“Saya tidak butuh maaf kamu! Yang saya butuhkan itu uang, bukan maaf!”
Kerumunan di salah satu sisi jalan berhasil menarik perhatian Nara. Perempuan berbaju abu-abu itu menyipitkan mata, tapi tak urung langkahnya gegas ke arah kerumunan. Menerobos susah payah di antara orang-orang bertubuh lebih besar daripada dirinya. Berikutnya, sebuah pemandangan tak terduga menyambutnya.
“Asal kamu tahu, Marwan, utang-utang kamu itu sudah numpuk banyak dan cicilannya belum sampai setengah yang kamu bayar, padahal saya sudah sering kasih kamu toleransi waktu. Kurang baik apa lagi saya? Hah?”
Amukan pria gemuk berkumis tebal itu terdengar hingga ke halaman, ke telinga orang-orang yang tengah menatap penasaran dari luar pagar. Kemarahan terpancar jelas di wajah pria bertopi fedora cokelat itu.
“Atau jangan-jangan kamu sengaja, ya?” Pria itu menatap menyelidik lawan bicaranya. “Kamu pasti sengaja nunda-nunda terus karena tidak mau bayar utang, kan? Mau lari dari tanggung jawab kamu, iya? Ngaku kamu!”
“Tidak, Pak. Saya tidak lari dari tanggung jawab, tapi saat ini saya memang belum punya uang. Uangnya terlanjur saya pakai berobat ke dokter, Pak.” Marwan, pria paruh baya yang jadi lawan bicara pria itu menunduk takut. Begitu juga seorang perempuan paruh baya dengan daster motif yang berdiri di sebelahnya. Mereka baru saja pulang dari klinik ketika pria gemuk itu datang ke rumah untuk menagih utang. “Tapi saya janji, saya akan langsung bayar semua utang saya begitu sudah ada uangnya. Saya janji,” lanjutnya.
Pria bertopi fedora itu mengibaskan tangan. “Halah, janji-janji saja terus bisanya. Muak saya dengarnya! Pokoknya saya tidak mau tahu, bayar utang-utang kamu sekarang juga atau saya akan sita rumah ini. Cepat bayar!”
Ancaman itu serupa kilatan petir di tengah badai. Menyalurkan setrum mengejutkan kepada tuan rumah, juga orang-orang yang mendengarnya. Berikutnya, Marwan bergerak maju, bersimpuh di kaki si pria bertopi sambil terus memohon agar pria itu mengurungkan niat untuk menyita rumahnya.
Namun, pria bertopi fedora itu hanya bergeming. Seolah sudah menduga hal ini akan terjadi. Seolah apa pun permintaan si tuan rumah, sudah tidak berarti lagi untuknya. Sebab, yang ia perlukan sekarang hanyalah semua uangnya kembali atau paling tidak, ia butuh sesuatu yang nilainya hampir setara sebagai pengganti. Rumah ini, misalnya.
“Jangan sita rumah ini!” Seruan dari arah pagar membuat ketiga orang dewasa di teras menoleh. Nara menghampiri mereka dan tatapannya langsung jatuh pada tatap putus asa orang tuanya, sebelum beralih pada satu-satunya orang asing di sini. “Saya janji akan melunasi semua utang ayah saya, tapi tolong jangan pernah sita rumah ini. Saya mohon.”
Nara sungguh tidak bisa membayangkan jika keluarganya harus angkat kaki dari rumah ini, rumah yang sudah jadi tempatnya pulang selama 24 tahun hidup. Terlalu banyak kenangan di rumah ini. Kenangan tentang masa kecil yang menyenangkan; tentang masa remaja yang mengesankan, tapi tanpa sadar juga ditumbuhi berbagai jenis luka seiring waktu; dan tentang masa dewasa yang ternyata jauh lebih rumit daripada yang ia bayangkan. Juga kenangan tentang sosok mbah kakung yang santai dan penuh canda, sebelum beliau pergi ke pangkuan Tuhan dan mewariskan rumah ini kepada putri tunggalnya—ibu.
