Sudah dua hari dua malam Asher belum pulang ke rumahnya sama sekali. Bahkan dia selalu menolak panggilan dari Marsha. Hal ini membuat Marsha geram pada Asher, pasalnya ia cemas kalau Asher meluangkan waktu sebanyak itu hanya untuk menyenangkan Aleena di Palonia. Tentu saja, Marsha semakin kesal dan benci pada Aleena!"Pasti gadis itu kesenangan karena ditemani oleh Asher!" geram Marsha mengepalkan tangannya kuat-kuat dan memukul meja kayu di sampingnya. "Gadis murahan itu memang tidak tahu diri!" Marsha kembali berjalan ke depan, harap-harap suaminya pulang malam ini. Meskipun Marsha juga baru saja sampai di rumah setelah seharian ia pergi bersenang-senang dengan teman-temannya. Kedua matanya mendongak menatap langit yang menurunkan hujan sejak pagi hingga malam. Perasaan kesal turut serta menyelubungi hati Marsha saat ini. "Aku tidak akan secemas ini kalau Asher pergi ke luar kota karena urusan bisnis! Tapi kalau dia pergi hanya untuk mengurus gadis itu dan anak di dalam perut
Setelah dokter memeriksa kondisi Aleena, gadis itu mengeluh tidak nyaman dalam posisi tidur ataupun duduk, hingga dokter mengizinkan Aleena untuk berjalan-jalan perlahan-lahan di lorong rumah sakit. Dan benar, Aleena merasa rileks meskipun sakitnya masih terasa, sekalipun rasa mencekam itu sudah tidak terlalu. Ditemani Asher yang membawakan tiang infus dan berjalan merangkulnya. "Apa masih terasa sakit?" tanya laki-laki itu menundukkan kepalanya menatap Aleena."Sedikit. Tapi tidak seperti tadi ... sudah mendingan," jawab Aleena berdiri di depan sebuah dinding kaca. Gadis itu mengusap perutnya dan tertunduk dengan wajah pucatnya yang basah karena berkeringat tipis. Asher mengeluarkan sapu tangannya dan mengusap wajah cantik itu dengan perlahan. Dan senangnya, saat Aleena tidak menolak atau protes sedikitpun. Justru Aleena setia memegangi tangan Asher. Gadis itu menatap ke arah luar, dua hari di dalam rumah sakit membuatnya rindu pemandangan di luar sana, udara segar, dan ia rindu
"Heh, bangun...! Bangun, Aleena! Jangan manja dan banyak drama seperti ini, bangun...!" Aleena tersentak saat seseorang mengguncang bahu dan membentaknya dengan cukup keras. Kedua matanya yang terasa berat pun terbuka. Sampai semua kesadarannya terkumpul, Aleena menatap Marsha yang berdiri di samping tempat tidurnya. "Nyo-Nyonya..." Dengan penuh keterkejutan, Aleena segera beranjak perlahan-lahan. "Nyonya sudah dari tadi?" "Ya, aku sudah dari tadi melihat kau akting seperti seorang pasien!" jawab Marsha dengan nada geram. Aleena tertunduk meremas selimutnya sambil mengusap perutnya yang tiba-tiba terasa kaku setiap ia bangun tidur. "Maaf, Nyonya. Saya benar-benar tertidur dan tidak tahu kedatangan Nyonya," ujar Aleena jujur. "Semalam saya tidur cukup larut karena perut saya sakit..." "Ck! Kenapa bayimu itu sangat merepotkan sekali! Aku lihat para wanita yang lain hamil tidak merepotkan seperti bayimu ini!" pekik Marsha dengan seraut wajah sinisnya yang galak. Aleena langsung m
