Suara samar-samar dari kamar sebelah membuat Alvaro tidak dapat memejamkan matanya. Padahal berbagai posisi sudah coba dilakukan. Memeluk Cecilia sudah. Tidur terlentang sudah. Meringkuk seperti janin pun juga sudah. Namun tidak ada yang berhasil.
Pada Akhirnya Lelaki itu memutuskan turun dari ranjang, untuk melihat-lihat sekeliling kamar Saira. Terkesan tidak sopan, tetapi mau bagaimana lagi? Alvaro bingung karena tidak ada ponsel yang dapat dimainkannya. Kamar ini tidak begitu luas, hanya berukuran 4x5 meter. Begitupun dengan barang-barangnya. Cuma terdapat sebuah lemari yang berisi pakaian, mungkin? Kemudian di sebelahnya terdapat sebuah meja rias yang turut memajang beberapa foto Saira. Ada yang bersama keluarga, namun kebanyakan foto-foto Saira sendiri pada saat masih sekolah. Memang tidak mengenakan seragam, tetapi dari wajahnya yang masih polos sudah cukup menjelaskan. “Cantik,” gumam Alvaro tanpa sadar. Istrinya itu benar-benar cantik. Entah dalam keadaan mengenakan makeup, ataupun polosan seperti beberapa saat lalu. Penampilannya yang sederhana, semakin memancarkan aura cantiknya. Belum lagi rambut sepunggungnya yang digerai, seakan menambah daya tariknya tersendiri. “Pantas saja Anwar tergila-gila,” Alvaro mangut-mangut seorang diri. Bahkan bisa-bisanya kemarin Alvaro keceplosan, memuji Saira cantik secara langsung. Seolah-olah dirinya seorang Pria yang suka membual. “Tidak—tidak.” Alvaro menggeleng tegas. “Dia biasa saja, Al. Saira tidak secantik itu.” Bilangnya biasa saja, tapi tangannya justru sudah mengambil salah satu foto Saira. Disana Istrinya itu, ralat—perempuan yang akan jadi penjaga Cecilia itu, tengah tersenyum lebar dengan mengacungkan dua jari tangannya. “Heran, orang-orang kok suka banget pose dua jari.” Meski begitu, Alvaro juga turut mengangkat tangan, meniru gaya Saira. “Tidak begitu sulit ternyata,” tuturnya meremehkan seraya meletakkan kembali foto tersebut. Tunggu. Tidakkah ada yang aneh? Dari banyaknya barang yang ada, kenapa dia tidak menemukan jejak-jejak Anwar? Kenapa tidak ada satu fotopun yang menampilkan Anwar disini? “Katanya pacaran 3tahun, kok gak ada tanda-tandanya? Sebenarnya mereka niat pacaran atau tidak?” entah sampai kapan Alvaro akan bermonolog. “Ya Tuhan.” Alvaro terkejut, mendapati jam yang sudah menunjuk pukul 3 pagi. Laki-laki itu mendesah, sedikit menyesal. Karena telah menghabiskan waktu dengan tidak jelas. Andai tadi langsung tidur, setidaknya ia menggunakan beberapa jam yang berjalan dengan istirahat. Tidak ingin membuang waktu lebih lama, Alvaro pun masuk kembali dalam selimut, sampai memeluk anaknya. Yang beberapa detik kemudian, sudah berganti posisi kembali. Terlentang. Menghadap kanan. Menghadap sisi kiri, seiring dengan ucapan Oma yang menghantui pikirannya. ‘Jangan bikin malu di rumah mertuamu nanti.’ ‘Jangan bikin malu, Al,’ ‘Di rumah mertuamu, Al….’ “Ash sial!” Lelaki itu menyibak selimut dengan kasar, sampai terduduk kembali. "Ini lagi, kenapa harus datang sekarang." Kemudian meringis pelan dengan memegangi perut bagian bawah. “Toiletnya dimana coba?” *** “Sai…,” Alvaro memanggil diikuti ketukan pelan pada pintu kamar. Ia harus pergi ke toilet, dan setidaknya harus meminta izin pada pemilik rumah. Lagipula dirinya tidak tahu dimana letak toiletnya, akan tidak sopan jika langsung nyelonong kesana-kemari. “Saira….” Sekali lagi Lelaki itu mencoba. Namun siapa yang akan terbangun dengan panggilan sepelan itu? Kecuali…. “Nak, Alvaro?” … Kecuali Ayah Saira yang kini sudah berdiri di belakangnya dengan heran. Sejauh ini, hanya Bimolah satu-satunya orang yang memanggil Alvaro dengan embel-embel ‘Nak’ tanpa peduli sudah setua apa menantu barunya itu. “Eh … Bapak?” Alvaro berbalik canggung, tetapi wajahnya meringis. “Kamar Saira di sebelah sini, Nak.” Bimo meluruskan, takutnya Alvaro memasuki kamar yang salah. Padahal masalahnya bukan itu. Alvaro menggeleng samar. “Saya butuh ke toilet, Pak,” tuturnya kemudian. “Ooh itu ... Toiletnya ada di belakang.” Seraya menunjuk ke arah dapur. “Mau Bapak antar?” tanyanya dengan kebingungan yang masih tersirat dari wajahnya. “Gak perlu Pak, saya bisa pergi sendiri. Dan … mengenai kehadiran saya disini, akan saya jelaskan nanti. Permisi Pak.” Alvaro langsung pergi, tanpa menunggu jawaban Bimo. Entah berapa lama ia di toilet. Yang jelas, begitu kembali, tahu-tahu kedua orangtua Saira beserta Sairanya sudah duduk di ruang tamu. Alvaro mendekat setelah mendapat kode dari sang Istri supaya duduk di sebelahnya. “Aku sudah menjelaskan semuanya pada Ibu dan Bapak,” ujar Saira lebih tertuju pada Alvaro. Lelaki itu mengangguk sekilas, sebelum berujar. “Sebelumnya saya ingin meminta maaf, karena datang tanpa memberitahukan apa-apa. Karena—“ “Tidak apa-apa Nak, justru Bapak yang seharusnya minta maaf, karena tidak ikut menyambut kedatanganmu.” Bimo menyela, membuat Alvaro dapat sedikit tersenyum lega. Lagipula itu bukanlah masalah baginya. “Boleh Ibu bicara?” Anita turut bersuara. “Boleh, Bu. Silakan.” “Apa yang mau Ibu bicarakan?” Berbeda dengan Alvaro yang menjawab santai, justru Saira menyela penuh antisipasi. Firasatnya selalu tidak enak, jika Ibunya berbicara dengan mimik wajah yang serius. “Jujur, Ibu kurang suka melihat kalian yang tidur terpisah seperti tadi.” Refleks, Alvaro dan Saira saling melempar pandang dengan Saira yang menggeleng pelan. Perasaan tadi situasinya tidak seperti ini. Perempuan itu juga yang pertama menimpali. “Tapi kan Ibu tahu sendiri, kalau pernikahan kami—“ “Begini Nak, jangan salah paham dulu.” Bimo memotong ucapan Saira, namun perkataan dan tatapannya lebih tertuju pada Alvaro. “Bapak tahu, saat ini bukan waktu yang tepat untuk kita bicara. Tapi Bapak tidak memiliki kesempatan, selain sekarang. Jika nunggu esok hari, Cecilia pasti sudah bangun. Akan kurang tepat jika bicara dihadapannya.” “Iya, Pak. Tidak apa-apa. Bapak bisa bicara sekarang.” Lelaki itu masih dapat bersikap tenang. “Sebenarnya … semakin kesini, Bapak semakin tidak enak memikirkannya. Apa Putri Bapak tidak selayak itu untuk diperistri?” “Maksud