"Sinting kamu Mas, bisa-bisanya memakai mobil Pak Leo dan menabrakkannya."
Anisa tidak bisa menyembunyikan kekesalannya ketika sang suami, Raka, menghampirinya di ruang tunggu penjara.
Gara-gara sang suami bertindak bodoh, membawa mobil sport milik majikannya diam-diam hingga terlibat kecelakaan, Raka harus mendekam di penjara karena tidak bisa membayar ganti rugi.
"Sudah lah Anisa jangan bawel, cepat carilah cara agar aku bebas dari sini!"
Bukan merasa bersalah, Raka justu semakin mendesak sang istri.
Embusan napas panjang keluar dari bibir Anisa. "Uang darimana Mas! itu mobil sport limited edition gaji seumur hidupku nggak akan cukup untuk mengganti rugi!" Dia berteriak, tidak habis pikir sang suami justru tidak menunjukkan rasa bersalah.
Raka mendengus. Teriakan Anisa tidak dianggapnya. "Mereka kan majikan kamu Anisa! Kamu rayu kek, agar mereka mencabut tuntutannya!"
Cekcok suami istri itu lantas tidak bisa lagi dihindari hingga sipir meminta Anisa pulang, dan membawa Raka kembali ke sel.
Di luar kantor kepolisian, Anisa mendesahkan napas panjang. Dia kebingungan sekarang, antara kasihan pada nasib suaminya dan juga mengkhawatirkan nasibnya sendiri.
Suami dipenjara, uang tidak punya, pekerjaan satu-satunya sebagai asisten rumah tangga di rumah majikannya pun terancam berakhir.
"Ke mana aku harus mencari uang pinjaman?" keluhnya.
Anisa terus berpikir keras semalaman, hingga ia kesulitan tidur. Dia mencoba mencari jalan keluar, tetapi sayang semua terasa buntu. Satu-satunya cara adalah meminta belaskasihan sang majikan untuk dirinya dan suami.
Keesokan harinya, Anisa memberanikan diri untuk menemui majikannya, Leo dan Ana. Rasa tidak enak hati, juga takut dia rasakan begitu berdiri di depan gerbang rumah mewah tempatnya bekerja.
Hari ini adalah hari libur. Dan di jam segini, Anisa tahu kedua majikannya tengah bersantai di halaman belakang.
Tubuh Anisa semakin bergetar ketakutan. Keringat dingin membasahi tubuhnya ketika melihat kedua majikannya langsung menyadari kedatangannya.
"Ada keperluan apa kamu menghadap kami Anisa?!" Pertanyaan dingin Ana membuat Anisa takut.
"Sa-saya ingin membicarakan masalah suami saya, Nyonya."
Terlihat, Ana memutar bola mata dan berdecak.
Sementara Leo, masih asik membaca melalui gadgetnya kendati kemudian pria itu menyahut dingin,
"Bukankah sudah tidak ada lagi yang harus dibicarakan?"
Mendapati respons dingin dan ketidaksukaan dari kedua majikannya, Anisa semakin dirundung ketakutan.
Namun, tidak ada pilihan lain, pikirnya. Hingga kemudian Anisa merendahkan dirinya, menyembah kedua majikan dan bersimpuh.
"Tolong maafkan suami saya, Tuan, Nyonya." Air matanya mulai mengembun. Kedua tangannya memegang kedua kaki sang majikan. "Saya bersedia melakukan apa saja, asal suami saya bisa bebas."
Sesaat, tidak ada respons dari majikannya. Anisa sudah pasrah menerima nasib buruknya yang bertubi.
Bayangan menjadi janda karena suami mendekam di penjara lantas terlintas. Penantian mendapat momongan yang sedang mereka usahakan pun jelas akan tertunda.
Namun, tiba-tiba suara sang majikan mengagetkannya.
"Aku punya satu penawaran."
Anisa menaikkan pandangannya ke arah Ana. Bukan hanya dia yang terkejut, nampaknya sang suami pun sama terkejutnya.
"Apa, Nyonya? Saya pasti akan lakukan apa pun itu," jawab Anisa bersemangat.
"Bagaimana bila kebebasan suamimu dibarter dengan rahimmu?"
Mata Anisa kontan memelotot. "Ba-barter rahim?" ulangnya masih tidak mengerti.
Sementara Leo langsung meletakkan gadgetnya dan menatap sengit sang istri. "Sayang, apa maksudmu?"
Ana menatap suaminya sebelum kemudian menatap Anisa dengan tegas. "Aku ingin kamu mengandung anak kami!"
