Share

Maafkan Aku

Penulis: Siti Aisyah
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-24 15:51:17

Mataku terasa panas karena bulir bening ini terus menetes tiada henti. Setiap kali kuseka menetes lagi hingga aku merasa mataku bengkak dibuatnya.

Rasa dingin terkena gerimis tidak ku rasakan lagi akibat rasa malu dan penyesalan yang begitu dalam.

Aku malu pada Arum yang dulu sangat kubenci, tetapi dia malah mau menerimaku. Ya Allah, ternyata bidadari tidak bersayap itu memang benar-benar ada di dunia nyata dan menantuku adalah salah satunya. Namun, aku tidak pernah menyadarinya.

"Tangan Ibu dingin sekali. Bajunya sudah basah. Sebaiknya Ibu ganti baju dulu agar tidak masuk angin," kata Arum setelah menyentuh lengan bajuku.

Nyeri hati ini melihat Arum yang begitu perhatian.

"Mas, ajak Ibu masuk. Aku akan menyiapkan air hangat untuk Ibu." Arum berbalik.

"Ayo, Bu." Nasrul menggandeng tanganku.

Kakiku terasa berat seolah ditindih batu besar saat melangkah memasuki rumah kontrakan sederhana bercat kuning yang sepertinya catnya baru diperbarui. Bau cat masih tercium tajam.

Di saat para kakaknya tinggal di rumah bertingkat yang mewah dengan segala fasilitasnya, Nasrul harus tinggal di rumah kecil seperti ini dan model serta sama dengan rumah di samping kanan kirinya. Ya Allah, betapa zalimnya aku sebagai orang tua.

"Ayo, Bu." Nasrul menarik tanganku karena aku masih bergeming di tempat.

"Ibu nggak mau masuk karena rumahnya kecil? Ya udah, nggak apa-apa." Nasrul melepas pegangan tangannya. Meski mataku berkabut dan seolah dipenuhi kaca tebal, tetapi aku masih dapat melihat kalau di wajahnya tersirat kekecewaan.

Kuusap wajahku dengan kasar. "Bukan begitu, Nas. Sebenarnya Ibu malu bertemu denganmu," ucapku dengan suara parau.

"Malu kenapa, Bu? Aku ini anakmu. Tiga puluh tahun yang lalu aku adalah bayi mungil yang Ibu su sui dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang, kenapa Ibu harus malu bertemu denganku sekarang?"

Dadaku semakin terasa sesak. Dia tetap menganggapku Ibu meski sudah kuabaikan. Ya Allah, apakah pantas seorang ibu sepertiku memiliki anak sebaik Nasrul?

Aku memindai ruang tamu yang tidak terlalu luas, tetapi menurutku cukup enak dipandang mata. Ternyata Arum sangat pintar menata ruangan sempit itu menjadi terlihat luas dan nyaman.

Lidahku terasa kelu saat melihat sebuah foto terpasang di dinding berwarna oranye itu.

"Bapak." Air mata yang tadi sempat berhenti kini mengalir lagi melihat fotoku bersama suamiku yang dibingkai figura ukir terpasang di dinding.

"Nasrul, kenapa kamu pasang foto Ibu yang tidak pantas dipanggil Ibu sepertiku?" ucapku lirih. Aku mengusap foto berlapis kaca itu dengan tangan gemetar lalu jatuh terduduk seolah kaki ini tidak sanggup menopang tubuh.

Aku tergugu.

Nasrul mengusap kedua pundakku dan membimbingku untuk duduk di kursi. "Aku memasang foto bapak dan ibu agar selalu ingat dan sebagai penyemangat saat rasa malas mulai mendera. Aku ingin menjadi orang sukses agar ibu bangga pernah melahirkan aku di dunia ini dan membesarkan ku hingga seperti sekarang ini meski pada kenyataannya keadaanku masih jauh dari harapan."

Ya Allah ...

Nasrul menjadi seperti ini karena aku yang tidak memberinya modal sama sekali.

Aku semakin terisak. Tidak tahu mau apa dan bilang apa. Suasana menjadi hening, hanya terdengar isakan tangisku yang semakin menjadi.

"Air hangatnya sudah siap, Bu," kata Arum memecang keheningan.

Aku mendongak. Wanita itu, dia menantu yang tidak pernah kuharapkan kehadirannya dalam kehidupan anak lelakiku. Sekarang ... Dia memperlakukan aku yang berdosa ini dengan sangat manis.

Nasrul mengangguk dan menunjukkan di mana kamar mandi berada.

Aku memasuki kamar mandi minimalis tanpa bak permanen. Hanya ember besar berwarna hitam sebagai penampung air dengan kran di atasnya serta sebuah kloset yang berada dalam ruangan yang sama.

