"Good Morning, mama." Gumam Naya pelan tepat di hadapan Renata saat perempuan itu baru saja membuka mata.
Renata terkekeh saat Naya memeluknya, menyembunyikan wajah di ceruk lehernya dengan manja."Naya sudah bangun dari tadi?" Renata menggulir posisinya menjadi miring karena Naya memeluknya dari atas."Hu.um, Naya menunggu mama bangun. Mama nyenyak sekali tidurnya.""Seharusnya kamu membangunkan mama.""Tapi ini masih terlalu pagi untuk bangun, mama. Naya terbangun lebih awal karena khawatir mama akan pergi sebelum Naya membuka mata." Renata melirik jam dinding yang ternyata masih menunjukkan pukul 5 pagi. Pantas saja di luar masih terlihat gelap. Tapi Naya sudah terlihat segar tanpa kantuk."Mama tidak akan pergi tanpa pamit, cantik." Mendengarnya Naya semakin mengeratkan pelukan."Langitnya masih gelap. Apa Naya mau kembali tidur?" Tanya Renata sembari mengusap wajah Naya. Gadis kecil itu menatapnya berbinar lewat bola mata yang seperti kacang almond."Tidak, Naya ingin memeluk mama." Ujar Naya penuh manja.Renata menatap mata Naya yang terlihat tulus, senyuman lebar yang tidak pernah luntur saat menatapnya mambuat hatinya gusar sebab percakapannya dengan Naren semalam tiba-tiba saja terlintas.Ah, bagaimana bisa Renata membohongi gadis baik di dekapannya ini? Apa ia setega itu terhadap Naya yang sangat mengharapkannya menjadi mama? Renata tidak mungkin melakukan kejahatan seperti itu.Naya pasti akan terluka jika tahu ia dibayar untuk merawatnya selama beberapa bulan. Menjadi mama untuk sementara yang artinya setelah mereka berpisah Naya akan kecewa, Naya mungkin akan membencinya karena telah datang dan pergi tiba-tiba.Tapi, bukan perkara uang yang ditawarkan Naren begitu banyak. Renata merasa telah nyaman berada di dekat Naya. Renata besar di panti asuhan yang artinya setiap hari bersama anak-anak yang tidak memiliki orang tua.Renata pun mengalami rasanya hidup tanpa sosok orang tua yang menyayangi kita. Walaupun Renata tahu Naya masih memiliki seorang ayah yang sangat mencintai tapi tetap saja sosok ibu adalah peran paling penting dalam hiduk seorang anak."Baiklah, Naya bisa memeluk mama selama mungkin." Balas Renata yang juga memeluk tubuh kecil itu, menariknya semakin erat ke dalam pelukan sebab ingin memberi hangat."Mama, hari ini aku harus berangkat ke sekolah, saat pulang mama jemput aku ya lalu kita makan es krim di kedai.""Memang biasanya yang menjemput Naya, siapa?""Papa, tapi Naya bosan, jadi hari ini mama yang menjemputku." Ucap Naya mutlak yang sepertinya tidak bisa Renata tolak."Mama harus ijin atasan dulu, kalau boleh mama akan menjemput Naya ya.""Bosnya kan, papa. Aku akan bilang pada papa."Benar, kan. Naya selalu mendapatkan apa yang dia mau.Belum sempat Renata menjawab Naya suara ketukan pintu lebih dulu mengalihkan atensi keduanya."Renata, apa kau sudah bangun?" Lalu suara ibu Naren terdengar dari luar memanggilnya."Ada nenekmu, sebentar ya mama harus membukakan pintu." Setelah di angguki Naya, Renata beranjak untuk turun dari ranjang. Menuju pintu untuk menemui Aldeis.Renata membuka pintu dengan senyuman, lalu menunduk sedikit saat melihat Aldeis berdiri di hadapannya. Wanita paruh baya itu ikut tersenyum, kemudian menarik Renata pelan untuk keluar dari kamar."Ada apa, tante?""Naya sudah bangun?" Renata mengangguk sebagai jawaban."Ah anak tengil itu, biasanya tidak pernah bangun sepagi ini. Biasanya harus dibangunkan oleh Naren terlebih dulu.""Ah ya, aku ingin meminta tolong padamu." Lanjut Aldeis.Renata mengernyit, "Minta tolong apa, tante?""Begini, nanti siang papa Naren pulang dari Aussie, aku