Dengan rasa marah meluap hingga ke ubun-ubun, Vernon melangkah cepat masuk ke rumah orang tuanya. Di ruang depan, Savitri dan Rima tampak duduk berbicara dengan senyum ceria di wajah mereka. Di tangan mereka ada lembaran warna merah berpadu emas, undangan pernikahan Vernon dan Rima. Vernon melangkah masuk. Melihat Vernon, mereka tersenyum lebar dan menyapa riang. "Vernon! Lihat, undangan pernikahan kamu dan Rima! Cantik sekali!" Savitri mengangkat lembaran di tangannya, menunjukkan pada Vernon. Bukan balasan senyum yang Vernon berikan. Wajah marah jelas terpampang di sana. Vernon berdiri di depan Savitri dan Rima. "Kamu kenapa, Sayang?" Rima terkejut dengan sikap Vernon. "Aku tidak perlu menjelaskan kenapa. Kamu yang harus menjelaskan padaku, ini apa?!" Dengan kasar Vernon melempar amplop di tangannya ke atas meja di depan Rima. Rima dan Savitri menatap Vernon dengan bingung. Savitri menarik amplop mendekat ke arahnya, dan mengeluarkan isi amplop itu. Begitu melihat isinya, tanga
"Adisti!!" Suara keras Hanny memaksa Adisti menjauhkan benda pipih yang menempel di telinganya. "Ih, Kak, jangan kenceng gitu. Sakit telingaku!" Adisti bicara dengan cemberut. "Kamu tahu kabar terbaru? Heboh, mengejutkan, membingungkan, dan ini spektakuler!!" Hanny bicara dengan cepat seolah tidak sabar ingin menumpahkan semua yang ada di otaknya. "Apaan, sih? Ngomong yang jelas, Kak. Kayak kereta ngebut, bikin aku ga dengar malahan." Adisti masih cemberut. "Pak Bos. Eh, bukan. Ini soal Bu Rima. Aduh, kamu buka sosmed, deh, Cinta. Lagi viral. Kayaknya bentar lagi dunia maya meledak karena dia." Hanny makin seru bicara. "Kak Hanny kasih tahu aja, ada apa? Biar aku paham, ga melayang-layang ga jelas di kepala," ujar Adisti. "Adisti Cahaya Matahari!" Hanny mulai terbiasa mengikuti cara Vernon memanggil Adisti. Dan hati Adisti berdetak cepat begitu saja saat namanya disebut dengan panggilan itu. "Dengar baik-baik. Bu Rima, ternyata ... dia suka main sama pria lain. Ih, jijay aku li
Adisti tak percaya mendapat pesan dari Vernon. Segera dia membuka pesan itu. - Adisti, rumah es krim. Sekarang. Aku tunggu. Jangan bilang siapapun. "Aneh. Kok, Pak Vernon minta ketemu aku? Tapi dia ...." "Dis, kenapa?" Hanny menepuk lengan Adisti. "Eh, bentar, Kak." Adisti berbalik dan kembali menemui Lestia. "Mbak Lesti, aku izin, penting dan mendesak. Aku harus urus sesuatu. Nanti aku ganti jam kerja. Ya, please?" Adisti meminta dengan memelas. "Urusan apa? Katanya mau balik kerja?" Lestia meminta penjelasan. "Ga bisa jelasin aku. Mbak, please ... Ya?" Adisti membujuk Lestia. "Baiklah. Kali ini aku baik hati. Lain kali tanpa penjelasan aku akan beri SP." Lestia menatap tajam pada Adisti. "Aaiisshhh ... Mulai sok galak? Baru berapa hari jadi manajer." Hanny mencibir. "Apa kamu bilang? Mau jadi yang pertama aku kasih SP?" Lestia melotot pada Hanny. "Iihh, atuttt!!" Hanny pura-pura ketakutan. "Makasih, Mbak. Aku pergi," sahut Adisti lega. Adisti segera mengambil tasnya dan
Es krim untuk Adisti datang. Pelayan menyuguhkan di depannya. Cantik dan menggoda selera seperti biasa. Sayangnya, Adisti tidak ingin menyentuhnya. "Ayo, makanlah. Aku merasa lebih tenang setelah menikmati es krim. Dan aku jadi suka es krim kesukaan kamu. Avocado. Padahal sebelumnya, aku ga terlalu suka rasa avocado." Vernon memandang Adisti, mencermati wajah ayu itu, yang makin melekat di hatinya. "Ga pingin makan. Cuma pengin Bapak baik-baik saja." Mata Adisti berkaca-kaca. "Aku sudah lebih baik. Jadi, jangan khawatir. Kalau kamu ga makan es krimnya, kita ga bisa lanjut urusan selanjutnya. Aku mau hari ini satu langkah awal tercapai sesuai rencanaku," kata Vernon. "Tapi, Bapak ga makan lagi? Canggung aku makan sendiri." Adisti kembali merasa tidak debaran menggelora di dada. "Baiklah. Kita makan berdua. Ayo." Vernon mengambil sendok es krim dari mangkuknya, lalu dia mencedok dari mangkuk di depan Adisti. Adisti kaget. Vernon serius mau makan dari mangkuk Adisti? "Pak, saya mak
