Theo duduk di sebuah bangku kursi kayu di sebuah kantin di belakang sekolah. Ia berkumpul dengan semua teman-temannya di sana. Theo tampak tidak bersemangat karena ia masih dalam masa dihukum oleh Papanya. "Woii! Di depan ramai, tuh!" teriak Adam yang baru saja datang. "Ada apa memangnya?" tanya Gerald sambil membuka minuman kalengnya. "Entah, anak-anak lari ke lorong belakang semua. Ms. Megalodon juga heboh banget," imbuh Gerald. Gery dan Theo langsung tertawa mendengarnya. Ms. Megalodon adalah julukan yang mereka berikan pada Ms. Oliv, guru seni yang memiliki tubuh gemuk. Hingga Theo dan kawan-kawannya memanggilnya dengan panggilan Ms. megalodon. "Ini Pak Bos, kenapa lemes?" tanya Jeremy—pemuda berkulit hitam yang kini duduk sambil meletakkan sikunya di pundak Theo. "Belum dibelai Bu kantin!" sahut Dylan sambil memainkan gitarnya. Theo langsung menoleh dengan tatapan sebal. "Sini, aku genjreng mulutmu!" serunya. "Sensi banget, Bos..." seru Adam menyenggol lengan Theo. "Ber
Begitu Theo sampai di sekolah, ia melihat mobil milik Jordan berada di sana. Theo pun langsung berlari di koridor depan. Ia melihat semua temannya berdiri di sana dengan ekspresi susah. "Bos, Papamu ikut," ujar Gery. "Papa?!" pekik Theo. Theo hendak berlari ke ruang kepala sekolah, tapi Gerald menahan pundaknya. "Jangan, Theo. Ayahnya Arabelle sangat marah," ujar Gerald. Alih-alih Theo mendengarkan, ia justru menepis tangan sahabatnya dan Theo berlari mendekati kantor kepala sekolah di ujung lorong. Dari sana terdengar suara amukan Jordan yang tidak main-main. Tidak mengelak, orang tua mana yang tidak akan marah jika melihat anaknya sampai seperti itu."Saya tidak akan tinggal diam atas apa yang menimpa anak saya! Saya akan tetap bersikeras membawa masalah ini ke ranah hukum!" teriak Jordan. "Bukti CCTV itu menunjukkan anak Anda yang merundung putri saya!" Theo sampai di depan ruang kepala sekolah, di sana sangat ramai semua anak bergerombol mengintip di balik jendela. Begitu
Jordan terduduk lemas di bangku tunggu di sebuah rumah sakit ibu kota. Bersama Asher bersamanya, ada juga Dokter Dion dan Ms. Diana di sana. Laki-laki dengan balutan tuxedo hitam itu tertunduk lesu saat Dokter Dion menjelaskan kondisi Arabelle saat ini. "Pihak rumah sakit masih harus memeriksa lebih lanjut untuk cedera indra penciuman milik Arabelle dan juga juga tulang hidungnya, yang ditakutkan terjadi keretakan atau sebagainya karena pukulan yang sangat keras. Juga ... kemungkinan bisa berefek pada syaraf penglihatannya," ujar Dokter Dion menjelaskan pada Jordan. Helaan napas panjang terdengar dari bibir Jordan. Laki-laki itu mengusap wajahnya dan tidak mampu mengatakan apapun lagi saat ini. Selain diam dengan perasaannya yang sangat sedih. Dokter Dion dan Ms. Diana pun tak lama kemudian pamit untuk kembali ke sekolah lagi. Asher masih di sana bersama Jordan. Asher menepuk-nepuk pundak Jordan dengan pelan. "Aku minta maaf, Jordan," ucap Asher. "Karena putraku, Arabelle jadi b
