POV Andi!Semenjak kejadian tak mengenakan itu, aku langsung membawa Ibu dan Mbak Sarah kembali ke rumahku.Walaupun sempat beristirahat sejenak di rumah Mas Roni, kami tetap memutuskan untuk pulang malam itu juga. Mbak Sarah meraung-raung agar Mas Roni dan juga Nita memaafkannya.Namun apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Apa yang terjadi tak bisa dikembalikan seperti semula lagi.Aku tetap meminta cuti selama tiga hari, ya salah satunya untuk menenangkan pikiranku. Selain itu sampai saat ini Mbak Sarah tak kunjung ke luar dari kamar. Ibu bahkan sudah berkali-kali membujuknya agar ke luar dan berbicara pada kami."Sudahlah, Sarah. Apalagi yang perlu kau tangisi, kau masih cantik. Lelaki mana yang tak tertarik padamu," ucap Ibu sambil mengetuk terus-menerus pintu kamar Mbak Sarah.Aku yang sedang duduk di sofa, hanya menatap malas ke arah mereka berdua.Klek!Pintu kamar Mbak Sarah terlihat dibuka. Mbak Sarah ke luar dengan penampilan acak-acakan, rambut yang tak terurus. Dan jug
"Kamu ngomong apaan sih, Andi. Ini ibu kita!" bentak Mbak Sarah padaku."Tapi cara dia memperlakukan aku dan kamu itu berbeda!" bentakku tak kalah nyaring padanya."Jawab, Bu!" teriakku penuh amarah.Hening menyelimuti, sampai akhirnya jawaban Ibu membuat duniaku benar-benar hancur bahkan terhenti."Ya, kau bukan anak kandungku!"*Aku pergi ke taman, menangis dengan perasaan pilu.Hatiku hancur saat tau semuanya! Bagaimana mungkin, orang yang selama ini kuanggap keluarga ternyata sama sekali tak ada hubungan darah padaku.Rasanya ... rasanya sangat sakit mengetahui ini semua. Mengapa baru sekarang aku tahu, kenapa saat aku sudah dewasa, keluargaku hancur. Aku baru mengetahuinya.Ke mana orang tua kandungku yang sebenarnya, batinku.Sampai hujan turun, aku masih tetap di taman ini. Setelah merasa cukup puas, aku lalu menghidupkan motor dan menuju ke tempat yang ingin kuhampiri.Tepatnya, bukan rumahku.Tok! Tok! Tok!Aku langsung mengetuk pintu rumah, menunggu orang yang berada di dal
"Nak Andi, kenapa malam-malam mampir ke rumah Alya?" tanya Pak Ilmi selaku RT setempat."Enggak tau, Pak. Saya tiba-tiba kepikiran aja pergi ke rumah Alya. Mungkin ...."Aku menggantungkan ucapanku, Pak Ilmi memperhatikan seolah-olah penasaran dengan apa yang ingin kukatakan selanjutnya."Ya entahlah, Pak. Di pikiran saya pertama kali tertuju pada Alya. Mungkin karena beratnya masalah yang saya hadapi, sampai-sampai saya tak bisa berpikir jernih," jawabku sambil menundukkan kepala.Sempat hening beberapa saat, sampai akhirnya Pak Ilmu bersuara."Ada masalah apa, Nak? Kamu seperti putra bapak, andai dia masih hidup mungkin sekarang usianya tak beda jauh denganmu," ujar Pak Ilmi tiba-tiba. Aku lalu menatap matanya, ada kesedihan yang terpancar di sana."Putra bapak memangnya ke mana?" tanyaku padanya.Pak Ilmi menghela napas pelan, ia lalu menceritakan tentang putranya."Dia meninggal saat ia baru saja dilahirkan, bukan hanya dia yang meninggalkan saya tapi juga istri saya. Saya hidup d
"Apa kamu yakin kasih sayang mereka hanya sandiwara?" tanya Pak Ilmi seraya melepaskan pelukannya.Aku terdiam sebentar, lalu menatap mata beliau."Coba kamu ingat-ingat lagi apa saja yang sudah mereka lakukan untukmu. Saran Bapak, jangan cepat mengambil keputusan di saat rasa sedih, amarah, kecewa bercampur menjadi satu. Tenangkan pikiran lalu renungkan."Aku menunduk, meresapi perkataan yang terlontar dari Pak Ilmi."Ibu memang tak pernah menunjukkan kasih sayangnya, tapi saya mempunyai seorang Kakak yang begitu menyayangi saya. Bahkan kasih sayang dia melebihi kasih sayang seorang Ibu," ujarku pelan.Aku teringat bagaimana perjuangan Kak Sarah mengajariku bersepeda, mengantarku bersekolah dan lain sebagainya."Andi ... buruan susuk Kakak ke sini. Sepedanya digerakin.""Andi ayo bangun! Sarapan, nanti terlambat.""Andi! Jangan main itu, Dek. Nanti kamu jatuh."Di saat ada anak-anak nakal yang datang mengganggu Kak Sarah adalah orang pertama yang maju menghajar mereka semua."Nggak p
