Malam itu, usai Anisa menandatangani perjanjian kontrak menjadi ibu pengganti majikannya, dia langsung mendatangi kantor kepolisian.
Entah bagaimana Ana membujuk Leo yang terlihat lantang menolak ide gila itu, rupanya laporan atas kasus suaminya sudah dicabut dan Raka dinyatakan bebas.
"Rupanya kamu ada gunanya juga jadi istri, Anisa."
Hati Anisa berdenyut mendengar ucapan suaminya. Matanya yang memerah tidak dihiraukan sang suami, yang justru langsung semringah begitu mendengar kebebasannya.
"Jangan diulangi, Mas." Anisa mencicit. Raka mendengus, tidak menanggapi lebih jauh. "Mas tidak penasaran kenapa bisa dibebaskan?" tanyanya memancing iba sang suami.
"Aku nggak peduli. Yang penting, aku bebas," sahut pria itu tidak melihat ekspresi sang istri yang semakin keruh. "Lagian, jangan hitung-hitungan sama suami! Pelit sekali sih, kamu."
Kemudian pria itu langsung meloyor menuju mobil online yang sudah Anisa pesan.
Anisa langsung mengelus dada. Kata pelit itu rasanya lebih pantas disandang Raka, ketimbang dia. Sebab, beberapa tahun menikah ... Anisalah yang berperan sebagai kepala rumah tangga. Dia yang bekerja dan memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Sementara suaminya hanya luntang-lantung tanpa juntrungan jelas.
Sesampainya di rumah, Raka langsung mendatangi meja makan. Tanpa basa-basi, pria itu melahap masakan seadanya yang telah Anisa persiapkan sebelum menjemput sang suami tadi.
Melihat suaminya tengah menikmati makanannya, Anisa duduk di hadapan Raka kemudian berkata, "Mas, aku mau ngomong."
Sambil mengunyah, Raka menjawab, "Ya ngomong saja. Dari tadi juga kamu ngomong."
Anisa mengembuskan napas panjang. "Sebagai kompensasi kebebasan Mas, majikanku minta satu hal dariku."
Raka manggut-manggut, dengan mulut yang penuh. "Apa itu?" katanya santai.
"Aku diminta mengandung anak mereka, Mas."
Gerakan Raka mengunyah terhenti seketika. Ekspresi kemarahan sudah mencuat, membuat Anisa menundukkan pandangan karena takut jadi sasaran amukan.
Namun, di luar dugaan ... Pria itu kemudian tersenyum. "Aku setuju saja asal mereka membayarmu dengan pantas."
Anisa terbelalak mendengar ucapan sang suami, "Mas kamu kan sudah bebas, ya itu bayaranku!"
"Jadi tidak ada uang? Lalu bagaimana dengan aku?" Rahang pria itu kembali mengetat.
"Mas memang hanya memikirkan diri sendiri!" Anisa berdiri. Dia kecewa terhadap sikap suaminya. "Harusnya Mas bersyukur bisa bebas. Bukan malah menjadikan aku alat untuk dapat uang lebih dari masalah yang Mas buat!"
Setelah itu, dia masuk ke kamar, enggan menimpali suaminya lagi.
**
"Mulai sekarang kamar ini menjadi milik kamu."
Ana mengantar Anisa ke kamar tamu yang terletak di samping kamarnya bersama Leo.
Anisa mengangguk kemudian dengan langkah pelan dia memasuki kamar mewah itu. Netranya memutar menatap setiap sudut kamar, tidak menyangka dia akan menempati kamar mewah yang selama ini dia bersihkan.
Seminggu setelah perdebatan Anisa dan Raka, suaminya tidak lagi membahas soal tersebut. Namun, Raka juga mendadak berubah. Pria itu jadi lebih sering keluar rumah, beralasan mencari proyek bersama teman-temannya.
Jika saja tidak terikat perjanjian di atas materai, Anisa sudah pasti akan kabur dan memilih melarikan diri. Sayang, dia tahu risikonya cukup besar jika dia sampai bertindak nekad.
Beberapa hari lalu, tindakan penanaman benih sudah dilakukan. Meski awalnya dokter meragukan karena Anisa yang belum pernah punya riwayat kehamilan, tetapi tidak ada satupun yang bisa menggagalkan kemauan sang majikan.
Ana bahkan mampu membuat suaminya menuruti seluruh keinginannya hingga akhirnya embrio yang pernah mereka bekukan darii hasil bayi tabung sebelumnya tertanam baik di rahim Anisa.
