Dokter terus memantau perkembangan kondisi Melody pasca operasi pengangkatan janin. Selain memeriksa luka operasi, dokter juga memastikan kesehatan rahim serta kondisi saluran tuba falopi dan sel telur Melody tetap terjaga.“Dok, bagaimana kondisi istri saya? Apakah... sudah bisa pulang hari ini?” tanya Arjuna dengan suara pelan namun penuh harap.Dokter mengangguk pelan, memberi sedikit senyum, “Sore ini Ibu Melody sudah boleh pulang. Tapi, mohon diingat, harus istirahat total. Kami ingin memberi waktu bagi tubuh Ibu untuk benar-benar pulih, terutama bagian tuba falopi. Selama satu bulan ini, sebaiknya hindari dulu berhubungan suami istri, ya.”Melody, yang sejak tadi hanya diam menatap lantai, akhirnya membuka suara. Ada kegelisahan yang jelas terdengar dalam suaranya.“Dok… saya masih bisa hamil normal, kan? Maksud saya… apakah kemungkinan hamil di luar kandungan itu bisa terjadi lagi?”Dokter menarik napas sejenak, seperti memilih kata-kata terbaik untuk tidak menyakiti, namun tet
"Ibu....!" teriak Alea sambil berlari di sepanjang koridor rumah sakit. Kaki-kakinya kecilnya menghentak lantai dengan penuh semangat, napasnya tersengal tapi wajahnya berseri, memancarkan kebahagiaan yang tulus. Ia tak peduli pada pandangan orang-orang—yang ia tahu, ibunya akan pulang hari ini.Melody menahan air mata ketika melihat putri kecilnya berlari menghampiri. Senyum yang lama menghilang akhirnya kembali terukir di wajahnya, senyum yang lahir dari luka-luka yang perlahan mulai sembuh. Hari itu bukan sekadar hari biasa—itu adalah awal dari kehidupan baru. Kehidupan yang akhirnya terasa damai setelah dilanda badai panjang.Tak jauh dari sana, Arjuna berdiri memperhatikan keduanya. Lelaki yang dulu dikenal dingin dan tak tersentuh itu, kini wajahnya lebih lembut, sering kali tersenyum meski dalam diam. Sejak Melody dan Alea hadir, hidupnya tak lagi hampa. Mereka adalah warna yang mewarnai kanvas hidupnya yang dulu kelabu."Tuan, mobil sudah siap. Saya juga sudah mengurus semua r
“Kamu bisa pulang sekarang.”Suara dingin itu datang dari Arjuna. Lima pria bertubuh kekar yang menjaga Leo selama dua hari terakhir akhirnya mundur, melepaskan cengkeraman mereka. Tubuh Leo terhuyung sedikit, lututnya nyaris lemas, tapi ia menegakkan dirinya, berusaha tetap tenang meski di dalam hatinya penuh amarah dan kelelahan.“Aku sudah bilang dari awal…” suara Leo serak, menahan emosi. “Tidak ada gunanya kalian menyekapku. Musuh Tuan kalian itu Sasha, bukan aku. Aku cuma… seorang fotografer.”Matanya menatap satu per satu pria di depannya, penuh amarah dan kecewa.“Dua hari waktuku terbuang sia-sia,” gumamnya kesal, lalu berbalik dan pergi tanpa menoleh lagi.Ia menyusuri jalan setapak dengan langkah berat. Angin malam terasa menusuk kulitnya, tapi yang paling menusuk adalah kenyataan bahwa Sasha—wanita yang seharusnya satu pihak dengannya—telah menghilang begitu saja. Meninggalkannya.“Kemana wanita itu? Harusnya dia tidak pergi tanpa aku…” gumamnya penuh geram.Langkahnya sam
