Share

Ibu Bayaran Anak Bos Tampan
Ibu Bayaran Anak Bos Tampan
Penulis: Orion Hunter

Bab 1. Ditagih Hutang

“Saya tidak butuh maaf kamu! Yang saya butuhkan itu uang, bukan maaf!”

Kerumunan di salah satu sisi jalan berhasil menarik perhatian Nara. Perempuan berbaju abu-abu itu menyipitkan mata, tapi tak urung langkahnya gegas ke arah kerumunan. Menerobos susah payah di antara orang-orang bertubuh lebih besar daripada dirinya. Berikutnya, sebuah pemandangan tak terduga menyambutnya.

“Asal kamu tahu, Marwan, utang-utang kamu itu sudah numpuk banyak dan cicilannya belum sampai setengah yang kamu bayar, padahal saya sudah sering kasih kamu toleransi waktu. Kurang baik apa lagi saya? Hah?”

Amukan pria gemuk berkumis tebal itu terdengar hingga ke halaman, ke telinga orang-orang yang tengah menatap penasaran dari luar pagar. Kemarahan terpancar jelas di wajah pria bertopi fedora cokelat itu.

“Atau jangan-jangan kamu sengaja, ya?” Pria itu menatap menyelidik lawan bicaranya. “Kamu pasti sengaja nunda-nunda terus karena tidak mau bayar utang, kan? Mau lari dari tanggung jawab kamu, iya? Ngaku kamu!”

“Tidak, Pak. Saya tidak lari dari tanggung jawab, tapi saat ini saya memang belum punya uang. Uangnya terlanjur saya pakai berobat ke dokter, Pak.” Marwan, pria paruh baya yang jadi lawan bicara pria itu menunduk takut. Begitu juga seorang perempuan paruh baya dengan daster motif yang berdiri di sebelahnya. Mereka baru saja pulang dari klinik ketika pria gemuk itu datang ke rumah untuk menagih utang. “Tapi saya janji, saya akan langsung bayar semua utang saya begitu sudah ada uangnya. Saya janji,” lanjutnya.

Pria bertopi fedora itu mengibaskan tangan. “Halah, janji-janji saja terus bisanya. Muak saya dengarnya! Pokoknya saya tidak mau tahu, bayar utang-utang kamu sekarang juga atau saya akan sita rumah ini. Cepat bayar!”

Ancaman itu serupa kilatan petir di tengah badai. Menyalurkan setrum mengejutkan kepada tuan rumah, juga orang-orang yang mendengarnya. Berikutnya, Marwan bergerak maju, bersimpuh di kaki si pria bertopi sambil terus memohon agar pria itu mengurungkan niat untuk menyita rumahnya.

Namun, pria bertopi fedora itu hanya bergeming. Seolah sudah menduga hal ini akan terjadi. Seolah apa pun permintaan si tuan rumah, sudah tidak berarti lagi untuknya. Sebab, yang ia perlukan sekarang hanyalah semua uangnya kembali atau paling tidak, ia butuh sesuatu yang nilainya hampir setara sebagai pengganti. Rumah ini, misalnya.

“Jangan sita rumah ini!” Seruan dari arah pagar membuat ketiga orang dewasa di teras menoleh. Nara menghampiri mereka dan tatapannya langsung jatuh pada tatap putus asa orang tuanya, sebelum beralih pada satu-satunya orang asing di sini. “Saya janji akan melunasi semua utang ayah saya, tapi tolong jangan pernah sita rumah ini. Saya mohon.”

Nara sungguh tidak bisa membayangkan jika keluarganya harus angkat kaki dari rumah ini, rumah yang sudah jadi tempatnya pulang selama 24 tahun hidup. Terlalu banyak kenangan di rumah ini. Kenangan tentang masa kecil yang menyenangkan; tentang masa remaja yang mengesankan, tapi tanpa sadar juga ditumbuhi berbagai jenis luka seiring waktu; dan tentang masa dewasa yang ternyata jauh lebih rumit daripada yang ia bayangkan. Juga kenangan tentang sosok mbah kakung yang santai dan penuh canda, sebelum beliau pergi ke pangkuan Tuhan dan mewariskan rumah ini kepada putri tunggalnya—ibu.

“Saya mohon kasih kami waktu lagi. Kami janji akan segera melunasi semua utang kami.” Perempuan paruh baya yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. Berharap dengan begini, bos suaminya sekaligus pemilik toko bangunan terbesar di daerah mereka tinggal itu mau berbaik hati memberikan tambahan waktu bagi mereka.

“Oke. Saya akan kasih tambahan waktu lagi ... dua minggu. Kalau dalam waktu dua minggu kalian tetap tidak bisa melunasi semuanya, terpaksa rumah ini akan saya sita. Ingat itu!”

Setelah mengatakan itu, pria bertopi fedora itu pun pergi. Meninggalkan Nara dan orang tuanya di teras, ditemani bisik-bisik menyebalkan dari kerumunan yang mulai membubarkan diri setelah ‘drama’ sore itu berakhir. Yakin saja, kejadian barusan pasti akan jadi topik hangat ibu-ibu di tukang sayur besok pagi.

Nara mengembuskan napas pelan. Niat awalnya ingin istirahat nyaman di rumah, ternyata gagal. Kejadian tadi benar-benar tak terduga. Ia mengembuskan napas lagi, berniat akan beranjak masuk ketika tiba-tiba terdengar suara ribut dari dalam rumah.

