Otaknya yang tengah kalut tak bisa berpikir jernih. Berada dalam keadaan yang tak menyenangkan membuat Ines semakin merasa tertekan. Dia beranjak berdiri dan berjalan mendekati jendela. Menatap keluar dengan pandangan kosong. Berharap ada pangeran berkuda putih yang datang mengeluarkannya dari penjara itu. Namun semua asa itu hanya taburan harap belaka, pada kenyataannya kini dia tengah terkurung di rumah suaminya sendiri.
“Kapan aku bisa hidup dengan kebahagiaan, ya? Rasanya dari kecil hanya pedih, sedih dan luka saja ….” Ines memejamkan mata. Membiarkan hembusan angina menyapu wajahnya. Menyelinap dari jendela yang terbuka. Andai tak ada trails yang menghalanginya, mungkin dia sudah melompat saja. Meninggalkan rumah yang semakin hari semakin membuatnya gerah. Berulang kali dia mengecheck pintu, tetapi masih saja terkunci dari luar. Sepertinya anak kuncinya sengaja tak dilepas, jadinya anak kunci yang dia pegang menjadi tak berguna. Hanya bisa masuk, tapi tak bisa berputar. “Aku ini kenapa, ya? Padahal ini rumah suamiku sendiri? Kok berasa takut banget sekarang?” Ines tersenyum miring. Sekilas bayangan wajah manis Arlan melintas pada saat pertemuan pertama mereka. *** “Saya bersedia menikahi Ines, Bu! Saya berjanji akan menjaganya dan membuatnya nyaman hidup dengan saya! Ibu jangan khawatir, di Jakarta nanti Ines pasti akan betah. Walau kami belum saling cinta, tapi pasti semua perasaan cinta itu akan tumbuh sedikit demi sedikit. Iya ‘kan, Nes?” Arlan menatapnya dengan tatap yang menurutnya tulus saat itu. Beberapa jam sebelum pernikahan akhirnya digelar. Ines hanya mengangguk. Dia tak memiliki alasan untuk menolak. Arlan memiliki karir bagus dan juga tampak bertanggung jawab. Selain itu, dia adalah anak teman lama Ibu yang pastinya sudah diketahui latar belakangnya. “Alhamdulilah makasih, Arlan! Kalau Ines sudah menikah, Ibu bisa hidup tenang. Tahu sendiri omongan orang kampung di sini. Perempuan yang sudah dilangkah itu biasanya gak dapat jodoh dan suka kena serangan mental. Ibu sangat cemas, adiknya Ines bahkan sudah memiliki anak.” Raut bahagia pada wajah Ibu membuat hati Ines semakin yakin untuk menerima perjodohan itu. “Kalau begitu, sebaiknya pernikahannya diadakan sekarang, Mbak. Mumpung Arlan ikut, jadi bisa sekalian. Nanti sore, Ines bisa langsung ikut kami pulang ke Jakarta.” Retno tersenyum manis dan menepuk punggung tangan Ibu. Karena usia Ibu lebih tua dua tahun darinya, dia memanggilnya Mbak. Akhirnya acara pernikahanpun digelar sederhana. Dengan alasan tak ada persiapan yang mumpuni, Ines harus puas dengan statusnya sebagai istri siri. Sore harinya pelukan Ibu melepas kepergian putri sulungnya ke Jakarta. “Semoga rumah tanggamu sakinah, mawaddah, warohmah … maafin Ibu yang memaksamu segera menikah. Ibu takut, gak ada umur lagi dan menyaksikan kebahagiaanmu.” Ines menyeka air mata lalu memeluk Ibu kembali dengan cukup lama. Ada rasa yang bercampur baur tak menentu. Usai melepas pelukan, Ines menoleh pada Inara---adik perempuannya. Dia memeluk Inara dan menitipkan ibu padanya. Lalu berlaih pada Hasan---suami Inara yang tengah