Disinilah Saira dan Alvaro berakhir, di dalam kamar Saira. Keduanya duduk pada masing-masing sisi ranjang yang ditengahnya masih ada Cecilia. Mau bagaimana lagi, Saira tidak dapat menolak permintaan sang Ibu, terlebih Alvaro memberinya kode untuk mengiyakan saja.
Kecanggungan terlihat jelas dari gesture Saira, berbeda dengan Alvaro yang terkesan biasa saja. Entahlah, Lelaki itu dapat mengendalikan diri, atau memang pembawaannya yang selalu santai.
“Kamu tenang saja, keadaan seperti ini tidak akan berlaku di rumahku. Kamu bisa tidur di kamar Cecilia.” Alvaro yang pertama membuka suara, setelah keduanya saling berdiam diri cukup lama.
“Iya Al.”
“Al?” Lelaki itu membeo seakan menuntut jawaban.
Saira mengerutkan dahi. Apa yang salah? Bukankah sebelumnya juga ia selalu memanggil Alvaro seperti itu.
“Coba ingat-ingat, Ibumu bilang apa tadi? Selain menyuruh kita untuk tidur bersama, dia juga…?”
Saira nampak berpikir, kemudian mengangguk perlahan. “Ibu memintaku untuk memanggilmu dengan lebih sopan?” itu pertanyaan bukan pernyataan.
“Nah, itu tahu. Terus kenapa barusan masih memanggilku Al?”
Perempuan itu terlihat mengembuskan napas perlahan. “Terus aku harus memanggilmu apa?”
Saira benar-benar capek. Memikirkan Alvaro yang ditekan harus tidur bersamanya saja, cukup menguras energi. Ini harus ditambah dengan mencari nama panggilan juga. Bukan tidak mau, tetapi apakah Alvaro akan nyaman jika dipanggil dengan sebutan selain Al?
“Mas … mungkin?” suara Alvaro kembali terdengar.
“Mas?” giliran Saira yang membeo.
“Tapi kalau kamu keberatan, boleh diganti dengan yang lain kok. Seperti … Sayang misalnya.” Alvaro tidak dapat menahan senyumnya lagi, terlebih setelah melihat kekesalan dari wajah sang Istri.
“Gak ya. Gak mau sayang,” tanpa sadar Saira sudah melemparkan bantal sampai mengenai kepala Alvaro.
Bukannya marah, justru Lelaki itu semakin terkekeh. Sepertinya ia memang sengaja tidak menghindar.
“Enggak deh—enggak. Tadi aku cuma becanda. Kamu bebas memanggilku dengan sebutan apapun. Mau Al, ataupun Alvaro, terserah. Selama kamu nyaman. Tapi jangan lupa, hargai keinginan Ibumu, dan kabulkan selama itu tidak merugikan siapapun. Bagi kita mungkin sepele, tapi kita tidak tahu. Bisa jadi itu hal besar yang membahagiakannya. Mumpung Ibumu masih sehat juga. Dua atau tiga bulan kemudian tidak ada yang tahu, nasib orangtua kita akan seperti apa.”
Saira terpaku. Ia tidak pernah mengira jika Alvaro memiliki sisi baik seperti ini. Karena yang selalu diperlihatkan oleh Lelaki itu sisi misteriusnya saja. Bahkan Alvaro paling pendiam diantara anggota keluarga yang lainnya.
“Sai … Hey.”
Saira terkesiap, melihat Alvaro yang sudah melambaikan tangan dihadapannya.
“Malah melamun.”
“Ya? Apa?”
“Aku boleh pake bantalnya?” Alvaro sudah mengacungkan bantal yang tadi Saira lemparkan.
“Boleh. Pake saja.” Bagaimana bisa Saira lupa bahwa dikamarnya ini hanya terdapat dua bantal yang salah satunya sudah dipakai oleh Cecilia.
“Aku ngantuk banget, tapi gak bisa tidur soalnya jam tujuh nanti harus pergi ke kantor.” gumam Alvaro yang mengambil posisi tengkurap dengan beralaskan bantal tadi.
“Sebelumnya kamu sempat tidur?” tanya Saira yang hanya dijawab oleh gelengan kepala.
“Kenapa gak tidur?”
“Semalam gak ngantuk.”