"Mbak, aku tak tau harus bagaimana lagi bersikap pada kalian setelah semua pernyataan yang diucapkan Ibu terasa sangat menyakitkan. Sekarang entah masih pantaskah aku menatap wajah kalian, masih pantaskah aku menasehati kalian. Semua sekarang terlihat seperti sangat canggung.""Aku bingung harus bersikap bagaimana lagi di hadapan kalian. Bahkan, rasa sakit bercampur kecewa ini sepertinya akan sangat sulit untuk disembuhkan. Katakan padaku, harus bagaimana lagi aku berbicara dan menggambarkan kondisiku saat ini?" tanyaku padanya dengan suara yang bergetar akibat menahan tangisan."Andi, Mbak benar-benar minta maaf. Mbak sendiri pun nggak tau kalo bakal berujung kayak gini, Mbak juga kaget waktu Ibu bilang kalo kamu bukan anak kandungnya. Tapi, Mbak berani bersumpah, selama ini kamu memang sudah seperti adik kandung sendiri. Mbak sangat-sangat menyayangi kamu, entah bagaimana asal usulnya. Bagaimana ceritanya, tiba-tiba kamu hadir di antara Mbak, Ayah dan juga Ibu. Mbak nggak peduli, Mb
"Tapi aku tidak masalah, di sisi lain aku bahagia mereka bisa pergi bersama. Namun, di sisi lain juga aku merasa sedih, kenapa kau tak ikut sekalian pergi bersama mereka.""Ibu!" bentak Mbak Sarah tiba-tiba."Kenapa, Sarah? Biarkan anak tak tau diri ini mendengar semuanya. Dia selalu membuatmu menangis, tanpa dia tahu bagaimana kasih sayang yang kamu berikan padanya melebihi sayangmu padaku. Kamu rela putus sekolah untuk bekerja, menyekolahkan dia hingga dia sesukses sekarang, tapi apa yang kamu dapatkan. Hanya perlakuan yang tak pantas!" bentak Ibu tak kalah nyaring."Ibu, berhenti! Dia adikku, dia saudara kandungku. Sampai kapanpun dia tetap adikku!" teriak Mbak Sarah.Aku menunduk membiarkan air mata lolos dari pertahanannya."Aku sayang dengan Andi, dia adikku. Jangan bikin mental dia down, aku nggak rela adikku disakiti orang lain, sekalipun orang itu adalah Ibu," ucap Mbak Sarah sambil berdiri."Tapi faktanya, ibunya dan dia yang mengambil ayahmu, Sarah! Dia menghancurkan keluar
POV Alya!*Dua Minggu sudah sejak kejadian Mas Andi yang datang ke rumah dengan keadaan tak sadar diri. Sampai saat ini aku memutuskan untuk jarang ke luar rumah. Bukan apa-apa, aku hanya takut kembali bertemu dengannya.Melihat wajahnya hanya akan menumbuhkan rasa marah dalam dadaku. Apalagi jika mengingat perlakuan dia dan keluarganya. Perkataan ibunya, dan juga hinaan yang dilontarkan oleh Kakak perempuannya. Semua itu, seperti memori yang terus menerus berputar di ingatan."Mbak," panggil Aini padaku."Sudahlah, tak usah memikirkan dia yang membuatmu terluka. Fokus pada tujuan awal kita saja," ucapnya."Mbak hanya heran saja, kenapa coba dia datang ke rumah kita di malam hari. Saat hujan sangat lebat, aneh aja gitu lho. Kayak nggak ada tempat persinggahan lain aja," omelku."Biasalah, nggak bisa move on ya gitu, Mbak. Bermacam-macam cara dilakukan supaya ketemu sama, Mbak. Kalo aku sih malu ya jadi dia itu, tapi ya gimana. Namanya juga Andi, mana punya urat malu dia," ucap Aini t
Di sela kesibukan, aku membuat makan siang di dalam toko. Kebetulan aku juga membawa kompor gas yang sudah kubeli khusus untuk keperluan toko."Dek, ingat garamnya jangan kebanyakan," tegurku saat melihat Aini ingin menuangkan garam ke dalam wajan berisi kari ayam."Aelah, Mbak. Belum juga Aini masukin garamnya. Iya tenang aja, ngomong-ngomong berapa sendok makan garamnya, Kak?" tanyanya padaku.Aku tertawa kecil, lalu memberitahunya apa saja yang diperlukan saat membuat masakan kari ayam."Mbak, kayaknya Mas Nandar masih cinta deh," ucapnya tiba-tiba. Aku menghentikan kegiatan sebentar, lalu melanjutkannya. Tak kupedulikan ucapan Aini."Mbak, apa salahnya membuka hati kembali," ucapnya lagi."Aini yakin Mas Nandar lelaki yang baik. Buktinya belum sampai beberapa bulan, dia sudah akrab dengan Ayah."Ya karena kamu nggak tau aja, kalo Ayah tau bahwa aku dan Nandar adalah mantan kekasih, batinku."Micinnya udah dikasih, Dek?" tanyaku mengalihkan pembicaraan."Mbak Alya, kamu berhak baha