“Hah, besok? Kenapa saya kebagian yang pertama, sih, Mbak?” protes Arlan pada sekretaris Airlangga. Bahkan dia belum tahu kondisi Ines sekarang. Semoga besok istrinya itu tak membuat kekacauan. “Bos tahu kalau Pak Arlan tinggal serumah dengan Pak Erda dan Gugun! Jadinya besok mau visit pertama ke sana, biar memangkas waktu. Sebentar lagi dia pergi lagi ke luar negeri lagi soalnya!” tukas Miati. “Iya deh, iya! Makasih ya, Mbak Mia!” Arlan akhirnya mengangguk pasrah. Segera dihampirinya Gugun dan Erda yang memang berbeda bagian. Rupanya dia sudah menelpon Retno dan memberitahunya untuk acara besok, sehingga Erna dan Mirna sudah pergi keluar untuk berbelanja. *** Ines sibuk membereskan satu kamar tamu lagi yang bersebelahan dengan kamar yang biasa ditempati olehnya dan Arlan. Dia tak punya pilihan selain tinggal setidaknya tiga bulan sepuluh hari di rumah itu. Terpaksa dia menepis keinginan untuk pergi meninggalkan rumah yang kini terasa mencekam itu sementara waktu. Ines takut j
Ines memasak semua bahan yang sudah dibeli oleh kedua kakak iparnya. Keringat sudah mengucur membasahi pelipis ketika semua sudah hampir selesai. “Duh, Mah kok jadi kayak gini, ya?” Terdengar suara Mirna dari arah ruang tengah menuju dapur. Ines tetap fokus pada pekerjaannya yang sebentar lagi akan beres. “Mamah juga sama, Mir! Kamu gak lihat ini leher, tangan sama kaki Mama beruntus semua? Merah-merah, gatal sama pedih banget!” Suara Retno menimpali. Ines tetap bergeming. Hanya sudut matanya sesekali melirik kedua orang yang tampak memeriksa dan mencicipi hasil masakannya. Andai bukan buat tamu, mungkin Ines sudah campurkan dengan obat pencuci perut biar semua kapok memakan makanan yang dimasaknya. Namun Ines masih waras, ada orang lain yang tak bersalah yang akan kena juga. “Mamah sih, mending mukanya enggak! Aku malah malu, Ma! Mukaku bintik-bintik merah seperti ini!” keluh Mirna lagi. “Ya sudah kamu pakai masker saja nanti kalau malu!” Terdengar saran Retno untuk Mirna. “Uda
“Silakan diminum!” Ines menyimpan perlahan gelas-gelas yang dibawanya di atas meja kaca yang sudah diisi oleh tujuh orang itu. Hanya Arlan dan Aniska saja yang belum kembali. Airlangga menoleh pada suara yang baginya familiar, dia menautkan alis dan menatap wajah yang tengah menunduk itu dalam-dalam. “Terima kasih!” ucap Airlangga. Dia menoleh wajah ayu yang menunduk itu, tetapi kemudian abai. Hingga suara Ines kembali membuatnya menoleh dan menatap dengan lekat. “Sama-sama, Tuan!” jawab Ines seraya melempar senyum. Airlangga mengangguk, tetapi ada sesuatu yang tiba-tiba berkecamuk. Ines berdiri dan memutar tubuhnya meninggalkan ruang tamu. Dia tak sadar kedua bola mata itu menatapnya hingga punggungnya menghilang. Obrolan kembali mengalir. Tak berapa lama, Arlan dan Aniska tiba. Wajah perempuan itu ditekuk hingga Arlan membisikkan sesuatu lalu senyum itu menyembul dengan terpaksa. “Selamat siang, Pak Langga! Mohon maaf saya terlambat … tadi ada sedikit insiden!” Arlan yang tampa
Kesamaan nama, rambut kuncir ekor kuda, dan sate kambing yang dibawanya seolah clue yang membuatnya mau tak mau menebak-nebak dalam dada. “Mbak Inesa, maaf boleh tanya … kampung asalnya dari mana, ya?” Baru saja Ines menganga, Arlan mendahuluinya seolah tak rela ada orang lain yang tampak memperhatikan Ines.“Ahm, dia kami ambil dari yayasan pembantu, Pak Langga! Apa Bapak tertarik mencari ART juga?” Arlan menimpali dengan sopan. Meskipun jelas dari caranya sama sekali tak terpuji, menyela pembicaraan orang lain. Ines membuang napas kasar, lalu berjalan lurus saja ke arah belakang. Lagi pula apa yang dia harapkan, jika benar pun itu Airlangga masa kecilnya, status mereka sudah terlalu jauh. Apalagi sekarang Ines merasa dirinya tak pantas lagi karena perbuatan Arlan waktu itu. Sehingga dia pun tak lagi pernah bermimpi untuk memiliki hidup dan rumah tangga yang indah dengan sosok yang sesungguhnya dulu membuatnya bertahan dan digelari perawan tua. Hanya dia yang tahu betul-betul apa