Sebuah ember berisi air yang mengepulkan asap berada di sana. Melihat air panas membuat air mataku kembali mengalir membasahi pipi. Bayangan kejahatan yang pernah kulakukan pada Arum kembali terbayang di pelupuk mata.

"Apa yang kamu lakukan, Rum?" tanyaku saat wanita itu tengah menyalakan kompor dengan panci berisi air di atasnya. Waktu itu Nasrul dan Arum tengah berkunjung ke rumahku. Dia datang bersama anaknya yang masih berusia satu tahun.

"Aku mau menjerang air untuk mandi Salsa, Bu," jawabnya.

Buru-buru aku mematikan kompor yang sudah menyala itu. "Sayang gasnya kalau hanya dipakai untuk masak air buat mandi,"

"Tapi, Bu. Aira tadi juga mandi pakai air hangat padahal dia jauh lebih besar," sanggah Arum.

"Jangan samakan anak Nella dengan anakmu yang lambat berkembang itu," ucapku ketus dan sambil berlalu.

Sebelum keluar dari kamar, aku memberi peringatan lagi untuknya. "Ingat, jangan coba-coba memandikan Salsa pakai air hangat!"

Rasa tidak suka pada Arum semakin menjadi ketika Salsa yang sudah berusia satu tahun belum bisa berjalan dan berbicara. Bagiku, anak berusia satu tahun yang belum bisa berjalan dan berbicara adalah sebuah aib karena anak-anak Nella dan juga Irwan sudah bisa berjalan di usia itu.

Kuhela napas dalam-dalam. Dengan hati-hati aku menambahkan air dingin pada ember berisi air panas itu.

Saat tangan ini menyentuh air yang sudah menjadi hangat, bayangan Arum kembali melintas.

Arum ... Kenapa kau tidak membenciku atau mengusirku saja agar rasa bersalah ini tidak semakin dalam?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Bahagia

    Jenny telah selesai diperiksa dokter dan wanita itu memenuhi syarat untuk mendonorkan darah. Kini, wanita berambut pendek itu tengah berbaring di sebuah ranjang kecil dan siap diambil darahnya untuk menyelamatkan sang anak yang kini sedang lemah tidak berdaya."Tunggu, Dok!" Nella memaksa masuk ruangan di mana ada Jenny dan petugas kesehatan. "Saya tidak rela Alva menerima darah dari wanita yang jelas-jelas telah membuatnya celaka. Saya baru saja menghubungi kakak saya dan dia juga memiliki golongan darah O. Dia akan datang satu jam lagi." Nella menatap tajam Jenny yang sedang berbaring dengan seorang petugas di sampingnya. Tangan Jenny mencengkeram tempat tidur. Sebegitu burukkah dirinya di mata Nella sehingga ia harus curiga padahal dia benar-benar tulus ingin menolong buah hatinya. Dokter dan perawat saling pandang. "Satu jam? Bu Nella bilang orang yang akan mendonorkan darah untuk Alva datang satu jam lagi?" dokter itu mengulangi pernyataan Nella yang dijawab dengan anggukan.

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Selamatkan Anakku

    "Nella, Jelaskan pada mama kenapa Alva bisa tidak mengenali Jenny? Bukankah kamu selalu membawanya ke penjara agar mereka berdua saling dekat?" tanya Hanum dengan dahi berkerut. Setelah Jenny datang dan ingin meminta kembali anak yang selama lima tahun dia anggap dititipkan. Nella menghubungi Hanum serta saudara-saudaranya--Erwin dan Nasrul serta ibu kandungnya. Wanita itu butuh pendapat dan dukungan dari orang terdekatnya. Jadilah rumah Nella menjadi ramai . Nella menelan ludah. Tatapan matanya tertuju ke luar pada hamparan rumput Jepang yang hijau. Setelah itu mendongak menatap langit yang tiba-tiba mendung seirama dengan perasaan hatinya yang ketakutan akan kehilangan anak kecil yang selama ini menemani hari-harinya itu."Setiap bulan datang bersama Alva?" Bukan Nella yang menjawab, tetapi Jenny. Hanum mengangguk. Memang kenyataannya seperti itu. Setiap bulan Nella bilang ke penjara untuk menjenguk Jenny bersama Alva karena ingin mendekatkan pada ibu kandungnya. "Nella tidak

