Laper nggak?" Tanya Mas Daniel sambil melangkah menuju tempat mobil diparkir kan.
"Kenapa?"
"Mau ngajak kamu makan lah, masa iya mau ngajak kamu berantem."
Dasar nyelekit!
Kami pun meninggalkan area wisata dan memilih untuk makan mie ayam langganan suamiku. Katanya tempatnya terkenal enak, murah dan higienis. Ih.... tau aja si akang kalo aku laper.
Nggak nyangka kalo orang kaya seperti Mas Daniel ini suka makan ditempat yang murah, ternyata perhitungan juga.
Baru hendak memasuki warung mie ayam lesehan langganan suamiku, tatapan mata tajam dari beberapa orang gadis yang keluar dari warung mie ayam, membuatku tak nyaman.
"Aduh..... seleranya, ganteng sih....." Salah seorang diantara mereka nyeletuk sesaat setelah menatap sekilas pada ku dan Mas Daniel.
Ya ampun... Apa mereka sedang menertawakan Mas Daniel karena menikah dengan ku yang miskin ini dan tak cantik seperti mereka.
"Kirain, habis mutusin kamu bakalan dapat jauh lebih oke. Tak tau.... nya masih kalah jauh." Celetuk seorang gadis cantik yang rasanya dari keluarga berada, mengibaskan tangannya sambil menatap ku sinis dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Deg!!!!
Sakit hati sih, iya. Tapi kok otak ku lebih cepat nyambung ke tik tok ya?
Gadis cantik berambut coklat, yang rasanya hasil semir di salon lantas menatap tajam dan sinis pada ku.
"Mungkin dia sudah menurunkan standar kecantikan wanita, makanya.... model cewek begini aja dinikahi."
"Nggak nyangka ya!" Terdengar yang lain menimpali
Mas Daniel terdiam kaku, tapi satu yang membuat ku sedikit kecewa. Kenapa juga dia harus melepaskan genggaman tangan ku saat dia bertatapan dengan gadis cantik berambut panjang yang berdiri ditengah itu? Apa dia mantan pacar Mas Daniel? Dan suamiku belum move on?
"Mas, aku lapar." Aku mencoba cuek, tak ingin menanggapi hinaan pedas mereka karena rasa makan mie ayam pedas akan lebih menggoda.
"Ya, udah yuk!"
"ckckck, muka kampungan! Pantesan aja mau nikah sama mantan ku. Atau jangan-jangan cuma mau morotin hartanya doang?"
Oh, ternyata mereka belum berhenti mengolok- olok ku.
Daebak!!!!
Aku yang semula mau memasuki warung lesehan mie ayam yang sudah didepan mata, terpaksa menoleh. Rasanya aku harus mempergunakan mulutku dengan sebaik-baiknya untuk meladeni mereka.
"Tutup mulut mu ya mbak!" Aku mengultimatum mereka dengan mata melotot, seenaknya saja mereka mengolok-olok aku dan merendahkan harga diriku.
Seperti tak terpengaruh dengan ucapan ku barusan, mereka hanya tersenyum sinis melihat ku marah.
"Sudah, Putri sudah!" Mas Daniel bersuara pelan, seperti ingin menenangkan istrinya yang sudah kadung naik darah.
Dengan dada turun naik, aku menoleh dan lantas menatap tajam ke wajah suamiku.
"Kenapa kamu diam aja mas? Apa nggak ada keinginan mu untuk membela aku, saat aku di hina terang-terangan?" Aku mengolok dengan begitu transparan.
Mas Daniel membatu, diam membisu.
Entahlah dia sedang mencerna ucapan ku atau sedang menanggung malu karena aku memaki dirinya didepan mantan kekasih dan geng nya yang cantik-cantik dan berkelas itu.
"Sudah, sudah, ayok pulang." Gadis yang ku perkiraan mantan pacar suamiku, menuntun dua rekannya untuk meninggal tempat perdebatan kami.
Huh! padahal aku masih ingin marah, eh malah kabur mereka.
Dasar Cemen!
"Jadi makan!" Pertanyaan Mas Daniel membuat ku terkesiap.
"Jadi."
"Ya udah, ayok."
