Share

Chapter 10

Author: Rizky Chintya
last update Last Updated: 2022-02-16 06:38:37

Kata Dylan, Rindu itu berat. Nyatanya memang benar. Berat sebab bayangan seseorang yang dirindukan itu seakan ada di mana-mana. Baik di ruang tidur bahkan di kamar mandi sekalipun, aku teringat keusilan Mas Ivan.

Ya, seperti sedang di kamar mandi saat ini. Aku terbayang saat telunjuk sepupuku yang usil itu mendorong kepala ini pelan. Seraya berkata, "Makanya jangan ngeyel! Keras kepala amat. Udah tau cincin kekecilan masih nggak mau dilepas."

Lantas aku tersenyum getir, saat ingin menuang shampo ke telapak tangan ini. Dari sini pun aku teringat lelaki menyebalkan itu.

"Milihnya yang cocok sama rambut kamu. Cari juga yang wanginya enak," kata Mas Ivan sewaktu kami berdiri di depan rak yang terdapat berbagai macam merek shampo.

"Bukannya semua shampo fungsinya sama aja. Buat keramas, kan?"

Mas Ivan berdecak. "Ya bedalah, Dodol. Logikanya kalau nggak kutuan, ngapain beli shampo buat hilangin kutu?"

"Benar juga." Aku cengengesan melihatnya. "Jadi karena itu, makanya aku nggak boleh pakai shamponya Mas?"

"Hm. Shampo mas itu khusus buat rambut berminyak. Sedangkan rambut kamu tipenya kering. Nggak cocoklah, ntar malah nambah kering. Yang ada hatinya kusam." Begitu katanya memberitahu, sembari berlalu pergi.

Eelaah! Ngomongin rambut kok malah nyambung ke hati. Apa hubungannya coba? Jadilah sambil mandi aku geleng-geleng dan senyam-senyum sendiri, kala mengingat tingkah konyol Mas Ivan.

Lalu seusai mandi dan kembali ke kamar, aku mendesah malas saat membuka lemari pakaian. Mengamati hot pants dan baju kaos ketat kesayangan, yang sekarang sungkan untuk kupakai. Lagi-lagi karena ingat lelaki itu.

"Apanya yang salah sih, Mas? Toh, bajunya juga enggak terbuka, kan? Lagian aku pakenya cuma di rumah doang. Nggak ke mana-mana juga." Begitu protesku saat kami berdebat sengit di ruang tamu waktu itu. Jelas saja aku uring-uringan. Karena menurutku memang tidak ada yang salah. Hanya saja bajunya memang sedikit ketat.

"Bisa nggak kalau dikasih tau itu nggak usah ngeyel? Bajunya emang nggak terbuka, Non. Tapi nonjolin lekuk tubuh. Paha putih itu lho, sayang kalau diekspose gratis. Masa kalah sama paha ayam yang ada banderol harganya?" Lelaki itu berucap, seraya berdiri di hadapanku dengan tangan bersedekap.

Kan bikin kesal. Masa aku dibandingkan sama paha ayam? Haiss!

Mas Ivan itu memang menyebalkan. Selalu bikin dongkol. Tak jarang bikin kesal.

Tapi aku rindu dia, dengan segala tingkah usilnya itu. Kan sialan!

***

Hingga pukul 23.00 aku masih tetap terjaga. Berbaring sembari scroll-scroll media sosialku. Ini malam pertama kami saling berjauhan, setelah beberapa minggu menikah.

Akhirnya kuakui, dia berhasil mencuri hati ini dengan waktu sesingkat itu.

Untuk pertama kalinya, selama aku dilahirkan, aku menunggu Mas Ivan memberi kabar. Meski hanya sebuah pesan singkat. Sayangnya, nihil.

Apa dia tidak rindu, ya? Seperti aku saat ini kesulitan tidur karena rasa yang begitu menyiksa.

