“Istrinya Mas Arlan? Kapan mereka menikah, Ma? Bukankah ketika Mas Arlan menikahiku status di KTP-nya masih lajang?” Ines bertanya dengan suara gemetar. Rupanya perempuan itu istri dari suaminya.
Retno tersenyum mencoba tetap bersikap ramah. Dia mengelus punggung Ines yang duduk disisinya. Lalu dia meraih jemari Ines dan menggenggamnya. “Nes, dengarkan Ibu! Kamu adalah menantu kesayangan Ibu di sini! Kamu akan tetap menjadi menantu Ibu seperti janji Ibu pada Ibumu. Kamu akan selamanya di sini dan bahagia bersama Arlan!” ucapnya. Alih-alih menjelaskan, tetapi hanya berputar membuat Ines menghembuskan napas kasar. “Bu, tolong! Ines butuh penjelasannya!” Ines menatap pada kedua manik hitam Ibu mertuanya. “Hmmmm!’ Dia berdehem lalu menunduk sebentar. Setelah itu menarik napas panjang. Kedua bola matanya menatap Ines tajam. “Dia itu istrinya Arlan, maafkan kami yang tak menjelaskan apapun padamu! Namun seharusnya yang marah itu dia kalau tahu Arlan menikahimu karena kamu istri keduanya! Kamu yang akan dianggap merebut Arlan darinya. Karena itu, kami menyembunyikan pernikahan kalian!” Retno menjeda. “Soal KTP yang masih lajang? Apa sengaja hendak menipuku dan Ibu?” Air mata Ines sudah menggenang. “Tidak, itu hanya kebetulan KTP baru Arlan belum selesai. Namun tak ada niatan kami untuk menipumu! Tolong pahamilah, Ines. Aku sebagai sahabat lama Ibumu dan sudah berjanji padanya untuk menikahkan kalian, aku tak punya pilihan selain merahasiakan semuanya! Aku berhutang budi padanya dulu, karena itu aku ingin membalasnya dengan menepati janjiku!” ucap Retno. “Kalau begitu, suruh Mas Arlan ceraikan Aniska! Aku tak sudi berbagi suami walau aku menjadi yang kedua!” tukas Ines dengan suara gemetar. Rasanya sakit dan terhujam ketika mengetahui sebuah fakta yang mencengangkan. “Jangan berikan kami pilihan yang sulit, Ines! Kami pun berhutang budi pada ayah Aniska. Karena dia, kini Arlan mendapatkan pekerjaan yang mapan. Ayah Aniska sangat menyukai kinerja Arlan dan dia memintanya untuk menikahi Aniska.” Retno menjelaskan semuanya dengan wajah penuh sesal. Padahal ada siasat lain dari lubuk hatinya.Dia menerima Ines di rumah itu karena memang ART lamanya sudah dipecat karena kerap menggoda suami dua anak pertamanya. Jika yang jadi ART adalah menantunya sendiri, Retno rasa lebih aman. Lagipula Ines hanya gadis kampung. Tahu apa tentang kota Jakarta. Dia pasti tak bisa melarikan diri kemana pun setelah dibawanya dari pelosok yang jauh di sana. Ines menggeleng kepala lalu bangkit dan berjalan hendak meninggalkan ruang tengah di mana Ibu mertuanya berada. “Nes, mau ke mana?” Terdengar suara Retno. Ines menghentikan ayunan langkahnya. “Aku lebih baik pergi dari kehidupan kalian! Aku tak siap harus hidup dalam kemelut seperti ini, Bu! Hidup miskin dan susah bagiku sudah biasa!” tukas Ines. Ines akan memutuskan untuk pergi dan meninggalkan keluarga yang sudah menipunya ini. “Tolong jangan pergi, Ibu sudah menyayangi kamu seperti anak sendiri. Ibu gak mau kamu hidup susah di luar sana!” pinta Retno. Berharap aktingnya bisa meluluhkan hati Ines. “Maaf, Bu! Aku merasa telah tertipu dengan pernikahan ini! Lagi pula, kami hanya menikah siri, tak ada dokumen apapun yang bisa untuk dijadikan bukti pernikahan kami!” tandas