"Dasar ABG, gampang banget kepancing, dasar labil!" Mas Daniel mencibir begitu kami sudah duduk berhadapan di meja warung mie ayam.
Aku mendengus kasar.
"Aku cuma manusia biasa, bukan malaikat atau peri Mas."
"Terus yang bilang kamu malaikat itu siapa?"
Aku mencebik kecil, merasa tak pernah mendapat kan dukungan sama sekali dari dia.
"Ya, habis mereka ngomong nya pedes pedes banget."
"Halah, gitu aja dimasukkan kehati! dasar baper!"
Tuh, kan dia selalu menganggap remeh tentang ku, awas saja kamu Mas Daniel pasti aku balas ni.
"Udah buruan makan, katanya laper."
Aku meraih semangkuk Mie ayam yang diberikan kepadaku dengan mata berbinar.
"Gimana, mie nya enak?"
Aku mengangguk-angguk senang, rasa pedas yang menaungi lidah dan bibir tak lagi ku perduli kan.
Aku baru saja selesai menyantap mie ayam lezat tadi dibuat jadi serba salah saat menyadari Mas Daniel tak berhenti menatapku.
Ya Allah.
Apakah ini cinta dihatinya telah tumbuh dan berputik? kenapa cuma memandang wajahku saja sampai tersenyum lebar begitu?
"Kamu kenapa Mas?"
"Itu.... ada cabe di gigimu."
Ya Allah, rupanya cabe ini yang memancing nya tersenyum lebar. bukan karena kecantikan ku yang membuat dia terpesona? Hadeh.... dasar aku yang terlalu kepedean.
Amsyong!
Ya ampun cabe! bikin malu aku tujuh turunan saja.
Aku memalingkan wajah dan mengambil cermin kecil yang ada di tas selempang yang aku pakai.
Meskipun rasanya ingin salto karena menanggung malu, aku tahan saja karena ini tempat umum. Bukan apa-apa takut suamiku tambah malu.
Bisa gagal nanti progres aku bikin bayi good looking sama dia, kan sayang... hanya gara-gara cabe ini, huhu...
*****
"Gimana jalan-jalan nya, Put?" Mama mertua menyambut kepulangan ku dan Mas Daniel dengan sumringah.
Mendengar pertanyaan mama mertua, membuatku terdiam beberapa saat. Bayangan wajah gadis cantik yang aku temui di depan warung mie ayam langganan Mas Daniel, membuatku tak bisa berpikir jernih.
Kenapa mereka bisa putus ya? Padahal kalau dilihat-lihat si cewek itu baik
"Menyenangkan."
Aku terkesiap saat mama mertua yang sepertinya masih penasaran dengan acara jalan-jalan yang melibatkan aku dan Mas Daniel.
"Iya, Ma."
Mas Daniel yang seperti kelihatan lelah berjalan cepat menuju kamar.
"Ya udah Ma. Putri naik dulu keatas, mau bersih-bersih." Aku mengangguk pelan pada mertua ku sesaat menaiki tangga dan menyusul langkah suamiku.
"Mas, tadi.... yang didepan warung mie ayam, beneran mantan kamu?" Aku sedari tadi diliputi rasa penasaran, bertanya pada suami yang tampak bad mood sesampainya kami di rumah.
"Anak kecil nggak usah kepo, bisa nggak?"
What's?
Lagi-lagi dia memanggil ku anak kecil, padahal kecil-kecil begini disuruh buat anak pun aku bisa, cuma apes nya kalau disuruh buat anak dia nggak mau, sih... heran kan! Sama... aku juga heran dengan seleranya.
******
Sehabis makan malam
"Mas?" Aku memecah keheningan dengan sebuah kata yang membuat mas Daniel menoleh kepadaku, sedari tadi hanya fokus dengan gadget nya.
"Apa."
"Bisa minta tolong sesuatu?"
"Minta tolong apa?"
"Anting ku pas dikamar mandi tadi jatuh sebelah."
"Terus?"
"Bisa kamu bantuin pasangin?"
"Kenapa nggak tunggu besok aja, atau minta bantuan mama gitu!"