menggendong Hamidan---anak pertama mereka. “Titip Ibu, ya! Jaga raganya, jaga hatinya!” tukas Ines seraya menyeka sudut matanya yang basah. “Iya, Mbak! Moga betah ya di kota!” Inara menepuk punggung tangan Ines yang memegang bahunya. “Iya, doakan saja!” Akhirnya sore itu, Ines ikut dengan Arlan dan keluarga. Mereka sekalian menjenguk kakek dan neneknya Arlan yang sudah sepuh. Mereka berdua tinggal dengan adik-adik dari Retno dan tidak mau dibawa ke Jakarta. Hidup di kampung lebih enak, katanya. *** Suara derit pintu membuat memori Ines kembali. Dia mengalihkan perhatian dari lambaian daun pohon mangga yang terlihat dari balik jendela. Tampak Arlan---suaminya sudah berdiri di sana. Dia sudah rapi mengenakan pakaian kantor. “Ines, kamu bertengkar dengan Mama?” tanyanya lembut. Sikap lembut yang dulu sudah membuatnya tertipu dan percaya jika dia adalah sosok lelaki baik dan layak dijadikan imam olehnya. “Enggak, Mas! Aku hanya mempertanyakan perempuan itu. Cuma Ibu malah menekanku. Aku bukan perempuan hebat yang bisa berbagi suami, Mas! Kalau dia istri pertamamu, maka biarkan aku pergi! Aku tak akan mengganggu kebahagiaan rumah tangga kalian!” Ines menatap Arlan yang berjalan mendekat. Dia berdiri menjejeri Ines dan ikut menatap ke luar jendela. Pintu kamar yang terbuka membuat Ines tak merasakan curiga apapun pada suaminya itu. Ines berjalan mengambil tasnya yang sudah berisi pakaian. Namun Arlan terus mengikutinya sambil bicara. “Kehadiran kamu sama sekali gak merusak kebahgiaanku dengan Aniska, Nes! Aku pun menyukaimu karena itu aku bersedia menikah. Jadi tetaplah di sini. Kita akan membina rumah tangga ini hingga maut memisahkan kita. Asal kamu tahu, aku menikahi Aniska karena hutang budi. Jadi tolong tetap di sini, jadi istriku. Temani aku hingga tua nanti!” Arlan berbicara lembut. Jemarinya meraih tangan Ines, tetapi perempuan itu menepisnya. Ines memakai tas gendongnya dan bersiap untuk pergi. Dia menoleh pada Arlan dan mengungkapkan kekesalannya yang terpendam. “Kamu egois, Mas! Apa kamu pernah bertanya bagaimana perasaan Aniska? Bagaimana kalau dia tahu kamu mengkhianatinya? Apa kamu tak berpikir kalau bukan hanya aku yang terluka, tapi dia pun sama?” Ines menatap Arlan dengan mata mengembun. Sakit rasanya berada pada posisinya saat ini. Ketika hidupnya dulu merasa sudah sangat lelah dan rapuh, akhirnya menemukan sandaran. Seorang pria baik, tampan dan mapan. Namun belum genap tiga puluh hari, semua sandaran itu seolah roboh dengan sendirinya. Arlan tak sebaik kesan pertemuan pertama mereka. “Ya, aku memang egois! Aku sudah mulai mencintaimu sekarang, Ines! Dan aku pun tak mungkin meninggalkan Aniska, jadi tolong mengertilah … jangan berikan pilihan sulit untukku!” Arlan berucap penuh penekanan. Dia kembali mendekat dan memegang dua bahu Ines. Namun lagi-lagi tangan kokoh itu, Ines lepaskan paksa. “Aku mau kita cerai, Mas! Kamu bisa hidup bahagia tanpa kehadiranku … tolong lepaskan aku!” Ines mengatupkan tangan pada Arlan seraya memasang wajahnya yang memelas. Bagaimanapun posisinya lemah. Dia tak memiliki dokumen sah sehingga tak bisa mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Andai pun dia pergi, tak serta merta talak itu jatuh padanya. “Aku gak mau, Ines! Tolong jangan buat aku pusing! Aku mencintai kamu!” tukas Arlan dengan rahang mengeras. Matanya mulai memancarkan kemarahan. “Kamu egois, Mas! Andai aku tahu kamu sudah beristri, aku tak mungkin menerima perjodohan ini! Lebih baik aku menjadi perawan tua dari pada harus melukai hati wanita lain yang tak bersalah dan aku pun terluka karena kebohongan kamu!” Ines meradang. Dia mendorong Arlan dan berlari hendak melewatinya. Namun jemari Arlan meraih pergelangan tangannya dengan sangat cepat. “Ines, aku mencintai kamu! Apa kamu gak lihat pancaran cinta ini dari mataku?” tukas Arlan seraya menarik tubuh Ines ke pelukannya. Namun Ines meronta. “Itu bukan cinta, Mas! Itu nafsu! Aku mau kita cerai, Mas!” Ines memberontak. Dia menginjak kaki Arlan dengan kuat hingga pelukannya mengendur. Ines berlari ke arah pintu yang memang masih terbuka. Namun kaki panjang Arlan yang bergerak cepat berhasil mengejarnya. Tangan kokoh itu merengkuh tubuh Ines dan menariknya ke dalam pelukan. Tanpa Ines sangka, Arlan membekapnya dengan saputangan kecil. Ada bau menyengat tercium sesaat, setelah itu perlahan kesadarannya menghilang. Ines terkulai tak sadarkan diri di pelukan sang suami yang menyeringai senang.Ines mengerjap. Pengaruh obat bius yang diberikan Arlan padanya sudah lenyap. Namun alangkah kagetnya dia ketika terbangun, dirinya sudah terbaring di atas ranjang dengan tanpa sehelai benangpun. Pakaiannya berserakan di lantai. Selain itu ada rasa sedikit nyeri yang terasa perih di inti tubuhnya dan bercak darah para seprai di sekitar tempatnya terbaring. “Enggak, aku enggak relaaa!!!” Ines memekik seraya menjambak rambutnya yang terurai. Dia menarik selimut menutupi tubuh polosnya. Ines melempar-lemparkan bantal dan apa saja yang ada di dekatnya. Amarah memuncak, dirinya mulai membenci takdir yang tak berpihak. Hatinya hancur berkeping ketika mendapati kesucian yang selama ini dia jaga sudah direnggut paksa oleh lelaki yang bergelar suami, tetapi bukan seorang imam seperti impiannya. “Tuhan, apa aku serendah itu di mata-Mu? Bukankah sejak kecil aku sudah Kauerikan kesusahan, hidup kekurangan, Bapak ditabrak orang lalu sakit-sakitan, hidup aku dikucilkan dan pedih sejak dulu? Ke
“Hah, besok? Kenapa saya kebagian yang pertama, sih, Mbak?” protes Arlan pada sekretaris Airlangga. Bahkan dia belum tahu kondisi Ines sekarang. Semoga besok istrinya itu tak membuat kekacauan. “Bos tahu kalau Pak Arlan tinggal serumah dengan Pak Erda dan Gugun! Jadinya besok mau visit pertama ke sana, biar memangkas waktu. Sebentar lagi dia pergi lagi ke luar negeri lagi soalnya!” tukas Miati. “Iya deh, iya! Makasih ya, Mbak Mia!” Arlan akhirnya mengangguk pasrah. Segera dihampirinya Gugun dan Erda yang memang berbeda bagian. Rupanya dia sudah menelpon Retno dan memberitahunya untuk acara besok, sehingga Erna dan Mirna sudah pergi keluar untuk berbelanja. *** Ines sibuk membereskan satu kamar tamu lagi yang bersebelahan dengan kamar yang biasa ditempati olehnya dan Arlan. Dia tak punya pilihan selain tinggal setidaknya tiga bulan sepuluh hari di rumah itu. Terpaksa dia menepis keinginan untuk pergi meninggalkan rumah yang kini terasa mencekam itu sementara waktu. Ines takut j