"Ana! Apa-apaan kamu?!"
Leo langsung berdiri. Dia terlihat begitu murka.
Seketika, Anisa semakin takut. Majikannya ini memang bukan tipikal pasangan yang memamerkan kemesraan. Beberapa kali, dia bahkan sempat melihat keduanya bersitegang. Hanya saja, baru kali ini Anisa melihat Leo berteriak semarah itu pada sang istri di hadapannya.
"Ini satu-satunya cara, Leo!" Ana menyahuti amarah sang suami dengan sama tegasnya.
"Maaf, Nyonya. Tapi ... Saya ..."
"Kalau kamu tidak mau juga tidak apa-apa, tapi jangan harap kami mencabut tuntutan kami!"
Anisa kembali terdiam di tempatnya. Menjadi ibu pengganti? Kata-kata itu terngiang di pikirannya.
Wanita itu meragu. Sebab, dia dan suaminya saja belum memiliki anak. Bagaimana mungkin dia menjadi ibu dari anak majikannya?
Selain itu, bagaimana dia menjelaskan pada sang suami nanti? Akan tetapi, seperti yang Ana bilang ... Inilah satu-satunya cara agar Anisa bisa membebaskan suaminya.
"Aku tidak punya banyak waktu untuk menunggumu berpikir, Anisa!" Ana meradang. Wanita itu masih berdiri angkuh, menunggu Anisa yang masih terduduk di halamannya. "Cepat putuskan."
Dengan tangan yang terkepal, juga mata yang mulai basah ... Dengan berat hati Anisa pun akhirnya menganggukkan kepala. "Baiklah, saya setuju, Nyonya."
Tatapan sinis langsung diberikan Leo kala mendengar jawaban Anisa. Pria itu terlihat semakin marah, sebelum akhirnya melangkah pergi masuk ke rumah.
Berbeda hal dengan Ana yang justru tersenyum tipis. "Bagus," katanya terdengar puas. "Kamu tenang saja, aku akan pastikan kita sama-sama diuntungkan. Ikuti aku. Kita akan buat kontrak sekarang juga."
Setelahnya, Ana melangkah memasuki rumah. Anisa yang masih terduduk perlahan bangun dan mengikuti majikannya dengan langkah goyah.
Tiba di ruang tamu, Ana menyuruh Anisa duduk, sementara wanita itu memasuki ruang kerjanya. Tidak lama, Ana terlihat membawa sebuah map berwarna coklat, membuat Anisa kembali gusar.
Dia bimbang, inikah jalan yang tepat?
"Ini surat perjanjian kita." Ana meletakkan surat itu tepat di depan Anisa. "Bacalah," titahnya kemudian.
Dengan tangan bergetar Anisa membuka surat itu dan membacanya.
Kata demi kata dia baca tanpa ada yang terlewat. Terlihat air matanya lolos begitu saja saat membaca isi perjanjian itu.
"Bukankah hanya barter rahim, Nyonya? Tapi mengapa seperti barter diri saya? Kenapa kalian menahan saya di sini?"
Menurutnya, perjanjian itu tidak adil. Sebab, dua majikannya ternyata menuntut lebih kehadirannya di rumah ini. Anisa tidak habis pikir, kenapa bisa Leo dan Ana berlaku begitu kejam padanya?
Ana tertawa mendengar protesan Anisa, "Kamu pikir, aku akan membiarkan anakku yang kamu kandung tidak terkontrol?" sahutnya sinis. "Lagipula, kamu tidak memiliki hak untuk protes. Tanda tangani surat itu, dan kamu bisa melihat suami kamu bebas atau kamu lupakan surat itu dan lihatlah suami kamu mendekam di penjara dalam waktu yang lama."
Anisa menangis, menatapi selembar kertas perjanjian dan sebuah bolpoin di tangannya.
"Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan?"