“Tidur aja sebentar, kasihan matamu. Nanti jam setengah tujuh aku bangunin.”
“Oke ... Kamu gak tidur juga?” Lelaki itu bertanya dengan mata yang sudah tertutup sepenuhnya.
“Aku sudah tidur tadi.”
Setelah itu hening.
Sepertinya Alvaro benar-benar tertidur. Lihatlah, padahal beberapa detik yang lalu masih bicara. Sekarang, bergerak sedikit saja tidak. Hanya punggunya yang naik turun, dengan hembusan napas teratur.
***
Pagi itu Cecilia yang bangun pertama kali, diikuti dengan senyuman lebarnya. Bagaimana tidak? sementara hal pertama yang ia temukan adalah wajah Saira yang tengah tertidur dengan beralaskan tangannya sendiri.
Tidak lama kemudian Cecilia meringis, sambil merapatkan kaki hingga kedua lututnya saling bergesekan. Pergerakan kecilnya, membuat Saira mengernyit.
“Kenapa Sayang?” tanyanya dengan kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya.
“Mama Saila, aku mau pipis.” Tadinya Cecilia akan pergi ke toilet sendiri, tetapi setelah dilihat-lihat, ini bukanlah kamarnya maupun kamar Papanya.
Mata Saira terbuka. Bukan karena penuturan Cecilia, tetapi karena teringat akan janjinya pada Alvaro.
“Pukul berapa sekarang?” Hanya itu yang ada dalam benaknya hingga yang pertama Saira cari pun adalah ponsel.
Ternyata baru pukul 6 lewat 15 menit. Setidaknya masih ada waktu untuk sebelum membangunkan Alvaro. Kemudian ditatapnya sang anak sambung yang sudah duduk dengan gelisah.
“Ayo, biar Mama antar.” Saira sudah merentangkan tangan untuk menggendongnya.
Tetapi anak itu menggeleng. “Aku bisa jalan sedili Mama Saila.” Dan benar saja, Cecilia turun sendiri dari ranjang. “Mama tunjukin saja. Tempat pipisnya dimana?”
“Baiklah. Ayo….”
***
Seusai dari toilet, Saira dan Cecillia tidak dapat kembali ke kamar. Dikarenakan Cecilia sudah diajak ngobrol oleh Anita dan Seira. Selain itu anak kecil tersebut juga penasaran dengan apa yang tengah dilakukan oleh keduanya.
Ibu dan adik Saira itu tengah menyiapkan sarapan. Maka mau tidak mau, Saira turut membantunya sebentar. Begitu jam dinding menunjuk pada pukul setengah 7, barulah ia pamit untuk membangunkan Alvaro.
“Tunggu. Kamu bilang apa tadi?” Ibunya menghentikan.
“Aku mau membangunkan Alvaro sebentar, Ibu … Tadi sebelum tidur, aku sudah janji akan membangunkannya. Jadi sudah ya, Ibu tidak perlu khawatir aku akan mengganggunya.”
“Bukan itu—bukan itu. Kamu menyebut suamimu apa tadi?” tanya Anita yang sudah mengacungkan sepatula.
“Alv—“ Saira meringis setelah menyadari sesuatu. “Hehe … Maksudku, Mas Al. Ya. Aku mau bangunin Mas Al, sebentar ya.” Setelahnya Perempuan itu langsung lari terbirit-birit untuk menghindari kekesalan sang Ibu.
Saira mengatur napasnya sejenak, sebelum mendekat pada sisi ranjang. Mulutnya terbuka, kemudian terkatup kembali. Ia bingung, membangunkan Alvaro dengan kalimat yang bagaimana. Karena jika memanggil nama saja rasanya sudah tidak sama.
“Harusnya tadi aku ajak Cecilia,” gumam Saira tanpa sadar.
Meski begitu ia memberanikan diri menyentuh pundak Alvaro seraya menggoyangkannya pelan. “M—mas. Bangun….”
Lelaki itu tidak bereaksi apa-apa.
Saira menggigit bibir, menetralkan rasa gugupnya.
Haruskah ia keluar lagi, dan membawa anak kecil itu ke sini?
Tidak—tidak. Ibunya baru saja melakukan pendekatan dengan Cecilia, akan terkesan membatasi jika Saira menarik anak itu ke kamar kembali.