Akhir pekan yang telah dinanti akhirnya tiba. Suasana rumah terasa riuh oleh suara koper yang ditutup, tawa kecil, dan percakapan ringan. Melody, Arjuna, dan Alea tengah bersiap untuk penerbangan menuju Jepang. Arjuna memilih kota Sakura—bukan tanpa alasan. Musim salju baru saja tiba, dan ia ingin keluarganya merasakan keajaiban yang belum pernah mereka alami.“Bu, emang dingin banget ya di sana? Lebih dingin mana sama Puncak, Bu?” tanya Alea dengan mata berbinar, membayangkan butiran salju jatuh dari langit.Melody tersenyum sambil merapikan resleting koper. “Ibu juga belum pernah ke Jepang, Nak… Jadi ibu nggak tahu. Tapi ibu rasa… udara dinginnya pasti punya rasa yang berbeda.”Alea terkikik pelan, lalu menarik kopernya keluar kamar. Di depan, Arjuna sudah menunggu. Tapi kali ini ada yang lain—auranya berbeda. Bukan lagi sosok CEO tegas dan kaku yang biasa ia lihat.“Tuan Papah? Kayaknya salah pakai baju, deh?” komentar Alea polos, menatap ayahnya yang mengenakan kaus putih berlogo
Tujuh jam perjalanan akhirnya terbayar saat pesawat mendarat mulus di Bandara Haneda. Arjuna dan Melody menarik napas lega, sementara Alea tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Matanya sibuk menelusuri setiap sudut terminal, penuh rasa ingin tahu, seperti menjelajahi dunia baru yang asing dan menakjubkan."Tuan Papah, mereka ngerti nggak ya bahasa kita?" tanya Alea pelan, menatap sekelompok petugas bandara dengan mata membulat."Mereka nggak ngerti, Alea," jawab Arjuna sambil tersenyum sabar.Alea langsung cemberut kecil. "Terus gimana dong? Alea nggak bisa bahasa Jepang… cuma bisa ‘wonton-wonton saha teh’."Dia mengangguk mantap, seolah-olah itu kalimat andalan internasional.Mendengar itu, Arjuna dan Melody langsung tertawa pelan, menahan geli."Itu... bahasa apa, Alea?" tanya Arjuna, berusaha tetap tenang meski bibirnya nyaris pecah menahan tawa."Wonton itu kan makanan, Sayang," Melody ikut menimpali sambil mengelus kepala Alea. "Kamu belajar ngomong kayak gitu dari mana, hmm
Alea berlari masuk ke kamar hotel, langkah-langkah kecilnya penuh semangat. Ia langsung naik ke atas kasur dan mulai melompat-lompat kegirangan, seolah seluruh kebahagiaan dunia miliknya."Alea, turun, Nak. Nanti kamu jatuh," seru Melody lembut, setengah cemas namun tak bisa menahan senyum melihat putrinya begitu bahagia.Arjuna mendekat ke jendela, lalu dengan satu tarikan halus membuka tirai yang menutup pemandangan kota. Cahaya matahari sore menyinari interior kamar, memantulkan kilau hangat pada dinding kaca."Bagaimana? Hotelnya nyaman, kan? Coba sini, lihat ke arah jendela," katanya, menoleh pada Alea dengan senyum.Alea langsung melompat turun dari kasur dan berlari menghampiri, wajahnya berbinar. Matanya membelalak takjub saat melihat menara tinggi menjulang di kejauhan."Waaah... Tuan Papah, itu menara yang Alea lihat tadi dari mobil!" serunya riang sambil menunjuk menara megah itu."Iya, itu Menara Tokyo. Nanti malam lebih indah lagi—penuh lampu kerlap-kerlip. Kita akan maka
“Mas… wanita itu… dia memakai cincin yang sama denganku… cincin pemberianmu yang hilang,” ujar Melody lirih, suaranya bergetar saat jari telunjuknya gemetar menunjuk ke arah kerumunan.Arjuna menyipitkan matanya, menyusuri wajah-wajah yang lalu-lalang, mencoba mencari sosok yang Melody maksud. Sorot matanya berubah tajam.“Tidak mungkin, Melody… Cincin itu hanya satu-satunya. Temanku yang buat sendiri, khusus untukmu. Mustahil ada duplikatnya,” Arjuna menggeleng, nadanya keras, tapi ragu mulai merayap dalam benaknya.“Tapi aku tahu itu punyaku! Aku hapal lekuknya, bentuknya… Jangan-jangan dia yang mencurinya dariku saat di pameran dulu?” Melody tampak resah, matanya tak lepas dari wanita yang kini berjalan menjauh.Arjuna menoleh cepat, gelisah. Tangannya merogoh saku, menarik ponsel. Ia butuh bantuan—Alex pasti bisa melacak sesuatu dari sini.Namun sebelum sempat menelepon, suara kecil memotong kegelisahan itu.“Tuan Papah, Tuan Papah… Alea mau es krim coklat!” rengek Alea sambil men