“Ini semua gara-gara kamu, Mas!”

Suara ibu memenuhi penjuru ruang tamu. Menyalahkan ayah yang dirasa tidak becus menjadi kepala keluarga, tidak becus mencari nafkah, dan membuat mereka harus terjerat utang dengan pria kaya pelit nan angkuh. Bahkan ibu juga menuduh ayah sudah menggunakan uang pinjaman itu untuk berfoya-foya.

“Apa kamu bilang? Aku foya-foya? Aku nggak mungkin foya-foya pakai uang itu, Marni! Asal kamu tahu, aku terpaksa utang itu untuk mencukupi kebutuhan keluarga kita, untuk bayar sekolahnya Rian, untuk bayar pengobatan Neneknya anak-anak juga. Kalau aku nggak ngutang, kita mau bayar semua itu pakai apa? Gadai rumah ini? Kamu mana mungkin setuju.”

“Ya, itu salah kamu sendiri, Mas. Sudah tahu hidup kita saja susah, kamu malah sok-sokan nanggung semua biaya pengobatan Ibu kamu, padahal kamu juga masih punya saudara. Sekarang, lihat kan akibatnya? Kita jadi punya banyak utang, Mas!”

“Sudah, sudah, stop! Kenapa malah jadi berantam gini, sih? Daripada berantem, lebih baik sekarang kita pikirkan gimana caranya kita ngelunasi utang ke Pak Johan. Waktu dua minggu itu cuma sebentar, Yah, Bu.”

Ucapan Nara berhasil menghentikan pertengkaran itu. Ayah lalu mengempaskan tubuh di kursi panjang ruang tamu. Jemarinya memijat pelipis. “Itu juga yang Ayah pusingkan dari kemarin, Ra. Ayah benar-benar nggak punya uang sekarang,” sahutnya.

Ibu menghela napas, lalu duduk di ujung lain kursi panjang yang ditempati suaminya. Dipanggilnya Nara dan meminta putrinya itu duduk di kursi sebelahnya. Nara pun menurut.

“Kamu sudah dengar sendiri apa yang Pak Johan bilang tadi kan, Ra? Kita diminta melunasi utang dalam waktu dua minggu.” Nara mengangguk. “Tapi masalahnya, kamu tahu sendiri kan kalau Ayahmu cuma karyawan toko bangunan dengan gaji pas-pasan, sedangkan Ibu juga cuma buruh cuci gosok. Penghasilan kami mana mungkin cukup untuk bayar utang-utang itu, apalagi sekarang Ayahmu juga lagi sakit. Karena itu, Ibu sama Ayah mau minta tolong sama kamu. Tolong kamu bantu kami cari uangnya ya, Ra? Kamu bisa kan, Ra?”

“Memangnya berapa total semua utang Ayah?” tanya Nara akhirnya.

“Totalnya dua puluh juta.”

Ya, dua puluh juta dan dalam waktu dua minggu. Mustahil? Tentu saja. Bahkan Nara tidak yakin mereka bisa mengumpulkan uang sebanyak itu dan dalam waktu sesingkat itu. Sementara, uang yang mereka hasilkan belum tentu mencapai seperempat dari total keseluruhan utang.

Sebenarnya, utang-utang itu selalu dicicil ayah tiap bulan dengan cara potong gaji. Namun, karena pengeluaran bulan ini cukup banyak, jadi ayah meminta gajinya dibayar utuh dan berjanji akan membayar dobel cicilannya bulan depan. Sayang, Pak Johan ternyata tidak cukup sabar menunggu bulan depan tiba dan nekat menagih ke rumah saat ayah sedang sakit.

Ibu lalu mengusulkan agar ayah meminjam uang kepada Tante Mimi, adik ayah Nara yang tinggal di gang sebelah, tapi ayah menolak dengan alasan kalau adiknya itu juga sedang mengalami masalah keuangan. Ayah justru mengusulkan agar mereka pinjam uang ke tetangga, tapi ganti usulan itu ditolak Nara. Sebab, membayar utang dengan memakai uang pinjaman lain itu sama saja dengan gali lubang-tutup lubang. Tidak akan ada habisnya nanti, malah yang ada mereka akan semakin sulit keluar dari lingkaran setan tersebut. Parahnya, ayah lalu menyarankan agar rumah ini dijual dan hal itu berujung pertengkaran hebat dengan ibu, lagi.

Karena masalah itu, setelah nyaris semalaman memikirkan berbagai solusi alternatif, Nara pun memutuskan mencari pekerjaan tambahan. Namun, hingga matahari hampir berada di puncak kepala, ia tetap tidak berhasil menemukan pekerjaan yang cocok. Kebanyakan lowongan pekerjaan yang ia temukan dan datangi hanya membutuhkan karyawan full time, bukan paruh waktu seperti yang ia harapkan. Alhasil, ia pun memutuskan mengakhiri pencarian hari itu dan segera bersiap berangkat ke toko karena jam kerjanya sebentar lagi dimulai.

Sayangnya, baru satu langkah kakinya keluar rumah, ponsel Nara berdering dan satu panggilan masuk. Dari Salma.

“Halo? Gawat, Ra! Manajer toko kita kabur bawa duit gaji semua karyawan.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status