Satu hal yang ada di benak Nara setelah telepon berakhir adalah memastikan langsung kebenaran kabar itu. Kepanikan melanda sepanjang perjalanan ke toko, membuat ia tak berhenti merapal, semoga kabar itu tidak benar.
Sayangnya, rentetan pesan masuk di grup chat karyawan justru tak lagi bisa meredakan kepanikan Nara. Saking paniknya, ia terburu-buru turun dari ojek online yang ditumpanginya dan menabrak salah seorang pejalan kaki di depan toko.
“Maaf, maaf, saya nggak sengaja. Ini ponsel Anda. Permisi. Sekali lagi, saya minta maaf,” ucap Nara sambil mengulurkan sebuah ponsel kepada pejalan kaki tadi, lalu bergegas melangkah ke sebuah bangunan dengan plang “Maharani” di bagian depan.
Maharani adalah sebuah toko pakaian milik seorang ibu tunggal yang anak laki-lakinya pernah Nara tolong saat nyaris terserempet mobil. Atas jasanya tersebut, Nara—yang kebetulan sedang mencari pekerjaan—lantas ditawari bekerja sebagai pramuniaga di toko pakaian milik wanita itu. Ia pun dengan senang hati menerima tawaran tersebut dan hari ini tepat tiga tahun ia bekerja di Maharani. Juga hari di mana ia—dan karyawan lain—menerima kenaikan gaji. Setidaknya, sebelum satu kabar buruk yang disebarkan sahabatnya mengacaukan semuanya.
Toko sepi ketika Nara masuk. Pengunjung terakhir baru keluar bersamaan dengan kedatangan Nara. Di tengah ruangan, tampak empat orang berbaju biru muda tengah berkumpul. Raut wajah mereka tampak kusut. Seketika satu kesimpulan terlintas di benak Nara. Ia pun buru-buru menghampiri mereka dan bertanya kebenaran kabar buruk yang disampaikan Salma tadi. Mereka kompak mengangguk.
“Gue sudah coba hubungi Mbak Sindi—telepon, chat, sampai DM sosmednya berkali-kali, tapi sama sekali nggak direspons. Gue jadi yakin alasan dia izin pulang cepat kemarin tuh bukan karena dia sakit, tapi karena dia sebenarnya mau kabur. Ah, tahu gini kemarin nggak gue kasih izin dia pulang cepat! Sorry, ya guys,” ujar Maya merasa bersalah. Tadi pagi ia berniat mengajak Sindi berangkat kerja bersama, tapi ketika tiba di kos Sindi, ia justru diberitahu bahwa perempuan itu sudah pindah kos sejak kemarin siang dan kamarnya pun sudah kosong. Akhirnya, ia pun mengabari temannya yang satu sif.
Ya, Sindi adalah karyawan senior di Maharani. Sosoknya yang kalem, tapi juga tegas itu membuat ia dipercaya Bu Maharani sebagai manajer toko dan orang kepercayaannya. Namun, Sindi justru menyalahgunakan kepercayaan yang sudah diberikan Bu Maharani padanya. Dan Nara yakin penilaian semua teman-temannya pada Sindi pasti sudah berubah gara-gara masalah ini.
“Terus sudah lapor Bu Bos?” tanya Nara. Ia berdiri gelisah di samping Salma sambil tetap berusaha menghubungi Sindi, tapi hasilnya nihil. Alih-alih suara seniornya, yang terdengar justru suara operator yang mengatakan nomor tujuan tidak dapat dihubungi.
“Sudah gue telepon, tapi Bu Bos nggak angkat. Mungkin masih di acara saudaranya. Tapi tadi gue sudah kirim pesan, kasih tahu semuanya soal Sindi. Semoga segera direspons sama Bu Bos. Sabar, ya,” jawab Ayu.
Namun, kata ‘sabar’ tak cukup menenangkan bagi semua orang di ruangan itu, terutama Nara. Kenaikan gaji yang sudah ditunggu-tunggu sejak minggu lalu itu, kini terasa abu-abu. Tak yakin bisa diharapkan dan sudah pasti tanggal gajian akan diundur sampai bos mereka pulang dari luar kota. Padahal Nara sudah berniat menyisihkan sebagian gaji itu untuk membantu ayah membayar utang.
Kepala Nara mendadak terasa berputar-putar. Tubuhnya nyaris membentur lantai andai Salma tidak segera menangkapnya. Dibantu Ayu, Nara lalu dipapah ke kursi panjang terdekat.
“Lo nggak apa-apa, Ra? Muka lo pucat banget. Lo sakit?” tanya Salma beruntun, tapi Nara menjawab dirinya baik-baik saja. Walaupun jawaban itu berbanding terbalik dengan kenyataan yang dirasakan Nara sebenarnya.