Ah, anggap saja ini latihan. Agar suatu saat nanti terbiasa hidup tanpa Mas Ivan. Fighting, Amanda! Aku menyugesti diri sendiri. Agar lebih tahu diri, dan bisa berlapang dada menerima kenyataan pahit ini. Kok rasanya ada yang sesak di dalam sini?

Begitulah hidup. Walau takdir tidak seperti yang kita impikan, tapi waktunya akan terus bergulir. Saat cerita tentang kami sudah selesai, semuanya akan kembali seperti semula. Aku dengan kehidupanku dan Mas Ivan kembali lagi menjadi saudaraku. Bukankah saat ini pun demikian, aku hanya adik di mata suamiku?

**

Pagi hari. Saat aku duduk santai sambil memainkan ponsel di kasur, aku menoleh ke arah pintu yang dibuka dari luar. Seperti dugaanku, seorang wanita yang tak lagi muda tapi masih tampak cantik tengah berjalan mendekat, Oma.

"Kok nggak ikut sarapan sama-sama, Nda?"

"Baru aja Amanda mau keluar. Tapi sebentar lagi, deh." Sejujurnya aku memang menghindari duduk bersama keluarga. Takut ditanya sesuatu dan aku salah jawab lagi nantinya. Menikah dengan seorang yang masih satu keluarga itu sensitif sekali ternyata.

"Ivan belum jemput?" Oma mengerutkan keningnya melihatku. Heran mungkin. Wajar. Saat melihat seorang istri pulang sendiri ke rumah keluarganya, tanpa ditemani suami, siapapun pasti akan berpikiran yang bukan-bukan.

"Mas Ivan sibuk, Oma. Kerja terus."

"Kemarin, siapa yang antar ke sini?" Oma menatapku seakan penuh selidik.

"Abang Ojek. Oma sehat, kan?" Aku meletakkan ponsel di sisi. Dari sore kemarin di rumah ini, baru pagi ini sempat mengobrol dengan Oma.

"Alhamdulillah. Eh,"-Oma duduk di sebelahku-"kamu ke sini bukan karena lagi ada masalah di sana, kan?" Tepat dugaanku, kalau Oma memang menghawatirkanku.

"Nggaklah, Oma."

"Baik-baik di sana, Nda. Jangan bikin masalah."

"Siap." Aku tersenyum, lalu melingkarkan tangan di pinggang Oma. Mencurahkan rindu, juga penat di dada ini. Hidup di luar sana juga sulit, sangat tidak mudah dan rasanya ingin menyerah.

"Amanda kangen," rengekku manja.

Oma menepuk lembut punggungku. Hal yang tidak pernah kudapatkan dari orang lain, bahkan orang tua sendiri, kehangatan. Kenyamanan. Andai semua orang bisa menerimaku seperti beliau.

"Oma sudah sarapan?" tanyaku sesaat setelah mengurai pelukan.

Oma hanya mengerjap, hingga terlihat bulu mata lentik itu basah.

"Lho, kok nangis?" Aku mengulurkan tangan mengusap pipi keriput yang basah itu. Bahkan kerutan ini pun tak mengurangi kecantikan beliau.

"Oma kepikiran kamu terus. Takut kalau kamu di sana enggak bahagia."

Aku tersenyum. Berusaha meyakinkan pada beliau bahwa semua baik-baik saja. Pilu hati ini, ketika melihat wanitaku itu menangis. "Amanda baik-baik aja, kok. Jangan jadi pikiran, ya. Di sana Amanda disayang. Mama kan, nggak punya anak perempuan, jadi perhatian banget sama Amanda."

"Oma sudah tua, Nda. Jadi sekarang sudah tenang, kalau kamu sudah ada di tempat yang tepat."

“Ah, Oma." Lagi, aku memeluknya.

Begitulah cinta Oma padaku. Hingga tak jarang membuat cucu beliau yang lain iri dan membenci. Saat mereka menuntut keadilan dari Oma, beliau akan bilang ....