dan Naren harus menjemputnya ke bandara lalu pergi untuk rapat pemegang saham. Apa kau bisa menjagakan Naya sampai sore? Biasanya Naya kita tinggal di rumah bersama suster, tapi karena Naya sepertinya lebih nyaman padamu, aku akan lebih tenang meninggalkan Naya untuk sementara.""Ah, begitu, baik saya akan menjaga Naya. Tante dan pak Naren pergilah dengan tenang, Naya pasti aman bersama saya."Renata tidak ada pilihan untuk menolak, lagi pula Aldeis minta tolong padanya bukan sedang memanfaatkannya.Mendengar itu Aldeis bernapas lega, "Benarkah kau tidak keberatan?""Selagi saya bisa membantu pasti akan saya bantu, tante.""Syukurlah, terima kasih Renata." Aldeis menatap perempuan yang lebih muda darinya. Kemudian mengusap lengan perempuan itu tulus."Segeralah bersiap dan turun bersama Naya untuk sarapan." Renata mengangguk, lantas kembali ke dalam kamar.Di atas tempat tidur Naya duduk sembari terus menatap ke arah pintu, melihat Renata yang kembali masuk bibirnya spontan membuat seutas senyum."Mama, kau meninggalkanku terlalu lama." Keluh Naya yang pura-pura cemberut. Melihat itu Renata tertawa tanpa suara, lalu mendekat dan menarik Naya masuk ke dalam pelukannya."Naya, mau tidak bermain bersama mama sampai sore?""MAUU, NAYA MAUU." Sorak Naya semangat memperlihatkan mimik wajah terkejut sekaligus bahagia. Kemudian keduanya tertawa bersama.Di lain sisi Aldeis bertemu Naren di dapur saat wanita itu hendak mulai membuat sarapan bersama beberapa maid. Naren duduk di salah satu kursi dengan segelas air putih di depannya, tampaknya lelaki itu baru saja membasahi tenggorokan."Tumben, kau sudah duduk di sini, biasa juga turun saat akan sarapan." Buka Aldeis membuat Naren sedikit terkejut."Haus." Jawab lelaki itu singkat."Bagaimana, apa kau sudah memikirkan saran mama untuk menikahi Renata?" Pertanyaan itu berhasil membuat Naren menatap jengah sang mama."Mama, jangan bercanda lah, mana mungkin aku menikahi perempuan yang baru ku kenal?""Baru kenal apanya? Renata sudah lama bekerja di perusahaan bukan? Dan dia seorang kepala personalia itu artinya kalian sering bertemu untuk rapat.""Kita bertemu dengan banyak orang dan hanya membahas pekerjaan, Naren tidak mengenalnya secara pribadi."Aldeis mendengus sebal, lalu duduk di sebelah putranya. "Kalau begitu cobalah untuk dekat dengannya, Narendra, Naya benar-benar butuh seorang mama."Kali ini Naren membalas tatapan Aldeis, lelaki itu gamang untuk menceritakan dialog dini hari yang ia lakukan dengan Renata semalam. Perempuan itu, apakah sudah memutuskan tawarannya?"Ma." Panggil Naren setelah menimang-nimang haruskah ia menceritakan semuanya."Apa? Kau sejutu untuk menikahinya?"Naren berdecak sebal, kenapa sejak kemarin mamanya selalu membicarakan soal pernikahan? Seperti tidak ada yang lain saja."Bukan. Semalam aku bernegosiasi dengan Renata." Kata Naren sedikit menggantung, membuat Aldeis menukik karena bingung."Apa maksudmu?""Yaah, aku bernegosiasi dengannya tentang pekerjaan tambahan, menjadi mama untuk Naya selama beberapa bulan." Lanjut Naren yang langsung mendapat pukulan di kepala.Aldeis melotot tajam, berulang kali memukul punggung putranya yang benar-benar di luar akal."Gila kau Narendra, kau tidak kasian pada Naya?!""Mah, aku juga terpaksa melakukannya, Naren ingin melihat Naya bahagia.""Tapi bukan seperti ini caranya bodoh! Kau hanya akan melukai hati Naya suatu saat nanti. Mama sudah bilang kan jangan macam-macam, menikahi Renata lebih baik dari pada membayarnya untuk berpura-pura.""Mah...." Keluh Naren yang tidak setuju dengan saran Aldeis."Lalu, apa Renata