Di tengah permasalahan itu, ponsel Nara tiba-tiba berdering. Nama kontak ‘Ibu’ tertera di layar. Tanpa berlama-lama, Nara segera menggeser ikon jawab dan menempelkan ponsel di telinga kiri. “Halo, Bu?”
“Nara, kamu bisa pulang sebentar sekarang? Ada masalah penting di rumah.”
***
Nara tak tahu ada masalah penting apa di rumah sampai ibu mendadak memintanya pulang, tapi ia yakin pasti masalahnya tidak jauh-jauh dari utang. Dan benar saja, ketika tiba di rumah, ia mendapati Pak Johan sudah duduk di ruang tamu berhadapan dengan orang tuanya. Di sebelah pria itu, duduk seorang laki-laki muda berkemeja lengan panjang dan berwajah dingin.
“Ini ada apa sih sebenarnya? Kenapa Ibu tiba-tiba nyuruh Nara pulang? Terus ini kenapa ada Pak Johan di rumah kita? Bapak ke sini mau nagih utang lagi, ya?” Rentetan pertanyaan itu keluar dari mulut Nara tanpa bisa dicegah. Sebelum mulutnya kembali berkata-kata, ibu sudah keburu menarik Nara untuk duduk di sebelahnya.
Pak Johan tertawa. “Tenang, Nara. Tujuan saya datang ke sini bukan untuk menagih utang Ayah kamu. Saya ke sini karena ingin memberikan penawaran menarik kepada kalian,” jawabnya.
“Penawaran?” Alis Nara terangkat. Mendadak alarm bahaya di kepalanya berbunyi. Entah kenapa, ia merasa apa pun penawaran yang ditawarkan Pak Johan nanti, pasti bukanlah sesuatu yang bagus. Bisa jadi itu lebih buruk daripada dugaannya.
“Kalian masih ingat perkataan saya kemarin, kan? Saya kasih waktu dua minggu untuk melunasi semua utang kalian. Tapi saya tahu kalian pasti kesulitan mengumpulkan uang dua puluh juta dalam dua minggu, kan?” Ayah perlahan mengangguk. “Maka dari itu, saya ke sini mau kasih penawaran ke kalian.
“Penawarannya adalah saya akan anggap semua utang kalian lunas, jika Nara bersedia menikah dengan anak saya, Amar,” lanjut Pak Johan seraya menepuk pelan bahu laki-laki di sebelahnya, tapi laki-laki itu hanya bersikap biasa saja. “Tapi jika Nara menolak, itu berarti kalian harus melunasi semua utang kalian minggu depan atau rumah ini akan saya sita.”
Nara dan orang tuanya sontak membeliakkan mata. Sama sekali tidak menyangka dengan apa yang baru saja mereka dengar.
“Loh, nggak bisa gitu dong, Pak! Kemarin keputusannya kan rumah ini akan disita kalau kami nggak bisa bayar utang dalam waktu dua minggu. Tapi ini baru satu hari, Bapak malah ganti aturan begini. Ini namanya Bapak menindas kami!” protes Nara tak terima. Saking emosinya, ia tak sadar sampai berdiri hingga membuat ibu segera menahan lengan Nara agar kembali duduk.
“Yang dikatakan Nara benar, Pak. Penawaran ini rasanya tidak adil bagi kami. Apa tidak sebaiknya kita bicarakan lagi saja, Pak? Tapi saya mohon, jangan libatkan Nara dalam masalah ini. Dia tidak tahu apa-apa,” sahut ayah.
“Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Marwan. Soal kalian mau terima tawaran saya atau tidak, itu urusan kalian. Hanya saja kalian pasti sudah tahu apa risikonya.”
“Tapi saya nggak mau nikah sama Amar! Saya nggak cinta sama Anak Bapak!” tegas Nara.
“Itu terserah kamu, Nara. Semua keputusan ada di tangan kamu. Lagi pula, bukannya kamu sendiri yang kemarin bilang akan melunasi utang-utang Ayah kamu? Jadi saya rasa ini cara terbaiknya. Kamu mau menikah dengan Amar dan utang Ayah kamu lunas, atau kamu mau membiarkan orang tua kamu semakin menderita dan harus keluar dari rumah ini.”
Berengsek!
