Share

Chapter 10

Kata Dylan, Rindu itu berat. Nyatanya memang benar. Berat sebab bayangan seseorang yang dirindukan itu seakan ada di mana-mana. Baik di ruang tidur bahkan di kamar mandi sekalipun, aku teringat keusilan Mas Ivan.

Ya, seperti sedang di kamar mandi saat ini. Aku terbayang saat telunjuk sepupuku yang usil itu mendorong kepala ini pelan. Seraya berkata, "Makanya jangan ngeyel! Keras kepala amat. Udah tau cincin kekecilan masih nggak mau dilepas."

Lantas aku tersenyum getir, saat ingin menuang shampo ke telapak tangan ini. Dari sini pun aku teringat lelaki menyebalkan itu.

"Milihnya yang cocok sama rambut kamu. Cari juga yang wanginya enak," kata Mas Ivan sewaktu kami berdiri di depan rak yang terdapat berbagai macam merek shampo.

"Bukannya semua shampo fungsinya sama aja. Buat keramas, kan?"

Mas Ivan berdecak. "Ya bedalah, Dodol. Logikanya kalau nggak kutuan, ngapain beli shampo buat hilangin kutu?"

"Benar juga." Aku cengengesan melihatnya. "Jadi karena itu, makanya aku nggak boleh pakai shamponya Mas?"

"Hm. Shampo mas itu khusus buat rambut berminyak. Sedangkan rambut kamu tipenya kering. Nggak cocoklah, ntar malah nambah kering. Yang ada hatinya kusam." Begitu katanya memberitahu, sembari berlalu pergi.

Eelaah! Ngomongin rambut kok malah nyambung ke hati. Apa hubungannya coba? Jadilah sambil mandi aku geleng-geleng dan senyam-senyum sendiri, kala mengingat tingkah konyol Mas Ivan.

Lalu seusai mandi dan kembali ke kamar, aku mendesah malas saat membuka lemari pakaian. Mengamati hot pants dan baju kaos ketat kesayangan, yang sekarang sungkan untuk kupakai. Lagi-lagi karena ingat lelaki itu.

"Apanya yang salah sih, Mas? Toh, bajunya juga enggak terbuka, kan? Lagian aku pakenya cuma di rumah doang. Nggak ke mana-mana juga." Begitu protesku saat kami berdebat sengit di ruang tamu waktu itu. Jelas saja aku uring-uringan. Karena menurutku memang tidak ada yang salah. Hanya saja bajunya memang sedikit ketat.

"Bisa nggak kalau dikasih tau itu nggak usah ngeyel? Bajunya emang nggak terbuka, Non. Tapi nonjolin lekuk tubuh. Paha putih itu lho, sayang kalau diekspose gratis. Masa kalah sama paha ayam yang ada banderol harganya?" Lelaki itu berucap, seraya berdiri di hadapanku dengan tangan bersedekap.

Kan bikin kesal. Masa aku dibandingkan sama paha ayam? Haiss!

Mas Ivan itu memang menyebalkan. Selalu bikin dongkol. Tak jarang bikin kesal.

Tapi aku rindu dia, dengan segala tingkah usilnya itu. Kan sialan!

***

Hingga pukul 23.00 aku masih tetap terjaga. Berbaring sembari scroll-scroll media sosialku. Ini malam pertama kami saling berjauhan, setelah beberapa minggu menikah.

Akhirnya kuakui, dia berhasil mencuri hati ini dengan waktu sesingkat itu.

Untuk pertama kalinya, selama aku dilahirkan, aku menunggu Mas Ivan memberi kabar. Meski hanya sebuah pesan singkat. Sayangnya, nihil.

Apa dia tidak rindu, ya? Seperti aku saat ini kesulitan tidur karena rasa yang begitu menyiksa.

Ah, anggap saja ini latihan. Agar suatu saat nanti terbiasa hidup tanpa Mas Ivan. Fighting, Amanda! Aku menyugesti diri sendiri. Agar lebih tahu diri, dan bisa berlapang dada menerima kenyataan pahit ini. Kok rasanya ada yang sesak di dalam sini?

Begitulah hidup. Walau takdir tidak seperti yang kita impikan, tapi waktunya akan terus bergulir. Saat cerita tentang kami sudah selesai, semuanya akan kembali seperti semula. Aku dengan kehidupanku dan Mas Ivan kembali lagi menjadi saudaraku. Bukankah saat ini pun demikian, aku hanya adik di mata suamiku?

**

Pagi hari. Saat aku duduk santai sambil memainkan ponsel di kasur, aku menoleh ke arah pintu yang dibuka dari luar. Seperti dugaanku, seorang wanita yang tak lagi muda tapi masih tampak cantik tengah berjalan mendekat, Oma.

"Kok nggak ikut sarapan sama-sama, Nda?"