Waktu bergulir dengan segala pedihnya, entah kenapa hatinya semakin hari semakin sakit. Setelah acara kunjungan selesai, Aniska sering sekali menginap di rumah Arlan dengan alasan takut karena sendirian di rumah.Kehadiran Aniska merupakan kabar buruk untuk Ines. Perempuan itu seolah memendam dendam tersendiri padanya yang entah apa. Namun di satu sisi merupakan sebuah keberuntungan juga buat Ines, karena Arlan tak memiliki kesempatan untuk mengganggunya. Aniska seolah dua hal yang datang bersamaan, kebaikan dan keburukan membersamainya. Ines berusaha tetap abai, dia hanya fokus pada hidupnya. Sepagi ini semua menu sarapan sudah terhidang di atas meja. Ines menatanya di meja makan,di mana biasanya keluarga besar itu bersama-sama menyantap sarapan yang sudah disiapkannya. Andai dia diperbolehkan keluar, mungkin sudah membeli obat pencuci perut biar sesekali mereka jera. Namun sama sekali Ines tak diberikan akses untuk bepergian. Yang belanja bulanan pun Erna dan Mirna. Dirinya sa
“Semoga jus nanas ini bisa membuatmu tak usah hadir ke alam dunia! Maafkan Ibu yang sudah membunuhmu bahkan sebelum kamu berkesempatan untuk lahir ….” Ines bergumam sendirian seraya menyeka air mata. Dia tak tahu jika kesucian itu belum berhasil direnggut Arlan. Dia merasa menjadi orang paling berdosa sekarang dengan meminum jus nanas dan berharap bisa menggagalkan kehamilan. “Tuhan, sepertinya aku sudah tak layak lagi menyebut-Mu dengan diriku yang penuh dosa ini … aku sudah menjadi istri yang tak patuh pada suami, sudah membunuh calon bayiku sendiri … salah akukah semua ini, Tuhan? Bahkan aku seolah terus-terusan terhimpit susah dan susah dari sejak aku mengenal dunia … mungkin benar, Engkau memang tak sayang … jadi biarkan aku hidup dengan caraku sendiri!” Ines menghela napas panjang setelah bermonolog dengan dirinya sendiri. Pemikiran yang salah semakin menjerumuskannya pada pola pikir yang salah. Lagi-lagi Ines lupa, jika semua yang hidup itu diuji dengan permasalahan yang berbe
“Maaf, ya, Mbak Aniska yang terhormat! Tolong jaga bicaramu … saya di sini bukan pembantu, tapi saya menantu sama sepertimu! Saya ini istrinya Arlan Bramantyo---suamimu! Jadi apa bedanya saya dengan kamu? Kita sama, sama-sama istri dia!” Ines menunjuk ke arah Arlan yang sontak menelan saliva. Kedua matanya membulat memandang Aniska dengan tatapan menantang. “Ines, tolong jaga bicaramu! Apa kamu pikir, istriku ini bodoh?” Arlan tersenyum miring. Dia yakin, Aniska akan lebih percaya padanya dari pada dengan Ines. “Mas Arlanku tersayang, apa kamu lupa jika kemarin malam kamu memintaku melayanimu setiap malam? Kamu menginginkanku ‘kan? Apa istrimu ini kurang memuaskan?!” Ines sengaja menabur bara api agar emosi Arlan terpancing. Berharap kata talak akan terlontar. “Ines?!” Kedua mata Arlan membulat menatap Ines. Namun Ines tersenyum santai. “Apa perlu aku putar rekaman semua ucapanmu di depan istri tercintamu ini?” Ines menatap nyalang. Sejujurnya dia hanya menggertak, karena kemarin
Ines kembali terlelap. Mendengar alunan ayat suci Al-qur’an membuat hatinya menjadi tenang dan pikirannya yang selama ini carut marut perlahan damai. Hingga akhirnya kepala yang terasa berat dan pengaruh obat membuatnya kembali lelap. Shubuh menjelang, obrolan dua orang samar-samar membangunkan Ines yang tengah lelap. Dia mengerjap, membuka mata melihat siapa yang tengah berbicara. “Wah alhamdulilah, Abi! Akhirnya si Mbaknya sadar!” tukas perempuan dengan kerudung lebar itu menatap Ines. Tampak dia baru saja melipat sajadah. “Ibu siapa, ya?” Ines menatap paras teduh yang tengah menatapnya itu. “Saya Zubaidah, Mbak! Namun orang-orang biasanya memanggil saya Umi! Ini suami saya Pak Firdaus. Hmmm … Mbaknya siapa namanya, ya? Soalnya gak ada kartu identitas sama sekali.” Perempuan itu menatap lembut. “Saya Ines, Umi! Semua kartu identitas saya hilang, Umi!" tukas Ines. “Oh iya, Mbak Ines! Maafkan kami yang sudah membuat Mbak jadi masuk klinik seperti ini!” Umi Zubaidah mengatupkan ta