Asher melewati Marsha begitu saja tanpa ada rasa peduli sedikitpun. Laki-laki itu bergegas masuk ke dalam kamar inap Aleena. Di sana, Asher melihat Aleena tertunduk mengusap-usap perutnya dan tampak berbicara sendiri dengan anak di dalam kandungannya tersebut. Perasaan Asher mendadak kalut. Apa yang telah Marsha katakan pada Aleena?!"Aleena," panggil Asher pelan. Gadis itu mengangkat wajahnya terkejut, hingga tak sempat baginya menghapus air mata itu. Asher mendekatinya cepat dan menarik pelan pundak Aleena untuk menatapnya. Iris hitam itu menelisik tajam wajah Aleena. "Kau menangis? Kenapa ... apa yang Marsha katakan padamu, hm?" Asher mengelus pipi itu dengan ibu jarinya. Lidah Aleena terasa kelu untuk mengucapkan sepatah kata. Hingga kata-kata yang mulanya tersusun rapi di dalam otaknya, seolah tertelan begitu saja. "Dia tidak menyakitimu, kan?" tanya Asher cemas, laki-laki itu tertunduk menatap telapak tangan Aleena yang memeluk perutnya. Asher mengusap perut itu hingga
Perjalanan dari Palonia ke Murniche menempuh waktu berjam-jam. Sampai akhirnya Asher tiba di siang hari di rumahnya, dan itu pun Asher segera bergegas ke kantor untuk bertemu dengan para rekan bisnisnya. Rapat penting yang tidak bisa ia lewatkan, memerlukan konsentrasi tinggi untuk tiap detail masalah. Dari pukul satu hingga pukul setengah empat sore, rapat itu terselesaikan dengan baik. Di dalam ruangan berdinding kaca itu, masih ada empat orang di sana, salah satunya Asher dan Papanya yang kini tengah memperhatikannya. "Beberapa hari ini kau tidak tampak di Murniche. Saat aku datang ke rumahmu juga tidak ada siapapun, dua hari berturut-turut Papa ke rumahmu pagi dan sore, tapi kau tidak ada. Marsha juga baru pergi kata pelayan ... kau ke mana, Asher?" tanya Darren menelisik paras tampan putranya. "Mengurus urusan yang sangat penting," jawab Asher dingin dan datar. Alis tebal Darren mengerut tajam. Bahkan Asher tampak tidak serius sama sekali. "Urusan penting apa? Kantor? Papa
Senja yang indah di kota Palonia, dapat Aleena saksikan setiap sore hari tanpa terlewat sehari pun. Gadis itu duduk di deretan bangku tunggu di depan kamar rawat inapnya. Duduk termenung menatap dinding kaca, memperhatikan burung-burung berterbangan menghiasi langit jingga yang tampak memancarkan cahaya hangat ke wajahnya. 'Berapa lama lagi aku menunggu? Apa dia kembali mengingkari janjinya?' batin Aleena diliputi rasa resah. Gadis itu tertunduk mengusap perutnya yang mulai terasa nyeri di bagian bawah. Tetapi Aleena mencoba untuk tetap tenang. Sampai tiba-tiba, seorang wanita mendekati Aleena yang tengah melamun dengan wajah sedih dan resah. "Nyonya, kau baik-baik saja?" tanyanya. Suara lembut itu membuat Aleena mengangkat wajahnya. Kedua pupil matanya melebar menatap seorang wanita hamil yang berdiri di sampingnya membawa tiang infus, dan anak kecil berkisar usia lima tahun memeluk kakinya. Alena tersenyum seketika. "Ya, saya baik-baik saja," jawabnya mengangguk. Wanita itu
Aleena melepaskan pelukannya dari Asher. Ia menatap buket bunga mawar yang Asher bawakan untuknya. Senyuman manis di bibir tipisnya terukir lembut menunjukkan rasa senang di dalam hatinya. "Kau menyukainya?" tanya Asher mengusap pucuk kepala Aleena. "Ya. Saya sangat menyukainya," jawab gadis itu menatapnya hangat. Aleena kembali menoleh ke arah dinding kaca, matahari sudah terbenam sempurna. Dan harapan yang Aleena ucapkan tadi, ia ingin Asher datang sebelum matahari tenggelam. Tuhan mengabulkannya...Asher merangkul Aleena dan mengajaknya masuk ke dalam kamar. Di sana, Aleena kembali duduk di atas ranjang rumah sakit. Ia memperhatikan Asher yang tengah melepaskan mentel dan tuxedo hitamnya. "Tuan, kata Dokter Regina kondisi saya sudah baik, saya diizinkan pulang besok pagi," ujar Aleena menyerah sebuah amplop putih pada Asher. Asher menoleh dan meraih kertas itu sambil menatap Aleena penuh telisik. "Kau yakin sudah baik-baik saja?" "Sudah, Tuan." Saat Asher sibuk membaca s