"Habisakan ini." Ana kembali datang dengan membawa beberapa porsi makanan. "Aku tidak mau pertumbuhan anakku terganggu."
Setelah itu, wanita itu kembali keluar, meninggalkan Anisa dan perasaan kosongnya.
Perasaan sedih mendominasi Anisa saat ini. Hubungannya dengan Raka memburuk, sementara dia di sini mendapatkan perlakuan yang dingin, terlebih dari Leo.
Setelah beberapa hari tinggal di rumah mewah ini, Anisa jadi tahu penyebab dia diseret jadi ibu pengganti. Ana adalah istri CEO sekaligus seorang wanita sosialita.
Hidup Ana bergelimang harta. Kegiatannya dipenuhi oleh serentet jadwal arisan, hingga liburan bersama teman-temannya.
Penampilan bagi kaum sepertinya sangatlah penting. Sementara, kehamilan kemungkinan akan membuat Ana menjadi lebih gemuk dari biasanya. Anisa tidak habis pikir, kenapa ada wanita yang enggan hamil, padahal orang-orang sepertinya malah menunggu-nunggu momen itu.
Bahkan, saking majikan wanitanya itu menomorsatukan teman-temannya ... Suatu hari Anisa melihat sendiri bagaimana Leo murka.
"Kamu mau pergi lagi?" Leo bertanya dengan pandangan tajam ke arah istrinya yang sudah siap dengan outfit arisan. "Jika kamu terus keluar lalu aku bagaimana? dan siapa yang merawat Anisa?"
"Jangan norak, Mas. Kan, ada pelayan." Ana memutar bola matanya. "Lagian, kenapa harus aku terus yang melayani Anisa?! Memangnya aku pembantunya?"
"Kamu lupa, siapa yang mencetuskan ide itu?" sahut Leo lagi.
Ana meregangkan tangan, ekspresi wajahnya santai tetapi sarat ketidaksukaan. "Ayolah, Mas. Anak itu juga kan anakmu. Jadi, nggak ada salahnya kalau kamu harus ikut merawat dia, kan?"
Leo mengusap rambutnya dengan kasar, "Kenapa kamu melibatkan aku dalam hal ini?!"
"Keluarga Mas ingin penerus, dan peranku sudah digantikan oleh Anisa." Ana menatap penuh sang suami. "Adil, kan? Atau kalau kamu sungkan, anggap saja aku yang hamil."
Leo terlihat menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan frustrasi. Di balik celah pintu kamar, Anisa pun demikian.
Bagaimana mungkin seorang istri berkata seperti itu, padahal yang sedang hamil adalah wanita lain?
"Sudah Mas, jangan bawel, lagipula hanya mengantar makanan dan susu, apa susahnya?"
Leo mengetatkan rahang. "Terserah kamu, lah."
Meski tahu sang suami marah, Ana tersenyum karena berarti sang suami telah merestui kepergiannya kali ini.
Dia pun lantas memberikan kecupan pada sang suami, "Jangan marah. Tunggu aku pulang, nanti kuberikan service memuaskan di ranjang."
Wajah Anisa memerah mendengar ucapan majikannya. Wanita itu lantas memalingkan muka, tidak ingin melihat adegan selanjutnya.
Bayang-bayang adegan dewasa lantas menari dalam pikirannya. Dia memegang perutnya yang masih rata. Hormon kehamilannya membuat Anisa mudah merasa terpancing akan gairah.
"Ya Tuhan, Anisa! Kamu tidak boleh memikirkan hal itu!" pekiknya mengusir adegan-adegan tidak senonoh pergi dari benaknya. "Ingat ya, Nak ... Aku ini hanya ibu penggantimu, bukan ibu kandungmu."
Hoek.Anisa merasakan mual yang luar biasa di pagi hari, terlebihketika pelayan membawakan sarapannya ke dalalm kamar. "Setiap hari seperti ini rasanya benar-benar tidakenak." Tangannya tergerak mengelus perutnya yang masih rata.Setiap pagi, Anisa bolak-balik dari ranjang ke kamar mandiuntuk memuntahkan sesuatu.Rasa mual ini, rasa tak nyaman ini membuat Anisa inginmenyerah. Dirinya yang belum pernah hamil tentu merasa stres menghadapi gejalaibu hamil sendirian, apalagi Ana dan Leo yang hanya memikirkan sang anak danmengabaikan gejala morning sickness yang serupa siksaan.Di atas tempat tidurnya, Anisa menangis. Dia merenungi semuayang terjadi dalam hidupnya, dan betapa beratnya hamil seperti ini."Siapa yang mengijinkan kamu menangis?" Suarabariton Leo membuat Anisa segera menghapus air matanya.Dia segera beranjak menyambut Leo yang datang membawamakanan untuknya.Anisa menahan napas, kala mendekat. Nampak, Leo membawamakanan yang berbeda dengan yang dibawa pelayan tadi.