Malam ini Theo datang ke rumah sakit lagi. Theo melihat Jordan duduk di bangku tunggu di depan. Tampaknya, Jordan masih dengan pakaian yang sama seperti pagi tadi. "Paman," sapa Theo, ia membawa paper bag berisi pakaian untuk Jordan, setelah Papanya yang menyuruhnya. Jordan mendongak dan menerimanya. "Terima kasih, Theo." Theo segera duduk di samping Jordan dan ia diam sejenak. "Bagaimana kondisi Arabelle, Paman?" "Dia tadi sudah bangun, Arabelle menangis kesakitan dan dia bilang pandangannya sangat buram. Tapi setelah dokter datang dan memeriksanya dia kembali tidur," jelas Jordan pada Theo. Bagaimanapun juga, sulit bagi Jordan untuk marah pada Theo, karena sejak Theo kecil, anak itu selalu bersama Jordan. Jordan menoleh dan menatap Theo. Ia tersenyum tipis sambil menepuk-nepuk pundak pemuda itu. "Aku minta maaf, Paman," ucap Theo lirih. "Ya. Paman tahu, doakan Arabelle cepat sembuh, Theo," ucap Jordan menyandarkan punggungnya. "Paman tidak sepenuhnya marah padamu. Paman han
Beberapa hari kemudian...Kondisi Arabelle sudah membaik, namun gadis itu masih dirawat di rumah sakit karena Arabelle masih perlu dipantau perkembangan fisik dan mentalnya. Arabelle merasa sedih saat pandangan matanya memburuk. Bahkan Arabelle tidak mampu melihat wajah orang dengan jelas, Arabelle tidak mampu membaca tulisan baik dari dekat ataupun dari jauh. Hal ini membuat mentalnya hancur. Sore ini, Arabelle duduk di dalam kamar inapnya seorang diri karena Papanya masih belum kembali. Arabelle diam menundukkan kepalanya dan ia berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. Hingga tiba-tiba ia mendengar suara pintu terbuka. "Ayah..." "Ini aku, Arabelle." Arabelle langsung diam mengatupkan bibirnya, suara itu adalah suara milik Theo. Sejak dua hari yang lalu, Arabelle tidak mau bertemu dengan Theo, tapi Theo tidak menyerah. Dia tetap menemani Arabelle dengan baik. "Aku bawakan sponge cake untukmu, ada minuman susu stroberi juga," ujar Theo. "Aku tidak lapar," jawab Arabelle tan
"Ayah, hari ini Arabelle sudah boleh pulang?" Arabelle tampak tersenyum dengan wajah pucatnya, meskipun masih sedikit lebam di hidung dan bawah matanya. Melihat ekspresi Arabelle yang terkesan senang, Jordan tersenyum manis dan mengusap pucuk kepala putrinya. "Sudah, Sayang. Sebentar lagi suster akan ke sini mencabut jarum infusnya," jawab Jordan. Arabelle tersenyum manis. "Di rumah ada siapa saja, Yah? Tante Kaila dan Tante Janice ada, tidak?" tanya gadis itu. Jordan memperhatikannya dan menggelengkan kepalanya. "Tidak, Sayang. Kedua Tantemu sekarang tinggal di apartemen." "Tante ... tidak marah, Yah?" tanya Arabelle dengan pandangan sedikit kosong terarah pada Jordan. Sekali lagi, pandangan gadis itu sangat buram, dan ia gampang merasa silau saat ada cahaya berlebih. "Kenapa pula mereka marah? Tidak, Sayang..." Theo tersenyum gemas. Arabelle mengangguk kecil. Hingga tak lama kemudian, dokter dan suster pun masuk ke dalam ruangan itu diikuti Theo yang baru saja datang. Theo
Setelah pulang ke rumah seharian. Arabelle merasa sangat senang berada di rumah. Meskipun kali ini ia tidak bisa mandiri lagi seperti hari-hari kemarin. Malam ini, Arabelle duduk di kursi di dalam kamarnya. Gadis itu melipat kedua tangannya di atas meja dan meletakkan kepalanya di sana. 'Aku tidak bisa membaca pesan apapun di ponselku. Jangankan membaca, aku tidak bisa menemukan keberadaan ponselku saat ini,' batin Arabelle sedih dan sendu. Gadis itu memejamkan kedua matanya pelan. "Ya Tuhan, semoga kedua mataku cepat sembuh," lirihnya pelan. Arabelle mengangkat wajahnya cepat dan menoleh ke arah pintu kamarnya. Ia mendengar suara pintu kamarnya yang terbuka. "Ayah..." "Ada Kak Theo," ujar Jordan pada Arabelle. Gadis itu terdiam sejenak sebelum akhirnya ia mengangguk. "Heem." Jordan menatap Theo dan menepuk pundaknya dengan pelan. Theo pun melangkah masuk ke dalam kamar bernuansa merah muda milik Arabelle. Pemuda itu mendekati Arabelle dan Theo meraih satu kursi, ia memilih
