POV Alya*"Mbak ada pesanan kue yang harus diantar lagi nggak?" tanya Aini padaku."Sudah, Dek. Semuanya udah beres, kamu siap-siap berangkat kuliah aja. Jarak yang dekat biar Mbak aja yang ngantar, sekalian silaturahmi," ucapku."Ah, tenang saja, Mbak. Masih ada waktu sejam lebih kok, sini biar Aini bantu bungkusin," ucapnya.Aku tersenyum lalu memberikan kresek pada Aini, kami membungkus kue bersama-sama."Assalamualaikum," salam dari luar terdengar.Aku bergegas bangkit, lalu membukakan pintu rumah."Wa'alaikumsalam, eh Bu Hj Sulis, masuk, Bu," ucapku mempersilakan beliau masuk ke dalam rumah."Terima kasih Neng Alya, Ibu ke sini cuman mau tanya. Neng Alya ada bikin kue klepon sama arem-arem nggak?" tanya beliau ketika kupersilakan duduk di ruang keluarga."Aduh, belum ada, Bu Hj. Alya bikin kuenya sesuai pesanan orang-orang sama Aini aja. Jadi, nggak ada bikin kue yang Ibu sebutkan," ucapku sopan."Owalah, ya sudah Neng Alya. Ibu kira ada bikin, kalo begitu Ibu mau pamit pulang i
"Akhirnya bisa merebahkan diri setelah sibuk berkutat dengan pekerjaan yang tak ada henti-hentinya," ucapku sambil mengembuskan napas lega.Iseng, aku lalu membuka ponsel milikku. Karena sibuk membuat kue, terkadang aku lupa untuk memeriksa ponsel milikku sendiri.Tak banyak pesan yang masuk. Hanya saja ada beberapa pesan spam yang dikirimkan Mas Andi, itupun tiga hari yang lalu.Waktu bersamanya segala aktivitasku harus ia ketahui, bahkan kontak di ponselku juga dia harus tau. Entah itu karena memang ia cemburu atau sengaja ingin membuatku tak bisa melangkah lebih jauh. Padahal, selama aku menjadi istrinya tak ada sekali pun berani membuka ponsel pribadinya.Karena bagiku, setiap orang punya privasi. Salah satunya privasi itu terdapat pada ponsel sendiri. Namun aku bersyukur, lepas dari Mas Andi aku bisa menghirup napas lebih lega, nyaman dan tenang. Tak ada lagi tekanan-tekanan yang membuatku seperti orang yang hampir kehilangan akal.Selesai bermain ponsel, aku bergegas untuk mandi
Aku memperhatikan lagi nama pemesan kue bolu gulung dan juga brownies dengan taburan kacang di atasnya.Mengapa selera kuenya juga sama dengan Nandar yang dulu pernah aku kenal.Aku memejamkan mata sebentar. Semoga saja bukan, aku tak ingin luka lama terulang kali, batinku menjerit."Dor!" Aku terkejut, ketika Aini mengagetkanku."Mbak, ngelamun mikirin apa sih?" tanyanya penasaran."Nggak papa kok, Dek. Ayoklah kita bikin adonan kuenya. Alhamdulillah ya, Dek, semakin hari semakin bertambah yang mesan kue kita," ucapku padanya."Iya, Mbak, alhamdulillah banget. Emang bener ya, rezeki mah nggak akan kemana. Seandainya berada di titik tersulit pun, kita masih diberikan nikmat sama Allah yang tiada tara. Contohnya, bernapas.""Yap, kamu betul, Dek. Maka dari itu, syukuri untuk hari ini, bismillah untuk esok hari dan alhamdulilah untuk apapun yang terjadi," ujarku padanya."Pinter anak, Ayah. Siapa sih bapaknya?" ujar Ayah yang muncul tiba-tiba."Pak Rahul gitu lho, Aini sama Alya mah can
Aku memejamkan mata, lalu mengajak Aini buru-buru pulang dari sana. Berkali-kali aku menengadahkan kepala, agar air mata ini tak jatuh. Rasa sesak tiba-tiba mendera, apalagi saat bertemu dengan seseorang yang dulu menjadikan keseriusan ternyata hanya memberikan kesepian yang sulit untuk disembuhkan.Bahkan luka itu masih terasa hingga saat ini, Ndar, batinku.*Sepanjang perjalanan hanya keheningan yang menyapa antara aku dan Alya. Aku dengan lukaku, dan Aini mungkin dengan kebingungannya.Pertemuan secara mendadak dengannya membuatku kembali merasakan luka yang membekas dan sembuh yang tak cepat. Rasanya, belum kering luka kemarin hari ini harus kembali terbuka lagi.Entahlah, mengapa sekarang aku takut dengan lelaki yang mengumbar kata cintanya. Bahkan aku sangat sulit sekarang membedakan mana yang serius dan mana yang modus.Pengalaman menjalin hubungan dua kali, benar-benar meninggalkan trauma bagi mental dan juga pikiranku. Rasanya ... ah sulit untuk dijelaskan.Akhirnya, setelah
