Share

Bab 4. Gadis Itu

Namaku Randy Maulana. Aku adalah seorang suami dan ayah dari dua orang putra yang lucu-lucu. Namun sudah setahun belakangan ini aku tak bisa tinggal satu kota bersama istri dan kedua putraku. Profesiku sebagai aparat TNI mengharuskanku hidup terpisah dari anak dan istriku setahun belakangan ini. Aku ditugaskan di pedalaman Papua yang hanya bisa dijangkau dengan pesawat kecil. Di sana juga tak ada singnal telekomunikasi karena letaknya memang masih sangat terpencil. Itu membuatku sedikit kesulitan berkomunikasi dengan Maysa Hannan, istriku, serta Zaid dan Zayn, kedua putraku sejak aku ditugaskan di sana.

Tugasku di pedalaman Papua sungguh sangat berat, kami harus berusaha mengusasai medan yang rumit ditengah incaran kelompok separatis yang kadang tiba-tiba saja muncul dan meneror warga. Sungguh, selama menjadi aparat TNI ini adalah tugas terberat yang harus kulalui. Beberapa orang rekanku bahkan ada yang tiba-tiba saja menghilang dari markas kami lalu kemudian ditemukan sudah dalam keadaan tak bernyawa akibat ulah kelompok separatis yang memang sengaja mengincar pucuk-pucuk senjata kami untuk kemudian dipakai oleh mereka menebar teror serta menggganggu kemananan dan ketenangan warga sipil.

Aku baru bisa berkomunikasi dengan Hannan dan kedua putraku jika kebetulan aku sedang bertugas ke ibukota kabupaten. Di sana ponselku dapat menangkap signal telekomunikasi meskipun kadang masih terputus-putus juga. Setahun bertugas di peladalam Papua membuatku menyadari bahwa sunggun masih banyak Warga Negara Indonesia yang belum bisa merasakan nikmatnya kemerdekaan. Mereka yang berada di sana masih terjajah oleh kemiskinan dan kebodohan. Fasiltas sekolah hanya ada beberapa dan jarak tempuhnya pun berkilo-kilo meter. Fasilitas kesehatan pun demikian, hanya ada puskesmas kecil yang tenaga kesehatannya juga hanya beberapa orang.

Satu hal yang membuatku merasa sedikit terhibur bertugas di sini adalah rasa kekeluargaan yang terbangun antara kami di markas. Kami sudah seperti saudara sendiri, karena kami semua memang jauh dari keluarga masing-masing.

Tiga bulan pertama awal aku bertugas di sini, aku sangat dekat dengan atasan kami di markas. Namanya Budi Nugroho, pria berpangkat Brigjen itu sangat dekat dengan seluruh bawahannya, termasuk aku. Kami kadang tak segan untuk bersenda gurau bersama disela-sela tugas kami, meskipun kami semua tetap menjunjung tinggi semua perintah beliau sebagai atasan kami. Diantara semua pasukan, akulah yang paling dekat dengan beliau, mungkin karena kami berdualah yang paling sering sholat  bersama. Pak Nugi, begitu beliau minta disapa, tak pernah melewatkan salat subuh berjamaah di ruangan kecil yang kami fungsikan sebagai musholla. Di sini, tak pernah sekalipun terdengar azan, karena memang tak ada mesjid di sekitar markas kami. Maka kami,  terutama aku dan Pak Nugi hanya menggunakan cara-cara tradisional untuk mengira-ngira waktu salat.

Selama memimpin, Pak Nugi sudah beberapa kali berhasil memimpin pasukan kami menguasai markas musuh dan mendesak mundur mereka ke dalam hutan-hutan belantara Papua yang masih alami. Hal itu membuat Pak Nugi menerima penghargaan kenaokan jabatan dan kemudian dipindahkan ke Kota Jayapura, Ibu Kota Provinsi Papua.

Aku dan beberapa orang rekanku pernah sekali berkunjung ke Kota Jayapura ketika kami ditugaskan mengambil sejumlah persediaan makanan dan obat-obatan. Karena masih intens berkomunikasi dengan Pak Nugi, beliau pun saat itu mengundang kami ke rumahnya. Ternyata Pak Nugi memiliki rumah mewah di Kota Jayapura. Yang kudengar dari beberapa orang rekanku, beliau memang tak hanya berprofesi sebagai TNI tetapi juga memiliki beberapa bisnis warisan orangtuanya di Jakarta.

Pada saat memenuhi undangan Pak Nugi, beliau memperkenalkanku dan rekanku pada putri tunggalnya, Dewi Puspita Sari. Tak ada yang istimewa pada gadis berkulit putih mulus yang tampak kontras dengan sebagian besar penduduk asli di Kota Jayapura itu. Kami hanya berkenalan seperti layaknya seorang yang baru berkenalan, aku bahkan tak memperhatikannya setelah itu, meski aku melihat tatapan tak biasa dari ayahnya sewaktu melihatku menyalami putrinya.