Setelah insiden menegangkan semalam, Arjuna mantap mengambil keputusan: mereka harus segera pulang ke tanah air. Rasa tidak aman menyelimuti pikirannya, terlebih setelah berbagai kejadian janggal yang menimpa Melody selama di Jepang.Di ruang tunggu bandara, suasana terasa berat. Melody menggenggam tangan Alea erat, matanya berkaca-kaca.“Alea, maafin Ibu ya. Gara-gara Ibu, liburan kita jadi singkat begini,” ucap Melody lirih, penuh rasa bersalah.“Nggak apa-apa kok, Bu,” balas Alea sambil menggeleng pelan. “Alea malah kasihan sama Ibu. Lagipula… Alea juga pengen pulang.”Arjuna yang duduk tak jauh dari mereka hanya bisa tersenyum tipis menyaksikan kehangatan di antara ibu dan anak itu. Namun pikirannya belum tenang. Ada satu hal yang masih mengganggunya—siapa sebenarnya pria misterius yang mencoba mencelakai Melody?“Melody,” katanya pelan, “apa kamu masih ingat pria semalam itu?”Melody menggeleng. “Tidak. Dia pakai masker, topi… juga hoodie. Wajahnya sama sekali tidak terlihat.”“A
“A-Alea?” suara Melody nyaris tak terdengar, tenggorokannya tercekat.Dada Melody terasa sesak. Pandangannya mulai berkabut, air mata mendesak keluar tanpa bisa ditahan. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba tetap tenang. Tangan kirinya meremas erat rok yang ia kenakan.Di sebelahnya, Arjuna mulai melirik penuh tanya. Ia memperlambat laju mobil. “Melody? Siapa itu?”Melody mengangkat tangan, isyarat agar Arjuna menunggu. Ia masih terpaku pada suara di ponselnya.Arjuna kini benar-benar menepi, parkir darurat di pinggir jalan. Ia menatap Melody, khawatir.Malam telah larut ketika mereka tiba kembali di rumah. Lampu ruang tamu menyala temaram, memberikan kesan hangat, namun di balik itu semua, udara terasa berat. Seperti ada sesuatu yang menggantung di antara dinding-dinding rumah itu—sesuatu yang belum terucap, belum terungkap.Arjuna melepas sepatunya perlahan, lalu berjalan menuju dapur. "Aku ambil air dulu. Kamu mau?" tanyanya.Melody menggeleng cepat. "Enggak, Mas. Aku... capek, mau
Melody mondar-mandir di ruang tamu, langkahnya tak beraturan, seirama dengan kegelisahan yang semakin merayap di dadanya. Matanya tak lepas dari jam dinding yang menunjukkan pukul lima sore. Sudah terlalu sore. Pesan dari Arjuna beberapa waktu lalu terus terngiang di kepalanya: “Jangan lupa siap-siap, ya.”"Apa yang harus aku katakan? Haruskah aku jujur? Tidak, tidak bisa!" gumamnya dengan suara gemetar. Tangannya mencengkeram ujung blouse yang ia kenakan, berusaha menenangkan diri, tapi sia-sia. Kepalanya penuh kemungkinan terburuk. Bagaimana kalau Arjuna tahu? Bagaimana kalau semuanya berantakan?Tiba-tiba, suara pintu terbuka. Melody menegakkan tubuhnya seketika, jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri."Kamu sudah siap? Alea kemana?" tanya Arjuna sambil melangkah masuk, matanya langsung mencari-cari sosok kecil yang biasa menyambutnya.Melody tersenyum paksa, mencoba terdengar tenang. "Alea... ketiduran, Mas. Kat