Aku meneguk ludah, kan memang tujuan awal nya biar Mas Daniel makin dekat sama aku dan proses pembuatan baby good looking bisa terlaksana, gimana sih...Mas Daniel nggak peka.
"Yaudah, biar aku pasang sendiri."
"Hmmm......sini mana anting nya?"
Aku pun membuka tangan ku dan menunjukkan sebelah antingku yang memang terjatuh dikamar mandi tadi.
Yes, adegan romantis seperti film-film yang kubayangkan akan terjadi padaku sebentar lagi. Saat si cowok memasang antingnya untuk si cewek.
Uwu banget gak sih?
Kami pun duduk berdua di sofa kamar setelah mas Daniel mengambil alih sebelah anting dari genggaman tangan ku.
"Mas....pelan-pelan, sakit tau."
Mas Daniel mendecak singkat.
"Belum juga dimasukin, udah ngeluh."
Aku menatap nya sengit, rupanya adegan romantis cuma ada di angan dan film-film saja.
Kami tidak sama sekali!
"Makanya jangan lasak, susah ini masukin nya. Kok bisa sih rapet begini?"
"Ya mana kutahu, mungkin kamu yang nggak pinter buat masukin."
"Kamu remehin aku?"
"Ya udah buruan masukin, udah capek tau nungguin dari tadi."
krumpyang.......
Aku dan Mas Daniel yang sedang meributkan pasal anting terperanjat kaget.
Loh, kok kayak ada piring jatuh dari luar?
"Biar saya bersihkan pecahan piring nya nyonya."
Apa! Mama mertua menjatuhkan piring?
Wah.... pasti mama mertua barusan mikir aku lagi ehem-ehem enak sama anaknya. Duh gawat, padahal cuma masang anting doang.
"Udah." Ucap Mas Daniel setelah anting resmi terpasang kembali di telinga ku.
"Ohhh, ya makasih ya Mas."
Mas Daniel mengangguk pelan.
Tak berapa lama setelah pemasangan anting ponsel Mas Daniel berdering.
"Halo!"
Siapa ya, yang menelepon suamiku? Kok rasanya nggak enak begini? Takut aja si mantan menelepon, kan meresahkan jiwa ku sebagai istri.
"Bisa nggak malam ini kita tidak ngomongin soal itu sekarang?" Mas Daniel melirik padaku ketika dia berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon.
Tak lama kemudian aku berdiri tak tenang, bukan karena salah tingkah karena Mas Daniel menatapku barusan. Tapi karena sakit perut membuat perut ku tak karuan. Apa ini gara-gara aku makan sambel kebanyakan tadi siang?
Kok efek nya baru terasa sekarang ya!
Perut yang mendadak mules memaksa ku berlari menuju kamar mandi dengan cepat.
"Ah..... lega."
Aku keluar dari kamar mandi saat perut ku berangsur baik.
"Put."
Mas Daniel membuatku mendongak saat dia memanggil dengan sebutan yang jauh dari kata mesra. Nggak romantis banget sih... dia.
"Apa."
"Kamu habis cebok lupa nggak pakai celana atau gimana? Atau kamu sengaja godain?"
Ya ampun bagaimana bisa aku cuma pakai celana dalam doang alias CD setelah BAB.
"Kamu kira aku bakalan tertarik melihat kamu cuma pakai kain segitiga begitu?"
Huaaaaa! Malu aku malu sama lampu lampu neon seperti mengejek kebodohan ku.
Bersambung....
