"Ya sudah, saya permisi, Pak."Setelah aku izin mengahkiri percakapan, kutemui Lusi di luar. Lula dan Dara langsung bangkit melihatku datang."Gimana Ibu, Kak?""Iya, Mama nya Dara juga gimana, Om?"Mereka bertanya dengan wajah sedikit cemas."Baik, mereka semua baik-baik aja dan udah gak apa-apa, keributan seperti itu mah biasa katanya," jawabku ringan, sebab tak mungkin kukatakan yang sebenarnya pada mereka."Tapi kok Mama disiksa begitu, Om?"Aku bergeming sebentar memikirkan jawabannya."Ah itu sih cuma kesalahpahaman aja tadi." Mereka mengangguk-anggukan kepala, meski terlihat dengan jelas mereka tampak tak puas dengan jawaban yang kuberikan.***Bulan berlalu.Sudah dua bulan sejak aku membeli motor itu, kini aktifitasku semakin mudah. Atas kebaikan Bu Wendah memberiku hadiah uang yang banyak aku juga sudah berhasil membawa Lusi berobat sampai kini ia dinyatakan sehat seperti sediakala.Kasus ibu dan Kak Noni juga sudah mendapatkan hasil akhir, mereka ditetapkan sebagai tersang
Sepulang dari rumah sakit Bu Wendah mengajak kami mampir ke rumahnya.Katanya sih supaya aku dan Lusi bisa beristirahat sebentar sebelum melanjutkan perjalanan ke rumah."Tunggu di sini sebentar, Ibu mau tunjukan kalian sesuatu," ucap Bu Wendah seraya bangkit.Kami yang sudah disuguhi minuman pun menunggu sambil mereguk minuman dingin kami."Rumahnya bagus ya, Bang," kata Lusi.Aku mengedarkan pandang ke setiap sudut ruangan. Rumah Bu Wendah memang sangat bagus dan megah, luasnya bahkan berkali-kali lipat dari rumah yang kami beli kemarin."Iya bagus, Lusi mau?" Iseng aku bertanya walau kenyataannya aku tak akan sanggup membelikannya rumah semegah itu.Tapi untunglah Lusi menggelengkan kepala."Sudah punya rumah sendiri ngapain mau rumah orang?" Aku tersenyum haru sambil mengucap syukur, Lusi emang terbaik, dari dulu gak pernah berubah, selalu bersikap sederhana dan apa adanya.Tak pernah ia iri dengki apalagi menginginkan sesuatu yang bukan menjadi miliknya. Pantas saja kan jika aku
Sesampainya kami di panti dekat stasiun.Kulihat memang pantinya lumayan besar, dua atau tiga kali lipat dari panti asuhan yang dipimpin ibu mertuaku."Mari Bu, Mas, masuk."Seseorang menyambut kami dengan ramah. Setelah kami masuk kami dipersilakan duduk di karpet.Bu Wendah dan wanita itu pun mulai mengobrol."Orang gila yang kemarin itu semalam sempat mengamuk Bu, ranjang yang ada di kamarnya sampai patah sebelah karena ditariknya habis-habisan. Lemari kayu juga pintunya rusak parah," tutur seorang wanita seusia Kak Noni yang kuyakini ia adalah salah satu pengurus di panti ini."Ya ampun, apa separah itu dia gila?" tanya Bu Wendah."Sepertinya sih begitu Bu, saat kemarin kami mandikan dia berontak parah, ngeri berefek ke kandungannya saja, Bu.""Iya benar, makanya saya akan telepon dokter ke sini, biar dokter yang periksa apa perlu dia dibawa ke rumah sakit jiwa," ujar Bu Wendah seraya mengambil ponselnya dan segera menghubungi dokter yang dimaksud."Baik, saya tunggu ya, Dok," tut
Pov Tuti."Mana anakku? Mana anakku? Kalian ambil anakku kan?" Aku sengaja berteriak dan mencecar mereka dengan suara yang lantang.Tadi ketika kusadar, aku sudah berada di atas kasur rumah sakit dengan perut yang sudah kempis. Sial, padahal aku hanya berniat membodohi mereka dengan berpura-pura gila malah aku benar-benar jatuh dari atas meja.Dan kemana anak itu? Anak si tukang selingkuh yang beberapa waktu lalu masih berada di dalam perutku. Kenapa sekarang tidak ada? Apakah sudah dikeluarkan? Kenapa perutku sakit sekali? Argh.Ah tapi aku tak peduli, yang jelas sekarang aku harus terus berpura-pura gila agar aku terbebas dari hukuman.Ya ... meskipun ternyata menyebalkan sekali jadi orang gila. Bahkan tadi aku harus berpura-pura pasrah saat anak-anak panti sialan itu mencoret-coret wajahku.Tapi ... hahaha tidak apa-apa, setidaknya aku berhasil mengelabui mereka dengan cara itu. Si Sandi pun bahkan kini percaya aku sudah gila.Semuanya berawal dari beberapa bulan lalu saat aku meli
