PoV Rayyan.“Bunda kenapa kunciin Zayn?” Suara Zayn ketika Hannan membuka pintu. Kulihat Hannan menunduk dan meraih tubuh mungil Zayn.“Maaf, ya, Nak. Bukan Bunda yang ngunci pintu tadi, Bunda enggak mungkin ngunciin Zayn.” Hannan membelai kepala Zayn.Zayn yang masih sesegukan seketika menoleh padaku.“Om Doktel kenapa kunciin Zayn?” Tatapan bocah itu penuh amarah padaku. Astaga! Hannan. Teganya ia membuatku jadi tertuduh, padahal memang akulah yamg mengunci pintunya tadi.“Nak, nggak boleh gitu, Om Dokter pasti enggak sengaja tadi.” Hannan masih membujuk, aku hanya menggaruk tengkukku yang sama sekali tak gatal.“Zayn mau pulang! Zayn enggak mau di sini! Kita pulang ke rumah kita, Bun,” pinta Zayn.Aku bejalan menghampirinya.“Maafkan Om Dokter ya, Zayn. Tadi enggak sengaja ngunci pintunya. Sini Om Dokter gendong.” Aku mengulurkan tanganku padanya. Zayn justru mundur dan semakin memeluk bundanya.“Enggak mau! Om Doktel jahat! Om Doktel mau ambil Bunda! Zayn nggak mau tinggal di sini
PoV Hannan.“Zayn udah tidur?” Ray kembali muncul di depan pintu. Aku mengangguk pelan. Aku sendiri sedang duduk di tepi tempat tidur di mana Zayn telah tertidur lelap di sana.Ray ikut duduk di sampingku, kemudian melingkarkan lengannya di sepanjang bahuku. Sentuhan ringan, namun sanggup membuatku merinding. Entah mengapa sejak tadi sentuhan ringan Ray selalu membuatku meremang tanpa ampun.“Riasannya udah dirapiin? Kamu udah mandi?” bisiknya, embusan napas hangatnya menerpa kulit leherku. Tangannya meraih handuk kecil yang kupakai untuk menutupi rambutku setelah keramas tadi.“Diurai aja rambutnya, Sayang. Aku ingin melihatnya.” Ray kembali berbisik. Ini memang kali pertama ia melihat rambut panjangku.“Cantik sekali istriku. Aku suka dengan rambut panjangmu ini.” Ray meraih beberapa helai rambutku dan menghirupnya dalam-dalam. Aku semakin bergidik.“Zayn benaran udah tidur?” Ray melongokkan kepalanya ke belakang untuk melihat Zayn. Itu membuat ujung hidung mancungnya menyentuh lehe
“Hannan? Hannan kamu kemari? Kamu pasti juga merindukanku, kan?” Aku berjalan sempoyongan ke arahnya.“Maaf, Pak. Ini ada berkas penting yang harus ditandatangani.”“Hannan ...,” gumamku. Aku berjalan sempoyongan menghampirinya, namun tubuhku hampir ambruk sebelum tiba di hadapannya. Dengan sigap ia menopang tubuhku.“Pak ... Pak Randy! Bapak kenapa? Bapak mabuk?” Suaranya lembut dan sepertinya ia panik melihatku. Tap mengapa ia masih saja memanggilku Pak Randy?“I—ini saya mau minta tandatangan, Pak. Saya sengaja lembur hari ini, karena ... karena besok saya berencana mau izin dulu. Saya mau menemani ... Ibu saya cek up ... ke ... dokter.” Suaranya terbata-bata karena ia masih menopang tubuhku, sementara aku mulai mengendus-endus aroma tubuhnya.“Aku ... tak mengerti apa yang kamu katakan. Ayolah Bunda. Jangan membahas apapun ... bukannya Bunda ke sini karena merindukanku?” Tanganku mulai menyentuh beberapa bagian tubuhnya. Ia menggeliat berusaha melepaskan tanganku yang telah hingga
Kupungut pakaianku di lantai dan memakainya. Lalu aku seolah tersengat ribuat volt aliran listrik ketika netraku menangkap sesuatu di sofa. Bercak darah!“Aaarrggghhhh!” Pekikku. Suaraku terdengar menggema di ruangan kerjaku. Kali ini aku yakin jika aku telah melakukan kesalahan.“Sial!! Ini semua gara-gara minuman haram ini!” Kulempar botol minuman ke dinding ruanganku hingga menimbulkan bunyi nyaring khas benda pecah.Tunggu! Aku seperti pernah mengalami ini. Aku teringat saat Hannan melempar gelas hingga pecah berkeping-keping di rumah kami saat aku meminta izin padanya untuk menduakannya. Semua ini gara-gara Hannan! Aku mabuk karena ingin menghilangkan kegalauanku di hari pernikahannya kemarin.“Argghhh!!” Aku meremas rambutku sendiri. Hannan saat ini pasti sedang berbahagia sedangkan aku justru terpuruk, parahnya lagi keterpurukanku harus mengorbankan Sherin yang tak tau apa-apa. Satu lagi botol minuman kulempar ke dinding hingga pecah. Ruanganku kini benar-benar terlihat beranta