Sepulang dari rumah sakit, Aleena benar-benar dijaga oleh Asher sejak pagi, siang, dan hingga kini sudah sore hari. Aleena baru saja bangun dari tidurnya. Gadis itu duduk di tepi ranjang dan meraih ponselnya miliknya di atas meja yang tampak menyala. Padahal beberapa hari yang lalu ponsel itu susah untuk dinyalakan. Pasti Asher yang telah mengotak-atiknya. "Bagaimana dia membenarkannya? Apakah bisa diisi daya lagi?" gumam Aleena tersenyum tipis. "Dengan begini aku bisa menghubungi Samuel dan video call dengan Papa." Aleena awalnya sudah sangat kesenangan. Namun, saat Aleena membuka kontak panggilan, tidak ada nomor sama sekali kecuali nomor Asher di sana. "Hah? Ke-kenapa semua nomornya hilang?" gerutu Aleena. "Nomor Samuel, Bibi Baritha, nomor teman-teman semuanya hilang?!" Helaan napas panjang dan kecewa terdengar dari bibir Aleena. Ini sudah keempat kalinya Asher menghapus semua kontak di ponselnya. "Pasti dia yang menghapusnya," gerutu Aleena cemberut. Aleena beranjak dari
Dua hari terasa cepat di depan mata. Hari pertunangan Theo dan Arabelle pun telah datang hari ini. Acara pertunangan itu dilaksanakan di sebuah gedung hotel bintang lima milik Keluarga Benedict. Semua tamu-tamu penting dari kedua keluarga itu pun datang. Arabelle tampak sangat cantik malam ini dengan balutan dress panjang berwarna biru muda. Arabelle berdiri di samping Theo dan kedua orang tua Theo setelah acara inti dimulai beberapa menit yang lalu. Theo meraih tangan Arabelle dan menatap cincin berlian bermata putih bening itu tersemat cantik di jari manis Arabelle. "Cantik sekali cincin ini ada di jari manismu," ucap Theo berbisik. Arabelle langsung menoleh dan gadis itu tersenyum manis sambil mengangguk. "Karena kau yang memilihkannya untukku." Kekeham pelan terdengar dari bibir Theo, ia merangkul Arabelle sambil menyapa beberapa tamu yang kini memberikan ucapan selamat pada mereka. "Ini baru pertunangan, sudah sebanyak ini tamu Papa," ucap Theo. "Bagaimana kalau
Beberapa bulan berlalu, hari-hari yang dilalui oleh Theo semakin berubah. Dari yang semula hidupnya serba tenang-tenang saja, kini menjadi sibuk layaknya ia dulu melihat sang Papa.Apalagi Theo merasakan tentang jatuh cinta, memiliki kekasih, dan menyayanginya. Arabelle adalah alasan bagi Theo untuk selalu bersemangat setiap hari. Seperti sore ini, Theo berkumpul bersama orang tuanya dan juga keluarga Arabelle di kediaman Jordan. "Kenapa Tuan Asher dan Nyonya Aleena tidak bilang-bilang dulu kalau mau ke sini," ujar Hani pada mereka berdua."Memangnya kalau kami bilang-bilang apakah ada sambutan yang sangat meriah?" tanya Asher dengan nada bergurau. Kakek dan Nenek Arabelle itu pun tertawa. Bahkan Arabelle dan Theo yang duduk di sofa seberang ikut tertawa mendengarnya jawaban Asher. "Kami bertiga ke sini karena ada tujuan tertentu, Nyonya Hani," ujar Aleena. "Ada apa?" tanyanya. "Pasti ingin membahas tentang anak-anak, kan?" tanya Julian—Kakek Arabelle. "Benar Tuan." Asher menga
