Ini yang Vernon tidak mau terjadi. Bukan. Vernon belum siap jika harus menceritakan tentang Adisti dengan situasi ini. Sayangnya, waktu tidak memihak pada Vernon. Dia berjalan semaunya dan tampaknya ingin membuat Vernon harus bersitegang dengan kedua orang tuanya. "Papa, kasih tahu Vernon. Anakmu yang satu ini memang paling senang ribut sama aku." Savitri menoleh pada suaminya. Varen terlihat sedikit pucat. Dia menahan denyutan yang menusuk-nusuk di kepalanya. Seharusnya dia segera tidur, tapi berita Vernon memaksa dia tetap bangun dan mengurus masalah itu. "Pa, percaya sama aku. Adisti wanita yang baik. Dia sangat mengerti aku. Dia pasti bisa mendampingi aku di masa depan." Vernon mencoba memberi pengertian pada Varen. "Berapa lama kamu kenal dia? Bagaimana bisa kamu begitu yakin dia pilihan yang tepat? Lalu, dia tinggal dengan ibu angkat? Di mana orang tuanya? Ada yang tidak jelas dengan latar belakangnya, bukan?" Varen memaksa bicara meski kepalanya makin terasa berat, seperti d
"Maaf, Pak Vernon, saya tidak tahu harus bicara apa." Akhirnya Cahyo bersuara lagi. "Apa aku salah ngomong, Pak?' ujar Vernon. "Bukan. Sebenarnya, saya malu. Setelah semua yang saya lakukan, Pak Vernon masih peduli seperti ini. Dan, Pak Varen juga ... sesekali masih menghubungi saya, menanyakan kabar. Jujur, saya merasa sangat malu." Nada suara Cahyo lebih berat, seperti agak ragu dia mengucapkannya. "Sungguh? Papa masih komunikasi dengan Pak Cahyo?" Vernon cukup kaget dengan pernyataan itu. "Ya, Pak. Saya janji, di Bali akan jadi tonggak baru hidup saya. Terima kasih mau meyakinkan saya memulai lagi semuanya. Tidak ada kata terlambat. Saya akan lakukan yang terbaik," kata Cahyo dengan rasa haru. "Senang mendengarnya, Pak. Sukses dengan pernikahannya, juga pekerjaan baru di sana. Kita pasti akan bertemu lagi." Vernon tersenyum lega mendengar itu. "Terima kasih sekali lagi," kata Cahyo lagi. Lalu dia menambahkan, "Adisti wanita yang baik. Dia pasti akan bisa mendampingi Pak Vernon
Adisti menoleh cepat ke arah ruangan sebelah. Lestia bahkan sampai keluar ruangan karena teriakan keras Hanny. Dan payahnya teriakan itu dibalas dengan teriakan lainnya. "Kak Hanny jangan sok baik, deh. Udah kemakan sama lirikan sok manja dan wajah melow-nya, tuh! Untung aja dia cerdas, kalau nggak, sudah didepak dari minggu pertama kerja!" Sahutan itu tidak kalah keras dengan suara Hanny. Lestia berjalan cepat menemui para pegawai di sana. Adisti tidak bergerak. Dia memilih diam dan tidak mau ikut ribut. Tapi perasaannya mengatakan semua kericuhan itu karena dirinya. "Kalian ini kenapa?! Pagi-pagi sudah ribut!" seru Lestia dengan nada tegas. Dua orang yang beradu argumen itu tidak ada yang menyahut. Mereka berdiri menatap pada Lestia, lalu saling melirik dengan tatapan sama-sama kesal. "Aku tahu apa yang sedang kalian perdebatkan di sini. Apapun itu, aku tidak mau jadi alasan kalian tidak bisa bekerja sama dengan baik. Kita satu divisi dan satu ruangan. Jadi tolong, bersikap dewa
Vernon memegang tangan Adisti kuat dan melangkah dengan cepat keluar kantor. "Pak, ada apa?" tanya Adisti. Dia penasaran kabar apa yang Vernon barusan dapat dari kakaknya. "Papa masuk rumah sakit. Aku harus ke sana. Mama masih di luar kota," kata Vernon sambil mempercepat menuju mobil di tempat parkir. "Pak, saya ga bisa ikut. Ini urusan keluarga Pak Vernon." Adisti menolak pergi dengan Vernon. Vernon melepas tangan Adisti dan membuka pintu mobil bagian depan, sisi sebelah kursi sopir. "Masuk," perintah Vernon. "Mas, please ...." Adisti menghiba. "Papa akan jadi papa kamu. Kamu harus kenal dia. Kamu harus menunjukkan kamu care dengan yang terjadi." Vernon bicara tegas. Adisti terdiam. Vernon benar. Adisti pun tahu soal itu. Masalahnya Adisti belum diperkenalkan kepada orang tua Vernon. Apakah ini saat yang tepat? "Mas, aku rasa ...." "Masuk, Adisti. Aku harus cepat pergi," sela Vernon. Adisti tidak meneruskan ucapannya. Berdebat tidak ada gunanya. Vernon harus segera berangk
