"Maksud Kak Henny gimana, ya?" Dengan tatapan berubah kaget dan bingung Adisti melihat pada Hanny. "Haa ... haa ...." Hanny tidak menjawab malah ngakak selebar-lebarnya. "Cantik, jangan terlalu jauh mikirnya!" Adisti kembali duduk, sambil terus memperhatikan Hanny. "Pak Bos itu memang tampan, keren, mempesona, dan aduhai." Hanny melanjutkan. "Tapi bukan berarti dia itu pria mesum, kalau itu yang kamu pikir, Sayang." Mendengar ucapan Hanny, Adisti sedikit lega. Walaupun dalam hati dia berseru, "Woi, ga mesum tapi main seru-seruan terus kalau ketemu ceweknya!" "Dia itu tipe pria setia. Emang sih, kadang rada hot sama Bu Rima. Tapi ya sama pasangannya aja. Dia baik sama semua, super baik kadang. Makanya itu calon istrinya suka heboh kayak cacing kepanasan kalau Pak Vernon dikit perhatian sama karyawan wanita." Adisti menggembungkan pipinya dan sekaligus menaikkan alisnya. Seketika dia ingat saat pertama melihat Vernon dan Rima di tepi jalan kapan hari. Sangat mungkin pertengkaran me
Adisti hanya melongo, tidak percaya yang dia dengar. "Adisti cahaya matahari!" Panggilan itu terdengar keras. Adisti mengerjap-erjap lalu mengembalikan kesadaran. "Tidak apa, Pak. Saya pesan ojek online saja." Adisti segera mengeluarkan ponsel dan mencari aplikasi transportasi online yang dia simpan. "Yakin?" Vernon menatap Adisti. "Iya, terima kasih." Adisti melebarkan bibirnya. Lalu kembali sibuk dengan ponsel di tangan. Vernon memperhatikan Adisti, lalu melihat ke atas, ke langit melalui kaca jendela mobilnya. "Adis, hujan turun. Sampai kampus basah ga lucu, kali." Vernon bicara dengan tenangnya. "Ah, itu ...." Adisti mengangkat kepalanya. Aneh juga langit tiba-tiba mulai gelap. "Mendung tidak berarti hujan, Pak." Dada Adisti berdebaran tiba-tiba. "Haa ...!! Kamu malah berpuisi! Baiklah, terserah kalau menolak sebuah pertolongan." Vernon mengangkat bahu. Kaca jendela mobil kembali naik dan tertutup. Adisti balik memelototi ponsel. Belum sampai dia benar-benar memes
Kelas segera senyap. Mahasiswa tidak punya pilihan kecuali ikut maunya dosen. Seperti yang lain, Adisti pun mengeluarkan secarik kertas dan bersiap memberikan jawaban untuk lima pertanyaan yang akan diajukan sang dosen. "Sial, semalam ga baca buku sama sekali," ucap Ernita lirih. "Drakor atau Dracin?" balas Adisti setengah berbisik. Kesukaan Ernita nonton drama dari mancanegera. "Nanggung, Dis, sisa empat episode doang. Daripada kebayang-bayang ending ceritanya." Mulut Ernita manyun. Adisti tertawa sambil menutup mulut dengan tangan. "Nomor satu!" Suara menggelegar sang dosen memaksa semua kelas memasang telinga. Soal mulai diperdengarkan. Adisti menarik napas panjang. Untung, yang dosen tanyakan sempat dia baca dari buku panduan kelas. Mudah-mudahan soal yang berikut pun sama, bisa Adisti jawab. Tidak sampai sepuluh menit selesai sudah kuis digelar. Dosen meminta mereka saling menukarkan jawaban dan di-cross check bersama. Kembali terdengar suara. Awalnya gemerisik kecil, makin
Adisti belum beralih menatap pada deretan huruf yang terpasang di dada kiri petugas keamanan di depannya. Nama itu, 'Prawira Sanjaya', seketika mengingatkan Adisti pada pria yang selama ini dia rindukan, yang kepadanya Adisti telah berdosa besar. Nama itu mirip sekali dengan nama ayahnya, Prawira Sukmajaya'. "Jadi gitu, Mbak. Nanti kalau sudah selesai di-service, saya akan informasikan," tegas Prawira meyakinkan Adisti dia akan menolong mengurus motor itu. "Eh, iya, Pak Prawira. Terima kasih banyak." Adisti kembali tersadar dan segera menjawab. "Boleh kunci motornya, Mbak?" ujar Prawira. "Baik, eh ...." Adisti membuka tasnya mencari kunci motor. Setelah mendapatkannya, dia serahkan pada Prawira. "Siap. Mbak bisa lanjut, silakan." Tangan Prawira teracung menuju ke arah kantor. "Iya, Pak. Sekali lagi terima kasih." Adisti mengangguk, lalu melangkah menuju ke gedung megah di depannya. Masuk ke dalam gedung itu, menuju lantai tempat dia bekerja, Adisti bukan langsung ke ruangannya.