Malam itu, usai Anisa menandatangani perjanjian kontrakmenjadi ibu pengganti majikannya, dia langsung mendatangi kantor kepolisian. Entah bagaimana Ana membujuk Leo yang terlihat lantangmenolak ide gila itu, rupanya laporan atas kasus suaminya sudah dicabut danRaka dinyatakan bebas."Rupanya kamu ada gunanya juga jadi istri, Anisa."Hati Anisa berdenyut mendengar ucapan suaminya. Matanya yangmemerah tidak dihiraukan sang suami, yang justru langsung semringah begitumendengar kebebasannya."Jangan diulangi, Mas." Anisa mencicit. Rakamendengus, tidak menanggapi lebih jauh. "Mas tidak penasaran kenapa bisadibebaskan?" tanyanya memancing iba sang suami."Aku nggak peduli. Yang penting, aku bebas," sahutpria itu tidak melihat ekspresi sang istri yang semakin keruh. "Lagian,jangan hitung-hitungan sama suami! Pelit sekali sih, kamu."Kemudian pria itu langsung meloyor menuju mobil online yangsudah Anisa pesan.Anisa langsung mengelus dada. Kata pelit itu rasanya lebihpantas disand
Hoek.Anisa merasakan mual yang luar biasa di pagi hari, terlebihketika pelayan membawakan sarapannya ke dalalm kamar. "Setiap hari seperti ini rasanya benar-benar tidakenak." Tangannya tergerak mengelus perutnya yang masih rata.Setiap pagi, Anisa bolak-balik dari ranjang ke kamar mandiuntuk memuntahkan sesuatu.Rasa mual ini, rasa tak nyaman ini membuat Anisa inginmenyerah. Dirinya yang belum pernah hamil tentu merasa stres menghadapi gejalaibu hamil sendirian, apalagi Ana dan Leo yang hanya memikirkan sang anak danmengabaikan gejala morning sickness yang serupa siksaan.Di atas tempat tidurnya, Anisa menangis. Dia merenungi semuayang terjadi dalam hidupnya, dan betapa beratnya hamil seperti ini."Siapa yang mengijinkan kamu menangis?" Suarabariton Leo membuat Anisa segera menghapus air matanya.Dia segera beranjak menyambut Leo yang datang membawamakanan untuknya.Anisa menahan napas, kala mendekat. Nampak, Leo membawamakanan yang berbeda dengan yang dibawa pelayan tadi.
"Ini! cepat makan!" Dengan ketus dan kasar Ana menyodorkan bungkusan makanankepada Anisa usai membuka pintu kamar secara kasar.Tidak memedulikan sikap kasar Ana, mata Anisa berbinarmelihat rujak dan asinan yang dibawa oleh majikannya. Dia pun segera menerimamakanan itu. "Terima kasih, Nyonya.""Lain kali nggak usah manja ingin makanan segar segala,anakku hanya butuh makanan yang bergizi bukan makanan segar!"Anisa hanya bisa mengangguk, andaikan Ana dapat merasakanpenderitaannya pasti tidak akan memperlakukannya dengan buruk.Selepas wanita itu keluar, Anisa segera memakan rujak sertaasinannya. Air liurnya serasa sudah akan menetes karena tidak sabar memakanmakanan yang dia inginkan ini.Dan, terbukti ... Makanan tersebut bisa dinikmati Anisahingga habis. Tubuh wanita itu terasa lebih bertenaga usai memakannya. Saking senangnya, dia mengusap perutnya yang masih rata."Anak pintar. Kamu senang, ya, makanan segar ini?" Senyumnyamengembang, "Kamu harus sehat-sehat di dalam ya
"T-tuan--"Anisa berusaha mengelak dan menolak bantuan Leo. Dia tidak ingin istrimajikannya itu cemburu dan salah sangka.Namun, sekuat apa pun dia mengelak, tangan kekar Leo lebih kuat."Sudah ayo, kamu bersiaplah aku tunggu di bawah."Anisa sadar, titah Leo tidak mungkin dia tolak, apalagi keadaannya memang tidakbaik-baik saja.Dengan menahan pening di kepala, Anisa usai mengganti baju dan bersiap.Rupanya, Leo sudah menunggunya dan segera menghampiri Anisa ketika wanita ituterlihat menuruni tangga dengan lemah. Dengan sabar dan lembut, Leo memapahAnisa dari dalam rumah menuju mobil.Pria itu bahkan membukakan pintu mobilnya untuk Anisa, memastikan posisi wanitaitu sudah nyaman sebelum menutup pintu mobil dan memutar langkah menuju kemudi.Tentu perlakuan Leo yang manis membuat Anisa terlena. Di satu sisi, dia senangmendapati perlakuan manis dari ayah janin yang sedang dikandungnya. Namun disisi lain, dia sadar posisinya tetaplah orang lain.Anisa jadi membandingkan perlakuan