“Saya mohon kasih kami waktu lagi. Kami janji akan segera melunasi semua utang kami.” Perempuan paruh baya yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. Berharap dengan begini, bos suaminya sekaligus pemilik toko bangunan terbesar di daerah mereka tinggal itu mau berbaik hati memberikan tambahan waktu bagi mereka.
“Oke. Saya akan kasih tambahan waktu lagi ... dua minggu. Kalau dalam waktu dua minggu kalian tetap tidak bisa melunasi semuanya, terpaksa rumah ini akan saya sita. Ingat itu!”
Setelah mengatakan itu, pria bertopi fedora itu pun pergi. Meninggalkan Nara dan orang tuanya di teras, ditemani bisik-bisik menyebalkan dari kerumunan yang mulai membubarkan diri setelah ‘drama’ sore itu berakhir. Yakin saja, kejadian barusan pasti akan jadi topik hangat ibu-ibu di tukang sayur besok pagi.
Nara mengembuskan napas pelan. Niat awalnya ingin istirahat nyaman di rumah, ternyata gagal. Kejadian tadi benar-benar tak terduga. Ia mengembuskan napas lagi, berniat akan beranjak masuk ketika tiba-tiba terdengar suara ribut dari dalam rumah.
“Ini semua gara-gara kamu, Mas!”
Suara ibu memenuhi penjuru ruang tamu. Menyalahkan ayah yang dirasa tidak becus menjadi kepala keluarga, tidak becus mencari nafkah, dan membuat mereka harus terjerat utang dengan pria kaya pelit nan angkuh. Bahkan ibu juga menuduh ayah sudah menggunakan uang pinjaman itu untuk berfoya-foya.
“Apa kamu bilang? Aku foya-foya? Aku nggak mungkin foya-foya pakai uang itu, Marni! Asal kamu tahu, aku terpaksa utang itu untuk mencukupi kebutuhan keluarga kita, untuk bayar sekolahnya Rian, untuk bayar pengobatan Neneknya anak-anak juga. Kalau aku nggak ngutang, kita mau bayar semua itu pakai apa? Gadai rumah ini? Kamu mana mungkin setuju.”
“Ya, itu salah kamu sendiri, Mas. Sudah tahu hidup kita saja susah, kamu malah sok-sokan nanggung semua biaya pengobatan Ibu kamu, padahal kamu juga masih punya saudara. Sekarang, lihat kan akibatnya? Kita jadi punya banyak utang, Mas!”
“Sudah, sudah, stop! Kenapa malah jadi berantam gini, sih? Daripada berantem, lebih baik sekarang kita pikirkan gimana caranya kita ngelunasi utang ke Pak Johan. Waktu dua minggu itu cuma sebentar, Yah, Bu.”
Ucapan Nara berhasil menghentikan pertengkaran itu. Ayah lalu mengempaskan tubuh di kursi panjang ruang tamu. Jemarinya memijat pelipis. “Itu juga yang Ayah pusingkan dari kemarin, Ra. Ayah benar-benar nggak punya uang sekarang,” sahutnya.
Ibu menghela napas, lalu duduk di ujung lain kursi panjang yang ditempati suaminya. Dipanggilnya Nara dan meminta putrinya itu duduk di kursi sebelahnya. Nara pun menurut.
“Kamu sudah dengar sendiri apa yang Pak Johan bilang tadi kan, Ra? Kita diminta melunasi utang dalam waktu dua minggu.” Nara mengangguk. “Tapi masalahnya, kamu tahu sendiri kan kalau Ayahmu cuma karyawan toko bangunan dengan gaji pas-pasan, sedangkan Ibu juga cuma buruh cuci gosok. Penghasilan kami mana mungkin cukup untuk bayar utang-utang itu, apalagi sekarang Ayahmu juga lagi sakit. Karena itu, Ibu sama Ayah mau minta tolong sama kamu. Tolong kamu bantu kami cari uangnya ya, Ra? Kamu bisa kan, Ra?”
“Memangnya berapa total semua utang Ayah?” tanya Nara akhirnya.
“Totalnya dua puluh juta.”