Argh.Sejak kematian Mas Yogi aku terus saja dibayang-bayangi rasa takut. Sampai setengah gila rasanya aku berpikir di mana lagi aku akan bersembunyi? Dan bagaimana lagi aku akan bertahan hidup dengan segala kekurangan.Akhirnya setelah aku mencoba bertahan hidup sendiri di dalam hutan, aku menyerah juga. Sebab rasa lapar dan haus yang teramat tak bisa lagi kutahan.Bak orang gila betulan aku benar-benar luntang-lantung di jalanan, diteriaki orang stres, dijadikan lelucon, ditertawakan, dijahili dan dilempari.Dan mirisnya, bukan hanya anak-anak yang melakukan itu, tapi orang dewasa juga."Ada orang gila ada orang gila."Brak brak brak. Batu kerikil dilemparkan segerombolan anak-anak saat aku tidur di jalanan."Jangan wey nanti ngamuk, ayo kabur," kata seorang anak lagi. Mereka lalu pergi bahkan sebelum aku bangun dari kardus yang kujadikan alas tidur itu.Sialan. Aku tak pernah menyangka hidup jalanan akan sama susahnya, aku pikir setelah aku kabur dari hutan aku bisa mencari makana
Setelah menunggu beberapa menit wanita paruh baya itu kembali dengan sepiring nasi penuh."Ayo Pak, dibuka pagarnya." Satpam itu langsung melakukan titah sang bos tanpa menunggu lagi."Sini masuk dan duduk di pos," ajak wanita paruh baya itu lagi.Aku cepat-cepat masuk, tak akan kusia-sia kan kesempatan emas ini, tentunya karena perutku sudah meraung-raung juga sejak tadi."Makan ya, habiskan," ucapnya lagi dengan wajah penuh rasa iba.Hap hap hap. Secepat kilat kumakan nasi dan ikan mas goreng serta tumis sayuran yang sangat lezat di lidah itu."Pelan pelan aja Mbak, kalau masih lapar nanti saya kasih lagi," ucapnya lagi.Aku memelankan pekerjaanku. Sambil melahap sepiring nasi itu dengan pelan, otakku mulai bekerja."Tampaknya wanita ini baik sekali dan mudah tersentuh hatinya, kalau aku manfaatkan saja bagaimana? Aku akan terus berpura-pura jadi orang gila agar mendapatkan simpatinya, hmm mungkin itu akan sangat menguntungkanku."Aku manggut-manggut sendiri sambil terus memikirkan
"Ada orang gilaaa!."Anak-anak yang ada di dalam ruangan itu berhambur ricuh namun ada juga yang tampak senang melihatku ada di sana.Aku yang terkejut segera mengamankan diri ke pojok kelas belakang pintu. "Orang gila orang gila orang gila." Semua anak kemudian bernyanyi sambil bertepuk tangan dan tertawa.Beberapa di antara mereka bahkan tak segan sambil menjahiliku dengan lidi yang mereka ambil dari ikatannya."Heh kerjain yuk dia perusuh."Bugh bugh bugh. Kemudian spidol, penghapus dan buku-buku paket melayang ke arahku."Hentikan anak-anak nakal!" teriakku.Aku pun berlari ke dekat papan tulis, niat hati ingin mengamankan diri namun anak-anak itu makin menjadi.Wajahku malah dicoret-coretnya menggunakan spidol."Nih rasain kamu orang gila hahaha.""Argh hentika ... n!" Aku berteriak kencang.Namun percuma, karena teriakanku tak kunjung membuat mereka takut atau berhenti menjahiliku."Anak-anak nakal! Kumakan kalian hidup-hidup!""Orang gila orang gila orang gila hahaha." Tawa me
"Bangun! Ayo bangun." Suara seseorang menggema di telingaku. Aku terpaksa membuka mata.Rasa perih dan panas di kaki langsung menyerangku tanpa ampun."Bangun!" ucapnya lagi dengan suara lugas.Sontak aku duduk terkejut, "p-p-polisi?" Mulutku tergagap, ingin lari namun kakiku ternyata sudah ditembak."Sudah sehat?"Aku menggeleng cepat, "ampun Pak, saya masih jadi pasien rumah sakit umum, saya habis operasi pengangkatan bayi." Aku beralasan meski dengan suara yang tercekat di tenggorokan."Alasan saja kau, sudah ayo ikut bersama kami ke sel. "Aku terperangah. Keringat dingin tiba-tiba basah di tubuhku.Apa ini? Apa ini artinya aku akan benar-benar dipenjara sekarang juga?"Mohon kooperatif, jangan kabur lagi karena kami sudah melumpuhkan kaki Anda," tegas seorang polisi lagi."Enggak Pak, saya mohon jangan tangkap saya, Pak. Say-"Kedua orang polisi itu tak menghiraukan. Mereka dengan paksa memasangkan borgol di tanganku. Setelahnya aku digiring masuk ke dalam sel tahanan."Pak! Pa