Namaku Randy Maulana. Aku adalah seorang suami dan ayah dari dua orang putra yang lucu-lucu. Namun sudah setahun belakangan ini aku tak bisa tinggal satu kota bersama istri dan kedua putraku. Profesiku sebagai aparat TNI mengharuskanku hidup terpisah dari anak dan istriku setahun belakangan ini. Aku ditugaskan di pedalaman Papua yang hanya bisa dijangkau dengan pesawat kecil. Di sana juga tak ada singnal telekomunikasi karena letaknya memang masih sangat terpencil. Itu membuatku sedikit kesulitan berkomunikasi dengan Maysa Hannan, istriku, serta Zaid dan Zayn, kedua putraku sejak aku ditugaskan di sana.
Tugasku di pedalaman Papua sungguh sangat berat, kami harus berusaha mengusasai medan yang rumit ditengah incaran kelompok separatis yang kadang tiba-tiba saja muncul dan meneror warga. Sungguh, selama menjadi aparat TNI ini adalah tugas terberat yang harus kulalui. Beberapa orang rekanku bahkan ada yang tiba-tiba saja menghilang dari markas kami lalu kemudian ditemukan sudah dalam keadaan tak bernyawa akibat ulah kelompok separatis yang memang sengaja mengincar pucuk-pucuk senjata kami untuk kemudian dipakai oleh mereka menebar teror serta menggganggu kemananan dan ketenangan warga sipil.
Aku baru bisa berkomunikasi dengan Hannan dan kedua putraku jika kebetulan aku sedang bertugas ke ibukota kabupaten. Di sana ponselku dapat menangkap signal telekomunikasi meskipun kadang masih terputus-putus juga. Setahun bertugas di peladalam Papua membuatku menyadari bahwa sunggun masih banyak Warga Negara Indonesia yang belum bisa merasakan nikmatnya kemerdekaan. Mereka yang berada di sana masih terjajah oleh kemiskinan dan kebodohan. Fasiltas sekolah hanya ada beberapa dan jarak tempuhnya pun berkilo-kilo meter. Fasilitas kesehatan pun demikian, hanya ada puskesmas kecil yang tenaga kesehatannya juga hanya beberapa orang.
Satu hal yang membuatku merasa sedikit terhibur bertugas di sini adalah rasa kekeluargaan yang terbangun antara kami di markas. Kami sudah seperti saudara sendiri, karena kami semua memang jauh dari keluarga masing-masing.
Tiga bulan pertama awal aku bertugas di sini, aku sangat dekat dengan atasan kami di markas. Namanya Budi Nugroho, pria berpangkat Brigjen itu sangat dekat dengan seluruh bawahannya, termasuk aku. Kami kadang tak segan untuk bersenda gurau bersama disela-sela tugas kami, meskipun kami semua tetap menjunjung tinggi semua perintah beliau sebagai atasan kami. Diantara semua pasukan, akulah yang paling dekat dengan beliau, mungkin karena kami berdualah yang paling sering sholat bersama. Pak Nugi, begitu beliau minta disapa, tak pernah melewatkan salat subuh berjamaah di ruangan kecil yang kami fungsikan sebagai musholla. Di sini, tak pernah sekalipun terdengar azan, karena memang tak ada mesjid di sekitar markas kami. Maka kami, terutama aku dan Pak Nugi hanya menggunakan cara-cara tradisional untuk mengira-ngira waktu salat.
Selama memimpin, Pak Nugi sudah beberapa kali berhasil memimpin pasukan kami menguasai markas musuh dan mendesak mundur mereka ke dalam hutan-hutan belantara Papua yang masih alami. Hal itu membuat Pak Nugi menerima penghargaan kenaokan jabatan dan kemudian dipindahkan ke Kota Jayapura, Ibu Kota Provinsi Papua.
Aku dan beberapa orang rekanku pernah sekali berkunjung ke Kota Jayapura ketika kami ditugaskan mengambil sejumlah persediaan makanan dan obat-obatan. Karena masih intens berkomunikasi dengan Pak Nugi, beliau pun saat itu mengundang kami ke rumahnya. Ternyata Pak Nugi memiliki rumah mewah di Kota Jayapura. Yang kudengar dari beberapa orang rekanku, beliau memang tak hanya berprofesi sebagai TNI tetapi juga memiliki beberapa bisnis warisan orangtuanya di Jakarta.
Pada saat memenuhi undangan Pak Nugi, beliau memperkenalkanku dan rekanku pada putri tunggalnya, Dewi Puspita Sari. Tak ada yang istimewa pada gadis berkulit putih mulus yang tampak kontras dengan sebagian besar penduduk asli di Kota Jayapura itu. Kami hanya berkenalan seperti layaknya seorang yang baru berkenalan, aku bahkan tak memperhatikannya setelah itu, meski aku melihat tatapan tak biasa dari ayahnya sewaktu melihatku menyalami putrinya.