Ruang tamu terasa melegakan begitu kedua tamu itu pergi. Namun, kelegaan itu berbanding terbalik dengan kerumitan yang memenuhi isi kepala Nara. Penawaran Pak Johan adalah sebuah petaka baru bagi keluarganya yang tak bisa lagi disepelekan. Pria itu memberi waktu dua hari bagi Nara untuk memikirkan penawaran itu. Hal ini membuat Nara harus memikirkan semuanya matang-matang agar tidak salah langkah dan dirundung penyesalan.Suara ibu yang menyuruh makan siang membuyarkan lamunan Nara. Ia menoleh dan mendapati ibu berdiri di sebelahnya. Ayah sudah tidak terlihat lagi, entah pergi ke mana. Namun, Nara menolak dan memilih kembali ke toko. Lagi pula bagaimana mungkin ia bisa makan di tempat yang baru saja membuat kepalanya pusing?Sepanjang perjalanan ke toko, Nara tidak berhenti berpikir. Kenapa masalah datang bertubi-tubi begini? Tak adakah hari tenang untuknya barang sehari saja? Ia kan juga butuh—“Awas!”—istirahat.“Mbak nggak apa-apa?”Pertanyaan itu sontak membuat Nara mengerjap. Ma
Seberkas cahaya yang masuk melalui celah tirai jendela berhasil mengusik tidur Nara. Perempuan itu beranjak duduk. Kepalanya terasa agak pusing, tapi sesak yang semalam ia rasakan sudah mereda. Entah berapa lama ia menangis hingga akhirnya tertidur dengan posisi meringkuk di balik selimut, Nara sama sekali tidak ingat. Bahkan ia juga tidak ingat sejak kapan lampu kamarnya mati. Yang Nara ingat, semalam ia tidak bisa tidur, lalu ibu masuk kamarnya dan mereka bicara—sebuah pembicaraan yang kemudian membuatnya merasa sesak tak karuan. Nara memijat pelipisnya, berusaha meredakan rasa sakit. Namun belum reda rasa sakitnya, netranya sudah keburu jatuh pada gantungan pakaian di pintu kamar. Sebuah kebaya brokat berwarna putih, lengkap dengan bawahan batik, tergantung di sana. Nara terdiam. Ia sadar pernikahannya dengan Amar benar-benar sudah di depan mata dan ia tidak bisa mundur lagi. Namun sayangnya, keraguan dan penyesalan justru kembali muncul di benak Nara. Membuat ia kembali bimbang
“Loh, kita ngapain ke sini?” Pertanyaan itu meluncur dari mulut Nara begitu mobil hitam Sagara memasuki basement sebuah gedung bertingkat. Perempuan itu menatap sangsi laki-laki di sebelahnya. “Mas Saga nggak niat nyulik saya, kan?” “Memangnya muka saya mirip penculik, ya?” Sagara balik bertanya. Ia mematikan mesin mobil, kemudian melepas sabuk pengamannya. “Tenang saja, Nara. Saya nggak akan nyulik kamu. Sekarang, ayo turun,” lanjutnya. Meski ragu, Nara tetap mengikuti Sagara turun dari mobil. Tak lupa ia mengambil tas ranselnya di kursi belakang. Mereka lalu naik lift menuju lantai tujuan. Tidak ada pembicaraan tercipta selama di dalam lift. Nara masih merasa waswas, sementara Sagara sendiri tampaknya juga belum mau mengatakan apa-apa soal tempat yang mereka tuju sekarang. “Ini apartemen saya,” aku Sagara saat mereka akhirnya sampai di depan sebuah pintu yang tertutup. Laki-laki itu membuka pintu tersebut, lalu mempersilakan Nara masuk. “Maaf kalau agak berantakan. Apartemen ini
Sagara baik.Begitu penilaian Nara sejak pertama kali Sagara menolongnya. Namun yang tidak ia sangka, setelah pertemuan ketiga mereka, Sagara ternyata sama saja seperti kebanyakan laki-laki di dunia ini.Apa tadi katanya? Jadi ibu untuk anaknya? Astaga, yang benar saja! Baru juga kenal, sudah berani gombal. Dasar buaya!“Kalau Mas Saga mau ngegombal, mending gombal ke cewek lain saja, jangan ke saya. Saya sama sekali nggak tertarik,” sinis Nara. Ia kembali menatap ke luar pintu geser. Hujan masih deras, bahkan jauh lebih parah.“Gombal?” Sagara kontan mengangkat alis. Sedetik kemudian, ia paham. “Maaf, saya nggak bermaksud gombalin kamu, Nara. Apa yang saya katakan tadi serius. Saya akan bantu melunasi semua utang Ayah kamu, kalau kamu juga bisa bantu jadi ibu untuk anak saya.”Mendengar nada serius Sagara, Nara kembali menoleh. “Tunggu, ini maksudnya gimana, ya? Jadi ibu untuk anaknya Mas Saga? Gimana sih, Mas? Saya nggak paham,” sahut Nara. Ia sudah mengubah posisi duduknya menghada