Ines memasak semua bahan yang sudah dibeli oleh kedua kakak iparnya. Keringat sudah mengucur membasahi pelipis ketika semua sudah hampir selesai. “Duh, Mah kok jadi kayak gini, ya?” Terdengar suara Mirna dari arah ruang tengah menuju dapur. Ines tetap fokus pada pekerjaannya yang sebentar lagi akan beres. “Mamah juga sama, Mir! Kamu gak lihat ini leher, tangan sama kaki Mama beruntus semua? Merah-merah, gatal sama pedih banget!” Suara Retno menimpali. Ines tetap bergeming. Hanya sudut matanya sesekali melirik kedua orang yang tampak memeriksa dan mencicipi hasil masakannya. Andai bukan buat tamu, mungkin Ines sudah campurkan dengan obat pencuci perut biar semua kapok memakan makanan yang dimasaknya. Namun Ines masih waras, ada orang lain yang tak bersalah yang akan kena juga. “Mamah sih, mending mukanya enggak! Aku malah malu, Ma! Mukaku bintik-bintik merah seperti ini!” keluh Mirna lagi. “Ya sudah kamu pakai masker saja nanti kalau malu!” Terdengar saran Retno untuk Mirna. “Uda
“Silakan diminum!” Ines menyimpan perlahan gelas-gelas yang dibawanya di atas meja kaca yang sudah diisi oleh tujuh orang itu. Hanya Arlan dan Aniska saja yang belum kembali. Airlangga menoleh pada suara yang baginya familiar, dia menautkan alis dan menatap wajah yang tengah menunduk itu dalam-dalam. “Terima kasih!” ucap Airlangga. Dia menoleh wajah ayu yang menunduk itu, tetapi kemudian abai. Hingga suara Ines kembali membuatnya menoleh dan menatap dengan lekat. “Sama-sama, Tuan!” jawab Ines seraya melempar senyum. Airlangga mengangguk, tetapi ada sesuatu yang tiba-tiba berkecamuk. Ines berdiri dan memutar tubuhnya meninggalkan ruang tamu. Dia tak sadar kedua bola mata itu menatapnya hingga punggungnya menghilang. Obrolan kembali mengalir. Tak berapa lama, Arlan dan Aniska tiba. Wajah perempuan itu ditekuk hingga Arlan membisikkan sesuatu lalu senyum itu menyembul dengan terpaksa. “Selamat siang, Pak Langga! Mohon maaf saya terlambat … tadi ada sedikit insiden!” Arlan yang tampa
Kesamaan nama, rambut kuncir ekor kuda, dan sate kambing yang dibawanya seolah clue yang membuatnya mau tak mau menebak-nebak dalam dada. “Mbak Inesa, maaf boleh tanya … kampung asalnya dari mana, ya?” Baru saja Ines menganga, Arlan mendahuluinya seolah tak rela ada orang lain yang tampak memperhatikan Ines.“Ahm, dia kami ambil dari yayasan pembantu, Pak Langga! Apa Bapak tertarik mencari ART juga?” Arlan menimpali dengan sopan. Meskipun jelas dari caranya sama sekali tak terpuji, menyela pembicaraan orang lain. Ines membuang napas kasar, lalu berjalan lurus saja ke arah belakang. Lagi pula apa yang dia harapkan, jika benar pun itu Airlangga masa kecilnya, status mereka sudah terlalu jauh. Apalagi sekarang Ines merasa dirinya tak pantas lagi karena perbuatan Arlan waktu itu. Sehingga dia pun tak lagi pernah bermimpi untuk memiliki hidup dan rumah tangga yang indah dengan sosok yang sesungguhnya dulu membuatnya bertahan dan digelari perawan tua. Hanya dia yang tahu betul-betul apa