"Baru aja Amanda mau keluar. Tapi sebentar lagi, deh." Sejujurnya aku memang menghindari duduk bersama keluarga. Takut ditanya sesuatu dan aku salah jawab lagi nantinya. Menikah dengan seorang yang masih satu keluarga itu sensitif sekali ternyata.

"Ivan belum jemput?" Oma mengerutkan keningnya melihatku. Heran mungkin. Wajar. Saat melihat seorang istri pulang sendiri ke rumah keluarganya, tanpa ditemani suami, siapapun pasti akan berpikiran yang bukan-bukan.

"Mas Ivan sibuk, Oma. Kerja terus."

"Kemarin, siapa yang antar ke sini?" Oma menatapku seakan penuh selidik. 

"Abang Ojek. Oma sehat, kan?" Aku meletakkan ponsel di sisi. Dari sore kemarin di rumah ini, baru pagi ini sempat mengobrol dengan Oma. 

"Alhamdulillah. Eh,"-Oma duduk di sebelahku-"kamu ke sini bukan karena lagi ada masalah di sana, kan?" Tepat dugaanku, kalau Oma memang menghawatirkanku.

"Nggaklah, Oma." 

"Baik-baik di sana, Nda. Jangan bikin masalah."

"Siap." Aku tersenyum, lalu melingkarkan tangan di pinggang Oma. Mencurahkan rindu, juga penat di dada ini. Hidup di luar sana juga sulit, sangat tidak mudah dan rasanya ingin menyerah.

"Amanda kangen," rengekku manja.

Oma menepuk lembut punggungku. Hal yang tidak pernah kudapatkan dari orang lain, bahkan orang tua sendiri, kehangatan. Kenyamanan. Andai semua orang bisa menerimaku seperti beliau. 

"Oma sudah sarapan?" tanyaku sesaat setelah mengurai pelukan.

Oma hanya mengerjap, hingga terlihat bulu mata lentik itu basah.

"Lho, kok nangis?" Aku mengulurkan tangan mengusap pipi keriput yang basah itu. Bahkan kerutan ini pun tak mengurangi kecantikan beliau. 

"Oma kepikiran kamu terus. Takut kalau kamu di sana enggak bahagia."

Aku tersenyum. Berusaha meyakinkan pada beliau bahwa semua baik-baik saja. Pilu hati ini, ketika melihat wanitaku itu menangis. "Amanda baik-baik aja, kok. Jangan jadi pikiran, ya. Di sana Amanda disayang. Mama kan, nggak punya anak perempuan, jadi perhatian banget sama Amanda." 

"Oma sudah tua, Nda. Jadi sekarang sudah tenang, kalau kamu sudah ada di tempat yang tepat."

“Ah, Oma." Lagi, aku memeluknya.

Begitulah cinta Oma padaku. Hingga tak jarang membuat cucu beliau yang lain iri dan membenci. Saat mereka menuntut keadilan dari Oma, beliau akan bilang .... 

"Ini sudah sangat adil. Kalau bukan Oma yang menyayangi Amanda, siapa lagi?” 

*** 

Di ruang makan, semua keluarga berkumpul menikmati makan malam. Kecuali Om Heru. Beliau yang memang pekerja keras dan tulang punggung keluarga, sedang ada lembur sepertinya.

Suasana makan malam pun dingin. Sesaat hanya dentingan sendok yang beradu dengan piring. Hingga Tante Diana berdehem, memecah kebisuan.

“Ivan mana, Nda? Belum jemput?” tanya Tante Diana. 

“Mas Ivan sibuk, Tan. Besok mungkin baru jemput.”

“Ada masalah?” tanyanya kemudian. 

“Enggak ada, kok. Amanda cuma kangen sama Oma.”

Wanita anggun itu hanya mengangguk pelan. Sementara Alisa menatap seakan penuh tanya.

"Gimana rasanya nikah sama Mas Ivan?" Kali ini Mbak Vita yang bertanya.

"Untung banyak, dong. Amanda kayak habis menang lotre," celetuk Alisa terlihat sambil menahan tawa.

Aku hanya tersenyum menanggapi. Mencoba kuat. Sabar! 

"Aku ikut bahagia ... banget. Pokoknya aku dukung deh," imbuh Alisa lagi. 

"Mas Ivan beneran mau sama Amanda? Takutnya sih ...." 

"Ehem." Gumaman Oma memotong ucapan Mbak Vita. Hingga suasana di ruang makan ini kembali kaku. 

"Mas Ivan baik, kok. Perhatian banget malah," selaku. Hanya demi menjaga perasaan wanita lanjut usia itu. 

"Kamu nggak lanjutin pendidikan atau mau berkarir, gitu? Biar pantes aja, mendampingi Masku. Mas Ivani itu cerdas, mapan lagi." Sindiran Mbak Vita kali ini cukup menyentil hati.

Aku sudah terbiasa begini, makan hati. Sindiran, diskriminasi sudah seperti ulam makan. Kalau bukan karena kangen dengan Oma, malas sekali rasanya pulang ke rumah ini lagi. 

