"Shafira, ijinkan aku meminta hakku," bisiknya. Mata Shafira spontan terbuka.Deg. Jantung Shafira mulai berdetak tak berirama. Shafira merasakan embusan napas Ken begitu lembut menyapu wajahnya. Keduanya saling melempar pandangan satu sama lain. Shafira menelan paksa air liurnya. "Ken .... Aku ....""Belum siap?"Shafira bungkam. Dia bingung harus menjawab apa saat ini. Ken menarik tubuhnya. Dipandangi wajah Shafira yang memerah saat itu juga. "Buatkan aku kopi. Aku tidak suka kopi dingin."Shafira membuka matanya. Dia bergegas menuju pantri. Tangannya menyentuh dada. Dia merasakan dentuman jantungnya begitu kuat.Di sudut berbeda, Ken meremas rambutnya yang masih basah. Sungguh, dia belum siap untuk melakukannya. Perasaannya pada Shafira sedikitpun tidak ada. Dia hanya menganggap Shafira adalah suatu ketidaksengajaan. *"Berpakainlah yang rapi, malam ini aku ingin mengajakmu makan malam berdua di restoran."Shafira tersipu. Dia tidak menyangka Ken akan melakukan hal romantis i
"Pa, tolong lakukan sesuatu sebelum mereka kembali," desak Alice."Papa sedang sibuk, Alice. Apa kamu tidak lihat?"Alice memutar matanya. Dia sangat kesal saat ini. Alice merasa orangtuanya tidak melakukan apapun untuk menyingkirkan Shafira. Kakinya menyentak dengan kedua tangan terlipat di delan dada. "Kalau Papa dan Mama tidak melakukan apapun, biar Alice saja yang menyingkirkan wanita licik itu.""Jangan gegabah, Alice!" bentak Tuan Agatha. Tuan Agatha mendekati putrinya. Tatapannya tajam. Sonia yang menyadari itu segera mendekati keduanya agar tidak terjadi keributan. "Kamu pikir Papa tenang di sini? Papa juga sedang berpikir, Alice! Bagaimana cara kita menyingkirkan wanita licik itu.""Selalu saja itu alasan Papa. Saat menyingkirkan Clara sangat mudah, kenapa justru kalah dengan wanita kampung itu?""Kamu lupa, bukan hanya Kenward yang menjadi penghalang kita, tapi Kakekmu! Dia sangat melindungi wanita itu." Alice mendengus kasar. Sonia berusaha menenangkan suaminya saat
Semenjak malam di mana mereka pertama kali menyatukan diri, Kenward mulai melakukan kewajibannya untuk memberikan hak pada Shafira.Hari ini setelah satu minggu berlalu, mereka kembali ke Jakarta. Kenward tidak pernah mau melepaskan genggaman tangannya. Dia seolah ingin mengenalkan Shafira pada dunia. "Tidurlah, nanti aku bangunkan jika sudah tiba di Jakarta."Shafira mengangguk lantas membaringkan diri. Sepanjang perjalanan, Kenward sibuk memainkan ponselnya guna memantau perkembangan perusahaan selama dia tinggal. "Kerja yang bagus, Gio," pujinya saat menerima.laporan dari sepupunya. *Satu jam lebih telah berlalu. Saat ini mereka sudah tiba di Bandara Internasional Soekarno Hatta. "Bangun, Shafira, kita sudah tiba," bisiknya tepat di telinga istrinya. Shafira mengerjap kemudian mendapati teoat di depan matanya sebuah karya indah ciptaan Tuhan.Kenward tersenyum. Shafira kemudian mempersiapkan diri untuk segera turun dari pesawat. Mereka berjalan melewati banyaknya penumpang d
Hoek. Hoek. "Ken ...." Sudah satu bulan terakhir Shafira merasakan sensasi yang tak biasa. Tubuhnya mudah lelah dan tidak berselera untuk makan. Seperti pagi ini, sudah tiga kali dia memuntahkan apa yang telah dimakannya. "Ken ...."Suaranya mulai melemah. Dia tidak bisa lagi untuk sekedar memanggil suaminya. Lagi dan lagi cairan itu keluar. Dia terus memuntahkan isi perutnya. Tubuhnya semakin melemah. Shafira berusaha untuk keluar dari kamar mandi dan menuju ranjang. Sayangnya, tubuhnya tidak kuat lagi. "Shafira!" teriak Ken saat melihat istrinya tergeletak di depan kamar mandi. Sigap dia menghampiri istrinya dan segera mengangkat menuju ranjang. Kenward mulai panik melihat kondisi Shafira yang melemah. "Kamu tunggu aku di sini dulu. Aku mau panggil yang lain."Shafira tak mampu lagi untuk menjawab. Ken bergegas dan berlari keluar kamar. "Tolong! Tolong!" Suaranya menggelegar hingga membuat beberapa pelayan segera menghampirinya. Ada juga yang mencari Tuan Abimana dan men