Namun cerita dari rekanku yang dijuliki Tyson dalam perjalanan pulang kembali ke pedalaman tempat tugas kami membuatku sedikit terkejut.

“Putri Pak Nugi itu cantik ya, Ran. Sayangnya ia tuna nerta.” Ucapan Tyson waktu itu membuatku terkejut.

“Hahh!!! Tuna nerta? Maksud kamu buta?”

“Iya, dia buta. Kamu nggak liat cara dia jalan setelah berkenalan tadi. Meski ia sudah hapal dengan letak-letak ruangan di dalam rumahnya, namun tetap aja kelihatan jalannya masih mencari-cari arah.”

“Wah, aku nggak perhatiin malah, Son. Tadi abis kenalan ya aku fokus ngobrol dengan Pak Nugi kembali,” ujarku.

“Kamu sih super cuek gitu. Padahal tadi yang kulihat Pak Nugi tersenyum ketika kalian berkenalan. Dengar-dengar kan beliau sedang mencarikan jodoh untuk Dewi. Sepertinya kamu bisa jadi kandidat bagi Pak Nugi.”

“Ah ... gila kamu, Son. Pak Nugi kan tau aku udah punya anak istri di Jakarta. Mana mungkin beliau menjodohkan putri tunggalnya pada laki-laki yang sudah beristri.”

“Ya kan siapa tau masih nyari istri kedua,” sahut Tyson terbahak.”Eh, tapi kamu liat nggak foto yang terpampang di rumah mewah Pak Nugi tadi.”

“Iya, aku liat. Foto Pak Nugi dan putrinya dalam pigura besar itu kan?”

“Kamu nggak penasaran kenapa hanya ada foto Pak Nugi dan Dewi?”

Aku mengeryitkan kening kemudian menggeleng tak mengerti.

“Itu karena Pak Nugi sudah bercerai dari istrinya. Sekarang istrinya tinggal di Jakarta, punya usaha butik yang terkenal di sana. Kabarnya hubungan mereka kurang baik sejak berpisah karena memperebutkan Dewi. Padahal saat meninggalkan Pak Nugi dulu, istrinya sudah menyerahkan Dewi pada Pak Nugi karena beliau malu punya anak tuna netra. Tapi ternyata setelah dua kali menikah lagi sejak bercerai dari Pak Nugi, mantan istrinya itu tak bisa punya keturunan lagi. Lalu sekarang ingin mengambil Dewi kembali dari Pak Nugi. Jelas aja Pak Nugi nggak mau, karena ia sudah memelihara Dewi seorang diri sejak Dewi berumur lima tahun saat ia bercerai dari istrinya.” Tyson menjelaskan panjang lebar.

“Ooohh gitu.” Aku manggut-manggut mendengar cerita Tyson di dalam pesawat kecil yang membawa kami ke pedalaman di mana markas kami berada.

‘Kasian juga Pak Nugi. Aku tak menyangka dibalik kesuksesan karir dan limpahan materi, ternyata beliau menyimpan masalah keluarga yang rumit,’ batinku. Namun yang membuatku salut adalah mantan atasanku itu tak pernah meninggalkan salat, bahkan selalu mengingatkan kami para bawahannya untuk menjaga salat di mana pun dan dalam kondisi bagaimana pun.

“Makanya Pak Nugi sedang gencar-gencarnya mencarikan jodoh untuk putrinya. Agar setelah Dewi menikah, mantan istrinya tak pernah berpikir lagi untuk mengambil Dewi dan membawanya ke Jakarta karena sudah ada yang bertanggung jawab atas Dewi.” Ucapan Tyson kembali membuatku sedikit terkejut.

“Kamu kok tau semuanya, Son?” tanyaku menyelidik.

“Aku dulu dekat dengan Pak Nugi, sebelum kamu gabung dengar markas. Beliau sering bercerita tentang keluarganya padaku. Tapi sejak kedatanganmu gabung di markas, beliau kelihatannya lebih tertarik padamu. Padahal aku sempat berkhayal bakal dijodohin dengan putrinya. Meskipun tuna netra, kamu lihat kan body nya Dewi tadi. Uuuhhh ... aduhai ... sintal dan padat, kulitnya juga putih bersih.”

Kulempar wajah mesum Tyson dengan bantal kecil yang ada di dalam pesawat.

“Gimana Pak Nugi mau jodohin ama putrinya, muka kamu mesum gitu!” cetusku tertawa.

Bersambung.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Natasya Putri
sangat menggoda
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status