*Sore harinya, Ayah sudah pulang ke rumah. Seperti biasa makanan sudah siap, tinggal menunggu Ayah selesai membersihkan diri maka kami akan makan bersama. Ini adalah momen-momen yang paling kurindukan saat bersama dengan mereka."Gimana tadi jualannya, Nak. Lancar?" tanya Ayah menatap aku dan Aini bergantian."Alhamdulillah, lancar, Yah," ucapku pada Ayah sambil tersenyum, lalu mengambil nasi dan juga lauk untuk Ayah."Lancar banget, Yah," ujar Aini. Aku langsung menatapnya. Aku takut dia keceplosan menyebut nama Nandar.Bukannya apa-apa, dulu Ayah juga mengetahui hubungan yang kujalani dengan Nandar. Hanya saja karena sebuah insiden kami putus. Ayah hanya diam saat tau kami sudah tak menjalin hubungan."Alhamdulillah kalo gitu, Alya gimana. Mau dibikinkan toko kue nggak? Biar nanti berdampingan sama toko Ayah atau langsung jualan di toko Ayah aja. Nanti kita renovasi tokonya," saran Ayah."Untuk modalnya, nggak usah khawatir. Ayah masih punya uang buat renovasi, kalo Alya udah siap
POV Andi!Semenjak kejadian tak mengenakan itu, aku langsung membawa Ibu dan Mbak Sarah kembali ke rumahku.Walaupun sempat beristirahat sejenak di rumah Mas Roni, kami tetap memutuskan untuk pulang malam itu juga. Mbak Sarah meraung-raung agar Mas Roni dan juga Nita memaafkannya.Namun apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Apa yang terjadi tak bisa dikembalikan seperti semula lagi.Aku tetap meminta cuti selama tiga hari, ya salah satunya untuk menenangkan pikiranku. Selain itu sampai saat ini Mbak Sarah tak kunjung ke luar dari kamar. Ibu bahkan sudah berkali-kali membujuknya agar ke luar dan berbicara pada kami."Sudahlah, Sarah. Apalagi yang perlu kau tangisi, kau masih cantik. Lelaki mana yang tak tertarik padamu," ucap Ibu sambil mengetuk terus-menerus pintu kamar Mbak Sarah.Aku yang sedang duduk di sofa, hanya menatap malas ke arah mereka berdua.Klek!Pintu kamar Mbak Sarah terlihat dibuka. Mbak Sarah ke luar dengan penampilan acak-acakan, rambut yang tak terurus. Dan jug
"Kamu ngomong apaan sih, Andi. Ini ibu kita!" bentak Mbak Sarah padaku."Tapi cara dia memperlakukan aku dan kamu itu berbeda!" bentakku tak kalah nyaring padanya."Jawab, Bu!" teriakku penuh amarah.Hening menyelimuti, sampai akhirnya jawaban Ibu membuat duniaku benar-benar hancur bahkan terhenti."Ya, kau bukan anak kandungku!"*Aku pergi ke taman, menangis dengan perasaan pilu.Hatiku hancur saat tau semuanya! Bagaimana mungkin, orang yang selama ini kuanggap keluarga ternyata sama sekali tak ada hubungan darah padaku.Rasanya ... rasanya sangat sakit mengetahui ini semua. Mengapa baru sekarang aku tahu, kenapa saat aku sudah dewasa, keluargaku hancur. Aku baru mengetahuinya.Ke mana orang tua kandungku yang sebenarnya, batinku.Sampai hujan turun, aku masih tetap di taman ini. Setelah merasa cukup puas, aku lalu menghidupkan motor dan menuju ke tempat yang ingin kuhampiri.Tepatnya, bukan rumahku.Tok! Tok! Tok!Aku langsung mengetuk pintu rumah, menunggu orang yang berada di dal
"Nak Andi, kenapa malam-malam mampir ke rumah Alya?" tanya Pak Ilmi selaku RT setempat."Enggak tau, Pak. Saya tiba-tiba kepikiran aja pergi ke rumah Alya. Mungkin ...."Aku menggantungkan ucapanku, Pak Ilmi memperhatikan seolah-olah penasaran dengan apa yang ingin kukatakan selanjutnya."Ya entahlah, Pak. Di pikiran saya pertama kali tertuju pada Alya. Mungkin karena beratnya masalah yang saya hadapi, sampai-sampai saya tak bisa berpikir jernih," jawabku sambil menundukkan kepala.Sempat hening beberapa saat, sampai akhirnya Pak Ilmu bersuara."Ada masalah apa, Nak? Kamu seperti putra bapak, andai dia masih hidup mungkin sekarang usianya tak beda jauh denganmu," ujar Pak Ilmi tiba-tiba. Aku lalu menatap matanya, ada kesedihan yang terpancar di sana."Putra bapak memangnya ke mana?" tanyaku padanya.Pak Ilmi menghela napas pelan, ia lalu menceritakan tentang putranya."Dia meninggal saat ia baru saja dilahirkan, bukan hanya dia yang meninggalkan saya tapi juga istri saya. Saya hidup d