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Dia Datang

    Matahari bersinar cerah di pagi hari. Cahayanya yang hangat menerobos jendela kamar Nella. Wanita yang baru saja selesai memandikan Alva itu tersenyum melihat anak kecil itu sedang berbaring sambil memegang botol susu. kedua kakinya yang seperti roti pisang itu bergerak-gerak. "Kau sangat manis, Sayang. Bagaimana mungkin aku bisa berpisah denganmu?" Nella membungkuk dan membelai rambut Alva yang tebal dan halus. Ditatapnya penuh cinta kedua bola mata bulat yang jernih itu. "Bu Nella serius melarang saya mengambil ASI lagi?" tanya Ari--orang yang bertugas mengambil ASI di penjara setelah Nella memberi uang dan mengatakan itu adalah gaji terakhirnya. Nella yang sedang menyuapi Alva mengangguk. Iya, wanita itu sudah memutuskan tidak memberikan ASI pada Alva lagi. Dia tidak mau anak laki-laki yang sudah ia anggap seperti anak sendiri itu menggantungkan hidupnya pada mamanya sendiri. ASI dari Indira yang melimpah sudah cukup sehingga tidak perlu mengambil lagi dari Jenny. Apalagi Alva

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Telanjur Sayang

    Sesekali Nella menoleh dan mengawasi bocah laki-laki yang sedang belajar berjalan di atas rumput hijau di halaman rumahnya. Bocah bertubuh gendut itu sesekali jatuh, tetapi berusaha bangkit lagi. Dapat dua langkah jatuh, bangkit lagi, dan begitu seterusnya. Mata Nella memanas, melihat bocah kecil memakai celana biru dan kaus putih bergambar mobil itu mengingatkan tentang hidupnya yang tidak selalu berjalan mulus. Anak kecil yang sedang belajar berjalan adalah gambaran kehidupan manusia. Sebelum bisa berjalan dengan tegak, harus diawali dengan jatuh, jatuh, dan jatuh lagi. Lalu berusaha bangkit agar bisa berjalan hingga berlari. "Mama!" Suara khas Alva membuat Nella tersenyum. Wanita berambut sebahu yang sedang menyiram bunga itu meletakkan ember lalu melambaikan tangan pada jagoan kecil yang memanggilnya dengan suara yang menggemaskan. Alva kecil tersenyum memperlihatkan giginya yang berjumlah delapan. Empat di bawah dan empat lagi di atas. Nella berjongkok. Kedua tangannya tere

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Kesanggupan

    "Tidak ada pilihan lain, Bu. Cucu ibu tidak bisa menerima makanan selain ASI," ucap dokter Ana setelah memeriksa kondisi Alfa. Alva sudah diberi susu soya, tetapi masih muntah juga. Tubuhnya semakin lemah sehingga terpaksa dimasukkan ke dalam inkubator untuk menunjang kehidupannya. Hanum meremas-remas jari tangannya sendiri. Rasa iba merajai hati melihat cucu laki-lakinya yang lemah, sementara dia sendiri hanya mampu melihatnya dari balik kaca tanpa bisa memeluknya. "Menurut perkiraan saya, bayi ini sempat mendapatkan ASI sebelum diserahkan ke Ibu." dokter paruh baya Itu kembali menjelaskan. Mata Hanum melebar sempurna. "Diberi ASI? Jenny mau menyusui anaknya ini?" Hanum menggeleng. "Itu tidak mungkin, Dok,"Dalam bayangan Hanum, Jenny sangat membenci bayi yang ia lahirkan itu. Jangankan menyusui layaknya seorang ibu pada umumnya, melihat pun wanita itu pasti sudah sangat muak karena teringat dengan lelaki yang telah menanam benih di rahimnya tanpa mau bertanggung jawab. Bisa

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Secuil Harapan

    "Apa? Mas Wirya sudah meninggal?" tanya Jenny dengan nada tinggi dan mata melebar sempurna. Mira mengangguk lemah. Ditatapnya lekat-lekat anak perempuan satu-satunya itu.Anak perempuan yang ia gadang-gadang dapat mengangkat derajat orang tuanya saat lima tahun lalu minta izin berangkat ke kota untuk mengadu nasib dengan harapan dapat mengubah keadaan. Manusia memang boleh berencana dan meminta, tetapi tetap Yang Maha Kuasa lah yang menentukan segalanya. Dulu, Mira berharap hidup bahagia dan berkecukupan di hari tua jika Jenny menjadi orang sukses di kota. Namun, melihat kondisinya sekarang, harapan itu musnah sudah. "Ibu jangan khawatir, setiap bulan aku akan mengirim uang yang banyak karena aku sudah diterima kerja di sebuah perusahaan besar," kata Jenny saat pertama kali menelepon ibunya yang selalu mengkhawatirkan dirinya. Ucapan Jenny bukan hanya isapan jempol belaka. Setiap bulan ia rutin mengirim uang pada wanita yang sangat berjasa dalam hidupnya itu. Mira sangat senang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status