Share

Bab 2. Sebuah Penawaran

Satu hal yang ada di benak Nara setelah telepon berakhir adalah memastikan langsung kebenaran kabar itu. Kepanikan melanda sepanjang perjalanan ke toko, membuat ia tak berhenti merapal, semoga kabar itu tidak benar.

Sayangnya, rentetan pesan masuk di grup chat karyawan justru tak lagi bisa meredakan kepanikan Nara. Saking paniknya, ia terburu-buru turun dari ojek online yang ditumpanginya dan menabrak salah seorang pejalan kaki di depan toko.

“Maaf, maaf, saya nggak sengaja. Ini ponsel Anda. Permisi. Sekali lagi, saya minta maaf,” ucap Nara sambil mengulurkan sebuah ponsel kepada pejalan kaki tadi, lalu bergegas melangkah ke sebuah bangunan dengan plang “Maharani” di bagian depan.

Maharani adalah sebuah toko pakaian milik seorang ibu tunggal yang anak laki-lakinya pernah Nara tolong saat nyaris terserempet mobil. Atas jasanya tersebut, Nara—yang kebetulan sedang mencari pekerjaan—lantas ditawari bekerja sebagai pramuniaga di toko pakaian milik wanita itu. Ia pun dengan senang hati menerima tawaran tersebut dan hari ini tepat tiga tahun ia bekerja di Maharani. Juga hari di mana ia—dan karyawan lain—menerima kenaikan gaji. Setidaknya, sebelum satu kabar buruk yang disebarkan sahabatnya mengacaukan semuanya.

Toko sepi ketika Nara masuk. Pengunjung terakhir baru keluar bersamaan dengan kedatangan Nara. Di tengah ruangan, tampak empat orang berbaju biru muda tengah berkumpul. Raut wajah mereka tampak kusut. Seketika satu kesimpulan terlintas di benak Nara. Ia pun buru-buru menghampiri mereka dan bertanya kebenaran kabar buruk yang disampaikan Salma tadi. Mereka kompak mengangguk.

“Gue sudah coba hubungi Mbak Sindi—telepon, chat, sampai DM sosmednya berkali-kali, tapi sama sekali nggak direspons. Gue jadi yakin alasan dia izin pulang cepat kemarin tuh bukan karena dia sakit, tapi karena dia sebenarnya mau kabur. Ah, tahu gini kemarin nggak gue kasih izin dia pulang cepat! Sorry, ya guys,” ujar Maya merasa bersalah. Tadi pagi ia berniat mengajak Sindi berangkat kerja bersama, tapi ketika tiba di kos Sindi, ia justru diberitahu bahwa perempuan itu sudah pindah kos sejak kemarin siang dan kamarnya pun sudah kosong. Akhirnya, ia pun mengabari temannya yang satu sif.

Ya, Sindi adalah karyawan senior di Maharani. Sosoknya yang kalem, tapi juga tegas itu membuat ia dipercaya Bu Maharani sebagai manajer toko dan orang kepercayaannya. Namun, Sindi justru menyalahgunakan kepercayaan yang sudah diberikan Bu Maharani padanya. Dan Nara yakin penilaian semua teman-temannya pada Sindi pasti sudah berubah gara-gara masalah ini.

“Terus sudah lapor Bu Bos?” tanya Nara. Ia berdiri gelisah di samping Salma sambil tetap berusaha menghubungi Sindi, tapi hasilnya nihil. Alih-alih suara seniornya, yang terdengar justru suara operator yang mengatakan nomor tujuan tidak dapat dihubungi.

“Sudah gue telepon, tapi Bu Bos nggak angkat. Mungkin masih di acara saudaranya. Tapi tadi gue sudah kirim pesan, kasih tahu semuanya soal Sindi. Semoga segera direspons sama Bu Bos. Sabar, ya,” jawab Ayu.

Namun, kata ‘sabar’ tak cukup menenangkan bagi semua orang di ruangan itu, terutama Nara. Kenaikan gaji yang sudah ditunggu-tunggu sejak minggu lalu itu, kini terasa abu-abu. Tak yakin bisa diharapkan dan sudah pasti tanggal gajian akan diundur sampai bos mereka pulang dari luar kota. Padahal Nara sudah berniat menyisihkan sebagian gaji itu untuk membantu ayah membayar utang.

Kepala Nara mendadak terasa berputar-putar. Tubuhnya nyaris membentur lantai andai Salma tidak segera menangkapnya. Dibantu Ayu, Nara lalu dipapah ke kursi panjang terdekat.

