Share

10. Panggilan Baru

Author: Yadika Putri
last update Last Updated: 2025-07-12 13:35:10

Disinilah Saira dan Alvaro berakhir, di dalam kamar Saira. Keduanya duduk pada masing-masing sisi ranjang yang ditengahnya masih ada Cecilia. Mau bagaimana lagi, Saira tidak dapat menolak permintaan sang Ibu, terlebih Alvaro memberinya kode untuk mengiyakan saja.

Kecanggungan terlihat jelas dari gesture Saira, berbeda dengan Alvaro yang terkesan biasa saja. Entahlah, Lelaki itu dapat mengendalikan diri, atau memang pembawaannya yang selalu santai.

“Kamu tenang saja, keadaan seperti ini tidak akan berlaku di rumahku. Kamu bisa tidur di kamar Cecilia.” Alvaro yang pertama membuka suara, setelah keduanya saling berdiam diri cukup lama.

“Iya Al.”

“Al?” Lelaki itu membeo seakan menuntut jawaban.

Saira mengerutkan dahi. Apa yang salah? Bukankah sebelumnya juga ia selalu memanggil Alvaro seperti itu.

“Coba ingat-ingat, Ibumu bilang apa tadi? Selain menyuruh kita untuk tidur bersama, dia juga…?”

Saira nampak berpikir, kemudian mengangguk perlahan. “Ibu memintaku untuk memanggilmu dengan lebih sopan?” itu pertanyaan bukan pernyataan.

“Nah, itu tahu. Terus kenapa barusan masih memanggilku Al?”

Perempuan itu terlihat mengembuskan napas perlahan. “Terus aku harus memanggilmu apa?”

Saira benar-benar capek. Memikirkan Alvaro yang ditekan harus tidur bersamanya saja, cukup menguras energi. Ini harus ditambah dengan mencari nama panggilan juga. Bukan tidak mau, tetapi apakah Alvaro akan nyaman jika dipanggil dengan sebutan selain Al?

“Mas … mungkin?” suara Alvaro kembali terdengar.

“Mas?” giliran Saira yang membeo.

“Tapi kalau kamu keberatan, boleh diganti dengan yang lain kok. Seperti … Sayang misalnya.” Alvaro tidak dapat menahan senyumnya lagi, terlebih setelah melihat kekesalan dari wajah sang Istri.

“Gak ya. Gak mau sayang,” tanpa sadar Saira sudah melemparkan bantal sampai mengenai kepala Alvaro.

Bukannya marah, justru Lelaki itu semakin terkekeh. Sepertinya ia memang sengaja tidak menghindar.

“Enggak deh—enggak. Tadi aku cuma becanda. Kamu bebas memanggilku dengan sebutan apapun. Mau Al, ataupun Alvaro, terserah. Selama kamu nyaman. Tapi jangan lupa, hargai keinginan Ibumu, dan kabulkan selama itu tidak merugikan siapapun. Bagi kita mungkin sepele, tapi kita tidak tahu. Bisa jadi itu hal besar yang membahagiakannya. Mumpung Ibumu masih sehat juga. Dua atau tiga bulan kemudian tidak ada yang tahu, nasib orangtua kita akan seperti apa.”

Saira terpaku. Ia tidak pernah mengira jika Alvaro memiliki sisi baik seperti ini. Karena yang selalu diperlihatkan oleh Lelaki itu sisi misteriusnya saja. Bahkan Alvaro paling pendiam diantara anggota keluarga yang lainnya.

“Sai … Hey.”

Saira terkesiap, melihat Alvaro yang sudah melambaikan tangan dihadapannya.

“Malah melamun.”

“Ya? Apa?”

“Aku boleh pake bantalnya?” Alvaro sudah mengacungkan bantal yang tadi Saira lemparkan.

“Boleh. Pake saja.” Bagaimana bisa Saira lupa bahwa dikamarnya ini hanya terdapat dua bantal yang salah satunya sudah dipakai oleh Cecilia.

“Aku ngantuk banget, tapi gak bisa tidur soalnya jam tujuh nanti harus pergi ke kantor.” gumam Alvaro yang mengambil posisi tengkurap dengan beralaskan bantal tadi.

“Sebelumnya kamu sempat tidur?” tanya Saira yang hanya dijawab oleh gelengan kepala.

“Kenapa gak tidur?”

“Semalam gak ngantuk.”