"Ini! cepat makan!" Dengan ketus dan kasar Ana menyodorkan bungkusan makanankepada Anisa usai membuka pintu kamar secara kasar.Tidak memedulikan sikap kasar Ana, mata Anisa berbinarmelihat rujak dan asinan yang dibawa oleh majikannya. Dia pun segera menerimamakanan itu. "Terima kasih, Nyonya.""Lain kali nggak usah manja ingin makanan segar segala,anakku hanya butuh makanan yang bergizi bukan makanan segar!"Anisa hanya bisa mengangguk, andaikan Ana dapat merasakanpenderitaannya pasti tidak akan memperlakukannya dengan buruk.Selepas wanita itu keluar, Anisa segera memakan rujak sertaasinannya. Air liurnya serasa sudah akan menetes karena tidak sabar memakanmakanan yang dia inginkan ini.Dan, terbukti ... Makanan tersebut bisa dinikmati Anisahingga habis. Tubuh wanita itu terasa lebih bertenaga usai memakannya. Saking senangnya, dia mengusap perutnya yang masih rata."Anak pintar. Kamu senang, ya, makanan segar ini?" Senyumnyamengembang, "Kamu harus sehat-sehat di dalam ya
"T-tuan--"Anisa berusaha mengelak dan menolak bantuan Leo. Dia tidak ingin istrimajikannya itu cemburu dan salah sangka.Namun, sekuat apa pun dia mengelak, tangan kekar Leo lebih kuat."Sudah ayo, kamu bersiaplah aku tunggu di bawah."Anisa sadar, titah Leo tidak mungkin dia tolak, apalagi keadaannya memang tidakbaik-baik saja.Dengan menahan pening di kepala, Anisa usai mengganti baju dan bersiap.Rupanya, Leo sudah menunggunya dan segera menghampiri Anisa ketika wanita ituterlihat menuruni tangga dengan lemah. Dengan sabar dan lembut, Leo memapahAnisa dari dalam rumah menuju mobil.Pria itu bahkan membukakan pintu mobilnya untuk Anisa, memastikan posisi wanitaitu sudah nyaman sebelum menutup pintu mobil dan memutar langkah menuju kemudi.Tentu perlakuan Leo yang manis membuat Anisa terlena. Di satu sisi, dia senangmendapati perlakuan manis dari ayah janin yang sedang dikandungnya. Namun disisi lain, dia sadar posisinya tetaplah orang lain.Anisa jadi membandingkan perlakuan
“Berhenti!”Kedua pria itu terlibat perkelahian sengit. Anisa yang melihat bagaimana Leo yang memiliki tubuh lebih besar dari Raka memukuli suaminya bertubi-tubi pun sontak bergidik ngeri.Ucapannya tidak dihiraukan, membuat Anisa tidak punya pilihan lain selain melerainya. “Tuan, saya mohon hentikan, suami saya bisa mati."Dia meraih lengan Leo dan menariknya sekuat tenaga. Saat itulah, Leo menghentikan gerakannya."Jika bukan istrimu yang meminta padaku, aku tidak akan melepaskanmu, bajingan!" Tangan Leo mendorong tubuh Raka dengan kuat sehingga pria itu terjatuh di tanah.Dengan deraian air mata, Anisa mencoba mendekati sang suami. Namun Leo melarang wanita itu dengan memegang lengannya, "Jangan mendekat Anisa! Pria seperti itu tidak pantas kamu tolong!"“T-tapi, Tuan…” Anisa serba bingung harus bagaimana, di sisi lain dia tidak tega melihat Raka yang tengah meringis kesakitan, tapi di sisi lain ucapan itu adalah titah dari majikannya yang harus dia turuti.“Aku akan panggil satpam
"Mas aku tidak suka ya jika kamu dekat dengan si Anisa itu!"Ucapan Ana membuat Leo mengerutkan alisnya, baru saja dia bangun dari tidur setelah pergulatan panas mereka tapi Ana sudah mengeluarkan kata-kata yang membuatnya bingung."Apa maksud kamu?" tanyanya balik."Aku tidak suka cara kamu memperlakukannya Mas, pake acara pegang-pegang segala!""Kamu cemburu?"Pria itu segera memakai pakaiannya kembali, dia mengambil rokok yang ada di meja lalu menyulutnya."Aku melakukan hal itu karena tidak ingin hal buruk terjadi dengan anak kita, tidak lebih," ujarnya santai sambil menikmati sebatang rokok yang dia sulut.Terdengar helaan nafas dari mulut Ana, meski masih merasa cemburu tapi dia tidak bisa berbuat lebih karena memang posisi Anisa saat ini adalah ibu surogasi anaknya."Tetap saja kamu harus jaga jarak Mas," sahut Ana.Leo tertawa, dia merasa heran dengan istrinya, bukankah pencetus ide ibu surogasi adalah Ana? tak hanya itu Ana juga memaksa dirinya untuk ikut andil dalam merawat A