menyetujuinya?"Naren menggeleng, "Dia belum memberi jawaban.""Mama yakin Renata tidak akan menerimanya.""Mama jangan sok tahu.""Aku bukan sok tahu, dasar anak nakal. Apa kamu tidak bisa melihat wajah tulusnya saat bersama Naya? Dia bukan penggila uang Narendra. Dia perempuan baik-baik." Bela Aldeis."Dari mana mama tahu? Mama baru bertemu dengannya dan itu bisa saja wajah palsu untuk menutupi keburukannya." Naren berkata ngotot."Feeling seorang wanita tidak pernah salah, Narendra. Kau mau mama pukul lagi hah?"Naren segera menghindar saat tangan sang mama ingin kembali memukulnya. Aldeis tahu Renata adalah perempuan yang baik, perasaan terhadap sesama perempuan tidak pernah salah."Sudahlah, kau akan mengerti sendiri nanti, intinya jangan kau lakukan hal bodoh seperti itu lagi. Kau bisa melukai perasaan Renata karena menganggapnya gampangan hanya dengan uang. Selain itu kau juga harus memikirkan Naya, Naya bisa marah padamu jika tahu papanya berniat membohonginya."Aldeis bangkit dari duduknya, membiarkan Naren yang terdiam dengan pikirannya sendiri. Naren sudah dewasa tentu bisa membedakan mana yang baik dan buruk, hanya saja Aldeis tidak menyangka putranya akan melakulan hal gila."Apa aku keterlaluan?"Walau Renata tahu Ayuna hanya bercanda dia tetap memberi tatapan kesal. Di otaknya hanya terisi oleh bekerja-bekerja dan bekerja, di jam berapa dia terpikir untuk mem-pelet lelaki yang justru menghabiskan uang untuk membayar dukun. Mulut Ayuna memang kurang ajar! "Kalau aku membenarkan pertanyaanmu itu, apa kamu percaya?" "Tidak, kamu bukan tipe yang akan menghabiskan uang untuk pergi ke dukun." Ayuna duduk di sofa, tepat di sebelah Renata. "Kamu berhutang cerita padaku, padahal aku hanya dinas ke luar kota selama dua minggu. Pulang-pulang sudah diberi kejutan." "Maaf, aku tidak sempat menelponmu karena suasanya tidak bersahabat." jujur Renata. "Kenapa? Apa ada masalah?" Ayuna adalah satu-satunya teman Renata yang paling dekat. Mereka mengenal satu sama lain saat masuk secara bersamaan di perusahaan. Mereka sudah seperti saudara sedarah yang sangat-sangat dekat, selalu berbagi apapun entah itu hal membahagiakan atau kesengsaraan. "Kamu tahu tidak kalau pak Naren memiliki satu
"Baiklah, aku pikirkan nanti sembari berbelanja." Mobil berhenti tepat di depan gedung kantor. Sebelum turun Naren meraih dompetnya, lalu mengeluarkan sebuah kartu dari sana. Kartu itu ia julurkan di hadapan Renata, memberi kode agar perempuan itu menerimanya. "Seterusnya pakai ini untuk berbelanja. Belilah beberapa barang seperti baju, tas atau heels untukmu, kamu bisa pakai sesukamu, tidak ada limit." Renata tertegun. Dia sempat ragu apakah harus menerima kartu itu dengan suka rela, terlebih dia belum sah menjadi istri Narendra. Belum saatnya bagi Naren mencukupi kebutuhannya selama mereka belum resmi menikah. "Ambil saja, mulai sekarang aku yang akan menanggung hidupmu. Simpan uangmu sebagai tabungan, mulai hari ini aku akan menafkahimu." Renata menerima kartu itu dengan penuh kehati-hatian. Dia bukan tipe perempuan yang suka membelanjakan uang untuk barang-barang seperti baju, sepatu atau tas dari brand ternama. Mungkin ke depannya dia akan membeli sebuah buku dengan kartu in