Baper?

Enggaklah.

Sudah biasa begini.

Aku sudah kebal. Aku kuat.

"Jadi ibu rumah tangga ajalah. Ngurus anak. Ngurusin rumah. Maksa kuliah juga, malah nyusahin yang sekolahin nanti," ucap Alisa dengan santainya.

Ah.

Pelan, aku meletakkan sendok di samping piring. Kuhela napas. Sesak sekali rasanya. Sementara mata ini mulai panas. Hingga semakin lama pandangan ikut mengabur. Karena bulir yang mengaca di pelupuk mata. 

"Amanda selesai."

Aku tersenyum getir. Kalah! Ternyata aku tidak sekebal dan sekuat itu.

Aku pun meninggalkan meja makan. Berjalan cepat, pergi menuju kamar. Aku menelungkup di kasur, mencoba kuat. Tegar seperti biasanya. Tak ada yang membela itu sudah biasa, ‘kan? Namun tetap saja rasanya ... sakit. Hingga air mata meluncur begitu saja.  Meski lama-lama bertambah deras. Disertai dengan isak tangis. 

Makan hati, sedih, sesak berkecamuk dalam dada saat ini. 

"Ma ... Pa, Amanda kangen. Andai Mama masih ada, pasti ada yang bela sekarang," gumamku lirih masih dengan isak tangis.

Aku tersentak, saat terasa sentuhan lembut di pundakku. Lantas cepat, jari ini menghapus pipi yang basah oleh air mata. Aku pun duduk melihat seseorang itu.

Awalnya aku mengira itu ... Oma, tapi bukan. Bukan Oma.

“Mas Ivan? Ngapain ke sini?” lirihku masih menahan tangis. Masih menatapnya tak percaya.

"Kenapa memangnya, mas nggak boleh ke sini?"

Aku menutup wajah dengan dua telapak tangan. Sadar kalau ada rasa hangat yang mulai menjalari pipi. Sekarang aku malah tersenyum, sambil menangis.

Apa-apaan ini?

"Kenapa nangis, hm? Kangen? Ada ya orang kangen sampe nangis-nangis gitu."

"Enggak!"

"Nangis di sini. Stress free zone."

Aku menurunkan tangan yang menutupi wajah. Hingga tampak lelaki yang kurindukan itu, kini duduk di bibir kasur. Membuka lebar kedua tangannya.

Senyam-senyum, aku menghambur ke pelukannya. Sesuka hati menghirup dalam-dalam aroma maskulinnya yang khas. 

“Ada masalah?” tanyanya sambil mengelus rambutku. Seketika aku membeku. Ada sensasi luar biasa yang aku rasakan ketika ia membelaiku saat ini. Mendebarkan dan menenangkan. Berasa ada kupu-kupu yang menggelitik perut, disertai hati yang berbunga-bunga. Ternyata pelukan orang yang kita cintai, mujarab menghilangkan semua rasa sakit.

Hanya dengan pelukan dan belaian, hati ini dibuatnya jungkir balik. Tadinya sakit, lalu seketika bahagia. Luar biasa, bukan?

"Kamu udah bilang semua tentang kita sama Mama." 

Sontak saja aku tergagap. "Mama bilang apa?" 

"Mama mau kita selesaikan semuanya." Kemudian terdengar ia menghela napas panjang. 

Aku pun mendorong dada bidang itu, melerai pelukan. Hingga dua mata itu menatapku sangat lekat. Begitu intens.

"Terus?"

"Gimana lagi? Kamu sendiri mau aja nuruti apa kata Mama."

"Kita pisah ... begitu maksudnya Mas?" 

Mas Ivan mengerjap pelan. Jantung ini kian gila saja debarannya. Bahuku pun seketika turun. Aku lemas. 

Hening sangat lama, hanya mata kami yang beradu tatap.

Setengah mati aku berusaha mengatakan lewat mata yang masih mengaca ini bahwa, 'Kangen, Mas. Aku rindu.' 

Entah ia akan mengerti atau tidak perasaan yang tak sanggup diucapkan oleh bibir. Sebab tercekat di kerongkongan ini. Teringat apa yang dikatakan saudaraku di tengah makan malam tadi. Kalau aku memang tidak pantas untuknya. 

“Mama benar, Mas. Mungkin pisah memang jalan yang terbaik.” Aku melempar pandangan ke samping. Kata-kata itu pun terlontar begitu saja, beriringan dengan air mata yang meluncur dengan lambat.

"Serius?"

"Iya."

"Oke. Look at me!"

Aku tetap enggan menoleh.

"Amanda."

Cup.

Seketika aku terbelalak.

Apa ini?

Mas Ivan ... menciumku?

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Rinie Ritonga
kelanjutan cerita nya thor
goodnovel comment avatar
Dian Puspita
Wooow nyesek jg jadinya..jgn pisah yaaa...
goodnovel comment avatar
Eneng Istiqomah
kenapa gak update lg rhor?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status