Hari sudah gelap, rumah Asher tampak sepi di saat semua anak-anaknya sudah beristirahat di dalam kamar masing-masing. Aleena dan Asher kini duduk di dalam ruangan keluarga. Berdua, dan ditemani oleh cahaya yang temaram. "Tidak terasa ya, Sayang. Sekarang anak kita sudah besar-besar. Theo sudah dewasa, si kembar juga sudah besar. Rasanya baru kemarin kita menjadi orang tua," ujar Aleena menatap ke luar dari jendela di ruang keluarga. Asher tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan. "Waktu berjalan dengan cepat tanpa kita sadari," jawab Asher. Aleena menyandarkan kepalanya di pundak sang suami dan wanita itu mengangguk kecil. "Dan aku tidak percaya menghabiskan seumur hidupku bersamamu, Asher. Padahal, dulu kita dipertemukan karena hal-hal yang tidak diinginkan, dan kita—""Jangan diingat lagi!" Asher menjentikkan jari telunjuknya dengan pelan di kening Aleena hingga membuat sang istri cemberut menatapnya. Wanita cantik itu mengusap keningnya dan mengeratkan pelukannya di lengan
Kedekatan Arabelle dan Theo sudah sangat dekat, bahkan semua orang juga sudah tahu dengan hubungan mereka. Seperti teman-teman kampus Arabelle saat ini yang melihat Theo yang tengah menjemput Arabelle pulang dari kampus. "Wah, tampan sekali, siapa dia?" "Dia kekasihny Arabelle, anak kedokteran." "Kekasihnya sangat tampan, ya, sepertinya aku tidak asing dengan wajahnya." Suara bisikan-bisikan itu terdengar di telinga Arabelle saat gadis cantik itu sampai di depan. Ia melihat semua kakak tingkatnya tampak memperhatikan Theo yang berdiri di samping mobilnya tampak menunggu-nunggu. Arabelle tidak banyak bicara, ia langsung berjalan mendekati Theo saat itu juga dan mengabaikan semua Kakak tingkatnya yang masih asik membicarakan Theo. "Kak Theo!" pekik Arabelle melambaikan tangannya dan berlari kecil mendekatinya. Theo tersenyum manis padanya seperti biasa, sampai begitu mendekat, Arabelle langsung memeluk pemuda itu. Kedua alis Theo terangkat. Tumben sekali Arabelle melakukan ha
Setelah acara makan malam selesai, Theo mengajak Arabelle untuk ikut bersamanya lebih dulu. Mereka berdua pergi ke suatu tempat malam ini. Theo mengajak Arabelle ke taman tempat mereka dulu melihat kembang api saat tahun baru. Di sebuah taman yang indah, dan tepat di cuaca yang cukup dingin seperti malam ini. "Kenapa mengajakku ke sini?" tanya Arabelle tersenyum menatap Theo. "Ingin saja," jawab Theo, ia menggenggam hangat tangan Arabelle dan diajaknya berjalan menaiki banyak anak tangga. Arabelle tersenyum gemas, gadis itu membalas genggaman tangan Theo sebelum mereka kini akhirnya sampai di taman bagian atas. Arabelle menatap sekitar, semua bunga-bunga bermekaran di sana. Dari bunga Hydrangea hingga bunga-bunga lainnya. "Wahh ... cantik sekali bunga-bunganya," ujar Arabelle tersenyum senang. "Sebelum musim dingin, mereka semua bermekaran," ujar Theo menarik pelan lengan Arabelle dan mengajaknya duduk. "Di rumah Mama yang ada di Palonia, semua tamannya dipenuhi oleh bunga Hyd
Segala macam persiapan sudah diselesaikan. Arabelle lolos masuk ke universitas impiannya, gadis itu mendalami ilmu kedokteran seperti yang ia inginkan. Berkat dukungan dan juga perhatian penuh yang Jordan berikan, anak gadisnya bisa berdiri sampai di titik ini.Malam ini, Jordan mengadakan makan malam. Ia mengundang juga Asher dan Aleena, juga Theo, bersama di kembar di sebuah rumah makan di restoran mewah. Tak hanya mereka, bahkan kedua orang tua Jordan pun juga ikut. "Terima kasih Tuan dan Nyonya sudah menyempatkan datang malam ini," ucap Jordan pada Asher dan Aleena. Asher terkekeh mendengarnya, ia menepuk pundak Jordan. "Masih formal saja kau dengan calon besanmu ini," ucap Asher. Jordan pun tertawa. "Masih perlu beradaptasi, Tuan Asher," jawabnya.Sedangkan Aleena kini duduk bersama dengan Hani, mereka berbincang-bincang. Theo bersama Julian dan juga Arabelle. Leo dan Lea melihat ikan-ikan hias di akuarium besar yang berada di tempat itu. Lea berlari mendekati Aleena, anak