“Berhenti!”Kedua pria itu terlibat perkelahian sengit. Anisa yang melihat bagaimana Leo yang memiliki tubuh lebih besar dari Raka memukuli suaminya bertubi-tubi pun sontak bergidik ngeri.Ucapannya tidak dihiraukan, membuat Anisa tidak punya pilihan lain selain melerainya. “Tuan, saya mohon hentikan, suami saya bisa mati."Dia meraih lengan Leo dan menariknya sekuat tenaga. Saat itulah, Leo menghentikan gerakannya."Jika bukan istrimu yang meminta padaku, aku tidak akan melepaskanmu, bajingan!" Tangan Leo mendorong tubuh Raka dengan kuat sehingga pria itu terjatuh di tanah.Dengan deraian air mata, Anisa mencoba mendekati sang suami. Namun Leo melarang wanita itu dengan memegang lengannya, "Jangan mendekat Anisa! Pria seperti itu tidak pantas kamu tolong!"“T-tapi, Tuan…” Anisa serba bingung harus bagaimana, di sisi lain dia tidak tega melihat Raka yang tengah meringis kesakitan, tapi di sisi lain ucapan itu adalah titah dari majikannya yang harus dia turuti.“Aku akan panggil satpam
"Mas aku tidak suka ya jika kamu dekat dengan si Anisa itu!"Ucapan Ana membuat Leo mengerutkan alisnya, baru saja dia bangun dari tidur setelah pergulatan panas mereka tapi Ana sudah mengeluarkan kata-kata yang membuatnya bingung."Apa maksud kamu?" tanyanya balik."Aku tidak suka cara kamu memperlakukannya Mas, pake acara pegang-pegang segala!""Kamu cemburu?"Pria itu segera memakai pakaiannya kembali, dia mengambil rokok yang ada di meja lalu menyulutnya."Aku melakukan hal itu karena tidak ingin hal buruk terjadi dengan anak kita, tidak lebih," ujarnya santai sambil menikmati sebatang rokok yang dia sulut.Terdengar helaan nafas dari mulut Ana, meski masih merasa cemburu tapi dia tidak bisa berbuat lebih karena memang posisi Anisa saat ini adalah ibu surogasi anaknya."Tetap saja kamu harus jaga jarak Mas," sahut Ana.Leo tertawa, dia merasa heran dengan istrinya, bukankah pencetus ide ibu surogasi adalah Ana? tak hanya itu Ana juga memaksa dirinya untuk ikut andil dalam merawat A
"Kenapa sih kamu harus bilang ke Mama jika kamu hamil!" Sedari tadi Leo menahan amarahnya kepada sang istri."Lah memangnya kenapa Mas!" Protes Ana."Kalau mereka tahu kamu tidak hamil, tanggung sendiri akibatnya!"Leo benar-benar heran dengan pemikiran Ana, sebisa mungkin dia ingin menyembunyikan kehamilan Anisa tapi kini istrinya sendiri malah membuat drama yang bisa membongkar semuanya.Sepanjang perjalanan pulang, keduanya terus berdebat hal ini membuat Ana kesal dan minta diturunkan. "Turunkan saja aku disini!"Ana melepas sabuk pengamannya, dia bersiap untuk turun dari mobil."Jangan gila kamu!"Bukannya menurut Ana malah mengancam loncat jika Leo tidak menuruti kemauannya."Loncat saja aku kunci otomatis dari sini."Tak ada yang bisa Ana lakukan selain diam dan pasrah, karena percuma juga mengancam Leo tidak akan membiarkan dia turun.Sesampainya di rumah, Ana masuk ke dalam kamar terlebih dahulu, dia malas menunggu Leo karena hatinya masih sakit akan debat mereka tadi."Sayang.
"Iya Tuan."Leo begitu bahagia, saking bahagianya sampai dia melupakan jika wanita yang dia pegang perutnya bukanlah ibu biologis dari anaknya."Ini Papa Sayang," ujarnya dengan mata yang mengembun.Anisa turut terharu melihat Leo yang begitu bahagia, bahkan pikirannya kini jauh melayang, berandai-andai jika pria yang di hadapannya adalah suaminya. 'Andaikan saja anda dan bayi yang saya kandung adalah milik saya.'Leo dan Anisa tertawa bersama merasakan gerakan si jabang bayi yang ada di dalam kandungan, bahkan Leo mulai tidak ingin berpisah dengan calon anaknya padahal malam sudah semakin larut."Aku tidak ingin berpisah dengannya Anisa." Ucapan Leo membuat Anisa tersenyum."Besok anda bisa mengajaknya bicara lagi Tuan."Leo menatap Anisa dengan tatapan lembut, entah apa yang tersirat di mata CEO tampan itu, perlahan dia mengangkat tubuhnya, dia mengelus mengusap rambut Anisa, "Jaga dia baik-baik ya Anisa.""Pasti Tuan."Leo segera berjalan menuju pintu, sebelum menutup pintu kamar,