Keesokan paginya, Theo benar-benar menepati janjinya dan ia sungguh datang ke kediaman Jordan pagi ini. Theo membawa satu kotak berisi sandwich dan susu kotak rasa stroberi kesukaan Arabelle. Pemuda itu membawa mobil baru milik Papanya, Theo memarkirkannya di depan rumah Jordan. "Permisi, Kek ... selamat pagi," sapa Theo pada Julian, Papa Jordan. "Heem, pagi juga, Theo," balas Julian tersenyum. "Sana masuk, Arabelle masih sarapan dengan Papanya di belakang." "Iya, Kek." Theo berjalan masuk ke dalam rumah. Pemuda itu melangkah ke arah ruang makan, langkah Theo terhenti di sana saat ia melihat Arabelle tengah disuapi oleh sang Ayah. Rasa terenyuh dirasakan oleh Theo. Apakah anak perempuan di dunia ini benar-benar sangat dicintai dan disayangi oleh Ayahnya? Bahkan tak hanya melihat Arabelle saat ini, di rumahnya pun ada Lea yang selalu diperlukan layaknya seorang princess oleh Asher. Theo melangkah ke arah mereka berdua. "Selamat pagi," sapanya penuh semangat. "Pagi..." Jordan m
Segala macam persiapan sudah diselesaikan. Arabelle lolos masuk ke universitas impiannya, gadis itu mendalami ilmu kedokteran seperti yang ia inginkan. Berkat dukungan dan juga perhatian penuh yang Jordan berikan, anak gadisnya bisa berdiri sampai di titik ini.Malam ini, Jordan mengadakan makan malam. Ia mengundang juga Asher dan Aleena, juga Theo, bersama di kembar di sebuah rumah makan di restoran mewah. Tak hanya mereka, bahkan kedua orang tua Jordan pun juga ikut. "Terima kasih Tuan dan Nyonya sudah menyempatkan datang malam ini," ucap Jordan pada Asher dan Aleena. Asher terkekeh mendengarnya, ia menepuk pundak Jordan. "Masih formal saja kau dengan calon besanmu ini," ucap Asher. Jordan pun tertawa. "Masih perlu beradaptasi, Tuan Asher," jawabnya.Sedangkan Aleena kini duduk bersama dengan Hani, mereka berbincang-bincang. Theo bersama Julian dan juga Arabelle. Leo dan Lea melihat ikan-ikan hias di akuarium besar yang berada di tempat itu. Lea berlari mendekati Aleena, anak
Hari berlalu musim pun berganti. Hari demi hari terlewati seperti embusan angin yang cepat dan lembut. Tak terasa, dua setengah tahun terlewati dengan mudahnya. Dua tahun menjadi perjalan yang sangat hebat untuk Theo. Pemuda itu, kini sudah meninggalkan bangku sekolah sejak satu tahun yang lalu. Theo meneruskan perusahaan milik Asher. Bahkan selepas lulus dari bangku sekolah, Theo sangat gila-gilaan mendalami pekerjaan yang ia impikan di dunia bisnis, dia tidak melanjutkan pendidikannya hanya sekejap, lalu fokus pada pekerjaannya. Seperti saat ini, pemuda itu duduk di dalam ruangan kerjanya, di kantor milik sang Papa. Theo tampak sibuk, menyiapkan beberapa berkas untuk persiapan meeting sore nanti. "Berkas yang semalam sudah kau bawa, kan, Theo?" tanya Asher pada sang putra. Theo menoleh dan mengangguk. "Sudah, Pa. Semuanya sudah beres," jawab pemuda itu. "Bagus. Sebagai asisten Papa, kau harus bisa segalanya. Paman Jordan sudah ada di divisinya sendiri, jadi ... kau harus bisa
