Aku sebenarnya takut saat melepas Mas Zaidan masuk ruang operasi. Namun, aku berpikir positif dan terus berdoa agar diberikan kelancaran operasi Mas Zaidan. Aku ingin yang terbaik untuknya. Apalagi, sudah ada benihnya dalam rahimku.
Belum lama aku duduk di depan ruang operasi, ponsel milik Mas Zaidan yang kubawa berdering. Telepon dari Ibu. Ingin rasanya untuk membiarkannya, tapi hati ini melawan. Mau bagaimanapun, beliau adalah Ibu dari suamiku. Tidak mungkin aku mengabaikannya. "Assalamualaikum, Bu," sapaku. "Waalaikumsalam, mana Zaidan!" tanyanya penuh penekanan. "Ma--Mas Zaidan sedang di ruang operasi, Bu. Mas Zaidan kena usus buntu."Aku terpaksa mengatakan keadaan Mas Zaidan dan rumah sakit tempatnya dirawat pada Ibu meskipun sudah dilarang. Mas Zaidan tidak mau ada orang yang tahu tentang keadaannya, tapi aku tidak pandai berbohong. Apalagi pada seorang ibu. Tak disangka, Ibu memakiku dengan kata-kata yang membuFfgSerapat apa pun menyembunyikan, tetap saja ketahuan. Seperti pernikahanku dengan Zainab yang harus terbongkar karena tertangkap paparazzi. Dan sekarang, sakit yang kusembunyikan pun sudah diketahui teman-teman dosen dan mahasiswa satu kampus di hari ketiga dirawat. Setiap jam besuk tiba, kamar ini menjadi riuh.Aku semakin tidak tega pada Zainab. Sudah lima hari dia kurang istirahat karena menjagaku. Padahal, Ibu selalu datang, meminta Zainab untuk pulang dan istirahat, tapi perempuan itu keras kepala. Aku dan Ibu juga mengkhawatirkan keadaannya. Wajahnya kini sudah tampak lesu dan tadi selepas Subuh, dia sempat muntah-muntah. Kehamilan trimester pertama memang biasanya sedikit menyusahkan.Zainab sedang berbaring di sofa dengan tangan kanan memegang perut dan tangan kiri menutup mata."Kamu pulang dulu saja, Za. Istirahat di rumah."Tidak ada respon. Apa mungkin Zainab sudah tidur?Dengan hati-hati aku turun dari ranjang untuk men
SssddAku terlalu dikuasai amarah hingga tanpa sengaja membentak Zainab. Dia pasti sangat sedih sekarang. Bahkan, pintu kamarnya dikunci dari dalam. Aku khawatir dengan kondisinya. Apalagi, kehamilannya cukup membuat istri kecilku itu kepayahan."Buka pintunya, Za!" pintaku sambil mengetuk pintu kamar.Cukup lama, hanya terdengar tangisan Zainab yang semakin kencang sambil berteriak."Aku tidak berbohong! Za bukan pembohong!"Astagfirullah ....Apa yang tadi kulakukan? Zainab merasa tertekan lagi. Perasaanku menjadi tidak karuan karena pintu tak kunjung dibukanya.Ketukan pun berubah menjadi gedoran."Za! Buka pintunya, Sayang!"Prang!Terdengar bunyi benda pecah di dalam. Jantungku berpacu tak menentu. Terakhir aku mendengar benda pecah di kamar, aku mendapati Zainab menyayat pergelangan tangannya.Aku tidak bisa menunggu lagi. Pintu yang masih tertutup rapat ini kudobrak paksa. Dengan satu k
"Siapa dia, Za?" Kuletakkan foto berbingkai kayu itu di meja ruang tamu dengan kasar. Zainab yang baru saja masuk tampak terkejut. Diletakkannya dua mangkuk es buah di sisi lain meja. "Mas Idan kenapa lagi?" tanyanya dengan nada suara bergetar. Ujung matanya sudah meneteskan butiran air mata. "Duduk!" perintahku sambil menepuk kursi di samping kanan. Zainab langsung duduk. Jemarinya memilin-milin ujung jilbab dengan wajah menunduk tanpa mau melihatku. Kutarik napas panjang untuk meredam amarah. Aku tidak mau kalau sampai Zainab merasa tertekan lagi. Kuraih dagunya dan menariknya pelan hingga wajahnya sedikit mendongak. "Lihat aku, Za!" pintaku sembari mengulas senyum. "Makan es buahnya dulu, ya."Zainab menggeleng dengan air mata yang semakin deras. Dia sesegukan semakin keras. "Hey, jangan menangis! Nanti anak kita ikut sedih." Kuusap wajahnya yang basah dengan telapak tangan. Zaidan! Kenapa kamu gak bisa m
PoV Zainab"Nikahi Maira!" Ucapan laki-laki paruh baya di hadapan Mas Zaidan seketika membuat tubuhku melemas. Kedua kaki ini seakan tak mampu menopang. Tubuhku meluruh ke lantai. Hesti dan Elisa yang menemaniku ke rumah sakit memandangku iba. Mereka berjongkok di hadapanku. Sejak Mas Zaidan pergi meninggalkanku di tempat kos Hesti dan Elisa, perasaanku gelisah. Ingin menelepon atau sekadar mengirim pesan aku enggan. Selepas Zuhur kuminta Hesti dan Elisa menemani ke rumah sakit untuk memastikan keadaan Bu Maira dan Ibu. Namun, sebuah kenyataan pahit justru harus kudengar secara langsung. Laki-laki paruh baya itu sepertinya ayah dari Bu Maira. Ia meminta suamiku untuk menikahi Bu Maira. Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Dulu, aku yang meminta Mas Zaidan untuk menikahi Bu Maira, tapi kenapa sekarang rasanya sesakit ini? Apa aku akan sanggup? Aku bangkit dibantu Hesti dan Elisa. Mereka mengajakku pergi dari rumah sakit. Mereka pasti tidak tega d