“Mas, Bang—“ Kali ini Saira tidak dapat menyelesaikan kalimat karena sudah ditarik oleh Alvaro sampai badannya terjatuh dan sebagiannya menindih dada Lelaki itu.
“Apa yang….”
“Diamlah, Mas masih ngantuk.”
Apakah Alvaro mengigau?
Tapi kenapa harus sampai menarik Saira dan memeluknya seperti ini. Pelukan yang semakin lama semakin erat. Bahkan jika diperlukan, Lelaki itu membenahi posisi keduanya sampai berhasil menyembunyikan wajah dicerukan leher Saira.
“Tubuhmu sangat wangi, Sai.” Diikuti sebuah kecupan pada leher yang membuat Saira bergelinjang kegelian.
Harusnya Saira berontak. Harusnya Saira berteriak. Tetapi kenapa rasanya tidak tega?
“Lepaskan aku Mas—pfftt.”
***
Anwar sudah tidak bermain game, ponselnya pun sudah tidak terlihat dalam genggaman. Saat ini Laki-laki itu menatap Saira dengan pandangan berbinar—setengah tidak percaya.“Hey. Ayo jawab. Kamu beneran hamil, Ra?” Anwar seakan mencari jawaban dari setiap pergerakan Saira. Dan satu anggukan kecil dari perempuan itu berhasil membuatnya tersenyum lebar.“Seriusan?” tanyanya lagi kali ini dengan mengguncang bahu lawan bicaranya.“Iya Anwar. Aku serius.”“Kalau begitu, selamat dong atas kehamilanmu ... Semoga semuanya lancar sampai persalinan. Pasti anakmu nanti sangat beruntung memiliki Ibu sepertimu.”Saira mendongak, mencari kepura-puraan dalam serangkaian kalimat baik yang diucap Anwar tersebut. Tetapi tidak ada. Wajah mantan kekasihnya itu terlihat tulus, belum lagi tangannya sudah terulur dihadapan Saira.Kenapa Reaksi Alvaro tidak seantusias Anwar dalam menanggapi kehamilannya? Tanpa sadar Perempuan itu menatap pintu ruang rawat Cecilia yang sudah tertutup rapat dengan perasaan tak m
Saira tidak mungkin meninggalkan Cecilia begitu saja dengan orang asing. Meski Agnesia Ibu kandungnya, tatap saja sebutannya asing karena bukan bagian dari keluarga Alvaro lagi.Ngomong-ngomong tentang Alvaro. Semoga saja Suaminya itu tidak datang ke sini, supaya tidak bertemu dengan Agnesia. Karena Saira tidak sanggup membayangkannya. Bagaimana jika pertemuan tersebut, dapat mempengaruhi nasib pernikahannya?Toh, ia belum tahu apa yang membuat kedua pasangan tersebut bercerai. Dan sampai saat inipun Alvaro tidak sempat membahasnya. Pernah sekali, Alvaro mendapat informasi tentang mantan Istrinya. Itupun ia langsung menjauh dari Saira. Seakan ia tidak boleh mengetahui apapun mengenai Agnesia ini.Yang lebih jelas lagi, sikap Alvaro dalam menghadapi kehamilan Saira. Kenapa kasih sayang Laki-laki itu seakan berbeda terhadap kedua anaknya?“Jangan salah paham. Saya memintamu pulang, karena Cecilia sempat bercerita, kalau kamu akan merasa mual kalau berada di luar rumah.” Agnesia sudah me
Ponsel Saira berbunyi, menandakan adanya panggilan masuk dari seseorang. Nama ‘Pak Mamat’ terbaca jelas, dari layarnya yang berkedip.Saira mengernyit, tidak biasanya Sopir yang selalu mengantar Cecilia sekolah tersebut, menghubungi pada jam-jam seperti ini.“Ada apa pak?” tanyanya begitu mengangkat panggilan seraya melirik Rossa yang duduk di seberangnya.Kebetulan siang ini Saira tengah menemani Ibu mertuanya tersebut berbincang kecil di taman belakang rumah.“Non Cecilia mengalami kecelakaan, Bu…”Penjelasan dari Pak Mamat membuat Saira bangkit dari duduknya. “Kecelakaan bagaimana?” tanyanya lagi, dengan mengeraskan suara panggilan, supaya Rossa tururt mendengarnya juga.“Untuk jelasnya saya belum tahu, Bu. Saya hanya diberi tahu saat Non Lia sudah dibawa ke Rumah Sakit. Saya sudah coba menghubungi Bapak, tetapi ponselnya tidak aktif-aktif.”“Sepertinya Alva masih meeting. Dia jarang mengaktifkan ponsel, kalau dalam situasi serius,” Rossa turut memberi penjelasan. “Sini. Biar Oma y
