Share

6. Naren yang bodoh

"Good Morning, mama." Gumam Naya pelan tepat di hadapan Renata saat perempuan itu baru saja membuka mata.

Renata terkekeh saat Naya memeluknya, menyembunyikan wajah di ceruk lehernya dengan manja.

"Naya sudah bangun dari tadi?" Renata menggulir posisinya menjadi miring karena Naya memeluknya dari atas.

"Hu.um, Naya menunggu mama bangun. Mama nyenyak sekali tidurnya."

"Seharusnya kamu membangunkan mama."

"Tapi ini masih terlalu pagi untuk bangun, mama. Naya terbangun lebih awal karena khawatir mama akan pergi sebelum Naya membuka mata." Renata melirik jam dinding yang ternyata masih menunjukkan pukul 5 pagi. Pantas saja di luar masih terlihat gelap. Tapi Naya sudah terlihat segar tanpa kantuk.

"Mama tidak akan pergi tanpa pamit, cantik." Mendengarnya Naya semakin mengeratkan pelukan.

"Langitnya masih gelap. Apa Naya mau kembali tidur?" Tanya Renata sembari mengusap wajah Naya. Gadis kecil itu menatapnya berbinar lewat bola mata yang seperti kacang almond.

"Tidak, Naya ingin memeluk mama." Ujar Naya penuh manja.

Renata menatap mata Naya yang terlihat tulus, senyuman lebar yang tidak pernah luntur saat menatapnya mambuat hatinya gusar sebab percakapannya dengan Naren semalam tiba-tiba saja terlintas.

Ah, bagaimana bisa Renata membohongi gadis baik di dekapannya ini? Apa ia setega itu terhadap Naya yang sangat mengharapkannya menjadi mama? Renata tidak mungkin melakukan kejahatan seperti itu.

Naya pasti akan terluka jika tahu ia dibayar untuk merawatnya selama beberapa bulan. Menjadi mama untuk sementara yang artinya setelah mereka berpisah Naya akan kecewa, Naya mungkin akan membencinya karena telah datang dan pergi tiba-tiba.

Tapi, bukan perkara uang yang ditawarkan Naren begitu banyak. Renata merasa telah nyaman berada di dekat Naya. Renata besar di panti asuhan yang artinya setiap hari bersama anak-anak yang tidak memiliki orang tua.

Renata pun mengalami rasanya hidup tanpa sosok orang tua yang menyayangi kita. Walaupun Renata tahu Naya masih memiliki seorang ayah yang sangat mencintai tapi tetap saja sosok ibu adalah peran paling penting dalam hiduk seorang anak.

"Baiklah, Naya bisa memeluk mama selama mungkin." Balas Renata yang juga memeluk tubuh kecil itu, menariknya semakin erat ke dalam pelukan sebab ingin memberi hangat.

"Mama, hari ini aku harus berangkat ke sekolah, saat pulang mama jemput aku ya lalu kita makan es krim di kedai."

"Memang biasanya yang menjemput Naya, siapa?"

"Papa, tapi Naya bosan, jadi hari ini mama yang menjemputku." Ucap Naya mutlak yang sepertinya tidak bisa Renata tolak.

"Mama harus ijin atasan dulu, kalau boleh mama akan menjemput Naya ya."

"Bosnya kan, papa. Aku akan bilang pada papa."

Benar, kan. Naya selalu mendapatkan apa yang dia mau.

Belum sempat Renata menjawab Naya suara ketukan pintu lebih dulu mengalihkan atensi keduanya.

"Renata, apa kau sudah bangun?" Lalu suara ibu Naren terdengar dari luar memanggilnya.

"Ada nenekmu, sebentar ya mama harus membukakan pintu." Setelah di angguki Naya, Renata beranjak untuk turun dari ranjang. Menuju pintu untuk menemui Aldeis.

Renata membuka pintu dengan senyuman, lalu menunduk sedikit saat melihat Aldeis berdiri di hadapannya. Wanita paruh baya itu ikut tersenyum, kemudian menarik Renata pelan untuk keluar dari kamar.

"Ada apa, tante?"

"Naya sudah bangun?" Renata mengangguk sebagai jawaban.

"Ah anak tengil itu, biasanya tidak pernah bangun sepagi ini. Biasanya harus dibangunkan oleh Naren terlebih dulu."

"Ah ya, aku ingin meminta tolong padamu." Lanjut Aldeis.

Renata mengernyit, "Minta tolong apa, tante?"

"Begini, nanti siang papa Naren pulang dari Aussie, aku dan Naren harus menjemputnya ke bandara lalu pergi untuk rapat pemegang saham. Apa kau bisa menjagakan Naya sampai sore? Biasanya Naya kita tinggal di rumah bersama suster, tapi karena Naya sepertinya lebih nyaman padamu, aku akan lebih tenang meninggalkan Naya untuk sementara."

"Ah, begitu, baik saya akan menjaga Naya. Tante dan pak Naren pergilah dengan tenang, Naya pasti aman bersama saya."

Renata tidak ada pilihan untuk menolak, lagi pula Aldeis minta tolong padanya bukan sedang memanfaatkannya.

Mendengar itu Aldeis bernapas lega, "Benarkah kau tidak keberatan?"