“Tidur aja sebentar, kasihan matamu. Nanti jam setengah tujuh aku bangunin.”

“Oke ... Kamu gak tidur juga?” Lelaki itu bertanya dengan mata yang sudah tertutup sepenuhnya.

“Aku sudah tidur tadi.”

Setelah itu hening.

Sepertinya Alvaro benar-benar tertidur. Lihatlah, padahal beberapa detik yang lalu masih bicara. Sekarang, bergerak sedikit saja tidak. Hanya punggunya yang naik turun, dengan hembusan napas teratur.

***

Pagi itu Cecilia yang bangun pertama kali, diikuti dengan senyuman lebarnya. Bagaimana tidak? sementara hal pertama yang ia temukan adalah wajah Saira yang tengah tertidur dengan beralaskan tangannya sendiri.

Tidak lama kemudian Cecilia meringis, sambil merapatkan kaki hingga kedua lututnya saling bergesekan. Pergerakan kecilnya, membuat Saira mengernyit.

“Kenapa Sayang?” tanyanya dengan kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya.

“Mama Saila, aku mau pipis.” Tadinya Cecilia akan pergi ke toilet sendiri, tetapi setelah dilihat-lihat, ini bukanlah kamarnya maupun kamar Papanya.

Mata Saira terbuka. Bukan karena penuturan Cecilia, tetapi karena teringat akan janjinya pada Alvaro.

“Pukul berapa sekarang?” Hanya itu yang ada dalam benaknya hingga yang pertama Saira cari pun adalah ponsel.

Ternyata baru pukul 6 lewat 15 menit. Setidaknya masih ada waktu untuk sebelum membangunkan Alvaro. Kemudian ditatapnya sang anak sambung yang sudah duduk dengan gelisah.

“Ayo, biar Mama antar.” Saira sudah merentangkan tangan untuk menggendongnya.

Tetapi anak itu menggeleng. “Aku bisa jalan sedili Mama Saila.” Dan benar saja, Cecilia turun sendiri dari ranjang. “Mama tunjukin saja. Tempat pipisnya dimana?”

“Baiklah. Ayo….”

***

Seusai dari toilet, Saira dan Cecillia tidak dapat kembali ke kamar. Dikarenakan Cecilia sudah diajak ngobrol oleh Anita dan Seira. Selain itu anak kecil tersebut juga penasaran dengan apa yang tengah dilakukan oleh keduanya.

Ibu dan adik Saira itu tengah menyiapkan sarapan. Maka mau tidak mau, Saira turut membantunya sebentar. Begitu jam dinding menunjuk pada pukul setengah 7, barulah ia pamit untuk membangunkan Alvaro.

“Tunggu. Kamu bilang apa tadi?” Ibunya menghentikan.

“Aku mau membangunkan Alvaro sebentar, Ibu … Tadi sebelum tidur, aku sudah janji akan membangunkannya. Jadi sudah ya, Ibu tidak perlu khawatir aku akan mengganggunya.”

“Bukan itu—bukan itu. Kamu menyebut suamimu apa tadi?” tanya Anita yang sudah mengacungkan sepatula.

“Alv—“ Saira meringis setelah menyadari sesuatu. “Hehe … Maksudku, Mas Al. Ya. Aku mau bangunin Mas Al, sebentar ya.” Setelahnya Perempuan itu langsung lari terbirit-birit untuk menghindari kekesalan sang Ibu.

Saira mengatur napasnya sejenak, sebelum mendekat pada sisi ranjang. Mulutnya terbuka, kemudian terkatup kembali. Ia bingung, membangunkan Alvaro dengan kalimat yang bagaimana. Karena jika memanggil nama saja rasanya sudah tidak sama.

“Harusnya tadi aku ajak Cecilia,” gumam Saira tanpa sadar.

Meski begitu ia memberanikan diri menyentuh pundak Alvaro seraya menggoyangkannya pelan. “M—mas. Bangun….”

Lelaki itu tidak bereaksi apa-apa.

Saira menggigit bibir, menetralkan rasa gugupnya.

Haruskah ia keluar lagi, dan membawa anak kecil itu ke sini?

Tidak—tidak. Ibunya baru saja melakukan pendekatan dengan Cecilia, akan terkesan membatasi jika Saira menarik anak itu ke kamar kembali.

“Mas, Bang—“ Kali ini Saira tidak dapat menyelesaikan kalimat karena sudah ditarik oleh Alvaro sampai badannya terjatuh dan sebagiannya menindih dada Lelaki itu.