"A-Alea... Alea... masih ada kegiatan di sekolah."Suara Melody terdengar bergetar, seperti menyembunyikan sesuatu. Jantungnya berdegup kencang, nyaris tak karuan. Ia berusaha keras menenangkan dirinya, tapi peluh di dahinya tak bisa berbohong. Tangannya yang menggenggam ujung bajunya gemetar halus.Arjuna menatap Melody, sorot matanya tajam namun tetap tenang."Alea mulai sibuk akhir-akhir ini? Rumah ini jadi terasa kosong," ucapnya pelan, ada nada rindu yang samar di balik suaranya."I-iya, Mas... Alea sekarang banyak kegiatan. Selain sekolah, dia juga ikut ekstrakurikuler piano... dan... les matematika juga," ujar Melody terbata, matanya sesekali menghindari tatapan Arjuna.Arjuna mengernyit, alisnya naik perlahan. "Les matematika? Sejak kapan Alea ikut les?"Jantung Melody nyaris berhenti berdetak. Ia tahu itu kesalahan. Arjuna selalu teliti soal pendidikan Alea—tak ada satu hal pun yang luput dari perhatiannya.Ia menarik napas, mencoba mengendalikan kecemasan yang mencengkeram d
“Ayah?”Suara Alea lirih, hampir tak terdengar, seperti sehelai daun yang jatuh di tengah senyap. Langkah kakinya yang biasanya lincah kini melambat, seakan setiap jejaknya menanggung beban luka yang belum sembuh. Matanya tak lepas dari sosok sang ayah, terbaring lemah di atas ranjang tua, tubuhnya lebih kurus, wajahnya pucat, seolah hidup hanya menumpang sebentar lagi.“Alea, kamu datang, Nak?” Suara Suripto serak dan terputus oleh batuk. “Ayah kira… kamu sudah membenci Ayah.”Melody berdiri di ambang pintu, dadanya sesak melihat pria yang dulu menghancurkan hidupnya kini terbaring tak berdaya. Dendam dan iba bertarung di dalam hatinya. Dulu Suripto adalah sosok yang ditakuti, keras, bahkan kejam. Tapi kini… tubuh itu tak lagi sama. Apakah ini balasan dari semesta? Tapi kenapa hatinya justru terasa nyeri?“Alea nggak benci Ayah…” jawab Alea sambil duduk di tepi ranjang. Mata bulatnya menatap ayahnya dalam. “Cuma… kadang Alea sedih. Soalnya Ayah nggak pernah datang lagi. Nggak pernah
Melody terdiam, matanya kosong menatap lantai kamar. Ia duduk di tepi ranjang, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan. Kepalanya penuh gejolak—ia tahu apa yang harus ia lakukan, tapi keberanian belum juga datang. Bagaimana mungkin ia meminta izin pada Arjuna untuk menemui Suripto? Ia yakin, Arjuna tak akan pernah mengizinkannya.Suara pintu kamar yang terbuka pelan menyentaknya dari lamunan."Melody... kamu belum tidur?" tanya Arjuna, suaranya tenang, baru saja pulang dari kantor."Belum..." jawab Melody lirih. Ada jeda. Ia menarik napas, mencoba menyusun kata. "Hmm... Mas, aku... aku mau bicara sesuatu."Arjuna berjalan pelan dan duduk di sampingnya. Ia menatap istrinya yang tampak gelisah. Wajah Melody pucat, matanya beralih dari lantai ke jari-jarinya sendiri, lalu kembali ke lantai."Apa? Katanya mau bicara?" tanya Arjuna, bingung melihat istrinya seperti menahan sesuatu."Itu..." suara Melody bergetar. "Alea... besok Alea minta aku temani ke acara sekolah."Itu bukan
Seminggu sejak kembali dari liburan ke Jepang, suasana hati Melody perlahan membaik. Luka di lengannya telah sembuh sepenuhnya, dan kini ia tengah menapaki harapan baru—menjalani program kehamilan yang selama ini didambakannya. Setiap bulan, ia rutin memeriksakan kesehatan rahim dan kualitas sel telurnya, menyimpan harapan besar dalam setiap hasil yang ia terima.Pagi itu, cahaya matahari mengintip hangat dari balik jendela dapur. Dengan penuh perhatian, Melody merapikan kotak bekal makan siang untuk suaminya."Mas, ini bekal makan siangnya," ucap Melody lembut sambil menyerahkannya pada Arjuna.Arjuna menerima kotak itu dengan senyum tipis. Ia mengecup kening Melody penuh kasih. “Melody, kamu nggak merasa lelah ngurus semua sendiri? Gimana kalau kita cari asisten rumah tangga?” tanyanya hati-hati.Melody menunduk sejenak, jemarinya saling meremas kecil. “Aku masih takut, Mas… Aku belum bisa lupa apa yang dilakukan Bibi Arumi. Aku masih trauma.”Arjuna menggenggam tangan istrinya deng