Ines lagi. “Ines, Ibu janji … surat nikah kalian akan segera Ibu urus! Jadi tetaplah tinggal di sini! Kamu mau pergi ke mana? Ini Jakarta, Nes! Bisa-bisa kamu ketemu lelaki yang gak bertanggung di luar sana!”Retno kembali mencoba mempengaruhi Ines. “Aku akan tetap pergi, Bu! Maaf kalau sudah membuat hidup kalian tak nyaman dengan permintaan Ibuku! Aku pun tak akan mengadu padanya. Biar dia tetap menyangka kalau aku sudah bahagia dan baik-baik saja!” Ines lalu melangkah pergi meninggalkan Retno yang mematung sendiri. Retno menggeleng kepala. Dia mengirimkan pesan pada Arlan. [Arlan segera pulang. Buat istrimu tak akan lepas darimu dan pergi! Ambil apa yang seharusnya jadi hakmu! Ini penting untuk mengikatnya agar tak pergi.] tulisnya. [Ada apa lagi, Bu?] Arlan yang sedang berada di rumah Aniska dan bersiap berangkat kerja segera membalas pesannya. [Pulang sekarang! Nanti Ibu jelaskan! Atau kita akan kehilangan ART gratis untuk selamanya!] balasnya lagi. Arlan menarik napas dalam. Dia tak tahu harus memaksa Ines seperti apa. Tadi malam saja malah dia yang dikalahkan. Namun sebuah ide cemerlang terlintas. Sebuah senyuman mengembang membayangkan bergumul dengan Ines di atas ranjang. “Mas, kok senyum-senyum sendiri?” Aniska bertanya padanya. “Ah, itu … ada kejadian lucu di grup kantor!” kilahnya. “Oooo ….” Aniska hanya menanggapinya sekilas. “Mas berangkat kerja dulu sekarang, ya, Sayang!” tukas Arlan seraya mengambil air bening lalu meneguknya. “Tumben buru-buru?” Aniska mengangkat satu alisnya ke atas. “Tadi Mama ada WA, minta dibeliin sesuatu dulu! Jadi nanti aku mampir sebentar ke rumah!” tukas Arlan. “Oh ya sudah, salam buat Mama, ya!” Aniska sama sekali tak menaruh curiga. Arlan tersnyum. Dia berdiri lalu mendekat ke arah Aniska dan mengecup keningnya. Setelah itu dia pamit undur diri dan segera mengemudikan mobilnya menuju rumah. Sebelumnya dia mampir dulu ke sebuah tempat untuk membeli sesuatu. Dia yakin, istrinya masih di rumah dan belum pergi ke mana-mana.*** Ines bergegas berkemas. Memasukkan semua pakaian yang dibawanya dari kampung untuk segera meninggalkan kediaman mertuanya. Ya, Walaupun dia tak mungkin kembali ke kampung dan membuat kebahagiaan Ibu sirna. Namun dia tak mau lagi hidup seatap dengan semua orang yang seolah hanya memanfaatkannya. Semua sudah selesai dikemas, Ines menatap secarik kertas yang diberikan oleh Herman---lelaki yang ditemuinya di tempat acara kemarin. Sepertinya itulah tujuannya. Ines akan kabur dan mencari kerja sebagai ART di kediaman orang tuanya Airlangga saja. “Bu, sejak kecil aku sudah hidup susah dan pedih. Aku kira semua berakhir pas aku sudah menikah. Hidup bahagia bersama Mas Arlan dan membangun rumah tangga yang sempurna. Namun semuanya hanya omong kosong, bahkan mereka sepertinya hanya memanfaatkanku saja!” tukas Ines seraya menyeka sudut matanya.Ada rasa takut juga ketika dia harus keluar dan mencari hidup sendiri di kota sebesar ini, tetapi tak ada lagi pilihan lain. Ines bangkit dan menggendong tas berisi pakaiannya. Dia menuju pintu, tetapi sudah berkali-kali dia menariknya pintu itu seperti terkunci saja. Ines mengambil kunci yang tergeletak di atas meja lalu memasukkannya ke lubang kunci. Namun anak kuncinya tak bisa berputar. “Astaghfirulloh! Apa