Bapak?” tanya Alvaro tidak mengerti yang sesekali melirik sang Istri. “Apa Saira tidak pantas untuk menjadi Istri Nak Alvaro yang sesungguhnya?” “Bapak….” Saira merengek, berharap Ayahnya berhenti mempermalukannya. Seolah-olah Saira sangat membutuhkan pengakuan dari statusnya tersebut. “Bukannya kami tidak pandai bersyukur, tetapi pernikahan itu tidak menguntungkan apa-apa untuk Putri kami. Nak Alvaro hanya membantu biaya pengobatan Istri Bapak. Yang dimana suatu saat Bapak bisa melunasinya. Itupun jika itungannya dijadikan hutang-piutang. Lalu keuntungan untuk Saira apa?” “Pak, udah dong, kenapa Bapak jadi seperti ini?” Saira sudah bangkit, berdiri disamping sang Ayah dengan mengguncang bahunya perlahan. Perasaan pada awal kesepakatan Ayahnya itu setuju-setuju saja dengan keputusan Saira. “Apa Nak Alvaro memiliki kekasih?” Siapa yang mengira Anita akan berani menanyakan hal tersebut. “Ibu juga … Tolonglah.” Saira sudah menghentakkan kaki. Ia malu. Benar-benar malu. “Tidak Bu. Jika saya memilikinya, mana mungkin saya berani menikahi Saira.” Lebih tidak menyangka lagi pada Alvaro yang menjawab dengan sesantai itu diikuti dengan kekehan pelannya. “Sedangkan mengenai kelayakan Saira menjadi istri, saya belum tahu. Tetapi untuk masalah tidur bersama, mungkin Bapak sama Ibu bisa tanya sendiri pada anaknya. Apakah keberatan atau tidak?” ***Anwar sudah tidak bermain game, ponselnya pun sudah tidak terlihat dalam genggaman. Saat ini Laki-laki itu menatap Saira dengan pandangan berbinar—setengah tidak percaya.“Hey. Ayo jawab. Kamu beneran hamil, Ra?” Anwar seakan mencari jawaban dari setiap pergerakan Saira. Dan satu anggukan kecil dari perempuan itu berhasil membuatnya tersenyum lebar.“Seriusan?” tanyanya lagi kali ini dengan mengguncang bahu lawan bicaranya.“Iya Anwar. Aku serius.”“Kalau begitu, selamat dong atas kehamilanmu ... Semoga semuanya lancar sampai persalinan. Pasti anakmu nanti sangat beruntung memiliki Ibu sepertimu.”Saira mendongak, mencari kepura-puraan dalam serangkaian kalimat baik yang diucap Anwar tersebut. Tetapi tidak ada. Wajah mantan kekasihnya itu terlihat tulus, belum lagi tangannya sudah terulur dihadapan Saira.Kenapa Reaksi Alvaro tidak seantusias Anwar dalam menanggapi kehamilannya? Tanpa sadar Perempuan itu menatap pintu ruang rawat Cecilia yang sudah tertutup rapat dengan perasaan tak m
Saira tidak mungkin meninggalkan Cecilia begitu saja dengan orang asing. Meski Agnesia Ibu kandungnya, tatap saja sebutannya asing karena bukan bagian dari keluarga Alvaro lagi.Ngomong-ngomong tentang Alvaro. Semoga saja Suaminya itu tidak datang ke sini, supaya tidak bertemu dengan Agnesia. Karena Saira tidak sanggup membayangkannya. Bagaimana jika pertemuan tersebut, dapat mempengaruhi nasib pernikahannya?Toh, ia belum tahu apa yang membuat kedua pasangan tersebut bercerai. Dan sampai saat inipun Alvaro tidak sempat membahasnya. Pernah sekali, Alvaro mendapat informasi tentang mantan Istrinya. Itupun ia langsung menjauh dari Saira. Seakan ia tidak boleh mengetahui apapun mengenai Agnesia ini.Yang lebih jelas lagi, sikap Alvaro dalam menghadapi kehamilan Saira. Kenapa kasih sayang Laki-laki itu seakan berbeda terhadap kedua anaknya?“Jangan salah paham. Saya memintamu pulang, karena Cecilia sempat bercerita, kalau kamu akan merasa mual kalau berada di luar rumah.” Agnesia sudah me