PoV Hannan.Aku sudah mulai terlelap di tengah dekapan tangan mungil dan tangan kekar yang melingkari tubuhku ketika napas berat kembali berembus mengenai pipi dan leherku. Dengan berat aku kembali berusaha membuka mataku, meski sebenarnya tubuhku sudah lelah setelah menjalani serangkaian acara hari ini. Manik mata tajam itu kembali menatapku tajam. Tangan Ray pun kembali membelai-belai pipiku.“Mmmm ... belum tidur, Ray?” gumamku.“Loh, kan tadi udah janji mau pindah ke kamar sebelah, Han.”“Ta—tapi aku lelah dan sudah sangat mengantuk.” Aku kembali menggumam.Aku merasa tubuh Ray semakin mepet, sebagian tubuhnya kini malah tengah menindihku. Embusan napasnya pun terasa semakin berat.“Padahal aku udah nungguin loh, Bun. Tadinya juga udah ngantuk tapi aku tahan. Ayo dong, Bun.” Ray menggumam, kali ini aku kembali merasakan sesuatu yang lembut, tebal dan basah menyentuh bibirku.“Aku manggil kamu Bunda juga, ya. Biar sama dengan Zayn,” Ray menggumam lirih, namun bibirnya belum juga be
“Bi Inah liat Zayn?” tanyaku pada Bi Inah yang sedang sibuk menginstruksikan beberapa pekerjaan pada ART lainnya, menurut Ray ia memang ART paling senior di rumah ini sehingga Bi Inah yang mengarahkan semua pekerjaan pada ART yang lain.“Oh, Den Zayn tadi jalan-jalan subuh bareng Pak David dan asistennya. Katanya mau keliling kompleks untuk menghibur Den Zayn.”“Menghibur Zayn?” tanyaku. Hatiku mulai merasa tak enak.“Iya, Mbak Hannan. Tadi Den Zayn nangis nyaring di kamar sampai-sampai kami semua kaget. Terus Pak David mengetuk pintu kamar tapi tak ada jawaban. Mau buka kamar juga nggak enak kan itu kamarnya penganten baru,” jawab Bi Ina malu-malu.“Terus akhirnya gimana, Bi?” Aku panik.“Akhirnya Den Zayn sendiri yang buka pintunya masih sambil menangis. Terus waktu ditanya Pak David ternyata Zayn nyariin Mbak Hannan. Untung Den Ray juga pas keluar dari kamar sebelah.” Bi Inah kembali tersenyum.Wajahku memerah menahan malu bertepataan saat suara riang Zayn dan Pak David terdengar d
PoV Sherin.“Assalamualaikum,” sapaku saat membuka pintu rumah kontrakanku. Aku tak mengharapkan ada yang menjawab salamku sebab aku yakin Ibuku pasti sudah tidur. Aku memang membawa kunci sendiri sehingga saat pulang ke rumah, Ibuku tak perlu repot-repot lagi untuk membukakan pintu. Terlebih Ibuku memang sedang sakit-sakitan dan lebih banyak menghabiskan waktu beristirahat di dalam kamar.Tujuan pertamaku saat tiba di rumah adalah ingin segera mandi dan membersihkan seluruh tubuhku yang terasa pegal. Maka dengan segera aku meraih handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Namun aku tak segera mandi, aku justru terduduk di lantai kamar mandi sempit dalam rumah kontrakanku. Bukannya mandi, aku justru tergugu, menangisi diriku sendiri atas apa yang baru saja kualami. Kejadian mengerikan yang baru saja menimpaku tadi membuatku beberapa kali harus menghentikan motorku di pinggir jalan ketika pandangan mataku kabur oleh air mataku.Dengan air mata yang masih mengalir deras, serta sambil menaha
Sesampaiku di dalam kamar, aku kembali menumpahkan air mataku. Kubenamkan kepalaku di balik bantal agar suara isakanku tak terdengar ke kamar ibu yang hanya dihalangi oleh sekat dinding yang terbuat dari kayu. Tubuhku masih saja gemetaran meski aku telah memakai sweater tebal dan meminum teh hangat yang tadi dibuatkan oleh ibuku. Terlebih lagi saat aku memakai pakaianku tadi, meski aku terus memejamkan mataku, namun aku tetap saja merasa asing dengan tubuhku sendiri. Bagian inti tubuhku pun masih berdenyut nyeri. Aku tadi bahkan merasa khawatir jika Ibu memperhatikan langkahku, aku merasa tak bisa berjalan normal seperti biasanya. Aku benar-benar sudah tak mengenali tubuhku sendiri saat ini.Apa yang harus kulakukan ya Allah? Bagaimana aku harus menghadapi hari-hariku setelah ini? Bagaimana aku bisa tetap bekerja di sana setelah kejadian tadi? Haruskah aku meninggalkan perusahaan itu? Tapi saku sangat membutuhkan pekerjaanku di sana. Gajiku selama ini lumayan besar, dan dari penghasil