Ibu mengunciku dari luar?” batin Ines mulai cemas. Dia berulang kali mencoba, akan tetapi memang benar-benar tak bisa dibuka. Sementara itu , semua jendela di rumah itu memakai tralis yang membuatnya tak mungkin untuk melarikan diri lewat jendela. “Ya Rabb, kenapa mereka setega ini! Kenapa aku harus mendapat masalah sebesar ini? Tolong kelurakan aku dari sini?” Kedua tungkai kakinya mendadak lemas. Dia terduduk di dekat pintu seraya memutar otak mencari cara agar bisa keluar dari sangkar yang mengurungnyaUcapan ijab qabul menggema mengiringi janji suci dua orang yang hari ini resmi diikat oleh pernikahan. Arlan duduk menunduk seraya menyeka keringat yang bermunculan. Bahkan dunianya seakan berhenti berputar. Dirinya tak menyangka ketika pada akhirnya bisa menemukan jalan hijrah dan anugerah cinta. Dia pun masih tak menyangka ketika dirinya dipertemukan dengan seorang yang lembut dan berhati baik, berharap sang mampu melengkapi kurangnya pengetahuan agamanya. Tiga bulan setelah pertemuan di masjid ketika acara hari itu. Arlan mendapatkan tawaran untuk kerja sebagai salah satu staff di pondok pesantren modern. Semua itu atas nama rekomendasi Azizah dan tentunya rekomendasi dari Ikbal---sang ketua DKM. Dia melihat Arlan yang cukup ulet dan gigih selama menjadi marbot masjid. Ikbal cukup dekat dengan Arlan dan seringkali dimintai pendapat olehnya. Melihat kesungguhan Arlan untuk hijrah, akhirnya dia pun yakin jika semua keburukan Arlan telah menguap bersama status sosialnya.Arlan sempat
Airlangga memekik haru ketika benda pipih bergaris merah itu ditunjukkan Ines padanya. Dia langsung membopong tubuh Ines dan menghujani wajah sang istri dengan kecupan. Bahagia tak terkira ketika akhirnya dirinya akan segera menjadi seorang ayah. “Terima kasih, Ya Allah … terima kasih, Sayang!” “Kak, ih … nanti aku jatuh gimana?” Ines mengalungkan lengannya pada leher Airlangga. “Aku bahagia, Dik! Aku ingin merayakan semua kebahagiaan ini dengan semua karyawan perusahaan! Hmmm baiknya bikin acara apa, ya?” Airlangga menurunkan Ines perlahan dan menudukannya di atas sofa. “Ya, bagi-bagi voucher belanja mungkin, Kak. Kan gak ribet juga,” tukas Ines. “Ide bagus! Oke, nanti kita minta Rendra urus semua!” Airlangga begitu berbahagia. Diusapnya pipi Ines dengan lembut. “Kita ke dokter sekarang, ya! Biar kamu dapat asupan vitamin yang bagus! Habis itu kita ke tampat Papi dan Mami. Terus kita kabarin Ibu.”Airlangga berbicara dengan mata berbinar. Ines mengangguk dan turut mengiyakan. K
Arlan duduk termenung, kalimat demi kalimat yang almarhum ayahnya sampaikan kembali terngiang. Entah kenapa baru kali ini dia menyadari begitu banyak petuah sang ayah yang sudah dia tinggalkan. “Jadilah pelindung untuk dua kakakmu, Jadilah pelindung untuk Ibumu, Bapak rasa umur Bapak sudah tak lama. Jadilah anak sholeh yang doanya bisa menerangi alam kubur Bapak.” Semua kalimat itu seolah ada tanggung jawab yang dilimpahkan. Almarhum ayahnya mempercayakan Ibu dan kedua orang kakaknya padanya. Namun pada kenyataannya, justru berbanding terbalik. Arlan tak mampu mengendalikan mereka, justru dirinya yang dikendalikan Retno dan Mirna. Kesibukan mempersiapkan acara tabligh akbar, akhirnya kembali mengalihkan perhatiannya. Dengan kakinya yang masih terpincang dan dibantu gerak oleh tongkat yang menyangga ketiaknya. Arlan membantu sebisanya. Menata kursi, memasang taplak meja, lalu menyajikan air mineral untuk para anggota DKM yang sebagian besarnya anak muda. Menjelang siang, nasi kotak