"Naya senang karena mulai hari ini akan berangkat bersama Mama." wajah Naya berseri-seri, matanya berbinar karena terlalu senang sebab mulai sekarang bisa berangkat bersama Renata. "Mama juga senang karena bisa mengantar Naya ke sekolah." Naren yang berada di kemudi tersenyum lebar, dia menyukai interaksi-interaksi kecil putrinya itu dengan Renata. Kedua perempuan beda usia itu sudah dekat, nyaman satu sama lain dan terlihat cocok sebagai ibu da anak. Ia berharap interaksi pagi ini akan terus terjadi hingga nanti, hingga ia tua bersama keluarga kecilnya. "Hihihi, Naya bisa pamerkan ke teman-teman kalau Naya sudah punya Mama. Mama mau tidak antar Naya sampai ke kelas?" Pertanyaan sederhana itu mendapat perhatian dari kedua orang dewasa, terutama Naren yang fokus menyetir. Lelaki itu memelankan laju mobil, lalu berdaham kecil sampai kedua perempuannya mengalihkan atensi. "Naya, bukannya Papa ingin melarang. Tapi, Naya bisa kenalkan Mama pada teman-teman Naya nanti setelah Papa
"Kalian sedang membicarakan apa?" Tanpa di undang Naren datang, lelaki itu turun dengan kemeja yang belum dikancingkan. Dasi dan jas ditenteng, datang dengan raut penuh penasaran. Suara bariton lelaki itu cukup mengejutkan Naya yang masih serius mendengarkan jawaban Renata. Begitu juga Renata yang sama sekali tidak menyadari kedatangan Narendra. "Membicarakan filosofi nasi goreng." Jawab Renata sembarang. Kedua alis Naren menukik tidak percaya, menatap intens pada Renata yang terlihat gugup. Perempuan itu terburu menyelesaikan bekal Naya dan mengalihkan pendangan ke sembarang arah. Naren tidak percaya jika kedua perempuannya membicarakan tentang filosofi nasi goreng dengan wajah yang serius, memangnya apa? "Iya, Papa. Mama sedang memasak nasi goreng untuk sarapan kita." Beruntungnya Naya yang tidak terlalu mengerti bisa berkompromi tanpa diberi tahu. Dan Beruntung Renata memang membuat nasi goreng pagi ini. "Memangnya apa filosofinya?" Naren bertanya sembari mendekat, dud
Mereka berpindah menuju wardrop, Renata yang lihai dan sudah terbiasa mengurus anak kecil dengan cekatan memakaian Naya seragamnya yang lucu. Lalu seperti permintaan anak itu, Renata menyisir rambutnya yang halus secara perlahan dan membaginya menjadi dua. Naya memiliki banyak sekali jepit rambut dan kunciran, juga pita-pita yang dibelikan oleh nenek. Perempuan itu dengan lihai menguncir rambut Naya menjadi dua, mengikatnya tanpa menimbulkan rasa sakit di kulit kepala, berbeda dengan nenek yang suka mengikat dengan kencang sehingga kulit kepala gadis kecil itu tertarik dan menimbulkan rasa sakit. Setelah mengikatnua dengan karet, Renata meraih dua buah pita berwarna merah muda. Lantas menalikan pita itu ke dua kunciran sebelumnya. Perempuan itu juga menambahkan dua jepit berbentuk lidi secara sejajar di sebelah kanan. Membuat Naya terlihat lebih manis dengan penampilannya. "Nah, sudah. Coba Naya berkaca." Renata memutar tubuh calon putrinya agar menghadap kaca. "WAHHH, CANTIK SE
"Mama sudah tidak marah kan pada Naya?" Mendengar itu Renata dengan cepat beralih, merapikan anak rambut milik Naya dengan senyuman kecil. "Tidak, Mama tidak pernah marah dengan Naya. Mama minta maaf ya sudah membuat Naya ketakutan." "Mama, Naya senang sekali. Mama tidak akan pergi lagi kan? Mama akan selalu berada di dekat Naya kan? Mama sayang Naya kan?" Pertanyaan ber-rantai itu membuat Renata terkekeh sekaligus sedih. Dia merasa lucu dengan bagaimana wajah Naya ketika bertanya padanya, namun juga merasa sedih sebab ternyata Naya menaruh begitu banyak harapan padanya. Harapan agar dia selalu menyanyanginya dan mencintainya, serta untuk tetap tinggal bersamanya. "Mama tidak akan pergi lagi, apapun yang terjadi, Mama juga akan selalu berada di sisi Naya dan Mama sangat-sangat sayang dengan Naya, Mama mencintai Naya seperti hidup Mama sendiri." "Benarkah? Kalau begitu Naya sangat bahagia mendengarnya. Mama mau janji kelingking dengan Naya?" Gadis kecil itu berbinar s