Hari berlalu musim pun berganti. Hari demi hari terlewati seperti embusan angin yang cepat dan lembut. Tak terasa, dua setengah tahun terlewati dengan mudahnya. Dua tahun menjadi perjalan yang sangat hebat untuk Theo. Pemuda itu, kini sudah meninggalkan bangku sekolah sejak satu tahun yang lalu. Theo meneruskan perusahaan milik Asher. Bahkan selepas lulus dari bangku sekolah, Theo sangat gila-gilaan mendalami pekerjaan yang ia impikan di dunia bisnis, dia tidak melanjutkan pendidikannya hanya sekejap, lalu fokus pada pekerjaannya. Seperti saat ini, pemuda itu duduk di dalam ruangan kerjanya, di kantor milik sang Papa. Theo tampak sibuk, menyiapkan beberapa berkas untuk persiapan meeting sore nanti. "Berkas yang semalam sudah kau bawa, kan, Theo?" tanya Asher pada sang putra. Theo menoleh dan mengangguk. "Sudah, Pa. Semuanya sudah beres," jawab pemuda itu. "Bagus. Sebagai asisten Papa, kau harus bisa segalanya. Paman Jordan sudah ada di divisinya sendiri, jadi ... kau harus bisa
Setelah acara makan malam selesai, Theo mengajak Arabelle untuk pergi bersamanya. Malam ini adalah malam yang sangat dinanti-nantikan oleh Arabelle. Perayaan tahun baru yang sudah dari lama ia tunggu-tunggu. Meskipun rencana Arabelle dari awal gagal total, dari ingin menemani Theo bertanding basket, sampai kini mereka pergi ingin melihat pesta kembang api, tapi Arabelle berharap kali ini tidak boleh gagal. "Hemmm ... sepertinya bahagia sekali," tanya Theo melirik Arabelle, sebelum kambali fokus mengemudikan mobilnya. Gadis cantik itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Tentu saja," jawab Arabelle. "Aku hampir berpikir tidak ada harapan lagi untuk melihat perayaan pesta kembang api malam ini, Kak. Tapi ternyata, Tuhan berkata lain..." Theo tersenyum. "Aku selalu berdoa sepanjang hari agar apapun yang kau harapkan bisa Tuhan kabulkan, Arabelle," ucap Theo. "Benarkah?" Arabelle tersenyum menatapnya. Theo terkekeh gemas tanpa menjawabnya, ia mengulurkan satu tangannya dan mengu
Theo datang seperti biasa. Kedatangannya kali ini disambut oleh Jordan, laki-laki yang selalu ia panggil Paman sejak kecil itu kini menjadi lebih dekat dengan Theo. Mereka berdua duduk di ruang tamu, menunggu Arabelle yang tengah bersiap, karena Theo bilang kalau Arabelle diminta oleh Aleena datang untuk makan malam bersama. "Beberapa hari ini Paman jadi jarang melihatmu, Theo," ujar Jordan sambil menyalakan sebatang cerutu di tangannya. Theo tersenyum tipis. "Iya, Paman. Paman terlalu sibuk, aku juga sibuk," jawab Theo. "Heem. Paman membantu Papamu mengurus proyek yang ada di Palonia," jawab Jordan. "Paman yakin, dengan kepintaranmu, kau bisa ikut campur dalam proyek itu andai kau tidak sibuk dengan sekolahmu. Paman selalu mengajarimu nanyak hal, bukan?" Mendengar ucapan Jordan, Theo hanya terkekeh saja dan mengangguk. "Untuk beberapa bulan ini aku akan fokus pada pendidikanku dulu, Paman. Setelah itu, aku akan fokus membantu Papa," jawabnya. "Aku mungkin tidak akan mau lanjut