Dering bell yang terdengar membuat Narendra bergegas keluar dari rumah. Dia baru saja selesai membuat sarapan untuknya. Dua tangkup roti bakar dan segelas kopi hitam sudah tersaji di meja. “Pagi Pak Rendra!” Senyum manis Fika menyapanya. Perempuan itu juga tampak sudah rapi. “Pagi, Bu Fika! Ada apa, ya? Kalau mau ngasih kopi, maaf banget, saya sudah buat.” Narendra menautkan alis menatap Fika yang membawa cangkir di tangannya. Fika tersenyum seraya menggeleng kepala. Satu tangan menutup bibirnya, tingkahnya berbeda sekali dengan Fika yang begitu tegas ketika menindak karyawan yang melanggar peraturan. Fika di luar jam kantor, lebih tampak manja dan nekat kalau Narendra bilang. “Bukan mau ngasih kok, Pak Rendra! Saya mau minta air panas. Maklum rumah baru, Pak. Saya kira sudah lengkap kemarin tuh. Eh nyatanya gak ada kompor juga buat manasin air, dispenser ada, sih, tapi mati.” Fika terkekeh dan menunduk. “Oh, mari masuk! Banyak kok kalau sekadar air panas, sih!” Narendra menggese
“Andai kebahagiaanku adalah Mas Arlan, Pah? Bagaimana?” lirih Aniska seraya menutup wajahnya dan membiarkan tangis lepas meluahkan beban yang terasa berat di pundaknya.“Tidak! Papa tidak akan mengijinkanmu memelihara pengkhianat itu di rumah ini! Andai dia hanya cacat dan tak bisa kerja, tetapi hatinya setia … Papa masih bisa pertimbangkan. Namun masa depan seperti apa yang kamu harapkan dari seorang lelaki pengkhianat, cacat dan pengangguran?! Gak ada, Nis! Gak ada!” Hafid berucap dengan tegas dan lantang. Aniska menunduk. Hatinya membenarkan apa yang sudah menjadi keputusan ayahnya. Dia pun sadar, semua yang dikatakan ayahnya adalah benar. Bahkan sakit hatinya masih terasa ketika mendengar pengakuan perempuan yang mengaku tengah mengandung anak dari suaminya. Hafid langsung meminta pengacaranya bergerak cepat untuk menggugat cerai Arlan yang masih terbaring tak berdaya. Hafid merasa ditusuk dari belakang oleh orang yang teramat sangat disayanginya itu. Bahkan setiap kesalahan kec
Di tengah keraguan hatinya. Narendra melajukan mobilnya bukan menuju ke arah rumah, melainkan menuju ke kediaman Abi Firdaus dan Umi Zubaidah. Dia hendak bertanya beberapa hal terkait Azizah. Bagaimanapun dia telah memintanya langsung pada kedua orang tuanya. Apa jadinya jika tiba-tiba dia memilih FIka tanpa mengetahui seperti apa kondisi sebenarnya perempuan yang awalnya diharap bisa menjadi istrinya itu.Mobil yang dikendarai Narendra akhirnya tiba di kediaman Umi dan Abi. Dirinya disambut baik dan dipersilakan seperti biasa. Tak banyak basa-basi yang terjadi. Narendra mengungkapkan pertanyaan seputar penolakan Azizah padanya.“Apakah dia sudah memiliki calon lain yang u sesuai keinginannya, Umi, Abi?” tanya Narendra.“Setahu Umi sih belum, Pak Rendra. Dia masih butuh waktu untuk menyembuhkan trauma. Namun Iza tak mau terikat dengan siapapun saat ini dan entah sampai kapanpun dia tak memberikan kepastian pada Umi,” tukasnya. “Apakah saya boleh tahu seperti apa kriteria calon suami