Namun cerita dari rekanku yang dijuliki Tyson dalam perjalanan pulang kembali ke pedalaman tempat tugas kami membuatku sedikit terkejut.
“Putri Pak Nugi itu cantik ya, Ran. Sayangnya ia tuna nerta.” Ucapan Tyson waktu itu membuatku terkejut.
“Hahh!!! Tuna nerta? Maksud kamu buta?”
“Iya, dia buta. Kamu nggak liat cara dia jalan setelah berkenalan tadi. Meski ia sudah hapal dengan letak-letak ruangan di dalam rumahnya, namun tetap aja kelihatan jalannya masih mencari-cari arah.”
“Wah, aku nggak perhatiin malah, Son. Tadi abis kenalan ya aku fokus ngobrol dengan Pak Nugi kembali,” ujarku.
“Kamu sih super cuek gitu. Padahal tadi yang kulihat Pak Nugi tersenyum ketika kalian berkenalan. Dengar-dengar kan beliau sedang mencarikan jodoh untuk Dewi. Sepertinya kamu bisa jadi kandidat bagi Pak Nugi.”
“Ah ... gila kamu, Son. Pak Nugi kan tau aku udah punya anak istri di Jakarta. Mana mungkin beliau menjodohkan putri tunggalnya pada laki-laki yang sudah beristri.”
“Ya kan siapa tau masih nyari istri kedua,” sahut Tyson terbahak.”Eh, tapi kamu liat nggak foto yang terpampang di rumah mewah Pak Nugi tadi.”
“Iya, aku liat. Foto Pak Nugi dan putrinya dalam pigura besar itu kan?”
“Kamu nggak penasaran kenapa hanya ada foto Pak Nugi dan Dewi?”
Aku mengeryitkan kening kemudian menggeleng tak mengerti.
“Itu karena Pak Nugi sudah bercerai dari istrinya. Sekarang istrinya tinggal di Jakarta, punya usaha butik yang terkenal di sana. Kabarnya hubungan mereka kurang baik sejak berpisah karena memperebutkan Dewi. Padahal saat meninggalkan Pak Nugi dulu, istrinya sudah menyerahkan Dewi pada Pak Nugi karena beliau malu punya anak tuna netra. Tapi ternyata setelah dua kali menikah lagi sejak bercerai dari Pak Nugi, mantan istrinya itu tak bisa punya keturunan lagi. Lalu sekarang ingin mengambil Dewi kembali dari Pak Nugi. Jelas aja Pak Nugi nggak mau, karena ia sudah memelihara Dewi seorang diri sejak Dewi berumur lima tahun saat ia bercerai dari istrinya.” Tyson menjelaskan panjang lebar.
“Ooohh gitu.” Aku manggut-manggut mendengar cerita Tyson di dalam pesawat kecil yang membawa kami ke pedalaman di mana markas kami berada.
‘Kasian juga Pak Nugi. Aku tak menyangka dibalik kesuksesan karir dan limpahan materi, ternyata beliau menyimpan masalah keluarga yang rumit,’ batinku. Namun yang membuatku salut adalah mantan atasanku itu tak pernah meninggalkan salat, bahkan selalu mengingatkan kami para bawahannya untuk menjaga salat di mana pun dan dalam kondisi bagaimana pun.
“Makanya Pak Nugi sedang gencar-gencarnya mencarikan jodoh untuk putrinya. Agar setelah Dewi menikah, mantan istrinya tak pernah berpikir lagi untuk mengambil Dewi dan membawanya ke Jakarta karena sudah ada yang bertanggung jawab atas Dewi.” Ucapan Tyson kembali membuatku sedikit terkejut.
“Kamu kok tau semuanya, Son?” tanyaku menyelidik.
“Aku dulu dekat dengan Pak Nugi, sebelum kamu gabung dengar markas. Beliau sering bercerita tentang keluarganya padaku. Tapi sejak kedatanganmu gabung di markas, beliau kelihatannya lebih tertarik padamu. Padahal aku sempat berkhayal bakal dijodohin dengan putrinya. Meskipun tuna netra, kamu lihat kan body nya Dewi tadi. Uuuhhh ... aduhai ... sintal dan padat, kulitnya juga putih bersih.”
Kulempar wajah mesum Tyson dengan bantal kecil yang ada di dalam pesawat.
“Gimana Pak Nugi mau jodohin ama putrinya, muka kamu mesum gitu!” cetusku tertawa.
Bersambung.
