Share

Ela menghubungiku

"Besok, Papa sama Mama mau pulang. Kamu disini dulu. Terserah mau pulang kapan. Soal pekerjaan kamu, sementara biar Papa yang urus," ucapnya. Saat ini, kami semua duduk di ruang tamu. Posisi masih tetap sama, dengan Ayra di sebelahku.

"Aku mau pulang juga, Pa. Gimana, Ay, kamu gak keberatan jika aku memboyongmu besok?" tanyaku lembut, tentu saja itu bukan dari hatiku. Ayra terlihat bingung, pandangannya menatap kedua orangtuaku dan bapaknya secara bergantian. Aku tahu dia tak siap, tapi aku tidak mau berlama-lama disini dan bersandiwara layaknya suami yang baik.

"Bapak gak papa disini, Ay. Lagipula, sudah kewajiban kamu mengikuti apa kata suamimu selagi itu tidak melanggar aturan." Pak Arman--mertuaku itu berkata begitu bijak, membuatku merasa tak enak. Aku pikir, Pak Arman akan menahan Ayra barang sehari atau dua hari lagi karena Ayra anak semata wayangnya. Terlebih dia di rumah juga akan sendirian jika Ayra kubawa. Istrinya, yang tak lain adalah Ibu Ayra, meninggal saat Ayra masih berusia 3 bulan.

"Bapak akan sendiri jika Ayra pergi," ucap Ayra. Aku tahu dia berusaha menahan air matanya.

Bapak mertuaku itu bangkit, dia mendekati putrinya dan memberi pengertian. 

"Kamu lupa, Bapak juga sendirian waktu kamu di pondok. Lalu apa bedanya?"  Sejenak aku terdiam. Jadi Ayra seorang santri?

Pak Arman kembali melanjutkan perkataannya. Bisa kurasakan mertuaku itu begitu menyayangi istriku.

"Ponselmu, Bram?" tanya Papa, saat mendengar dering benda pipih itu di dalam kamar Ayra.

"Saya permisi, dulu," pamitku pada Bapak mertua. Beliau mengangguk menanggapi.

Aku langsung bergegas bangkit dan berlari ke kamar Ayra untuk mengangkat panggilan seseorang yang sudah bisa kutebak. Nama Ela yang sudah kuganti dengan nama Doni tertera jelas dilayar.

"Bagus! kamu sama sekali gak ngabarin aku dari kemarin! sesibuk apa sih, sampai kamu gak ada waktu buat aku, Mas!" Aku reflek menutup speaker ponsel saat mendengar lantangnya ocehan Ela.

"Aku kan sudah bilang, jangan hubungi aku lebih dulu!" balasku tak mau kalah.

"Memangnya kenapa, hah? Mas tau gak, sih! aku capek! dua hari ini aku menunggu kamu menghubungiku, tapi  sampai sekarang, ponselku tetap hening! Mas anggap aku apa, sih!" Ela semakin melantangkan suaranya. Detik kemudian, terdengar sesuatu yang dilempar di seberang telfon. Aku tahu, Ela mengamuk. Dia memang selalu begitu jika marah padaku. Beruntung aku sangat mencintainya.

"Oke, aku salah, aku minta maaf!" rayuku. Berharap gadisku itu dapat mengerti. 

"Mas temui aku sekarang, atau kita putus!" ancamnya. Aku panik, Ela langsung memutuskan sambungannya sepihak.

Kutekan nomor Ela berkali-kali, berharap dia menjawab panggilanku. Detik berlalu. Keadaan tetap nihil, panggilanku yang terakhir malah mengatakan nomor Ela tidak aktif. Aku mengacak rambutku kasar. Dia benar-benar marah padaku.

"Mas, kenapa?" tanya Ayra tiba-tiba. Aku sampai tak sadar, istriku itu sudah masuk ke kamar ini.

"Ini semua gara-gara kamu!" sergahku kasar. Ayra tersentak, dia beringsut mundur.

"Tinggalkan aku, Ay!" pintaku.

"Tolong, jangan begini, Mas. Katakan dimana salahku!" Aku melotot, Ayra mulai berani menjawab. Dengan amarah, kudekati Ayra perlahan. Sorot mataku semakin tajam menatapnya. Sedang Ayra, dia langsung menunduk menyembunyikan maniknya yang mulai berkaca. Bisa kulihat tangannya juga gemetar karena takut.

"Kau ingin tahu, dimana letak kesalahmu?" tandasku sinis. Ayra semakin menunduk, hingga wajahnya tersembunyi dibalik hijabnya.

"Bram ..." Aku tersentak mendengar suara Papa memanggil namaku bersamaan dengan dibukanya pintu kamar dari luar. Reflek kutarik tubuh Ayra dalam dekapan, agar Papa tak curiga dengan mata Ayra yang mengembun.

"Ya ampuun ... maaf! harusnya Papa ketuk pintu dulu," ujarnya menutup mata, setelah melihat keintimanku dengan Ayra.

Aku lekas melepaskan pelukanku setelah Papa kembali menutup pintu kamar.

