu bisa hidup bahagia tanpa kehadiranku … tolong lepaskan aku!” Ines mengatupkan tangan pada Arlan seraya memasang wajahnya yang memelas. Bagaimanapun posisinya lemah. Dia tak memiliki dokumen sah sehingga tak bisa mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Andai pun dia pergi, tak serta merta talak itu jatuh padanya.

“Aku gak mau, Ines! Tolong jangan buat aku pusing! Aku mencintai kamu!” tukas Arlan dengan rahang mengeras. Matanya mulai memancarkan kemarahan.

“Kamu egois, Mas! Andai aku tahu kamu sudah beristri, aku tak mungkin menerima perjodohan ini! Lebih baik aku menjadi perawan tua dari pada harus melukai hati wanita lain yang tak bersalah dan aku pun terluka karena kebohongan kamu!” Ines meradang. Dia mendorong Arlan dan berlari hendak melewatinya. Namun jemari Arlan meraih pergelangan tangannya dengan sangat cepat.

“Ines, aku mencintai kamu! Apa kamu gak lihat pancaran cinta ini dari mataku?” tukas Arlan seraya menarik tubuh Ines ke pelukannya. Namun Ines meronta.

“Itu bukan cinta, Mas! Itu nafsu! Aku mau kita cerai, Mas!” Ines memberontak. Dia menginjak kaki Arlan dengan kuat hingga pelukannya mengendur. Ines berlari ke arah pintu yang memang masih terbuka. Namun kaki panjang Arlan yang bergerak cepat berhasil mengejarnya. Tangan kokoh itu merengkuh tubuh Ines dan menariknya ke dalam pelukan. Tanpa Ines sangka, Arlan membekapnya dengan saputangan kecil. Ada bau menyengat tercium sesaat, setelah itu perlahan kesadarannya menghilang. Ines terkulai tak sadarkan diri di pelukan sang suami yang menyeringai senang.

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
mampuslah kau nes. bukannya langsung kabur malahan ngebacot. dasar babu
goodnovel comment avatar
Billy
betul sekali
goodnovel comment avatar
mjalel nurmaida
cerita di ulng2 terus
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status