Dua bulan setelah aku dan Tyson berkunjung ke rumah Pak Nugi, terjadi kontak senjata lagi antara TNI dan Polri dengan kelompok separatis. Salah satu rekan kami bahkan gugur dalam inseiden tersebut, dan kelompok seperatis bisa menguasai markas kami di pedalaman. Kami yang terdesak mundur kemudian menghubungi ke Ibu Kota Kabupaten dan Ibu Kota Jayapura. Bantuan segera datang beberapa jam setelahnya. Sebuah pesawat kecil yang mendarat membawa pasukan yang diturunkan khusus untuk membantu kami.Yang membuatku tercengang adalah sosok Pak Nugi yang berada di antara mereka. Rupanya beliau memilih memimpin langsung pasukan bantuan yang dikirim dari Jayapura. Mungkin karena beliau merasa sudah lebih menguasai medan karena pernah memimpin markas kami di sini.Malam hari yang mencekam gelap gulita tanpa cahaya ketika markas terbaru kami kembali menerima teror penembakan dari arah hutan belantara Papua. Insting prajurit kami segera muncul. Aku dan rekan-rekanku, termasuk juga Pak Nugi langsung me
PoV Hannan.“Izinkan aku mendua, Bun. Aku berjanji akan bersikap adil seadil-adilnya.” Aku terkesiap, tega-teganya lelaki ini berkata seperti itu padaku. Dadaku merasa sesak oleh permintaan tak masuk akalnya.“Ceraikan aku!!!” ucapku dengan nafas tersengal.Sakit sekali rasanya mendengar permintaan suami untuk yang meminta izin untuk mendua. Masih punya perasaan kah lelaki di hadapanku ini hingga tega meminta izin untuk mendua? Seolah itu hanya permintaan biasa, padahal ada goresan luka di dalam hatiku mendengar permintaannya itu.“Aku tak akan menceraikanmu!”Aku baru saja hendak menjawabnya ketika Zayn putra bungsuku tiba-tiba saja sudah muncul di depan hadapanku.“Ayah? Ayah pulang? Yeee Ayah pulang!” seru balita itu sambil menyerbu ke dalam dekapan ayahnya. Aku berusaha tersenyum pada Zayn ketika bocah itu menatapku berbinar-binar dalam dekapan ayahnya.“Bunda napa nggak bangunin Zayn tadi? Kan Zayn bica main lama-lama cama ayah,” protesnya padaku.“Bunda baru aja mau bangunin Ab
Aku mengelak dan semakin menjauhkan diriku dari Bang Randy ketika lelaki itu menggeser duduknya lebih mendekat padaku. Ia menetapku tajam.“Percayalah padaku, Bun. Aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku akan mengajukan pengunduran diri dari TNI, dan mengurus usaha ayah Dewi. Dengan begitu aku bisa pulang dan bertemu Bunda dan anak-anak kapanpun aku rindu.”Hatiku semakin terhimpit oleh sesaknya luapan perasaanku.“Abang pikir aku boneka yang tak punya perasaaan? Abang pikir aku masih akan merindukanmu setelah kamu menduakanku? Hebat sekali perempuan itu bisa mengubahmu secepat ini, Bang? Kamu sudah lupa bagaimana perjuanganmu dulu demi lulus menjadi anggota TNI dan mewujudkan cita-citamu? Kamu berubah, Bang! Aku tak mengenalimu lagi.”“Bun, keadaan berubah setelah aku merasakan beratnya tugas di pedalaman. Aku harus loyal pada kesatuanku sedangkan hatiku kadang memberontak terisi kerinduan pada keluargaku. Kurasa ini adalaha jalan keluar bagi kita, Bun. Aku akan membantu Dewi men
Pov Randy.Fajar belum lagi menyingsing ketika aku terpaksa harus kembali meninggalkan istriku Hannan dan kedua putraku di rumah sederhana peninggalan mendiang orangtua Hannan yang sudah kami tinggali bersama selama 8 tahun. Kedua putraku, Zaid dan Zayn bahkan masih terlelap dalam tidurnya ketika aku sudah harus berangkat lagi. Meski masih merasa berat meninggalkan mereka bertiga, namun statusku yang masih sebagai aparat TNI aktif mengharuskanku untuk tetap menjunjung tinggi kedisiplinan.Sebenarnya kepulanganku kali ini benar-benar menyisakan masalah baru dalam hubunganku dengan Hannan. Bagaimana tidak, wanita yang sudah kunikahi selama 8 tahun ini meminta bercerai dariku. Aku paham, keputusanku untuk menduakannya dengan menikahi Dewi pastilah melukai hatinya. Tapi justru itulah aku rela datang walau cuma beberapa jam untuk bertemu langsung dengannya dan menjelaskan semuanya, sekaligus meminta izinnya untuk hubunganku dengan Dewi. Namun ternyata Hannan tetap tak bisa menerima semua a