"Ini sudah sangat adil. Kalau bukan Oma yang menyayangi Amanda, siapa lagi?”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Rinie Ritonga
kelanjutan cerita nya thor
goodnovel comment avatar
Dian Puspita
Wooow nyesek jg jadinya..jgn pisah yaaa...
goodnovel comment avatar
Eneng Istiqomah
kenapa gak update lg rhor?
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • IVAN AMANDA (Pengantin Pengganti)   Chapter 11

    Bismillah ..."Lagi bahagia, kelihatannya." Suara Oma yang terdengar tiba-tiba, cukup membuatku tersentak."Enggaklah Oma. Biasa aja, kok." Aku menjawab seraya mengulum senyum. Sekuat tenaga aku berusaha bersikap biasa, tapi bibir ini tak hentinya menyulam senyuman. Tak peduli sedang apa pun aku, sikat gigi, mandi bahkan shalat subuh pun sambil senyam-senyum tidak jelas. Kala mengingat manisnya kejadian semalam. Hingga aku merasa seperti orang kurang waras saja.Saat ini aku dan Oma berada di ruang belakang rumah ini. Aku sedang duduk memainkan ponsel, menunggu mesin pencuci pakaian yang tengah berputar secara otomatis. Oma yang membawa segelas teh panas pun, kini ikut duduk di hadapanku."Nggak usah bohongi orang tua," kata Oma seusai menyeruput teh yang masih mengepul. Oma meletakkan kembali gelas ke tatakan piring kecil, hingga terdengar dentingan gelas yang beradu."Ish, Oma, apaan, sih?" Aku tersipu."Oma juga pernah muda, Manda. Dulu juga sering keramas kayak kamu gini." Oma mul

  • IVAN AMANDA (Pengantin Pengganti)   Chapter 10

    Kata Dylan, Rindu itu berat. Nyatanya memang benar. Berat sebab bayangan seseorang yang dirindukan itu seakan ada di mana-mana. Baik di ruang tidur bahkan di kamar mandi sekalipun, aku teringat keusilan Mas Ivan. Ya, seperti sedang di kamar mandi saat ini. Aku terbayang saat telunjuk sepupuku yang usil itu mendorong kepala ini pelan. Seraya berkata, "Makanya jangan ngeyel! Keras kepala amat. Udah tau cincin kekecilan masih nggak mau dilepas." Lantas aku tersenyum getir, saat ingin menuang shampo ke telapak tangan ini. Dari sini pun aku teringat lelaki menyebalkan itu. "Milihnya yang cocok sama rambut kamu. Cari juga yang wanginya enak," kata Mas Ivan sewaktu kami berdiri di depan rak yang terdapat berbagai macam merek shampo. "Bukannya semua shampo fungsinya sama aja. Buat keramas, kan?" Mas Ivan berdecak. "Ya bedalah, Dodol. Logikanya kalau nggak kutuan, ngapain beli shampo buat hilangin kutu?" "Benar juga." Aku cengengesan melihatnya. "Jadi karena itu, makanya aku nggak b

  • IVAN AMANDA (Pengantin Pengganti)   Chapter 9

    Bismillah ...Setelah shalat isya, aku mengerutkan kening, kala mencabut charger ponselku. Ada beberapa pesan masuk tertera di layar yang menyala. Salah satunya pesan dari nomor tak dikenal, berisikan promosi pinjaman online. Juga pesan dari operator yang menginformasikan kalau nomorku sudah terisi pulsa dengan nominal seratus ribu.Siapa?Sontak aku pun tersenyum, saat terbesit kemungkinan tersangkanya adalah suamiku. Siapa lagi kalau bukan? Ah, manis sekali. Perhatian yang begitu, kan, bikin melted.Aku membawa serta ponsel ini, keluar dari kamar. Menuju di mana Mas Ivan berada. Sesampainya di lantai bawah, tampak suamiku itu sedang duduk sambil memencet remot, mengganti channel TV.Lelaki berhidung mancung itu menoleh, saat aku duduk di sofa sebelahnya. "Tumben turun? Biasanya betah banget mendep di kamar."Aku mengangkat bahu. "Nggak papa, sih! Emang nggak boleh, ya?""Enggak. Cuma heran aja. Nggak biasanya turun, sa