Setelah acara makan malam selesai, Theo mengajak Arabelle untuk pergi bersamanya. Malam ini adalah malam yang sangat dinanti-nantikan oleh Arabelle. Perayaan tahun baru yang sudah dari lama ia tunggu-tunggu. Meskipun rencana Arabelle dari awal gagal total, dari ingin menemani Theo bertanding basket, sampai kini mereka pergi ingin melihat pesta kembang api, tapi Arabelle berharap kali ini tidak boleh gagal. "Hemmm ... sepertinya bahagia sekali," tanya Theo melirik Arabelle, sebelum kambali fokus mengemudikan mobilnya. Gadis cantik itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Tentu saja," jawab Arabelle. "Aku hampir berpikir tidak ada harapan lagi untuk melihat perayaan pesta kembang api malam ini, Kak. Tapi ternyata, Tuhan berkata lain..." Theo tersenyum. "Aku selalu berdoa sepanjang hari agar apapun yang kau harapkan bisa Tuhan kabulkan, Arabelle," ucap Theo. "Benarkah?" Arabelle tersenyum menatapnya. Theo terkekeh gemas tanpa menjawabnya, ia mengulurkan satu tangannya dan mengu
Theo datang seperti biasa. Kedatangannya kali ini disambut oleh Jordan, laki-laki yang selalu ia panggil Paman sejak kecil itu kini menjadi lebih dekat dengan Theo. Mereka berdua duduk di ruang tamu, menunggu Arabelle yang tengah bersiap, karena Theo bilang kalau Arabelle diminta oleh Aleena datang untuk makan malam bersama. "Beberapa hari ini Paman jadi jarang melihatmu, Theo," ujar Jordan sambil menyalakan sebatang cerutu di tangannya. Theo tersenyum tipis. "Iya, Paman. Paman terlalu sibuk, aku juga sibuk," jawab Theo. "Heem. Paman membantu Papamu mengurus proyek yang ada di Palonia," jawab Jordan. "Paman yakin, dengan kepintaranmu, kau bisa ikut campur dalam proyek itu andai kau tidak sibuk dengan sekolahmu. Paman selalu mengajarimu nanyak hal, bukan?" Mendengar ucapan Jordan, Theo hanya terkekeh saja dan mengangguk. "Untuk beberapa bulan ini aku akan fokus pada pendidikanku dulu, Paman. Setelah itu, aku akan fokus membantu Papa," jawabnya. "Aku mungkin tidak akan mau lanjut
Puas berputar-putar mengelilingi kota dengan bus kota sambil menikmati hujan salju yang turun malam ini. Arabelle dan Theo bernostalgia mengenang masa kecil mereka saat masih duduk di bangku taman kanak-kanak saat bus melewati sekolah mereka. "Kau sudah pamit pada Ayahmu kalau akan pulang terlambat?" tanya Theo menatap Arabelle. Gadis cantik itu mengangguk. "Iya, Kak. Aku sudah pamit," jawabnya. "Baguslah." Theo mengusap pucuk kepala Arabelle. Arabelle duduk diam menatap salju yang turun, gadis itu menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Sedangkan Theo merangkulnya dengan satu lengannya. Mereka sama-sama menatap hujan salju di luar yang sangat indah malam ini. "Kak Theo, aku ingin mengatakan sesuatu," ujar Arabelle menoleh menatap Theo. "Sesuatu apa?" Theo menaikkan kedua alisnya. "Emm ... besok Kak Theo tanding basket, kan?" cicitnya. "Hm." Theo bergumam, ia masih terus menatap wajah cantik Arabelle. "Kenapa?" "Mungkin aku tidak bisa datang," ucap Arabelle jujur. "Besok pagi
Satu Minggu kemudian.Arabelle tampak murung siang ini di sekolah. Gadis itu menatap ke arah jendela luar di sekolahnya. Pandangan mata Arabelle sudah pulih, meskipun ia tidak bisa memandang jarak jauh, namun setidaknya Arabelle sudah bisa menatap sesuatu di dekatnya. "Arabelle, hmm ... kau kenapa diam saja? Ayo, kita ke super market di depan, kita beli cemil," ajak Vivian menarik lengan Arabelle. "Uang sakuku tertinggal di kamar, Vian," jawab Arabelle menatap Vivian. "Yahh, bagaimana bisa?" Vivian mengerjapkan kedua matanya. "Pakai uangku saja, ayolah..." Arabelle mendengus pelan. Mau tidak mau Vivian sudah menarik lengannya lebih dulu. Arabelle pun ikut beranjak dari duduknya. Gadis itu merapatkan kembali jaket seragam berwarna biru dan putih yang ia pakai kini. Kedua gadis itu berjalan di taman sekolah. "Huhh ... hari ini sangat dingin, Arabelle. Semoga malam ini saljunya turun, besok ada pertandingan basket anak-anak kelas sebelas. Aku akan berangkat dan membawa banner yang