Pov Dewi.Kepergian mendadak ayahku yang menjadi korban kontak senjata dengan kelompok separatis di pedalaman membuatku sangat terpukul. Meski sedari kecil ayah sudah mendidikku untuk selalu siap kehilangannya sewaktu-waktu karena tugas beliau sebagai seorang aparat TNI. Namun, tetap saja kepergiannya membuatku kehilangan. Ayahku adalah sosok yang sangat luar biasa bagiku, aku tumbeh besar bersamanya, tanpa kasih sayang ibuku. Ayah dan Ibuku telah berpisah sejak aku kecil. Ibuku meninggalkanku dalam asuhan ayah setelah mereka bercerai. Bukan tanpa sebab, Ibuku tak mau mengasuhku sebab kabarnya beliau malu punya anak buta. Ya, aku memang buta sejak dilahirkan. Aku tak pernah melihat indahnya dunia ini.Satu hal yang patut kusyukuri adalah Ayahku yang meski disibukkan dengan pekerjaannya sebagai aparat Negara, beliau tetap memberi perhatian penuh padaku. Bahkan semua orang-orang yang ada di sekelilingku adalah orang-orang yang dipilh ayah secara langsung. Ayah seolah mempunyai insting t
Pemakaman ayahku berlangsung khidmat dengan prosesi militer. Meski tak dapat melihat, tapi aku tau begitu banyak yang melepas kepergian ayahku di taman makam pahlawan. Banyak sekali yang datang mendekat dan menggenggam tanganku memberi kekuatan, meski aku hanya mengenal beberapa orang di antaranya lewat suara mereka, namun dukungan yang terus mengalir padaku membuatku sedikit terhibur.Ibuku pun hadir di antara para pelayat, beliau langsung terbang dari Jakarta bersama suaminya beberapa saat setelah mendengar kabar meninggalnya ayahku. Om Ardi, pamanku, adik kandung satu-satunya dari ayahku juga datang bersama dengan istrinya dari Jakarta. Itu semua membuatku merasa tak sendirian di tengah kegelapan dan kesedihan karena kepergian ayah.Lalu ketika kami semua sudah kembali ke rumah, tak kusangka ibuku justru mnegatakan hal-hal yang membuat emosiku naik. Tega sekali wanita yang telah melahirkanku itu langsung membahas semua perusahaan milik ayah di Jakarta pada saat kami masih dalam sua
Pov Randy.Setelah pemakaman Pak Nugi di Taman Makam Pahlawan, aku dan beberapa rekanku masih kembali ke rumah beliau bermaksud untuk berpamitan sebelum kami kembali ke tempat tugas. Aku sendiri punya niat tersendiri ke sana, aku harus bertemu Dewi. Tadi pagi ia mengatakan ada hal yang harus dibicarakannya denganku seusai pemakaman ayahnya.Beberapa kerabat Pak Nugi memang masih terlihat berada di rumahnya, namun aku tak melihat sosok gadis tuna netra itu. Dengan memberanikan diriku, aku mencoba masuk kedalam rumah besar dan mewah milik Pak Nugi. Aku sudah pernah ke rumah ini bersama Tyson beberapa bulan yang lalu, jadi aku sudah tak asing lagi dengan letak ruangan di rumah Pak Nugi.Aku menghentikan langkahku ketika mendengar percakapan serius di ruang keluarga. Entah mengapa firasatku mengatakan aku harus menguping pembicaraan ini, aku memilih diam-diam menyimaknya dari balik tembok. Ternyata ibu dan ayah tiri Dewi sedang berusaha membujuk putrinya untuk ikut bersama mereka ke Jakar
PoV Hannan.Hari-hariku tetap kulalui seperti biasa dengan kedua putraku. Sejak keberangkatan terakhir Bang Randy subuh itu, hanya sekali ia menghubungiku melalui pesan singkat yang mengabarkan jika ia sudah tiba kembali di Papua namun aku memilih tak membalas pesannya. Pada salah satu sahabatku di perkumpulan Ibu-Ibu Persit – sebutan bagi istri para aparat TNI – kuceritakan tentang keadaanku sekarang serta niatku untuk menggugat cerai Bang Randy.Semua foto-foto dan video yang sampai sekarang belum kuketahui siapa yang mengirimkannya di ponselku waktu itu kusimpan rapi untuk kijadikan bukti. Tekadku sudah bulat, hampir setiap malam setelah Bang Randy kembali ke Papua aku bangun dan mendirikan salat di sepertiga malam untuk meminta petunjuk pada Yang Kuasa tentang kondisi rumah tanggaku. Tak terhitung sudah berapa tetes air mataku yang tumpah ruah di atas sajadah di dalam kesunyian malam demi mendapatkan petunjuk dari Sang Penciptaku. Lalu semakin hari, hati terasa makin dimantapkan u