Adisti mundur sedikit ke belakang Vernon. Dengan cepat Vernon memegang tangan Adisti. "Kamu harus selesaikan ini. Percaya sama aku, kamu akan baik-baik saja." Vernon menatap lekat-lekat kedua mata Adisti. Wajah cemas Adisti tak bisa dia sembunyikan. Vernon menekan bagian depan topi Adisti agar semakin menutupi wajahnya, begitu pula dengan topi yang ada di kepalanya. "Pak, aku ...." "Percaya aku, Adisti Matahari. Oke?" Vernon kembali meyakinkan Adisti agar tetap bertahan di situ. Adisti mengangguk. Pintu pagar terbuka. Pria kurus dengan kacamata dan hidung lancip berdiri di sana. "Kurir, Pak. Mengantar pesanan." Vernon bicara dengan nada suara yang dia ubah. "Aku tidak memesan apapun," jawab pria itu sedikit ketus. Vernon masih memegang tangan Adisti dan menariknya agar masuk ke halaman, melewati pagar yang terbuka. "Aku tidak memesan apapun dan kamu masuk tanpa permisi!" sentak pria itu. Vernon tidak peduli. Dia terus melangkah ke arah pintu rumah. "Hei!" Suara pria kurus it
Degupan di dada Adisti semakin kuat. Vernon menghujamkan pandangannya pada mata Adisti. Adisti menjadi kikuk dan gelisah. Kalimat terakhir Vernon sangat tak terduga. Mengapa dia katakan itu? "Adisti ...." Vernon memandang Adisti dengan tatapan makin dalam. Adisti merasa panas dingin berhadapan dengan Vernon seperti itu. "Kamu tidak bisa menemukan motif yang mendasari Pak Cahyo melakukan semua ini padaku?" tanya Vernon. Adisti hanya menggelengkan kecil. Dia mencoba menebak, tapi tidak ingin asal menuduh orang. "Marah, dendam. Dia tidak terima aku memecatnya. Dan dia mencari cara agar aku hancur." Vernon mulai menjelaskan yang dia tahu. "Dia sengaja memata-matai Bu Rima?" tanya Adisti masih tidak yakin. "Apa dia harus turun sendiri? Dia bisa pakai tangan lain melakukannya. Dia terima beres, tujuannya tercapai," jawab Vernon. "Tapi ... ga masuk akal, deh, Pak. Pak Cahyo setega itu?" Pikiran Adisti terus bergelut. "Bapak yakin dari mana foto itu Pak Cahyo yang kirim?" Vernon kemba
Vernon maju beberapa langkah mendekat ke sisi ranjang. "Sebaiknya kita bawa ke dokter secepatnya. Ayo, aku bantu. Kita bopong ke mobil." "Iya, Pak. Terima kasih," sahut Lani. Pelan-pelan mereka mengangkat tubuh Meity dan membawa ke mobil. Adisti dan Vina muncul. Adisti sangat cemas melihat kondisi Meity memburuk. Kejadian ini sangat tidak terduga. Meity selama ini baik-baik saja tiba-tiba jatuh sakit. "Ibu, aku boleh ikut?" minta Felicia, saat Adisti sudah ikut masuk di dalam mobil. "Tidak, Sayang. Sudah mulai malam. Cia besok ke sekolah. Cia doakan Nenek di rumah, ya? Nanti tidur ditemani Kak Vina," jawab Adisti. "Oke," ucap Felicia lirih. Vina yang ada di samping Felicia mengusap kepala gadis kecil itu. Mobil Vernon meninggalkan rumah menuju ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan, hati Adisti terus menyebut nama Meity dalam doa. Dia sakit Meity tidak seburuk yang Adisti pikirkan. Selama hampir setengah jam, setelah tiab di rumah sakit, dokter menangani Meity. Vernon, Adisti, dan
Adisti dan Lani berdiri bersebelahan, memandang pada Vernon dan Meity. Meity menghapus air matanya, lalu tersenyum. "Ibu Meity terlalu melow. Dia berterima kasih aku sudah membantunya sampai ke rumah sakit." Vernon dengan cepat memberi jawaban atas pertanyaan Adisti. Meity melirik pada Vernon. Vernon yang sedang memandang Meity, dengan isyarat kepala meminta Meity tidak berkata apapun mengenai apa yang mereka bicarakan. Meity sedikit melebarkan mata, kurang begitu paham dengan yang Vernon maksudkan. "Bu, saya pamit saja. Kalau ada yang perlu saya siapkan, atau apa, saya akan bawakan besok kemari," kata Vernon. "Bapak mau pulang?" tanya Adisti. "Ya, ada yang aku harus siapkan buat besok." Vernon menyalami Meity. Dia sedikit merendah, mendekatkan wajah pada Meity dan berbisik. "Bu, saya belum bicara apapun pada Adisti. Saya akan atur waktu yang paling baik." "Oh, oke," Meity manggut-manggut. Baru dia paham mengapa Vernon tidak menjawab pertanyaan Adisti sebelumnya. "Selamat malam