Sekolah pulang pukul sembilan, itu terlalu pagi untuk bersantai-santai di rumah. Theo pun berkumpul dengan teman-temannya di warung belakang sekolah. Semua teman-temannya berada di sana. Tetapi Theo sedang menyusul Arabelle di sekolah, ia mengajak gadis itu ikut dengannya dulu, karena Ayahnya belum bisa menjemputnya. "Si Bos ke mana?" tanya Gerald sambil mengambil gitarnya di atas kursi. "Tuh, lagi jemput Arabelle," jawab Vero. "Tidak menyangka ya, cowok ajaib seperti Theo setia sama satu cewek," ujar Adam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dari bayi lagi!" sahut Gery. Semua teman-temannya pun tertawa mendengar hal itu. Hingga kini Theo melangkah masuk ke dalam tempat itu bersama dengan Arabelle. Tampak Ibu pemilik warung tersenyum saat melihat Theo bersama Arabelle ke sana. "Diajak duduk di dalam saja, Theo. Kasihan kalau di luar panas," ujar wanita itu. "Iya, Bu." Theo mengangguk. Arabelle duduk di sebuah bangku, dia terus memegangi lengan Theo karena gadis itu tidak
Keesokan harinya, Arabelle pergi ke sekolah seperti biasa. Gadis itu datang lebih pagi kali ini. Di depan pintu gerbang, Vivian sudah menunggu Arabelle. "Arabelle ... hai!" pekik Vivian langsung memeluknya, tampaknya gadis itu sangat kegirangan pagi ini. Arabelle menyipitkan kedua matanya. "Hemm, ada apa ini? Rasa-rasanya bahagia sekali," ujar gadis itu pada temannya. "Iya! Aku sangat senang sekali!" seru Vivian menganggukkan kepalanya penuh antusias. "Ada apa, Vian? Tidak mau bilang-bilang sama Arabelle?" tanya Arabelle sambil berjalan dengan bantuan Vivian yang memeluk lengannya. "Iya, aku akan memberitahumu. Tapi jangan kaget, ya," ujar Vivian. "Oke, siap!" Arabelle mengangguk patuh. Vivian pun menarik pundak Arabelle dan ia membisikkan sesuatu pada Arabelle saat itu juga. Sampai tiba-tiba langkah Arabelle terhenti, gadis itu terdiam mematung seketika. Ekspresi Arabelle sontak membuat Vivian tertawa terpingkal-pingkal."Vian!" pekik Arabelle. "Iya. Aku dan si Dugong sudah
Arabelle dan sang Ayah kini pergi ke rumah sakit ibu kota. Hari ini adalah jadwal Arabelle untuk cek up terkait kondisi kesehatannya. Bersama Jordan yang selalu menemaninya, Arabelle tampak duduk di samping sang Ayah yang kini menunggu hasil pemeriksaan oleh dokter. "Ayah, Ara pasti sembuh, kan?" bisik Arabelle memeluk lengan sang Ayah. Jordan menoleh dan tersenyum, laki-laki itu mengecup pucuk kepala putri kesayangannya. "Pasti, Nak. Ayah akan mengusahakan yang terbaik untuk anak Ayah," jawab Jordan. "Kalau biayanya mahal, bagaimana, Ayah?" tanya gadis itu. "Biar saja meskipun Ayah harus menjual ginjal asal anak Ayah sembuh," jawab Jordan. Kedua mata Arabelle membola. "A-Ayah tidak menjual ginjal, kan?" pekik gadis itu. Jordan tertawa pelan. "Tentu saja tidak, Sayang. Uang Ayah sangat banyak, jangan khawatir. Bahkan Ayah bisa membeli rumah sakit ini." Arabelle langsung terkikik geli. "Ayah tahu tidak, nanti kalau Arabelle sudah lulus sekolah, Arabelle ingin meneruskan ke per