Varen menatap Adisti seakan ingin menghafal setiap bagian wajah wanita muda di depannya. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, Varen mangamati. "Saya asli dari Semarang, Pak. Saya ke Malang enam tahun yang lalu. Orang tua saya masih di Semarang." Dengan dada berdebar, Adisti mengungkapkan satu sisi hidupnya yang selama ini sudah dia simpan rapat-rapat. "Semarang? Semarang mana?" Varen mengejar. "Pa, ngapain tanya Semarang? Dia udah tinggal di Malang sini. Tanya di Malang tinggal di mana, itu lebih afdol." Vernon menyahut. "Kamu ga usah ikut campur. Aku mau bicara dengan Adistya, bukan kamu." Varen mengalihkan pandangan tajam pada Vernon. Virni yang duduk dan memperhatikan mereka kembali terkikik. Tidak menyangka, ayah dan adiknya bisa jadi lucu begitu tingkahnya gara-gara pacar baru Vernon. "Maaf, Pak, saya Adisti, bukan Adistya. Adistya itu nama ibu saya." Adisti meluruskan sebutan Varen yang salah. "Benarkah? Dia ibumu?" Varen kembali menoleh pada Adisti. "Iya, Pak." Adisti me
Mendengar pertanyaan Adisti, Vernon mengulum senyum di ujung bibirnya. Tangannya meraih jemari Adisti dan memandang dengan lembut pada dua bola mata bening kekasih hatinya. "Sayangku, Matahariku ... Aku mengerti yang kamu rasa. Aku minta maaf, Mama masih belum bisa menerima kamu. Sabar, ya?" Hati Adisti makin tak bisa berdetak normal. Perlakuan Vernon yang begitu manis, membuat dia merasa sangat istimewa. Kalau selama ini dia menilai diri sangat buruk, karena masa lalunya, semua itu luntur. Vernon melihat Adisti dengan hati, melihat utuh, dan menerima apa adanya. Itu sungguh luar biasa. "Tetapi, Mas, hubungan harus direstui orang tua. Jika tidak, ke depan akan terus ada hambatan. Aku ga mau ...." "Sayangku, Matahariku ...." Vernon menyela ucapan Adisti. Setiap Vernon mengucapkan kata-kata romantis, hati Adisti berdesir, dia merasa seperti tokoh utama dalam sebuah sinetron saja. "Percaya padaku. Orang tuaku akhirnya akan mengerti. Mereka perlu waktu mengenal kamu. Oke? Jika mereka
Adisti tak bisa percaya rasanya melihat pria itu, yang selama ini dia anggap mati. Dia berdiri mematung seolah tak mampu menggerakkan anggota tubuhnya. "Ternyata aku benar. Ini kamu. Adistiku yang manis dan cantik. Jadi, kamu sekarang di Surabaya? Wow, terang saja. Kamu seperti hilang dari peredaran semesta. Senang bertemu, Adisti. Dan kamu ..." Pria itu maju selangkah. "... semakin manis. Apa kamu ga rindu sama Om?" Dada Adisti bergejolak luar biasa. Ini pertemuan yang tak dia harapkan. Tidak pernah sama sekali. "Kamu terpesona? Ga nyangka kita bertemu di sini? Ini juga kejutan buatku, Manisku." Senyum pria itu melebar. Senyum yang susah dijabarkan. Adisti tidak bisa berkata-kata. Dia segera berbalik dan berjalan dengan cepat menjauh. Dia meletakkan mangkuk yang dia pegang di meja, lalu keluar dari ruangan itu. Kamar kecil yang dia tuju. Sepertinya di situasi ini, tempat itu yang paling tepat untuknya bersembunyi. Di bilik paling ujung, Adisti berdiri bersandar pada dinding sambi
Adisti sama sekali tidak menoleh ke belakang. Dia mengalihkan kegelisahannya dengan membuka berkas yang dia bawa di dalam folder. Meskipun sebenarnya itu tidak ada gunanya. Beberapa menit berikut, Vernon kembali dan duduk di sisinya. Acara segera berlangsung lagi. "Thank God. Tinggal sesi penutupan. Setelah ini pulang. Fine, kurasa aman." Dalam hati Adisti merasa lega. Hingga acara usai, memang tidak tampak lagi batang hidung Ramon. Vernon mengajak Adisti dan kedua pegawainya meninggalkan ruangan besar itu, terus keluar hotel menuju ke tempat parkir. Mereka masuk ke dalam mobil lalu segera kendaraan Vernon berlalu dari sana. "Bagaimana? Kalian siap beraksi? Tiga minggu lagi expo di buka di Malang. Sangat cukup waktunya kita mengatur semuanya." Vernon berkata sambil tetap memperhatikan jalanan. "Siap, Pak. Saya excited banget." Anton tampak bersemangat. Pembicaraan di antara pria itu berlanjut. Adisti memilih diam, menempelkan tubuh ke belakang, dia pejamkan mata, seolah-olah tidur