POV Bu Diah
Ini kesempatanku untuk melanjutkan misi. Mayang minta dirawat olehku. Semakin besar peluang untuk membuat Mayang stress lalu cepat mati.
Ketika aku sudah mulai merawatnya, ada perbedaan dengan sikap Mayang. Ia lebih pandai dan berani. Aku pun sempat ragu jika Mayang berubah seperti ini. Namun, wajahnya memang benar-benar Mayang. Masa iya saudara kembar yang dulunya katanya sudah meninggal hidup kembali?
Aku berusaha memberikan apa yang Mayang pinta di hadapan Ardan. Ini agar ia memberikan gaji besar untukku. Sulit sekali mendapatkan uang darinya untuk saat ini. Semua dikendalikan oleh Mayang.
Sudah beberapa kali aku dibuat emosi olehnya, ia menyuruhku ke sana ke mari, menyuruhku menyuapi dan terakhir membeli buah yang ia inginkan.
Ketika itu, aku kesal padanya, ingin rasanya menjadikan Mayang tersiksa tak mampu menggerakkan kakinya. Kulihat minyak ada di dekat pisau buah. Setelah memotong melon, aku siram m
Pov Bu DiahAda Mayang yang hanya terdiam melihat kondisiku saat ini. Apalagi kedua orang tuanya. Mereka di luar tak menyaksikan penuturan dokter tadi."Kamu bisa prihatin sedikit, nggak! " sentakku pada Rindu."Dasar wanita bisanya nyusahin! Kan bisa tadi hati-hati jalannya supaya nggak kepeleset! " sindir Rindu. Ia benar-benar membuatku muak."Sudahlah Rindu, jangan begitu, " pinta Mayang. Aku rasa di dalam hatinya saat ini sedang menertawakan kondisi Ibu mertuanya.Apalagi dengan Anika, pasti ia tertawa akan ketidakberdayaan aku saat ini."Mayang, ngapain sih iba dengan manusia nggak ada belas kasih ini? Dia adalah wanita yang telah membuatmu tersiksa! " tekan Rindu kepada Mayang. Aku lihat Mayang menghela napas, lalu bicara tenang pasa saudara kembarnya."Kita tidak berhak membalas perbuatan manusia, lebih baik saling memaafkan, " ujar Mayang. Rasanya nggak mungkin aku memaafkan Mayang. Sebab, i
Pov ArdanAku tercengang melihat ada dua Mayang di hadapanku. Tidak mungkin ini bisa terjadi, bagaimana bisa orang yang sudah mati hidup kembali? Namun, Rindu menceritakan bagaimana ia bisa hidup ketika kecelakaan pesawat itu. Jadi, ternyata ia tidak ikut terbang saat itu. Alangkah keajaiban dari Tuhan, bagaimana jika belum ditakdirkan untuk mati, pasti akan ada jalan yang Tuhan berikan.Di saat kami semua mendapatkan kejutan dari Rindu. Tiba-tiba saja Bu Diah jatuh dah tak sadarkan diri. Kami semua berhamburan ke dalam, dan setelah ia tak sadarkan diri, ternyata kakinya sulit digerakkan. Kemudian, kami membawanya ke rumah sakit.Dokter harus memeriksakan Bu Diah lebih lanjut, agar tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan kakinya. Namun, belum sempat memeriksa kondisi kakinya lebih lanjut, ia sudah mengalami hal yang menakutkan.Kulihat matanya seperti tertarik, lidahnya kadang kaku menjulur keluar. Otot lehernya pun seperti ketarik ke belakang
Pov Ardan"Tadi kata dokternya, Ibu terinfeksi tetanus, memang Ibu kena besi apa?" tanyaku.Ia mengernyitkan dahi, mengingat sesuatu beberapa waktu lalu."Oh, iya tadi dokter tanya apa pernah kena besi, itu lihat telapak kaki Ibu pernah kena besi untuk bersihin got, lihatlah Ardan ternyata luka itu penyebabnya, padahal Ibu anggap itu tidak kenapa-kenapa, eh ternyata terinfeksi," ungkapnya membuatku seketika terdiam.Luka yang Ibu alami terlihat tidak apa-apa, Ibu merasa baik-baik saja, padahal itu terinfeksi tetanus. Bakteri menyerang ketika kondisinya lemah."Bu, apakah Ibu tidak berpikir dengan apa yang Ibu alami ini?" tanyaku lagi.Ia terdiam, tak ada jawaban, sepertinya sedang mencerna apa yang aku ucapkan."Kamu tidak paham atau pura-pura?" tanya Bu Anika sinis."Seperti keadaan Ibu saat ini, sama halnya dengan Mayang. Ia terlihat baik-baik saja atas luka yang Ibu berikan, tapi apa
Pov Ardan"Kamu kenapa sih selalu ikut campur?" tanya Bu Diah pada Rindu. Kemudian, Rindu mengambil tas yang ternyata tertinggal di meja."Aku kebetulan balik lagi, eh ternyata mendengar ucapanmu seperti itu pada Mas Ardan dan Bu Anika. Jadi, kamu pilih rumah sakit atau penjara?" ucap Rindu dengan posisi bibir ke atas. Sepertinya Rindu sudah sangat membenci Bu Diah.Tiba-tiba ia mengangkat telepon yang baru saja berdering. Sepertinya dari Mayang, buktinya ia langsung menuruti kata-katanya ketika mendapatkan telepon."Aku permisi dulu, kalau Ibumu macam-macam, tolong beritahu padaku, agar kujebloskan ia ke sel," sungut Rindu. Sepertinya marahnya sudah tak bisa dibendung lagi. Sebab, tingkah Ibu memang membuat orang lain kesal.Kemudian, aku mengantarnya ke depan, lalu kembali lagi ke ruangan untuk berpamitan.Aku mencoba melupakan hal yang Bu Diah ucapkan tadi. Anggap saja ia sedang bermimpi di siang hari.
