Share

Bab 8

“Istrinya Mas Arlan? Kapan mereka menikah, Ma? Bukankah ketika Mas Arlan menikahiku status di KTP-nya masih lajang?” Ines bertanya dengan suara gemetar. Rupanya perempuan itu istri dari suaminya.

Retno tersenyum mencoba tetap bersikap ramah. Dia mengelus punggung Ines yang duduk disisinya. Lalu dia meraih jemari Ines dan menggenggamnya.

“Nes, dengarkan Ibu! Kamu adalah menantu kesayangan Ibu di sini! Kamu akan tetap menjadi menantu Ibu seperti janji Ibu pada Ibumu. Kamu akan selamanya di sini dan bahagia bersama Arlan!” ucapnya. Alih-alih menjelaskan, tetapi hanya berputar membuat Ines menghembuskan napas kasar.

“Bu, tolong! Ines butuh penjelasannya!” Ines menatap pada kedua manik hitam Ibu mertuanya.

“Hmmmm!’ Dia berdehem lalu menunduk sebentar. Setelah itu menarik napas panjang. Kedua bola matanya menatap Ines tajam.

“Dia itu istrinya Arlan, maafkan kami yang tak menjelaskan apapun padamu! Namun seharusnya yang marah itu dia kalau tahu Arlan menikahimu karena kamu istri keduanya! Kamu yang akan dianggap merebut Arlan darinya. Karena itu, kami menyembunyikan pernikahan kalian!” Retno menjeda.

“Soal KTP yang masih lajang? Apa sengaja hendak menipuku dan Ibu?” Air mata Ines sudah menggenang.

“Tidak, itu hanya kebetulan KTP baru Arlan belum selesai. Namun tak ada niatan kami untuk menipumu! Tolong pahamilah, Ines. Aku sebagai sahabat lama Ibumu dan sudah berjanji padanya untuk menikahkan kalian, aku tak punya pilihan selain merahasiakan semuanya! Aku berhutang budi padanya dulu, karena itu aku ingin membalasnya dengan menepati janjiku!” ucap Retno.

“Kalau begitu, suruh Mas Arlan ceraikan Aniska! Aku tak sudi berbagi suami walau aku menjadi yang kedua!” tukas Ines dengan suara gemetar. Rasanya sakit dan terhujam ketika mengetahui sebuah fakta yang mencengangkan.

“Jangan berikan kami pilihan yang sulit, Ines! Kami pun berhutang budi pada ayah Aniska. Karena dia, kini Arlan mendapatkan pekerjaan yang mapan. Ayah Aniska sangat menyukai kinerja Arlan dan dia memintanya untuk menikahi Aniska.” Retno menjelaskan semuanya dengan wajah penuh sesal. Padahal ada siasat lain dari lubuk hatinya.

Dia menerima Ines di rumah itu karena memang ART lamanya sudah dipecat karena kerap menggoda suami dua anak pertamanya. Jika yang jadi ART adalah menantunya sendiri, Retno rasa lebih aman. Lagipula Ines hanya gadis kampung. Tahu apa tentang kota Jakarta. Dia pasti tak bisa melarikan diri kemana pun setelah dibawanya dari pelosok yang jauh di sana.

Ines menggeleng kepala lalu bangkit dan berjalan hendak meninggalkan ruang tengah di mana Ibu mertuanya berada.

“Nes, mau ke mana?” Terdengar suara Retno. Ines menghentikan ayunan langkahnya.

“Aku lebih baik pergi dari kehidupan kalian! Aku tak siap harus hidup dalam kemelut seperti ini, Bu! Hidup miskin dan susah bagiku sudah biasa!” tukas Ines. Ines akan memutuskan untuk pergi dan meninggalkan keluarga yang sudah menipunya ini.

“Tolong jangan pergi, Ibu sudah menyayangi kamu seperti anak sendiri. Ibu gak mau kamu hidup susah di luar sana!” pinta Retno. Berharap aktingnya bisa meluluhkan hati Ines.

“Maaf, Bu! Aku merasa telah tertipu dengan pernikahan ini! Lagi pula, kami hanya menikah siri, tak ada dokumen apapun yang bisa untuk dijadikan bukti pernikahan kami!” tandas Ines lagi.

“Ines, Ibu janji … surat nikah kalian akan segera Ibu urus! Jadi tetaplah tinggal di sini! Kamu mau pergi ke mana? Ini Jakarta, Nes! Bisa-bisa kamu ketemu lelaki yang gak bertanggung di luar sana!”Retno kembali mencoba mempengaruhi Ines.