“Lo nggak apa-apa, Ra? Muka lo pucat banget. Lo sakit?” tanya Salma beruntun, tapi Nara menjawab dirinya baik-baik saja. Walaupun jawaban itu berbanding terbalik dengan kenyataan yang dirasakan Nara sebenarnya.

Di tengah permasalahan itu, ponsel Nara tiba-tiba berdering. Nama kontak ‘Ibu’ tertera di layar. Tanpa berlama-lama, Nara segera menggeser ikon jawab dan menempelkan ponsel di telinga kiri. “Halo, Bu?”

Nara, kamu bisa pulang sebentar sekarang? Ada masalah penting di rumah.

***

Nara tak tahu ada masalah penting apa di rumah sampai ibu mendadak memintanya pulang, tapi ia yakin pasti masalahnya tidak jauh-jauh dari utang. Dan benar saja, ketika tiba di rumah, ia mendapati Pak Johan sudah duduk di ruang tamu berhadapan dengan orang tuanya. Di sebelah pria itu, duduk seorang laki-laki muda berkemeja lengan panjang dan berwajah dingin.

“Ini ada apa sih sebenarnya? Kenapa Ibu tiba-tiba nyuruh Nara pulang? Terus ini kenapa ada Pak Johan di rumah kita? Bapak ke sini mau nagih utang lagi, ya?” Rentetan pertanyaan itu keluar dari mulut Nara tanpa bisa dicegah. Sebelum mulutnya kembali berkata-kata, ibu sudah keburu menarik Nara untuk duduk di sebelahnya.

Pak Johan tertawa. “Tenang, Nara. Tujuan saya datang ke sini bukan untuk menagih utang Ayah kamu. Saya ke sini karena ingin memberikan penawaran menarik kepada kalian,” jawabnya.

“Penawaran?” Alis Nara terangkat. Mendadak alarm bahaya di kepalanya berbunyi. Entah kenapa, ia merasa apa pun penawaran yang ditawarkan Pak Johan nanti, pasti bukanlah sesuatu yang bagus. Bisa jadi itu lebih buruk daripada dugaannya.

“Kalian masih ingat perkataan saya kemarin, kan? Saya kasih waktu dua minggu untuk melunasi semua utang kalian. Tapi saya tahu kalian pasti kesulitan mengumpulkan uang dua puluh juta dalam dua minggu, kan?” Ayah perlahan mengangguk. “Maka dari itu, saya ke sini mau kasih penawaran ke kalian.

“Penawarannya adalah saya akan anggap semua utang kalian lunas, jika Nara bersedia menikah dengan anak saya, Amar,” lanjut Pak Johan seraya menepuk pelan bahu laki-laki di sebelahnya, tapi laki-laki itu hanya bersikap biasa saja. “Tapi jika Nara menolak, itu berarti kalian harus melunasi semua utang kalian minggu depan atau rumah ini akan saya sita.”

Nara dan orang tuanya sontak membeliakkan mata. Sama sekali tidak menyangka dengan apa yang baru saja mereka dengar.

“Loh, nggak bisa gitu dong, Pak! Kemarin keputusannya kan rumah ini akan disita kalau kami nggak bisa bayar utang dalam waktu dua minggu. Tapi ini baru satu hari, Bapak malah ganti aturan begini. Ini namanya Bapak menindas kami!” protes Nara tak terima. Saking emosinya, ia tak sadar sampai berdiri hingga membuat ibu segera menahan lengan Nara agar kembali duduk.

“Yang dikatakan Nara benar, Pak. Penawaran ini rasanya tidak adil bagi kami. Apa tidak sebaiknya kita bicarakan lagi saja, Pak? Tapi saya mohon, jangan libatkan Nara dalam masalah ini. Dia tidak tahu apa-apa,” sahut ayah.

“Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Marwan. Soal kalian mau terima tawaran saya atau tidak, itu urusan kalian. Hanya saja kalian pasti sudah tahu apa risikonya.”

“Tapi saya nggak mau nikah sama Amar! Saya nggak cinta sama Anak Bapak!” tegas Nara.

“Itu terserah kamu, Nara. Semua keputusan ada di tangan kamu. Lagi pula, bukannya kamu sendiri yang kemarin bilang akan melunasi utang-utang Ayah kamu? Jadi saya rasa ini cara terbaiknya. Kamu mau menikah dengan Amar dan utang Ayah kamu lunas, atau kamu mau membiarkan orang tua kamu semakin menderita dan harus keluar dari rumah ini.”

Berengsek!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status