Pov ArdanRindu mulai mendekati kedua orang tuanya, lalu merangkul mereka sambil mengecup kedua pipi orang tua yang mengurusnya dari kecil."Kalau aku berbeda dengan kamu, Ardan. Pak Tommy sungguh baik luar biasa, ia memberikanku satu perusahaan di luar kota, dan menyetabilkan kondisi perusahaan Papa pada waktu itu, mungkin awalnya terdengar aneh, tapi ia memang sangat menyayangiku seperti sudah menganggap putrinya yang sudah meninggal dunia," terang Rindu, ia menceritakan bagaimana perlakuan Pak Tommy. Sangat jarang orang tua asuh seperti beliau, mungkin satu banding seribu."Berati memang tidak bisa disamakan antara orang tua asuh satu dengan yang lainnya. Orang tua kandung pun terkadang tidak bisa disamaratakan," ucapku."Betul, semoga kamu kelak menjadi orang tua yang adil, begitu pun nanti jika Arya memiliki istri, harus bersikap baik pada menantu," sahut Bu Anika, orang tua kandungku."Mas, kita besok berobat lumayan l
Pov ArdanKami semua tercengang dengan pengakuan yang tetangga berikan. Mama dan Papa dimasukkan ke dalam mobil Alphard. Sebenarnya apa yang telah terjadi? Lalu bagaimana dengan Mbok Ani dan Arya?"Bu, apa anak kecil usia 2 tahun dan pengasuhnya juga masuk ke mobil itu?" tanyaku. Kedua tetangga mertuaku menoleh, mereka beradu pandangan sambil menautkan kedua alisnya."Kayaknya nggak ada anak kecil, kami pikir Bu Ratna dan Pak Sandi dijemput oleh rekannya, karena mobilnya kan mewah," jawabnya."Iya, kalau anak kecil sama pengasuhnya perasaan mah nggak belok sini, coba kalian ke sana!" ucapnya sambil tunjuk ke arah timur."Tadi kami sudah mencarinya ke arah sana, tapi tak melihat mereka. Ya sudah, Bu, terima kasih banyak informasinya," sahutku dan Reina. Kemudian, mereka mengangguk.Kami segera memberikan informasi ini pada Mayang dan Rindu, mereka pasti masih panik di dalam. Meskipun belum menemukan keberadaan or
Pov ArdanSemua yang berada di rumah merapatkan dan mendekatiku. Kemudian menyuruh untuk bicara pada Mbok Ani."Coba bicara pada Mbok," suruh Bu Anika."Iya, Bu," sahutku."Rayyan, halo, aku mau bicara pada Mbok Ani, bisa kan?" tanyaku."Sebentar, Mas."Tidak lama kemudian, Mbok Ani bicara padaku."Halo, Pak. Ini Mbok, maaf sebelumnya," ujarnya."Iya Mbok, Arya bagaimana? Lain kali kalau ke mana-mana bilang ya Mbok!" sahutku."Ada, Pak. Katanya Arya kangen dengan Oma-nya. Saya pikir kalau bilang pasti dimarahin," jawab Mbok Ani."Tetap saja tidak bisa seperti itu, untung saja Mbok Ani bekerja dengan saya, kalau dengan orang lain, mungkin sudah dipecat," sahutku."Maaf, Pak.""Jangan diulangi lagi, dan jangan ke mana-mana, saya akan jemput kalian," pesanku.Kemudian telepon pun terputus. Akhirnya aku tutup teleponnya. Ada emosi juga ke
Pov Ardan"Ha-halo," ucapku terbata-bata.Kemudian, telepon tersebut dimatikan. Aku menggelengkan kepala, dan meletakkan kembali ponsel istriku."Tidak ada suaranya, entahlah langsung dimatikan," ujarku memberikan informasi pada mereka. Namun, tidak lama setelah aku meletakkan ponsel itu, ponsel Rindu yang berdering. Nomer yang tak dikenali menghubungi Rindu, tapi berbeda dengan nomer yang menghubungi Mayang.Tanpa rasa takut, Rindu mengangkat teleponnya."Halo," ucap Rindu. Tidak lama kemudian, ia menekan tombol speaker agar kami bisa ikut mendengarkannya."Iya, Rindu. Ini Papa," ucapnya. Kami semua bangkit dari duduk ketika orang yang di seberang sana mengaku papa."Papa Sandi atau Papa Tommy?" tanya Rindu. Pertanyaan agak aneh jika Rindu tak mengenali suara mereka berdua. Sepertinya orang yang mengaku-ngaku saja."Rindu, masa kamu nggak kenal suara papamu di telepon?" bisikku pelan.