Saira benar-benar merealisasikan niatnya. Ia mengurung diri di kamar tamu dan menggunakan hormon kehamilan sebagai alasan. “Sepertinya Mama kalau ketemu orang akan mual-mual, jadi sebaiknya Mama menyendiri dulu,” begitulah yang Saira jelaskan pada Cecilia.Sebelum itu, ia menyempatkan mengambil beberapa barang yang sekiranya di perlukan dari kamar Alvaro. Seperti handphone dan pakaian ganti. Untuk keperluan mandi dan alat kebersihan lainnya, Saira tidak khawatir. Karena dalam toilet di kamar mandi ini sudah tersedia fasilitas yang lengkap.“Seenggaknya kalau kamu gak mau ketemu sama Mas, jangan biarkan dirimu kelaparan,” suara Alvaro berhasil mengembalikan kesadaran Saira pada saat ini.Suaminya itu sudah sedari tadi mengetuk pintu kamar, untuk menawarkan makan dengan memanggil nama Saira berulang kali. Benar-benar nama, bukan panggilan Sayang seperti biasanya. Hal tersebut membuat perasaan Saira semakin hancur.Apakah kehamilannya ini benar-benar berpengaruh buruk bagi perasaan Alvar
“Lia?” Alvaro memanggil seraya mengetuk pintu kamar Putrinya.“Iya, Papa?”“Ada Mama di dalam?”“Ada. Tapi… Mamanya tidul.” Cecilia sendiri tidak mengerti apa yang terjadi dengan Mamanya. Yang jelas, ketika masuk, Perempuan itu langsung memintanya untuk mengunci pintu kamar.“Mama ingin istirahat tanpa diganggu orang lain,” begitulah tuturnya.Benar saja, setelahnya Saira langsung naik ke atas ranjang dan menutupi sebagian tubuhnya dengan bedcover. Cecilia ingin bertanya, tapi tidak tega. Karena sepertinya Mamanya itu benar-benar tengah kelelahan. Terlihat dari wajahnya yang sayu dan pucat.“Bisa buka pintunya sebentar? Papa ingin melihat kalian.” Lagi-lagi Alvaro mengakhiri perkataan dengan mengetuk pintu.Hening untuk sesaat sampai kemudian pintu kamar terbuka perlahan, memperlihatkan Cecilia di baliknya. Anak itu berujar, “Hanya lihat saja kan? Papa gak akan belisik kan?”Namun Alvaro tidak menimpali, karena lebih memilih mengutarakan pertanyaan lain. “Lia sedang apa?”“Main lumah-
“Iya, Mas. Sepertinya… aku hamil.” Saira refleks menyentuh perut ratanya, dengan tersenyum kecil. Tetapi hanya sesaat karena senyumnya kembali memudar begitu menyadari bahwa Alvaro tidak bereaksi sama sekali. Laki-laki itu hanya menatap Saira dengan mimik yang tidak terbaca. Ada apa? Apakah Suaminya itu tidak bahagia dengan kabar kehamilannya ini? “Kenapa Mas?” Alvaro gelagapan sebelum menimpalinya. “Ah… Gak apa-apa. Mas hanya sedikit terkejut saja. Mas lupa kalau kita selalu melakukannya tanpa pengaman ya?” Saira mengernyit, menatap sang Suami yang tertawa hambar. “Mas gak bahagia?” tanyanya kemudian. “Bukan gak bahagia Sayang. Hanya saja, ini diluar prediksi Mas. Harusnya kita merencanakannya dahulu kan? Paling enggak setidaknya sampai kamu benar-benar siap.” ‘Aku sudah siap, Mas. Dan aku sangat bahagia dengan kehamilan ini.’ Harusnya Saira mengatakan kalimat tersebut, tetapi kenapa ia justru mundur beberapa langkah—seakan menjauh, padahal Alvaro tidak bergerak sama sekali.