Waktu bergulir dengan segala pedihnya, entah kenapa hatinya semakin hari semakin sakit. Setelah acara kunjungan selesai, Aniska sering sekali menginap di rumah Arlan dengan alasan takut karena sendirian di rumah.Kehadiran Aniska merupakan kabar buruk untuk Ines. Perempuan itu seolah memendam dendam tersendiri padanya yang entah apa. Namun di satu sisi merupakan sebuah keberuntungan juga buat Ines, karena Arlan tak memiliki kesempatan untuk mengganggunya. Aniska seolah dua hal yang datang bersamaan, kebaikan dan keburukan membersamainya. Ines berusaha tetap abai, dia hanya fokus pada hidupnya. Sepagi ini semua menu sarapan sudah terhidang di atas meja. Ines menatanya di meja makan,di mana biasanya keluarga besar itu bersama-sama menyantap sarapan yang sudah disiapkannya. Andai dia diperbolehkan keluar, mungkin sudah membeli obat pencuci perut biar sesekali mereka jera. Namun sama sekali Ines tak diberikan akses untuk bepergian. Yang belanja bulanan pun Erna dan Mirna. Dirinya sa
“Semoga jus nanas ini bisa membuatmu tak usah hadir ke alam dunia! Maafkan Ibu yang sudah membunuhmu bahkan sebelum kamu berkesempatan untuk lahir ….” Ines bergumam sendirian seraya menyeka air mata. Dia tak tahu jika kesucian itu belum berhasil direnggut Arlan. Dia merasa menjadi orang paling berdosa sekarang dengan meminum jus nanas dan berharap bisa menggagalkan kehamilan. “Tuhan, sepertinya aku sudah tak layak lagi menyebut-Mu dengan diriku yang penuh dosa ini … aku sudah menjadi istri yang tak patuh pada suami, sudah membunuh calon bayiku sendiri … salah akukah semua ini, Tuhan? Bahkan aku seolah terus-terusan terhimpit susah dan susah dari sejak aku mengenal dunia … mungkin benar, Engkau memang tak sayang … jadi biarkan aku hidup dengan caraku sendiri!” Ines menghela napas panjang setelah bermonolog dengan dirinya sendiri. Pemikiran yang salah semakin menjerumuskannya pada pola pikir yang salah. Lagi-lagi Ines lupa, jika semua yang hidup itu diuji dengan permasalahan yang berbe
“Maaf, ya, Mbak Aniska yang terhormat! Tolong jaga bicaramu … saya di sini bukan pembantu, tapi saya menantu sama sepertimu! Saya ini istrinya Arlan Bramantyo---suamimu! Jadi apa bedanya saya dengan kamu? Kita sama, sama-sama istri dia!” Ines menunjuk ke arah Arlan yang sontak menelan saliva. Kedua matanya membulat memandang Aniska dengan tatapan menantang. “Ines, tolong jaga bicaramu! Apa kamu pikir, istriku ini bodoh?” Arlan tersenyum miring. Dia yakin, Aniska akan lebih percaya padanya dari pada dengan Ines. “Mas Arlanku tersayang, apa kamu lupa jika kemarin malam kamu memintaku melayanimu setiap malam? Kamu menginginkanku ‘kan? Apa istrimu ini kurang memuaskan?!” Ines sengaja menabur bara api agar emosi Arlan terpancing. Berharap kata talak akan terlontar. “Ines?!” Kedua mata Arlan membulat menatap Ines. Namun Ines tersenyum santai. “Apa perlu aku putar rekaman semua ucapanmu di depan istri tercintamu ini?” Ines menatap nyalang. Sejujurnya dia hanya menggertak, karena kemarin