Ya, dua puluh juta dan dalam waktu dua minggu. Mustahil? Tentu saja. Bahkan Nara tidak yakin mereka bisa mengumpulkan uang sebanyak itu dan dalam waktu sesingkat itu. Sementara, uang yang mereka hasilkan belum tentu mencapai seperempat dari total keseluruhan utang.
Sebenarnya, utang-utang itu selalu dicicil ayah tiap bulan dengan cara potong gaji. Namun, karena pengeluaran bulan ini cukup banyak, jadi ayah meminta gajinya dibayar utuh dan berjanji akan membayar dobel cicilannya bulan depan. Sayang, Pak Johan ternyata tidak cukup sabar menunggu bulan depan tiba dan nekat menagih ke rumah saat ayah sedang sakit.
Ibu lalu mengusulkan agar ayah meminjam uang kepada Tante Mimi, adik ayah Nara yang tinggal di gang sebelah, tapi ayah menolak dengan alasan kalau adiknya itu juga sedang mengalami masalah keuangan. Ayah justru mengusulkan agar mereka pinjam uang ke tetangga, tapi ganti usulan itu ditolak Nara. Sebab, membayar utang dengan memakai uang pinjaman lain itu sama saja dengan gali lubang-tutup lubang. Tidak akan ada habisnya nanti, malah yang ada mereka akan semakin sulit keluar dari lingkaran setan tersebut. Parahnya, ayah lalu menyarankan agar rumah ini dijual dan hal itu berujung pertengkaran hebat dengan ibu, lagi.
Karena masalah itu, setelah nyaris semalaman memikirkan berbagai solusi alternatif, Nara pun memutuskan mencari pekerjaan tambahan. Namun, hingga matahari hampir berada di puncak kepala, ia tetap tidak berhasil menemukan pekerjaan yang cocok. Kebanyakan lowongan pekerjaan yang ia temukan dan datangi hanya membutuhkan karyawan full time, bukan paruh waktu seperti yang ia harapkan. Alhasil, ia pun memutuskan mengakhiri pencarian hari itu dan segera bersiap berangkat ke toko karena jam kerjanya sebentar lagi dimulai.
Sayangnya, baru satu langkah kakinya keluar rumah, ponsel Nara berdering dan satu panggilan masuk. Dari Salma.
“Halo? Gawat, Ra! Manajer toko kita kabur bawa duit gaji semua karyawan.”
Satu hal yang ada di benak Nara setelah telepon berakhir adalah memastikan langsung kebenaran kabar itu. Kepanikan melanda sepanjang perjalanan ke toko, membuat ia tak berhenti merapal, semoga kabar itu tidak benar.Sayangnya, rentetan pesan masuk di grup chat karyawan justru tak lagi bisa meredakan kepanikan Nara. Saking paniknya, ia terburu-buru turun dari ojek online yang ditumpanginya dan menabrak salah seorang pejalan kaki di depan toko.“Maaf, maaf, saya nggak sengaja. Ini ponsel Anda. Permisi. Sekali lagi, saya minta maaf,” ucap Nara sambil mengulurkan sebuah ponsel kepada pejalan kaki tadi, lalu bergegas melangkah ke sebuah bangunan dengan plang “Maharani” di bagian depan.Maharani adalah sebuah toko pakaian milik seorang ibu tunggal yang anak laki-lakinya pernah Nara tolong saat nyaris terserempet mobil. Atas jasanya tersebut, Nara—yang kebetulan sedang mencari pekerjaan—lantas ditawari bekerja sebagai pramuniaga di toko pakaian milik wanita itu. Ia pun dengan senang hati men