"Selamat datang, Tuan dan Nyonya Kenward di klinik kami. Silakan duduk!" sambut dokter Raisa sembari mempersilahkan mereka untuk duduk. "Saya ingin memeriksakan kandungan istri saya.""Ah, iya, Tuan. Kemarin dokter Gifari sudha menceritakan itu semua. Ternyata calon penerus Guinandra Group sudah ada."Shafira tersenyum tersipu malu. Kabar kehamilannya ternyata sudah diketahui oleh dokter yang akan memeriksa kandungannya. "Baik, Nyonya Shafira, kapan terakhir haid?""Tanggal 7 Maret kemarin.""Gejala apa yang anda rasakan akhir-akhir ini.""Mudah lelah, Dok. Mual, muntah, sensitif terutama pada penciuman.""Menurut hitungan kami, usia kandungannya lima minggu tiga hari. Namun, untuk memastikan kita lakukan pemeriksaan USG ya."Dokter kemudian memerintahkan Shafura untuk berbaring di atas brankar pemeriksaan yang dibantu oleh Mia. Perlahan gamis yang dipakai disingkap ke atas setelah sebelumnya setengah tubuhnya ditutup oleh kain selimut.Dokter Raisa kemudian mulai memeriksa kondis
"Alice sudah ingatkan Papa waktu itu untuk bergerak cepat, tapi Papa tidak menggubrisnya. Hasilnya lihat kan? Shafira positif hamil!""Alice, kamu harus tenang, Sayang," bujuk Nyonya Shafira. "Tenang? Saat kondisi seperti ini Mama masih menyuruhku tenang?" tanya Alice demgan luapan emosi yabg menggebu. "Kalian sama sekali tidak menghargai usahaku untuk mendapatkan Ken. Sekarang, dengan hamilnya Shafira, aku tidak bisa lagi untuk merebut hatinya. Kalian menghancurkan mimpiku!""Diamlah, Alice!" bentak Tuan Agatha. Alice yang baru saja pulang berbelanja bersama teman-teman sosialitanya tersulut emosi saat tahu Shafira benar-benar mengandung buah hati Kenward. Dia tidak bisa mengontrol emosinya. Langkahnya melebar mencari di mana Shafira berada. Napasnya memburu. "Shafira!"Suaranya menggelegar. Hari ini Tuan Abimana dan Tuan Albern dalam perjalanan bisnis ke Surabaya. Gio dan Ken saat ini tengah mengadakan pertemuan penting dengan klien di sebuah cafe. Matanya mengedar ke segala s
"M-maafkan aku," lirih Kenward kemudian segera memutus kontak mata mereka. Kenward dan Shafira sama-sama salah tingkah. Berkali-kali Kenward berdehem untuk menutupi rasa gugupnya.Shafira mengulum senyum. Pipinya lantas berubah memerah merona."Apa kabar calon anak kita?" tanya Ken berusaha mengalihkan suasana yang sempat canggung. "Alhamdulillah. Semoga dia baik-baik saja di sana.""Aku membawakanmu beberapa buah. Tadi aku konsul dengan dokter Raisa. Sebentar lagi pelayan akan membawanya ke sini.""Terima kasih, Ken."Ken berlalu meninggalkan Shafira. Dia tidak bisa berlama-lama di sisi Shafira. Detakan jantungnya begitu kuat. Dia takut, Shafira mendengar itu. Kedua sudut bibirnya terangkat. Entah mengapa, aura Shafira saat mengandung sangat berbeda. *"Hoek. Hoek."Kenward yang sedang sibuk memeriksa kembali laporan keuangan sontak berhenti saat mendengar Shafira yang sedang membutuhkannya. Langkahnya melebar menuju kamar mandi. Shafira tampak begitu lemah. "Jangan mendekat!"
"Maafkan aku, Ken.""Aku hanya sedang berusaha untuk terus menjaga perasaanmu. Diamku dan kejujuran soal Clara itu semua demi kamu. Bukan aku."Keduanya kembali saling diam. Shafira menunduk dalam. Ken merasa tercubit hatinya saat menyadari apa yang dirasakan Shafira selama ini. Perlahan dia mendekat kemudian membawa Shafira ke dalam tubuhnya. "Harusnya aku yang minta maaf. Aku tidak tahu itu justru menyakitimu. Maafkan aku."Shafira terisak kemudian memeluk erat tubuh Kenward. Sesuatu yang sangat jarang mereka lakukan. Shafira merasa sangat menyesal dengan kejadian ini. Andaijan dia tahu yang sebenarnya, mungkin pertengkaran tadi tidak akan pernah terjadi. "Percayalah, Shafira. Aku sedang berusaha untuk menempatkan kamu di posisi terpenting di dalam hidupku. Namun, aku minta kamu bersabar sedikit saja. Aku juga butuh waktu."Shafira mengangguk seraya mengeratkan pelukannya. *Lima bulan berlalu. Shafira dan Kenward semakin bahagia. Terlebih perut Shafira yang mulai semakon membe