Permintaan Abah benar-benar membuat emosiku tersulut. Seenaknya saja dia meminta aku menikahi Maira saat aku sudah mempunyai Zainab. "Saya gak bisa, Bah. Saya sudah menikah dan sekarang istri saya sedang hamil. Tolong ikhlaskan takdir dari Allah ini, Bah!"Abah kembali mendaratkan tamparan padaku. Matanya berkilat penuh amarah. Namun, aku memang tidak bisa menikahi Maira. Kubiarkan Abah memuaskan amarahnya pada tubuhku tanpa perlawanan. Aku juga merasa bertanggung jawab pada keadaan Maira saat ini. Aku memang sudah menyakiti hatinya. Hanya saja, cinta baru yang dihadirkan Allah untukku saat ini bisa membuatku berubah lebih baik.Zainab, perempuan yang bahkan belum pernah kulihat wajahnya harus kuucapkan namanya dalam sebuah akad yang sakral. Itulah jodoh terbaik yang diberikan Allah untukku. Tanpa adanya zina meskipun hanya sekadar memandang atau bergandengan tangan. "Cukup, Pak! Bapak bisa memaki dan menghujat anak saya, tapi Bapak tidak bisa menyalahkan takd
Aku terus berjaga menunggu Zainab. Meskipun kantuk sudah menguasai, aku tetap tidak bisa memejamkan mata. Namun, aku tidak bisa melakukan salat malam jika belum tidur. Aku pun berusaha untuk tidur di kursi samping ranjang Zainab sambil menggenggam tangannya. Menyetel alarm sekitar pukul dua dini hari. Hanya dengan bermunajat, hati ini bisa lebih tenang. Menyerahkan semua penjagaan dan keselamatan Zainab serta calon anak kami hanya pada Allah. Karena sesungguhnya, aku hanya manusia biasa yang tidak luput dari alpa. Alhamdulilah, aku mampu tertidur sejenak saat sadar alarm ponsel berdering cukup keras. Perlahan mengangkat kepala yang bersandar pada bibir kasur dengan posisi tangan bertaut dengan tangan Zainab. Mengerjap beberapa kali untuk mengembalikan kesadaran. "Mas Idan kenapa di sini?"Aku terkesiap. Mata jelita istri kecilku sudah terbuka. "Kamu sudah sadar, Za!" ucapku antusias. Kuciumi punggung tangan kanannya, lalu berpindah ke wajahnya. Kurasakan
PoV ZainabAku sangat bersyukur masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri oleh Allah. Pergi tanpa izin suami memang bukanlah hal yang dibenarkan. Apalagi, marah hanya karena salah paham dan tidak mau meminta penjelasan. Setelah dua pekan dirawat di rumah sakit, aku diizinkan pulang. Cairan dalam paru-paru pun sudah tiga kali dikeluarkan dan itu sangat menyiksa. Untungnya, aku masih bisa menghirup oksigen meskipun harus membayar. Sangat terasa jika kesehatan itu memang mahal harganya. Hanya saja, orang sehat seringkali lupa jika nikmat sehat itu hal yang paling berharga. "Kalau capek, bilang. Perjalanan Cirebon ke Jakarta sekitar tiga sampai empat jam."Perhatian Pak Dosen Pelit sangat besar untukku. Dia tidak pernah meninggalkanku lebih dari sepuluh menit. Katanya takut jika depresiku kambuh lagi. Depresi apa coba? Ish, mungkin karena Mas Zaidan saking takutnya aku kenapa-napa. "Iya, Mas. Aku udah sehat, kok. Mas Idan gak usah khawatir
Sesampainya di Jakarta, aku mendapat telepon dari Pak Syamsul. Beliau memintaku untuk datang ke kampus pada jam makan siang. Aku sudah mengira jika hal ini pasti akan terjadi. Meninggalkan tugas selama dua pekan tanpa bisa dihubungi pasti membuat pihak kampus kebingungan mencari dosen penggantiku. Aku memang sengaja mematikan telepon agar tidak ada gangguan saat merawat Zainab di Cirebon. Apalagi, Abah beberapa kali melakukan panggilan meskipun tidak kuangkat. Hal itu menjadi salah hal yang membuatku enggan menyalakan ponsel lagi meskipun ingin. Aku menitipkan Zainab ke rumah Ibu terlebih dahulu karena tidak mungkin meninggalkannya di rumah sendirian. Masih banyak faktor yang membuatku enggan meninggalkannya sendiri. Di ruang rektorat, aku sudah ditunggu oleh Pak Syamsul dan juga tida wakil rektor kampus. Kutarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Lalu, berjalan mendekat di sofa ruang rektorat. "Pak Zaidan tahu bukan dengan peraturan di kampus ini ba