“Aku akan tetap pergi, Bu! Maaf kalau sudah membuat hidup kalian tak nyaman dengan permintaan Ibuku! Aku pun tak akan mengadu padanya. Biar dia tetap menyangka kalau aku sudah bahagia dan baik-baik saja!” Ines lalu melangkah pergi meninggalkan Retno yang mematung sendiri.

Retno menggeleng kepala. Dia mengirimkan pesan pada Arlan.

[Arlan segera pulang. Buat istrimu tak akan lepas darimu dan pergi! Ambil apa yang seharusnya jadi hakmu! Ini penting untuk mengikatnya agar tak pergi.] tulisnya.

[Ada apa lagi, Bu?] Arlan yang sedang berada di rumah Aniska dan bersiap berangkat kerja segera membalas pesannya.

[Pulang sekarang! Nanti Ibu jelaskan! Atau kita akan kehilangan ART gratis untuk selamanya!] balasnya lagi.

Arlan menarik napas dalam. Dia tak tahu harus memaksa Ines seperti apa. Tadi malam saja malah dia yang dikalahkan. Namun sebuah ide cemerlang terlintas. Sebuah senyuman mengembang membayangkan bergumul dengan Ines di atas ranjang.

“Mas, kok senyum-senyum sendiri?” Aniska bertanya padanya.

“Ah, itu … ada kejadian lucu di grup kantor!” kilahnya.

“Oooo ….” Aniska hanya menanggapinya sekilas.

“Mas berangkat kerja dulu sekarang, ya, Sayang!” tukas Arlan seraya mengambil air bening lalu meneguknya.

“Tumben buru-buru?” Aniska mengangkat satu alisnya ke atas.

“Tadi Mama ada WA, minta dibeliin sesuatu dulu! Jadi nanti aku mampir sebentar ke rumah!” tukas Arlan.

“Oh ya sudah, salam buat Mama, ya!” Aniska sama sekali tak menaruh curiga.

Arlan tersnyum. Dia berdiri lalu mendekat ke arah Aniska dan mengecup keningnya. Setelah itu dia pamit undur diri dan segera mengemudikan mobilnya menuju rumah. Sebelumnya dia mampir dulu ke sebuah tempat untuk membeli sesuatu. Dia yakin, istrinya masih di rumah dan belum pergi ke mana-mana.

***

Ines bergegas berkemas. Memasukkan semua pakaian yang dibawanya dari kampung untuk segera meninggalkan kediaman mertuanya. Ya, Walaupun dia tak mungkin kembali ke kampung dan membuat kebahagiaan Ibu sirna. Namun dia tak mau lagi hidup seatap dengan semua orang yang seolah hanya memanfaatkannya.

Semua sudah selesai dikemas, Ines menatap secarik kertas yang diberikan oleh Herman---lelaki yang ditemuinya di tempat acara kemarin. Sepertinya itulah tujuannya. Ines akan kabur dan mencari kerja sebagai ART di kediaman orang tuanya Airlangga saja.

“Bu, sejak kecil aku sudah hidup susah dan pedih. Aku kira semua berakhir pas aku sudah menikah. Hidup bahagia bersama Mas Arlan dan membangun rumah tangga yang sempurna. Namun semuanya hanya omong kosong, bahkan mereka sepertinya hanya memanfaatkanku saja!” tukas Ines seraya menyeka sudut matanya.

Ada rasa takut juga ketika dia harus keluar dan mencari hidup sendiri di kota sebesar ini, tetapi tak ada lagi pilihan lain.

Ines bangkit dan menggendong tas berisi pakaiannya. Dia menuju pintu, tetapi sudah berkali-kali dia menariknya pintu itu seperti terkunci saja. Ines mengambil kunci yang tergeletak di atas meja lalu memasukkannya ke lubang kunci. Namun anak kuncinya tak bisa berputar.

“Astaghfirulloh! Apa Ibu mengunciku dari luar?” batin Ines mulai cemas. Dia berulang kali mencoba, akan tetapi memang benar-benar tak bisa dibuka. Sementara itu , semua jendela di rumah itu memakai tralis yang membuatnya tak mungkin untuk melarikan diri lewat jendela.

“Ya Rabb, kenapa mereka setega ini! Kenapa aku harus mendapat masalah sebesar ini? Tolong kelurakan aku dari sini?” Kedua tungkai kakinya mendadak lemas. Dia terduduk di dekat pintu seraya memutar otak mencari cara agar bisa keluar dari sangkar yang mengurungnya

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
dasar babu tolol. makanya bicara itu dijaga nyet. klu mau pergi g usah banyak bacot
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status