"Selagi saya bisa membantu pasti akan saya bantu, tante."

"Syukurlah, terima kasih Renata." Aldeis menatap perempuan yang lebih muda darinya. Kemudian mengusap lengan perempuan itu tulus.

"Segeralah bersiap dan turun bersama Naya untuk sarapan." Renata mengangguk, lantas kembali ke dalam kamar.

Di atas tempat tidur Naya duduk sembari terus menatap ke arah pintu, melihat Renata yang kembali masuk bibirnya spontan membuat seutas senyum.

"Mama, kau meninggalkanku terlalu lama." Keluh Naya yang pura-pura cemberut. Melihat itu Renata tertawa tanpa suara, lalu mendekat dan menarik Naya masuk ke dalam pelukannya.

"Naya, mau tidak bermain bersama mama sampai sore?"

"MAUU, NAYA MAUU." Sorak Naya semangat memperlihatkan mimik wajah terkejut sekaligus bahagia. Kemudian keduanya tertawa bersama.

Di lain sisi Aldeis bertemu Naren di dapur saat wanita itu hendak mulai membuat sarapan bersama beberapa maid. Naren duduk di salah satu kursi dengan segelas air putih di depannya, tampaknya lelaki itu baru saja membasahi tenggorokan.

"Tumben, kau sudah duduk di sini, biasa juga turun saat akan sarapan." Buka Aldeis membuat Naren sedikit terkejut.

"Haus." Jawab lelaki itu singkat.

"Bagaimana, apa kau sudah memikirkan saran mama untuk menikahi Renata?" Pertanyaan itu berhasil membuat Naren menatap jengah sang mama.

"Mama, jangan bercanda lah, mana mungkin aku menikahi perempuan yang baru ku kenal?"

"Baru kenal apanya? Renata sudah lama bekerja di perusahaan bukan? Dan dia seorang kepala personalia itu artinya kalian sering bertemu untuk rapat."

"Kita bertemu dengan banyak orang dan hanya membahas pekerjaan, Naren tidak mengenalnya secara pribadi."

Aldeis mendengus sebal, lalu duduk di sebelah putranya. "Kalau begitu cobalah untuk dekat dengannya, Narendra, Naya benar-benar butuh seorang mama."

Kali ini Naren membalas tatapan Aldeis, lelaki itu gamang untuk menceritakan dialog dini hari yang ia lakukan dengan Renata semalam. Perempuan itu, apakah sudah memutuskan tawarannya?

"Ma." Panggil Naren setelah menimang-nimang haruskah ia menceritakan semuanya.

"Apa? Kau sejutu untuk menikahinya?"

Naren berdecak sebal, kenapa sejak kemarin mamanya selalu membicarakan soal pernikahan? Seperti tidak ada yang lain saja.

"Bukan. Semalam aku bernegosiasi dengan Renata." Kata Naren sedikit menggantung, membuat Aldeis menukik karena bingung.

"Apa maksudmu?"

"Yaah, aku bernegosiasi dengannya tentang pekerjaan tambahan, menjadi mama untuk Naya selama beberapa bulan." Lanjut Naren yang langsung mendapat pukulan di kepala.

Aldeis melotot tajam, berulang kali memukul punggung putranya yang benar-benar di luar akal.

"Gila kau Narendra, kau tidak kasian pada Naya?!"

"Mah, aku juga terpaksa melakukannya, Naren ingin melihat Naya bahagia."

"Tapi bukan seperti ini caranya bodoh! Kau hanya akan melukai hati Naya suatu saat nanti. Mama sudah bilang kan jangan macam-macam, menikahi Renata lebih baik dari pada membayarnya untuk berpura-pura."

"Mah...." Keluh Naren yang tidak setuju dengan saran Aldeis.

"Lalu, apa Renata menyetujuinya?"

Naren menggeleng, "Dia belum memberi jawaban."

"Mama yakin Renata tidak akan menerimanya."

"Mama jangan sok tahu."

"Aku bukan sok tahu, dasar anak nakal. Apa kamu tidak bisa melihat wajah tulusnya saat bersama Naya? Dia bukan penggila uang Narendra. Dia perempuan baik-baik." Bela Aldeis.

"Dari mana mama tahu? Mama baru bertemu dengannya dan itu bisa saja wajah palsu untuk menutupi keburukannya." Naren berkata ngotot.

"Feeling seorang wanita tidak pernah salah, Narendra. Kau mau mama pukul lagi hah?"

Naren segera menghindar saat tangan sang mama ingin kembali memukulnya. Aldeis tahu Renata adalah perempuan yang baik, perasaan terhadap sesama perempuan tidak pernah salah.

"Sudahlah, kau akan mengerti sendiri nanti, intinya jangan kau lakukan hal bodoh seperti itu lagi. Kau bisa melukai perasaan Renata karena menganggapnya gampangan hanya dengan uang. Selain itu kau juga harus memikirkan Naya, Naya bisa marah padamu jika tahu papanya berniat membohonginya."

Aldeis bangkit dari duduknya, membiarkan Naren yang terdiam dengan pikirannya sendiri. Naren sudah dewasa tentu bisa membedakan mana yang baik dan buruk, hanya saja Aldeis tidak menyangka putranya akan melakulan hal gila.

"Apa aku keterlaluan?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status