"Tetap disini! jangan keluar sebelum air matamu itu hilang tak berbekas!" dengkusku sebal. Aku langsung keluar, meninggalkan Ayra yang masih berdiri menundukkan wajahnya. Aku tak peduli dia menangis ataupun terluka karena sikapku. Salah sendiri kenapa dia mau dijodohkan denganku. Harusnya dia menolak pernikahan ini. Fikiranku jadi buruk sangka. Aku jadi berfikir, Ayra mau menikah denganku hanya karena harta.

"Ada apa, Pa?" tanyaku menghampiri. Papa menoleh sebelum akhirnya membalas ucapanku.

"Papa sama Mama mau jalan-jalan. Kata mertuamu, ada wisata Alam yang baru dibuka di desa ini," jelasnya.

"Terus?" balasku.

"Ya kamu sama Ayra ikut. Suruh istrimu siap-siap. Mumpung kita masih disini, Arman juga ikut. Iya kan, Pa?" jelas Mama, tatapannya beralih memandang Papa. Sedang Papa hanya mengangguk menanggapi.

"Aku gak ikut, ah, Ma. Capek! lagian Ayra juga terlihat kelelahan." Aku mencari alasan, padahal aku hanya malas. Malas jika harus kembali bersikap manis pada gadis kampungan itu.

"Ya sudah, Nak Abram istirahat saja. Lain waktu jika Nak Abram kesini lagi, Nak Abram bisa ke sana bersama Ayra," sahut Bapak mertua. Aku mengangguk tersenyum, meski hatiku merasa tak enak. Akan tetapi, mau bagaimana lagi, sesuatu yang dipaksakan akan tidak sedap bila dipandang. Terlebih hatiku sedang panas seperti ini. Bisa-bisa aku hilang kendali dan membentak Ayra di hadapan mereka.

Setelah memastikan mereka memasuki mobil dan keluar dari halaman, aku langsung kembali ke kamar untuk mengambil ponsel dan menghubungi Ela. Ayra seketika membalikkan badan membelakangiku saat aku memasuki kamarnya. Sekilas kulihat matanya sembab, namun aku tak peduli. Aku kembali keluar setelah meraih ponselku di atas meja riasnya.

"Ayolah, Ela ... angkat!" gumamku cemas. Nomor Ela sudah kembali aktif, namun kekasihku itu tetap tak mau menjawab panggilanku. Aku memutuskan mengirim pesan lewat WA. Tersadar, aku merutuki kebodohanku. Seharusnya aku memberi pesan singkat dari kemarin.  Namun aku tak lakukan itu, karena pernikahan yang baru saja terlaksana membuatku benar-benar terpuruk hingga aku melupakan Ela.

Ela tidak tahu jika aku menikah. Aku sengaja menyembunyikan semua ini darinya. Dari awal, aku sengaja mengajukan persyaratan pada Papa untuk menikah diam-diam. Papa menyetujui permintaanku asal aku menikahi Ayra. 

Sekarang, aku sudah menjadi seorang Suami dan Ayra resmi menjadi istriku yang sah dimata agama maupun hukum. Aku bingung, harapanku seolah hancur karena pernikahan ini. Impianku membangun keluarga bahagia bersama Ela seakan pupus. Aku berharap, suatu saat Ayra menyerah dengan pernikahan ini di hadapan Papa dan Mama dengan alasannya sendiri. Dengan begitu, aku bisa kembali bersama Ela seutuhnya. Aku akan tetap merahasiakan pernikahanku pada Ela, sampai Ayra meminta pisah dariku. 

"Mas, bisakah kita bicara?" Ayra tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangku, membuat jantungku hampir copot.

"Sejak kapan kau disini," ketusku. 

"Baru saja," balasnya.

"Cepat, mau bicara apa. Aku tak mau berlama-lama di dekatmu!" Ayra mendesah berat. Ia terlihat mengatur napas sebelum berucap.

"Bisakah ... bisakah kita di sini lebih lama. Setidaknya seminggu saja."

"Aku tak siap jika harus meninggalkan Bapak besok," lanjutnya. Matanya mengembun menahan tangis. Tidak, aku tidak boleh iba.

"Pekerjaanku tak bisa ditunda. Terserah jika kamu ingin tetap di sini. Lagipula, bukannya Bapak tadi bilang sudah terbiasa sendiri. Kamu boyong dari pondok karena pernikahan ini, kan?" 

"Tapi, ini berbeda, Mas," sanggahnya. Dia menunduk, suaranya gemetar. 

"Terserah jika kamu tetap bersikukuh. Aku tak peduli! lagipula, dengan tidak ikutnya kamu besok, itu jauh lebih baik untukku. Tapi, silahkan bicara sendiri pada Bapakmu dan orang tuaku jika kau ingin tetap tinggal!" Aku berlalu setelah berucap, meski mulutku berkata demikian, namun hatiku cemas. Jika dia tidak ikut, aku juga yang akan di salahkan. Ah, sudahlah, yang penting aku sudah menekannya. Kita lihat saja besok.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status