Selesai dari kantor Angga, Adisti kembali ke tempatnya dan mulai melakukan pekerjaannya. Adisti berusaha fokus dengan yang dia lakukan. Ada event tiga bulan berturut-turut yang diikuti kantor untuk promosi produk dan meningkatkan penjualan. Adisti tidak bisa main-main. Meskipun masih baru, dia dituntut untuk profesional. Tidak bisa berlagak belum tahu lalu minta dimaklumi jika ada kekeliruan. Bagaimanapun dia akan dituntut kerja maksimal seperti yang lain. Sayangnya, sesekali Adisti terganggu dengan bayangan Vernon. Semakin sering bertemu dan melihatnya, Vernon tampak begitu mengagumkan di mata Adisti. Entah kenapa gerak-gerik pria itu sangat melekat di hatinya. Adisti suka memperhatikannya. Cara Vernon bicara, saat dia tersenyum dan tertawa. Suaranya yang kadang renyah, kadang juga berwibawa. Perhatian dan kebaikannya pada karyawan, semua membuat Adisti melihat sisi keistimewaan Vernon. "Halo, Pak Bos. Oke, understood." Hanny menerima panggilan interkom dari Vernon. Dia menoleh pada
Adisti merasa ada yang mencekat di lehernya. Dia tidak tahu harus menjawab bagaimana pertanyaan Vernon. Jika dia katakan Felicia putrinya, pasti akan muncul pertanyaan lain. Jika dia bilang Felicia adiknya, dia seperti mengingkari kenyataan dia adalah seorang ibu. "Beda jauh ya, umur Cia sama kamu. Sepertinya lebih dua puluh tahun." Vernon mulai memikirkan. Dia menoleh pada Adisti. "Lebih cocok jadi anakmu rasanya. Dia adik atau keponakan?" Jantung Adisti makin tidak karuan dengan pertanyaan itu. Bagaimana dia menjelaskan semuanya? Tepat saat itu mereka hampir sampai di sekolah Felicia. Di depan mereka tampak gedung besar tempat Felicia bersekolah. Terlibat kesibukan anak-anak kelas TK yang pulang sekolah. Ini jam Felicia pulang juga. "Cia pulang jam berapa?" Vernon melanjutkan lagi ke pertanyaan lain. "Ini jam dia pulang sebenarnya." Adisti tidak mungkin berbohong. "Ah, bagus kalau begitu. Kita ajak saja sekalian." Vernon tersenyum lebar. Adisti menatap Vernon. Ini bos kenapa?
Jantung Adisti seperti mau copot mendengar Felicia dengan polosnya bicara pada Vernon. Kalau bisa, Adisti ingin lenyap tenggelam ke dasar bumi. "Ingin punya ayah?" Vernon menatap dua mata bening di depannya itu. Lalu dia alihkan pandangan pada Adisti. "Cia, tadi belum pipis, kan? Ayo, pipis dulu. Kita ke toilet." Adisti berdiri dan dengan cepat menuntun Felicia menuju kamar kecil. Sebenarnya bukan karena Felicia pingin buang air kecil, tapi Adisti tidak tahu harus bersikap bagaimana di depan Vernon. Mau tidak mau, Felicia manut pada ibunya. Selesai urusan kamar kecil, sebelum kembali ke meja mereka, Adisti bicara pada Felicia. "Sayang, ga usah bicara soal ayahmu di depan Om Vernon. Oke?" Adisti memastikan Felicia mendengar yang dia katakan. "Kenapa?" Felicia bingung dengan yang ibunya ucapkan. "Pokoknya ga usah bicara soal ayah lagi." Adisti tidak tahu bagaimana membuat Felicia mengerti. Nada suara Adisti sedikit naik, membuat Felicia langsung ciut. Dia mengerti ibunya marah. "
"Itu rumahku, Om! Besar!" Felicia dengan wajah gembira menunjuk rumah besar di ujung jalan yang tinggal seratus meter di depan mereka. "Kos Ibu Meity?" Vernon membaca papan nama di depan rumah besar itu. "Iya, Pak. Ibu Meity pemilik kos-kosan wanita ini. Aku beruntung bisa tinggal di sini gratis. Dia jadikan karyawan saat pertama masuk ke rumah ini." Adisti menjelaskan. "Ah, begitu. Ramai berarti rumah kalian." Vernon memperhatikan suasana rumah. Tampak sepi. Mobil berhenti di pinggir jalan. Vernon sengaja tidak masuk ke halaman karena dia tidak akan lama di situ. "Om, ga boleh masuk ke dalam, hanya di teras. Soalnya rumahnya buat cewek aja." Felicia langsung memberi informasi aturan di tempat kos itu. "Om ga turun kok, harus cepat balik kantor. Lain kali saja, ya?" kata Vernon. "Oke, Om. Tapi tunggu dulu, aku udah janji mau kasih sesuatu." Dengan cepat Felicia turun dari mobil dan berlari kecil masuk ke rumah. "Pak, saya mau lihat Cia sebentar. Bapak tidak apa duluan kalau ...