Bab 83 Merasa BodohTeriakan sang adik sepupu melengking hebat. Alea yang berada di lantai dasar dan tengah melayani seorang pembeli, langsung naik ke lantai dua."Kamu apakan Sandra?!" tanya Alea saat melihat Aruna menutup pintu ruangan dengan kasar.Tak ada jawaban. Aruna memutuskan segera pergi. Bukan karena tak punya nyali menghadapi Alea dan Sandra secara bersamaan, hanya saja Aruna berpikir bahwa ia tak boleh menunjukkan kemarahan terlalu banyak di depan dua perempuan itu.Akan tetapi, Alea dengan sigap menahannya. "Keluar, San, Aruna ada di tanganku!"Kedua mata Aruna membola. Seluruh tenaga yang ia punya, segera dikerahkan untuk mendorong Alea. Kakak sepupu Sandra itu akhirnya terhuyung, bersamaan dengan pintu ruangan terbuka.Alea beralih fokus, menatap tak percaya akan penampilan Sandra yang tampak kacau dengan jus alpukat di rambutnya."Kenapa malah diem, Kak? Ayo kejar Aruna!" titah Sandra dengan lengkingan suara yang lebih hebat daripada sebelumnya."Kamu diapain sama di
Bab 82 Ibu Kandung Fathan?Jelas jantung Aruna berdebar. Ada rasa tak menyangka, mengapa tiba-tiba saja Sandra mengajaknya bertemu untuk membahas ibu kandung Fathan. Mantan kekasih dari suaminya itu seolah tahu, bahwa akhir-akhir ini Aruna mengalami kesulitan mencari semua fakta soal masa lalu Bastian."Kita sudah sampai, Bu."Suara Tono membuyarkan lamunan Aruna. Kedua matanya mengerjap, dan segera menoleh ke luar mobil. Benar kata Tono, mereka telah sampai di toko kue yang menjadi tujuan awal Aruna."Pak Tono pulang aja, saya mau mampir ke tempat lain sebentar," ucap Aruna, merasa kalau ia harus menghubungi Sandra lebih lanjut."Biar saya antar saja, Bu." Tono menawarkan bantuan."Gak usah, Pak. Silakan Pak Tono pulang ke rumah. Kalau saya belum pulang, tolong jemput Fathan seperti biasa."Tak bisa membantah, akhirnya Tono mengangguk. Dibiarkannya sang nyonya turun dari mobil. Dari tempatnya yang masih duduk di balik setir kemudi, ia melihat Aruna masuk ke toko kue. Tak ada satupun
Bab 81 Pesan Tak Terduga!"Papa gak kenapa-kenapa, kan?" tanya Fathan usai Bastian mengurai pelukan lebih dulu."Nggak, Sayang, Papa baik-baik aja," jawab Bastian lemas. Sebenarnya rasa kantuk yang begitu hebat telah menghampiri, tetapi ia menahannya sekuat tenaga. Alasannya hanya satu, yakni Bastian ingin bertemu dengan Fathan lebih dulu, sebelum dirinya benar-benar beristirahat."Muka Papa pucat," gumam Fathan dengan nada sedih.Bastian tertawa pelan, lengkap dengan kedua mata yang sayu. "Papa gak apa-apa, kamu jangan khawatir begitu, dong. Mana anak Papa yang jagoan? Masa mau nangis?"Bibir Fathan sudah terlipat ke dalam. Ya, bocah itu sedang menahan tangis agar tidak pecah. Melihat Bastian yang sakit, adalah hal paling buruk baginya. Fathan tak suka mendapati sang ayah dalam keadaan lemah tak berdaya seperti saat ini."Papa jangan kerja dulu, ya, dengerin apa kata Mama. Papa harus nurut sama Mama, supaya Papa cepet sembuh," ucap Fathan.Bastian langsung menatap Aruna yang masih be
Bab 80 Pikiran Yang Sama"Aruna!"Itu adalah teriakan terakhir dari Bastian, sebelum ia terbatuk-batuk dan memejamkan mata demi mengusir rasa pusing di kepala. Bastian pun mengepalkan tangan. Itu pun dilakukan tanpa tenaga, karena sekarang ini tubuhnya benar-benar lemah."Kalau saya sudah sehat, kamu harus menerima akibatnya, Run!" gumamnya masih tak terima.Sementara Aruna yang sudah keluar dari kamar, menjejalkan kunci ke dalam saku celananya. Tak akan pernah Aruna biarkan suaminya yang keras kepala itu keluar dari kamar, sebelum benar-benar sembuh betul dari sakitnya."Pak Tono belum pulang ya, Bi?" tanya Aruna mendatangi area para pekerja rumah tangga."Belum, Bu, mungkin sebentar lagi. Ibu mau titip sesuatu?""Nggak, kok, Bi. Oh, iya, saya mau nanya sesuatu." Aruna berbalik menuju dapur. Rencananya ia hendak membuat bubur. "Mas Bastian suka bubur nggak, ya?""Suka, Bu, tapi jangan pakai kacang dan seledri."Ah, begitu. Aruna mengangguk dan mulai membuat bubur. Marini sudah menawa
Bab 79 Mengurung Bastian!Turun dari taksi, Aruna memutuskan masuk ke dalam salah satu cafe yang sudah buka. Ia hanya memesan minuman hangat seraya menunggu kapan Juanda akan pergi.Akan tetapi, lelaki itu tak pernah berbalik dan membiarkan Aruna menjalani hidup dengan tenang. Maka dari itu, Aruna sengaja berlama-lama di sana. Tepat pukul sepuluh pagi, ia memutuskan pergi ke pusat perbelanjaan yang baru saja buka.Aruna berkeliling sampai kakinya pegal. Naik dan turun ke semua lantai menggunakan lift. Lantas saat dirinya punya kesempatan, Aruna menggunakan tangga darurat dan pintu belakang mall, agar dirinya benar-benar bisa terbebas dari pantauan Juanda."Dia memang berbahaya," ucap Aruna sangat pelan, tentunya dengan dada semakin berpacu cepat.Jika terus seperti ini, maka Aruna yakin, lambat laun Juanda akan tahu di mana dirinya tinggal. Tak lama dari itu, Juanda dan Bastian pastilah bertemu. Ujungnya, dua lelaki itu akan bertengkar. Mungkin bukan hanya adu jotos. Bisa saja mereka
Bab 78 Terlalu Ambisius!Jujur, Aruna terkesiap atas kehadiran Juanda yang seperti malaikat penolong baginya. Pasalnya, lelaki itu tiba-tiba saja datang dan bersikap seolah tengah memberikan perlindungan, agar Aruna tak diseret paksa oleh pemilik toko roti menyebalkan itu."Ada apa ini?" tanya Juanda setelah berhasil membuat Alea menyerah karena tak berhasil menarik Aruna seperti semula."Jangan ikut campur! Ini urusanku dengan perempuan tidak tahu diri itu!" Dengan lancang telunjuk Alea mengacung pada Aruna. Matanya tetap melotot galak, seakan tak gentar dengan kehadiran lelaki asing di depannya."Aku harus ikut campur, karena perempuan yang kamu perlakukan dengan kasar ini adalah temanku!" cetus Juanda tak mau kalah.Mata Alea terbelalak. Terang-terangan ia menatap Aruna dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Perihal perempuan itu, ia sudah tahu semuanya, karena Sandra menceritakan perkara apa yang tengah dihadapinya secara mendetail."Aruna adalah seorang pelakor. Dia merebut Bast