Ruang tamu terasa melegakan begitu kedua tamu itu pergi. Namun, kelegaan itu berbanding terbalik dengan kerumitan yang memenuhi isi kepala Nara. Penawaran Pak Johan adalah sebuah petaka baru bagi keluarganya yang tak bisa lagi disepelekan. Pria itu memberi waktu dua hari bagi Nara untuk memikirkan penawaran itu. Hal ini membuat Nara harus memikirkan semuanya matang-matang agar tidak salah langkah dan dirundung penyesalan.Suara ibu yang menyuruh makan siang membuyarkan lamunan Nara. Ia menoleh dan mendapati ibu berdiri di sebelahnya. Ayah sudah tidak terlihat lagi, entah pergi ke mana. Namun, Nara menolak dan memilih kembali ke toko. Lagi pula bagaimana mungkin ia bisa makan di tempat yang baru saja membuat kepalanya pusing?Sepanjang perjalanan ke toko, Nara tidak berhenti berpikir. Kenapa masalah datang bertubi-tubi begini? Tak adakah hari tenang untuknya barang sehari saja? Ia kan juga butuh—“Awas!”—istirahat.“Mbak nggak apa-apa?”Pertanyaan itu sontak membuat Nara mengerjap. Ma
Seberkas cahaya yang masuk melalui celah tirai jendela berhasil mengusik tidur Nara. Perempuan itu beranjak duduk. Kepalanya terasa agak pusing, tapi sesak yang semalam ia rasakan sudah mereda. Entah berapa lama ia menangis hingga akhirnya tertidur dengan posisi meringkuk di balik selimut, Nara sama sekali tidak ingat. Bahkan ia juga tidak ingat sejak kapan lampu kamarnya mati. Yang Nara ingat, semalam ia tidak bisa tidur, lalu ibu masuk kamarnya dan mereka bicara—sebuah pembicaraan yang kemudian membuatnya merasa sesak tak karuan. Nara memijat pelipisnya, berusaha meredakan rasa sakit. Namun belum reda rasa sakitnya, netranya sudah keburu jatuh pada gantungan pakaian di pintu kamar. Sebuah kebaya brokat berwarna putih, lengkap dengan bawahan batik, tergantung di sana. Nara terdiam. Ia sadar pernikahannya dengan Amar benar-benar sudah di depan mata dan ia tidak bisa mundur lagi. Namun sayangnya, keraguan dan penyesalan justru kembali muncul di benak Nara. Membuat ia kembali bimbang
“Loh, kita ngapain ke sini?” Pertanyaan itu meluncur dari mulut Nara begitu mobil hitam Sagara memasuki basement sebuah gedung bertingkat. Perempuan itu menatap sangsi laki-laki di sebelahnya. “Mas Saga nggak niat nyulik saya, kan?” “Memangnya muka saya mirip penculik, ya?” Sagara balik bertanya. Ia mematikan mesin mobil, kemudian melepas sabuk pengamannya. “Tenang saja, Nara. Saya nggak akan nyulik kamu. Sekarang, ayo turun,” lanjutnya. Meski ragu, Nara tetap mengikuti Sagara turun dari mobil. Tak lupa ia mengambil tas ranselnya di kursi belakang. Mereka lalu naik lift menuju lantai tujuan. Tidak ada pembicaraan tercipta selama di dalam lift. Nara masih merasa waswas, sementara Sagara sendiri tampaknya juga belum mau mengatakan apa-apa soal tempat yang mereka tuju sekarang. “Ini apartemen saya,” aku Sagara saat mereka akhirnya sampai di depan sebuah pintu yang tertutup. Laki-laki itu membuka pintu tersebut, lalu mempersilakan Nara masuk. “Maaf kalau agak berantakan. Apartemen ini
Sagara baik.Begitu penilaian Nara sejak pertama kali Sagara menolongnya. Namun yang tidak ia sangka, setelah pertemuan ketiga mereka, Sagara ternyata sama saja seperti kebanyakan laki-laki di dunia ini.Apa tadi katanya? Jadi ibu untuk anaknya? Astaga, yang benar saja! Baru juga kenal, sudah berani gombal. Dasar buaya!“Kalau Mas Saga mau ngegombal, mending gombal ke cewek lain saja, jangan ke saya. Saya sama sekali nggak tertarik,” sinis Nara. Ia kembali menatap ke luar pintu geser. Hujan masih deras, bahkan jauh lebih parah.“Gombal?” Sagara kontan mengangkat alis. Sedetik kemudian, ia paham. “Maaf, saya nggak bermaksud gombalin kamu, Nara. Apa yang saya katakan tadi serius. Saya akan bantu melunasi semua utang Ayah kamu, kalau kamu juga bisa bantu jadi ibu untuk anak saya.”Mendengar nada serius Sagara, Nara kembali menoleh. “Tunggu, ini maksudnya gimana, ya? Jadi ibu untuk anaknya Mas Saga? Gimana sih, Mas? Saya nggak paham,” sahut Nara. Ia sudah mengubah posisi duduknya menghada