Setelah insiden menegangkan semalam, Arjuna mantap mengambil keputusan: mereka harus segera pulang ke tanah air. Rasa tidak aman menyelimuti pikirannya, terlebih setelah berbagai kejadian janggal yang menimpa Melody selama di Jepang.Di ruang tunggu bandara, suasana terasa berat. Melody menggenggam tangan Alea erat, matanya berkaca-kaca.“Alea, maafin Ibu ya. Gara-gara Ibu, liburan kita jadi singkat begini,” ucap Melody lirih, penuh rasa bersalah.“Nggak apa-apa kok, Bu,” balas Alea sambil menggeleng pelan. “Alea malah kasihan sama Ibu. Lagipula… Alea juga pengen pulang.”Arjuna yang duduk tak jauh dari mereka hanya bisa tersenyum tipis menyaksikan kehangatan di antara ibu dan anak itu. Namun pikirannya belum tenang. Ada satu hal yang masih mengganggunya—siapa sebenarnya pria misterius yang mencoba mencelakai Melody?“Melody,” katanya pelan, “apa kamu masih ingat pria semalam itu?”Melody menggeleng. “Tidak. Dia pakai masker, topi… juga hoodie. Wajahnya sama sekali tidak terlihat.”“A
“Mas… wanita itu… dia memakai cincin yang sama denganku… cincin pemberianmu yang hilang,” ujar Melody lirih, suaranya bergetar saat jari telunjuknya gemetar menunjuk ke arah kerumunan.Arjuna menyipitkan matanya, menyusuri wajah-wajah yang lalu-lalang, mencoba mencari sosok yang Melody maksud. Sorot matanya berubah tajam.“Tidak mungkin, Melody… Cincin itu hanya satu-satunya. Temanku yang buat sendiri, khusus untukmu. Mustahil ada duplikatnya,” Arjuna menggeleng, nadanya keras, tapi ragu mulai merayap dalam benaknya.“Tapi aku tahu itu punyaku! Aku hapal lekuknya, bentuknya… Jangan-jangan dia yang mencurinya dariku saat di pameran dulu?” Melody tampak resah, matanya tak lepas dari wanita yang kini berjalan menjauh.Arjuna menoleh cepat, gelisah. Tangannya merogoh saku, menarik ponsel. Ia butuh bantuan—Alex pasti bisa melacak sesuatu dari sini.Namun sebelum sempat menelepon, suara kecil memotong kegelisahan itu.“Tuan Papah, Tuan Papah… Alea mau es krim coklat!” rengek Alea sambil men
Alea berlari masuk ke kamar hotel, langkah-langkah kecilnya penuh semangat. Ia langsung naik ke atas kasur dan mulai melompat-lompat kegirangan, seolah seluruh kebahagiaan dunia miliknya."Alea, turun, Nak. Nanti kamu jatuh," seru Melody lembut, setengah cemas namun tak bisa menahan senyum melihat putrinya begitu bahagia.Arjuna mendekat ke jendela, lalu dengan satu tarikan halus membuka tirai yang menutup pemandangan kota. Cahaya matahari sore menyinari interior kamar, memantulkan kilau hangat pada dinding kaca."Bagaimana? Hotelnya nyaman, kan? Coba sini, lihat ke arah jendela," katanya, menoleh pada Alea dengan senyum.Alea langsung melompat turun dari kasur dan berlari menghampiri, wajahnya berbinar. Matanya membelalak takjub saat melihat menara tinggi menjulang di kejauhan."Waaah... Tuan Papah, itu menara yang Alea lihat tadi dari mobil!" serunya riang sambil menunjuk menara megah itu."Iya, itu Menara Tokyo. Nanti malam lebih indah lagi—penuh lampu kerlap-kerlip. Kita akan maka