“Apa yang….”

“Diamlah, Mas masih ngantuk.”

Apakah Alvaro mengigau?

Tapi kenapa harus sampai menarik Saira dan memeluknya seperti ini. Pelukan yang semakin lama semakin erat. Bahkan jika diperlukan, Lelaki itu membenahi posisi keduanya sampai berhasil menyembunyikan wajah dicerukan leher Saira.

“Tubuhmu sangat wangi, Sai.” Diikuti sebuah kecupan pada leher yang membuat Saira bergelinjang kegelian.

Harusnya Saira berontak. Harusnya Saira berteriak. Tetapi kenapa rasanya tidak tega?

“Lepaskan aku Mas—pfftt.”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Sambung Untuk Anak Presdir   34. Menyuap

    Rencana sekolah yang Alvaro ajukan, berdampak baik pada komunikasinya dengan sang anak. Berkat itu, Cecilia jadi sedikit percaya lagi dan yang lebih penting mengizinkan Alvaro berdekatan dengan Saira kembali.Setidaknya Alvaro tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi jika ingin bertemu dengan Istrinya itu.“Jadi dari banyaknya sekolah tadi, kira-kira Lia sukanya yang mana?” Saat ini Alvaro duduk di ranjang Cecilia dengan sang anak berada dalam pangkuannya. Keduanya cukup serius melihat-lihat gambar dari ponsel milik Alvaro.“Bingung Papa. Semuanya bagus-bagus." Kedua alis anak itu berkerut samar, seolah tengah dihadapkan sama pilihan yang sulit.“Ambil yang paling dekat saja Mas,” Saira yang baru selesai sarapan turut masuk dalam obrolan.Sejak Alvaro masuk kamar Cecilia dari setengah jam yang lalu, Perempuan itu memang langsung menyibukkan diri dengan merapikan tempat tidur kemudian pamit ke bawah untuk sekedar membantu Rossa menyirami tanamannya sekalian sarapan juga.“Karena setelah kupi

  • Ibu Sambung Untuk Anak Presdir   33. Membahagiakan Cecilia

    Alvaro mengundang keluarga Saira, untuk hadir di acara ulang tahun perusahaan yang akan berlangsung beberapa hari lagi. Itulah yang Laki-laki itu bicarakan kepada Bimo lewat sambungan telepon, dengan Saira yang setia mendengarkan obrolan-obrolan keduanya.Perempuan itu menguping hanya takut Alvaro mengatakan hal-hal yang sekiranya akan membuat Saira malu. Tapi syukurnya tidak.“Terima kasih ya Pak, saya akan sangat menunggu kehadiran Bapak sekeluarga disana.” Ini suara Alvaro“Iya Nak, sama-sama,” Bimo langsung menimpali.Beruntungnya suami Saira itu sedikit mengeraskan volume panggilan, hingga Saira masih dapat mendengar jawaban dari seberang.“Kalau begitu saya tutup dulu teleponnya, atau Bapak mau bicara kembali dengan Saira?” Alvaro melirik sang Istri yang ternyata sudah menggeleng dengan melambaikan tangan seakan ia sudah tidak perlu berbicara apa-apa lagi dengan Sang Ayah.“Oh, gak usah Nak. Ini sudah cukup malam, sebaiknya kalian Istirahat saja. Bapak masih bisa berbicara denga

  • Ibu Sambung Untuk Anak Presdir   32. Appetizer

    Di seberang panggilan, Saira masih sibuk berbincang dengan Cecilia. Sementara Alvaro diam-diam mencari sekolah yang sekiranya cocok untuk usia anaknya saat ini. Ternyata sudah banyak, bahkan sekolah khusus anak 2tahunan juga ada.Kenapa ia baru tahu? Ada sekolah untuk anak sekecil itu. Memang apa yang bisa dipelajari oleh anak 2tahunan?Mengenai sekolah sebenarnya Alvaro juga sudah kepikiran. Tapi, niatnya nanti akan menerapkan metode home schooling saja. Karena tidak siap jika harus membiarkan anaknya beraktivitas di luar rumah. Terlebih pada saat itu Alvaro belum memiliki seseorang yang bisa dipercaya.Setelah memiliki Saira, sepertinya ia tidak perlu merisaukan apapun. Alvaro percaya, Istrinya itu akan melakukan yang terbaik. Meski Saira hanya sebatas Ibu sambung, atau Ibu tiri, atau apapun itu, Alvaro yakin perempuan itu memiliki kasih sayang yang tulus.“Hallo Mas….”Alvaro tersenyum, mendengar bisikan dari dalam ponselnya.“Iya Sayang, Mas masih di sini. Gimana? Lia sudah tidur?