"Kenapa sih kamu harus bilang ke Mama jika kamu hamil!" Sedari tadi Leo menahan amarahnya kepada sang istri."Lah memangnya kenapa Mas!" Protes Ana."Kalau mereka tahu kamu tidak hamil, tanggung sendiri akibatnya!"Leo benar-benar heran dengan pemikiran Ana, sebisa mungkin dia ingin menyembunyikan kehamilan Anisa tapi kini istrinya sendiri malah membuat drama yang bisa membongkar semuanya.Sepanjang perjalanan pulang, keduanya terus berdebat hal ini membuat Ana kesal dan minta diturunkan. "Turunkan saja aku disini!"Ana melepas sabuk pengamannya, dia bersiap untuk turun dari mobil."Jangan gila kamu!"Bukannya menurut Ana malah mengancam loncat jika Leo tidak menuruti kemauannya."Loncat saja aku kunci otomatis dari sini."Tak ada yang bisa Ana lakukan selain diam dan pasrah, karena percuma juga mengancam Leo tidak akan membiarkan dia turun.Sesampainya di rumah, Ana masuk ke dalam kamar terlebih dahulu, dia malas menunggu Leo karena hatinya masih sakit akan debat mereka tadi."Sayang.
"Iya Tuan."Leo begitu bahagia, saking bahagianya sampai dia melupakan jika wanita yang dia pegang perutnya bukanlah ibu biologis dari anaknya."Ini Papa Sayang," ujarnya dengan mata yang mengembun.Anisa turut terharu melihat Leo yang begitu bahagia, bahkan pikirannya kini jauh melayang, berandai-andai jika pria yang di hadapannya adalah suaminya. 'Andaikan saja anda dan bayi yang saya kandung adalah milik saya.'Leo dan Anisa tertawa bersama merasakan gerakan si jabang bayi yang ada di dalam kandungan, bahkan Leo mulai tidak ingin berpisah dengan calon anaknya padahal malam sudah semakin larut."Aku tidak ingin berpisah dengannya Anisa." Ucapan Leo membuat Anisa tersenyum."Besok anda bisa mengajaknya bicara lagi Tuan."Leo menatap Anisa dengan tatapan lembut, entah apa yang tersirat di mata CEO tampan itu, perlahan dia mengangkat tubuhnya, dia mengelus mengusap rambut Anisa, "Jaga dia baik-baik ya Anisa.""Pasti Tuan."Leo segera berjalan menuju pintu, sebelum menutup pintu kamar,
"Pak Leo."Berkali-kali Leo dipanggil oleh Bayu si asisten, namun sang CEO masih nyaman dengan lamunannya."Pak Leo, saya butuh tanda tangan anda Pak." Baru Leo tersadar dari lamunannya."Apa Bay?" tanyanya.Bayu menyodorkan sebuah berkas kepada CEOnya, tanda Leo sangat dia butuhkan saat ini.Seusai mendapatkan tanda tangan Leo, Bayu pamit kembali namun baru saja ingin melangkah kan kaki, Leo memanggilnya."Bay."Bayu segera menoleh dan kembali lagi menghadap Leo. "Ada apa Pak?"Leo meminta Bayu untuk menghandle semua urusan kantor, entah mengapa dia terus saja kepikiran tentang Anisa dan calon bayinya."Baiklah Pak, tapi nanti siang ada meeting dengan klien." Bayu membacakan jadwal Leo hari ini."Giring ke meeting online, nanti link akan aku kirim padamu, untuk saat ini aku harus segera pulang."Dia segera beranjak dari kursi kebesaran dan mulai memberesi barang-barangnya. Sambil membawa tas jinjing miliknya Leo bergegas keluar ruangan.Di perjalanan pulang Leo mampir ke supermarket