"Serius nggak tertarik?" Aku menanggalkan rasa malu untuk sementara waktu saat berjalan mendekati dia. Laki-laki sombong yang bergelar suami yang kesannya selalu menganggap remeh diriku."Apa.... Aku kurang seksi, Mas?" Suara manja menggoda melengkapi aksi yang bahkan nggak pernah masuk di otak ku ini.Beneran, ini spontan saja.Mas Daniel menatapku sinis sambil bergidik ngeri, seperti ilfill melihatku yang memang agak lebay. Habisnya gimana lagi, dari pada aku tambah malu mending berbuat konyol sekalian."Buruan, sana pakai rok atau celana. Nggak ada bagus-bagus nya tau kayak gitu."Dasar jaim! Padahal keliatan banget dia lagi nahan diri buat nggak tergoda. Buktinya dia nggak berani lihat aku lama-lama.Aku pun mengambil celana tartan motif kotak untuk mengakhiri keadaan awkward."Tidur! Jangan bergadang, jangan main hape terus." Mas Daniel memperingatkan begitu aku menyusul menaiki ranjang dan berbaring disampingnya. Lelaki entah ba
"Kamu akan tetap disini." Mas Daniel menahan tanganku dengan raut wajah yang tegas. Membuatku yang hampir saja menarik langkah, tapi tetap bertahan ditempat yang rasanya tak pantas buatku."Karen, berhentilah mengolok-olok apalagi mengejek dia, karena dia itu... Istriku!"Aku mendongak menatap Mas Daniel yang tengah berbicara pada si rambut pirang. Ada yang berdesir di dadaku ketika akhirnya, Mas Daniel mau mengakui status aku sebagai istri didepan gadis sombong itu.Ya ampun, kok jadi pengen joget-joget kayak film India,"Kau ... Jadikan aku ... Wanita yang kau pilih..."Romantis banget sih, serasa jadi wanita wanita yang di film Korea menyelamatkan pujaan hati nya.Tapi nggak mungkin lah aku melakukan hal kayak gitu, yang ada malah dikatain norak, kampungan!"Apa? Kamu seriusan suka sama bocah kampungan itu, Daniel?" Muka si banaspati, eh, salah, muka Karen berubah jadi semerah tomat busuk pas mendengar pengakuan Mas Daniel.Mas Dani
"Drama murahan macam apa ini? Berani sekali kau menggoda istriku!" Gigi Mas Daniel bergemeretak dengan wajah yang terlihat semakin garang.Benarkah dia cemburu? Bukan kah dia bilang aku ini sama sekali nggak menarik?Kartu nama itu ku tatap sekilas, dan ternyata namanya Sebastian Gunawan."Aku pernah lihat kamu... Jalan dengan... Lita. Apa kalian sudah putus?" Tanyanya dengan mengejek. "Rasanya... belum ada sebulan ini aku melihat kalian berdua jalan bersama."Jadi laki-laki ini tau tentang Lita? mantan Mas Daniel.Mas Daniel diam. Berarti apa yang diungkapkan lelaki yang baru ku ketahui namanya Bastian ini, betul!"Ayo, Putri. Kita pulang sekarang."Aku menatap ragu Bastian sebelum kartu nama miliknya aku sambar dengan cepat dan aku masukkan kedalam tas jinjing kecil yang aku bawa."See you again." Bastian mengulas senyum sebelum aku dan Mas Daniel benar-benar berlalu jamuan makan malam orang-orang berkelas ini.Jujur s
Tanpa ingin tahunya bagaimana dia berekspresi selangkah, iseng ku simpan nomor ponsel milik cowok gondrong yang kini berambut cepak.Bukan karena aku ke gatalan loh,ya. Jujur, aku sedikit penasaran atas pengetahuan nya tentang hubungan suamiku dan Lita yang katanya masih hangat sekitar sebulan lalu. Lah, bukan kami sudah menikah? Jadi maksudnya Mas Daniel bermain dibelakang ku?Setelah tersimpan, aku mencoba menghubungi nomor kontak lelaki itu."Halo?" Suara Bastian memenuhi rongga telinga saat telepon kami bersambung."Aku butuh teman curhat." Aku menyahut dingin ucapannya."Wow, ini mbak kasir yang di jodohin sama cowok tajir mantan Lita itu kan?" Dari nada bicaranya, Bastian terdengar begitu yakin saat menerka siapa aku."Iya betul.""Ada masalah apa menelepon ku malam-malam begini, mbak kasir?"