  • IVAN AMANDA (Pengantin Pengganti)   Chapter 8

    Bismillah .... "Amanda." Seseorang memanggilku sesaat aku menginjakkan kaki di lantai atas. Mas Alfin tampak berdiri di depan pintu kamarnya. "Kenapa Mama?" tanyanya kemudian ketika aku mendekat padanya. "Kedengaran, ya?" "Enggak. Cuma kaget aja. Soalnya tadi keluar kamar pas banget sama Mama banting pintu kamar." Mas Alfin memberitahu. "Tau sendirilah Mama gimana? Jadi nggak usah diambil hati. Entar juga baik sendiri." "Hm, iya." "Boleh minta tolong nggak?" "Apaan?" Tolong beli’in rokok." Inilah hal tak enak, saat tinggal bersama kakak sepupu. Aku yang paling muda suka di suruh-suruh. Tolong inilah, tolong itulah. Pernikahan kemarin seakan tak merubah apa pun bagi dua saudaraku ini. Mereka masih saja menganggapku adik seperti dulu. "Iya, mana?" jawabku malas, sambil menadahkan tangan. Mas Alfin mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan dari dalam dompet. Lalu memberikan uang berwarna b

  • IVAN AMANDA (Pengantin Pengganti)   Chapter 7

    Bismillah ..."Habis ngapain sampe basah semua kayak gitu?" Mas Ivan tampak mengerutkan kening, saat melihatku baru saja masuk ke kamar. Heran mungkin, sebab pakaian yang aku kenakan nyaris basah semua."Oh, ini. Aku baru aja selesai nyuci. Mas gimana, udah baikan?""Hmm, udah mendingan," gumamnya pelan. Saat ini sepupuku itu sedang berolahraga ringan. Berdiri dengan tangan ke atas, disertai dengan meliuk-liukkan tubuhnya ke kanan dan kiri. Dia tampak mulai berkeringat.Yah, pagi ini aku baru saja selesai mencuci selimut, seprai dan pakaian yang terkena muntahan sepupuku saat demam kemarin. Terhitung sudah tiga hari-dua malam, Mas Ivan terbaring lemah di kasur. Panasnya tinggi. Bahkan pula kesulitan mencerna makanan. Apa pun yang masuk ke lambungnya, akan keluar lagi tanpa sempat dicerna lebih dulu. Lantas aku pun bersyukur, saat melihat dia sudah membaik sekarang."Katanya baik luar-dalem? Eh, tapi tepar juga. Makanya jadi orang ngga

  • IVAN AMANDA (Pengantin Pengganti)   Chapter 6

    Bismillah ...Seperti biasa, setelah shalat isya' aku memilih berdiam di kamar. Rebahan sembari scrool-scrool media sosial. Aku mendesah kecewa, ketika mendapati komentar tidak pantas di foto pernikahan kami yang diposting seseorang. Entah siapa, sepertinya mereka ini teman Mas Ivan.'Siapa pun yang mendampingimu. Semoga itu yang terbaik.' Begitu caption-nya, hingga menimbulkan komentar beragam.Meski ada juga yang ikut mendoakan dengan doa terbaik, tapi tetap saja sakit saat mendapati komentar yang menyentil. Ah, sangat menyesakkan sekali rasanya. Pantas saja kata Mama bikin asam lambung naik.'Lah, jadi beneran Ivan nikahnya sama Amanda? Kok, mau-maunya sih? Gila!''Kenapa nggak dibatalkan aja acaranya? Daripada nikah sama sodara, nggak baik buat keturunan nantinya.''Mending batalin aja kalau aku. Nikah sama sepupu kayak nggak ada orang lain aja.''Bener nggak sih, kalau pengantinnya kabur sama cowok lain? Nggak punya hati banget k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status