  • Ibu Sambung Untuk Anak Presdir   31. Kasmaran

    “Mamanya lagi makan, Papa.” Jawaban dari sang anak membuat perasaan Alvaro mencelos seketika. Jika hanya sedang makan, kenapa Cecilia seakan enggan menjawab pertanyaannya dari tadi? Alvaro mengembuskan napasnya dengan gusar, kemudian berjongkok—mensejajarkan tinggi dengan sang anak untuk merengkuhnya dalam pelukan. “Maaf. Papa hanya takut Mama kenapa-napa,” ujarnya disertai menepuk punggung anak itu dengan pelan. “Biasanya kan Lia selalu sama Mama, ini enggak. Jadi Papa sedikit khawatir saja tadi.” Tidak ada sahutan, bahkan anak itu tidak membalas pelukan karena sudah menunduk, mencoba menyembunyikan tangisnya. Dari awal pun dirinya bukan tidak mau menjawab, namun bingung mau menjawab apa. Jika langsung menjawab Mama Saira sedang makan. Pasti Papanya langsung menyusul ke bawah. Tetapi jika Cecilia berbohong dengan mengatakan Mama Saira sedang di toilet atau sedang melakukan kesibukan yang lain, pasti Alvaro akan marah. Laki-laki itu sendiri yang selalu mengingatkan supaya Cecili

  • Ibu Sambung Untuk Anak Presdir   30. Gara-gara Bekas Gigitan

    Pintu kamar mandi terbuka, disusul dengan kemunculan Cecilia dan Saira yang sudah selesai dengan kegiatan berendam bersamanya.Si anak keluar dengan mengenakan jubah mandi orang dewasa, hingga badan kecilnya itu hampir sepenuhnya tertutup, menyisakan kepalanya saja. Sementara Saira, sudah berpakaian lengkap hanya kepalanya saja yang tertutup handuk.“Utu utu utu … Anak kunti dari mana ini. Lucu sekali.” Alvaro hampir mendekat untuk sekedar mencubit kedua pipi anaknya yang sangat terlihat menggemaskan jika dalam mode marah seperti ini. Lihatlah rambut pirang setengah basah, yang dibiarkan kusut begitu saja. Belum lagi jubah mandi raksasa berwarna putih, yang semakin mendukung Alvaro untuk memanggilnya anak kunti.Siapa sangka, Cecilia langsung menghindar dengan berpindah ke depan Saira. Ia rasa, penjagaan kepada Mama Sairanya harus lebih diperketat dari waktu-waktu sebelumnya.“Oh, kamu masih marah ni sama Papa karena tadi gak sengaja liat Mama mandi, begitu? Papa gak liat apa-apa, ser

  • Ibu Sambung Untuk Anak Presdir   29. Drama Pagi Di Kamar Mandi

    Tangis Cecilia sempat reda, ketika melihat Saira yang baik-baik saja.Ternyata Papanya benar, wanita yang ia cari tengah mandi. Tapi kenapa mandi sendiri? Kenapa tidak menunggu dirinya? Kenapa tidak mandi di kamar mandinya? Alhasil pemikiran-pemikiran tersebut berhasil membuat matanya memerah kembali.“Mama Saila kok mandi di sini?”“Kamu mau ikut mandi juga? Sini….” Saira coba membujuk dengan merentangkan tangannya.Biasanya ia dan Anak Sambungnya itu memang suka mandi bersama hingga Saira tidak canggung lagi untuk memperlihatkan tubuhnya di hadapan anak itu.Anak itu menggeleng. “Nanti Papa malah.” Karena seingatnya, Alvaro memang tidak suka jika Cecilia menggunakan barang-barang miliknya.Terlebih, Alvaro sudah memenuhi semua kebutuhan anak itu. Jadi tidak ada alasan Cecilia untuk menggunakan milik orang lain.Sementara, Laki-laki yang dibicarakan sedang pergi ke kamar Cecilia untuk mengambil pakaian Saira.“Enggak. Papa gak akan marah, nanti Mama yang bantu bilang sama dia, ya? Ay

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status