Gelap adalah hal pertama yang Nara dapati saat membuka mata. Satu-satunya cahaya hanya berasal dari seleret sinar bulan yang menembus jendela yang tirainya tersingkap sedikit. Perempuan itu seketika terlonjak bangun. Tangannya meraba-raba tempat tidur, mencari ponsel yang berhasil ketemu dalam hitungan detik dan langsung menyalakannya. Angka 18.20 tertera di layar kunci. Nara mendesah, sadar ia sudah tidur hampir lima jam di kamar Sagara. Jangan tanya di mana Sagara sekarang, karena ia sendiri juga tidak tahu. Terakhir yang Nara ingat, siang tadi ia kedatangan tamu—seorang laki-laki berpakaian kantor yang mengaku sebagai asisten Sagara."Selamat siang, Bu. Perkenalkan saya Darwin, asisten Pak Sagara. Saya datang ke sini karena diminta Pak Sagara mengantarkan ini untuk Ibu." Darwin mengulurkan dua plastik belanjaan, yang lantas diterima Nara dengan ragu. Satu berisi makanan dari salah satu restoran cepat saji dan satu lagi berisi camilan serta minuman botol. "Pak Sagara juga berpesa
“Mas Saga kenapa ngelihatin saya begitu? Ada yang salah sama wajah saya, ya?”Pertanyaan itu berhasil menyadarkan Sagara dari fokusnya memandang wajah perempuan di hadapannya. Laki-laki itu mengerjap, berdeham pelan, lalu menggeleng cepat. “Enggak. Enggak ada yang salah sama kamu.”“Terus kenapa dari tadi Mas Saga ngelihatin saya?” Nara menyipitkan mata ke arah Sagara. “Mas ... terpesona ya sama saya?” tanyanya, yang seketika langsung ia sesali dalam hati.Tawa pelan terdengar. “Ternyata selain suka melamun, kamu juga suka asal nuduh, ya?” Sagara geleng-geleng kepala. Laki-laki itu meletakkan sendok, kemudian meraih cangkir kopinya. “Maaf, Nara, saya bukan terpesona sama kamu, tapi saya cuma baru sadar kalau ternyata tawa kamu nyeremin. Semoga saja besok, anak saya nggak nangis karena dengar kamu ketawa, ya.”Nara meringis kecil. “Saya nggak tahu harus sedih atau malah berterima kasih setelah dengar kejujuran Mas Saga barusan. Tapi harus saya akui, kadang saya juga ngerasa seram denga
Jam baru menunjukkan pukul setengah enam pagi ketika Nara menyelesaikan agenda bersih-bersihnya. Nara menyeka keringat di dahi sambil memandang puas hasil pekerjaannya. Lantai sudah disapu dan dipel, furnitur-furnitur bersih dari debu, tirai dan jendela dibuka agar sirkulasi udara berganti.Sebenarnya Nara tidak rajin-rajin amat. Semua ini Nara lakukan karena Sagara sudah banyak membantunya, juga untuk membunuh perasaan bersalahnya setelah mengetahui kondisi rumah pasca ia kabur kemarin. Pesan dari Rian semalam berhasil membuat Nara tidak tidur nyenyak dan berakhir bangun lebih pagi, lalu memutuskan membersihkan unit apartemen Sagara sebagai pengalihan.Nara lantas bergegas mandi. Ia butuh menyegarkan tubuh yang lengket karena keringat. Beberapa menit kemudian, Nara keluar kamar mandi dengan memakai kaus garis-garis lengan pendek dan celana panjang warna cokelat. Perutnya yang meronta kelaparan sejak di dalam kamar mandi tadi membuat Nara segera beranjak ke dapur, mengecek semua rak d