Gelap adalah hal pertama yang Nara dapati saat membuka mata. Satu-satunya cahaya hanya berasal dari seleret sinar bulan yang menembus jendela yang tirainya tersingkap sedikit. Perempuan itu seketika terlonjak bangun. Tangannya meraba-raba tempat tidur, mencari ponsel yang berhasil ketemu dalam hitungan detik dan langsung menyalakannya. Angka 18.20 tertera di layar kunci. Nara mendesah, sadar ia sudah tidur hampir lima jam di kamar Sagara. Jangan tanya di mana Sagara sekarang, karena ia sendiri juga tidak tahu. Terakhir yang Nara ingat, siang tadi ia kedatangan tamu—seorang laki-laki berpakaian kantor yang mengaku sebagai asisten Sagara."Selamat siang, Bu. Perkenalkan saya Darwin, asisten Pak Sagara. Saya datang ke sini karena diminta Pak Sagara mengantarkan ini untuk Ibu." Darwin mengulurkan dua plastik belanjaan, yang lantas diterima Nara dengan ragu. Satu berisi makanan dari salah satu restoran cepat saji dan satu lagi berisi camilan serta minuman botol. "Pak Sagara juga berpesa
“Mas Saga kenapa ngelihatin saya begitu? Ada yang salah sama wajah saya, ya?”Pertanyaan itu berhasil menyadarkan Sagara dari fokusnya memandang wajah perempuan di hadapannya. Laki-laki itu mengerjap, berdeham pelan, lalu menggeleng cepat. “Enggak. Enggak ada yang salah sama kamu.”“Terus kenapa dari tadi Mas Saga ngelihatin saya?” Nara menyipitkan mata ke arah Sagara. “Mas ... terpesona ya sama saya?” tanyanya, yang seketika langsung ia sesali dalam hati.Tawa pelan terdengar. “Ternyata selain suka melamun, kamu juga suka asal nuduh, ya?” Sagara geleng-geleng kepala. Laki-laki itu meletakkan sendok, kemudian meraih cangkir kopinya. “Maaf, Nara, saya bukan terpesona sama kamu, tapi saya cuma baru sadar kalau ternyata tawa kamu nyeremin. Semoga saja besok, anak saya nggak nangis karena dengar kamu ketawa, ya.”Nara meringis kecil. “Saya nggak tahu harus sedih atau malah berterima kasih setelah dengar kejujuran Mas Saga barusan. Tapi harus saya akui, kadang saya juga ngerasa seram denga
Jam baru menunjukkan pukul setengah enam pagi ketika Nara menyelesaikan agenda bersih-bersihnya. Nara menyeka keringat di dahi sambil memandang puas hasil pekerjaannya. Lantai sudah disapu dan dipel, furnitur-furnitur bersih dari debu, tirai dan jendela dibuka agar sirkulasi udara berganti.Sebenarnya Nara tidak rajin-rajin amat. Semua ini Nara lakukan karena Sagara sudah banyak membantunya, juga untuk membunuh perasaan bersalahnya setelah mengetahui kondisi rumah pasca ia kabur kemarin. Pesan dari Rian semalam berhasil membuat Nara tidak tidur nyenyak dan berakhir bangun lebih pagi, lalu memutuskan membersihkan unit apartemen Sagara sebagai pengalihan.Nara lantas bergegas mandi. Ia butuh menyegarkan tubuh yang lengket karena keringat. Beberapa menit kemudian, Nara keluar kamar mandi dengan memakai kaus garis-garis lengan pendek dan celana panjang warna cokelat. Perutnya yang meronta kelaparan sejak di dalam kamar mandi tadi membuat Nara segera beranjak ke dapur, mengecek semua rak d
Sejak kedatangan Salma setengah jam lalu ke apartemen Sagara, Nara benar-benar tidak bisa menghindar lagi. Pasalnya, Salma langsung menodong penjelasan sedetail-detailnya atas aksi kabur Nara kemarin. Akhirnya, Nara pun menceritakan semua kekacauan yang terjadi selama beberapa hari terakhir.Mulai dari ayahnya ditagih utang sebesar dua puluh juta, kemudian diperparah dengan masalah gaji yang dibawa kabur manajer toko padahal rencananya uang itu akan digunakan untuk mencicil utang ayah. Belum lagi tawaran gila Pak Johan, bos ayahnya, untuk menikah dengan Amar sebagai ganti pelunasan utang, serta fakta bahwa ternyata ayahnya sendiri justru memanfaatkan Nara agar dirinya bisa kecipratan harta kekayaan keluarga Pak Johan jika jadi besan pria itu. Nara juga menceritakan tentang pertemuan tak sengajanya dengan Sagara dan semua kebaikan laki-laki itu kepada Salma. Termasuk soal Sagara yang sudah membantunya kabur dari kejaran orang suruhan Pak Johan. "Gila!" Adalah respons pertama Salma se