“Mas,turunin!” Aku berucap dengan melotot saat menatapnya yang terus memandang lurus ke depan.Mas Daniel cuek dan tetap membopongku sampai ke kamar. Orang yang melihat aksinya saat ini pasti mengira jika kami adalah pasangan serasi yang sedang kasmaran, bahkan dia menggunakan kaki kanannya saat mendorong pintu untuk membuka. Sudah seperti pengantin baru yang sedang dimabuk cinta bukan?Pun saat menutup pintu pasca kami masuk lagi ke kamar, dia pun mendorong dan memastikan pintu tertutup rapat dengan sebelah kakinya.Namun, gayanya yang membopong ala bridal style berakhir ketika kami sudah berdua saja dikamar ini. Tanpa kata-kata, dihempaskan nya tubuhku ke atas ranjang tanpa perasaan.“Aw!” Aku mengaduh sembari memegangi punggung ku. Meski tempat tidur ini empuk, rasanya nggak enak banget lah dihempaskan begitu.“Kasar banget, sih! Jadi cowok!” Aku mengomel kesal padanya yang sesuka hati melempar k
Tampak sekali Mas Daniel tersulut emosi saat aku menyebut nama mantan kekasih yang mungkin saja berhubungan baik dengannya sampai sejauh ini. Apakah tuduhan ku benar. Jujur aku mengakui hatiku, bergemuruh saat mencoba menafsirkan ekspresi wajahnya. "Dan, ingat, kamu sudah punya istri. Jangan memberi celah pada wanita untuk memporak-porandakan nasib pernikahan kalian." Papa mertua terdengar bersuara. Membuat sesuatu yang ada disini terdiam. Pun begitu dengan Mas Daniel, dia terlihat seperti anak baik-baik yang enggan membantah perkataan orang tua. "Kamu perlu ingat satu hal. Kamu sudah mengambil tanggung jawab atas Putri saat mengucapkan ijab Kabul di depan penghulu, Daniel..." "Iya, pa." "Perkara kalian mau pindah kerumah baru atau tetap disini, papa membebaskan. Tergantung Putri saja." Ucapan papa mertua terdengar bijaksana. " Tapi menurut Mama, Putri lebih baik tinggal disini deh pa! Papa tau kan dari dulu Mama pengen
Kata-kata itu terdengar tajam bagai belati yang menusuk dalam sampai ke ulu hati.Ya Rabb, benarkah kesucian ini yang ku jaga selama ini harus terenggut dalam situasi dan kondisi mencekam seperti ini? Keadaan yang bahkan jauh dari kata romantis?Sungguh, bukan dengan jalan seperti ini yang kuinginkan menjadi akhir dari penjagaan kesucian seorang Putri Melani.Dengan napas menderu, mataku yang masih dipenuhi bias kaca, menatap nyalang wajah lelaki yang ternyata tak berperasaan ini.Aku benar-benar tak habis pikir. bagaimana bisa orang tua yang pembawaan lemah lembut dan bijaksana, memiliki penerus seperti laki-laki yang tengah berdiri kaku dihadapan ku.Aku merasakan tulang ku membeku saat matanya menatapku dengan tatapan buas yang mengancam. Persis seperti pemburu yang mengincar sasarannya.“Jangan pernah berharap menyentuhku, apalagi memaksaku! Aku tidak sudi!” aku berteriak lantang saat Mas Daniel terlihat semakin tertarik untu
“Omong kosong katamu? Aku serius! Kalau kamu masih cinta dengan dia kenapa harus menikahi ku?” Aku menatapnya tajam ketika mengolok dirinya yang masih mempertahankan raut wajah yang garang setelah mengintimidasi diriku.Tak menjawab pertanyaan ku, Mas Daniel terdiam untuk berapa saat hingga mencetuskan ide untuk makan siang. Karena memang, kami belum sempat makan sebelum pamit pergi tadi.“Aku lapar. Gimana kalau kita makan sekarang?” ujar Mas Daniel sembari mengusap perutnya.Tak mau berdebat, aku mengangguk pelan sebagai tanda setuju.Pulang dari gerai ponsel di salah satu mall elit di ibukota ini. Kami pun singgah di sebuah restoran khas jepang. Tempat yang rasanya juga menjadi salah satu lokasi favorit suamiku untuk mengisi perut, selain mie ayam langganan hari itu.“Kamu nggak makan?” Mas Daniel bertanya ketika berbagai hidangan tersaji dihadapan kami dan aku sama sekali tak tertarik untuk mengambil salah sa