Ponsel Saira berbunyi, menandakan adanya panggilan masuk dari seseorang. Nama ‘Pak Mamat’ terbaca jelas, dari layarnya yang berkedip.Saira mengernyit, tidak biasanya Sopir yang selalu mengantar Cecilia sekolah tersebut, menghubungi pada jam-jam seperti ini.“Ada apa pak?” tanyanya begitu mengangkat panggilan seraya melirik Rossa yang duduk di seberangnya.Kebetulan siang ini Saira tengah menemani Ibu mertuanya tersebut berbincang kecil di taman belakang rumah.“Non Cecilia mengalami kecelakaan, Bu…”Penjelasan dari Pak Mamat membuat Saira bangkit dari duduknya. “Kecelakaan bagaimana?” tanyanya lagi, dengan mengeraskan suara panggilan, supaya Rossa tururt mendengarnya juga.“Untuk jelasnya saya belum tahu, Bu. Saya hanya diberi tahu saat Non Lia sudah dibawa ke Rumah Sakit. Saya sudah coba menghubungi Bapak, tetapi ponselnya tidak aktif-aktif.”“Sepertinya Alva masih meeting. Dia jarang mengaktifkan ponsel, kalau dalam situasi serius,” Rossa turut memberi penjelasan. “Sini. Biar Oma y
Saira benar-benar merealisasikan niatnya. Ia mengurung diri di kamar tamu dan menggunakan hormon kehamilan sebagai alasan. “Sepertinya Mama kalau ketemu orang akan mual-mual, jadi sebaiknya Mama menyendiri dulu,” begitulah yang Saira jelaskan pada Cecilia.Sebelum itu, ia menyempatkan mengambil beberapa barang yang sekiranya di perlukan dari kamar Alvaro. Seperti handphone dan pakaian ganti. Untuk keperluan mandi dan alat kebersihan lainnya, Saira tidak khawatir. Karena dalam toilet di kamar mandi ini sudah tersedia fasilitas yang lengkap.“Seenggaknya kalau kamu gak mau ketemu sama Mas, jangan biarkan dirimu kelaparan,” suara Alvaro berhasil mengembalikan kesadaran Saira pada saat ini.Suaminya itu sudah sedari tadi mengetuk pintu kamar, untuk menawarkan makan dengan memanggil nama Saira berulang kali. Benar-benar nama, bukan panggilan Sayang seperti biasanya. Hal tersebut membuat perasaan Saira semakin hancur.Apakah kehamilannya ini benar-benar berpengaruh buruk bagi perasaan Alvar
“Lia?” Alvaro memanggil seraya mengetuk pintu kamar Putrinya.“Iya, Papa?”“Ada Mama di dalam?”“Ada. Tapi… Mamanya tidul.” Cecilia sendiri tidak mengerti apa yang terjadi dengan Mamanya. Yang jelas, ketika masuk, Perempuan itu langsung memintanya untuk mengunci pintu kamar.“Mama ingin istirahat tanpa diganggu orang lain,” begitulah tuturnya.Benar saja, setelahnya Saira langsung naik ke atas ranjang dan menutupi sebagian tubuhnya dengan bedcover. Cecilia ingin bertanya, tapi tidak tega. Karena sepertinya Mamanya itu benar-benar tengah kelelahan. Terlihat dari wajahnya yang sayu dan pucat.“Bisa buka pintunya sebentar? Papa ingin melihat kalian.” Lagi-lagi Alvaro mengakhiri perkataan dengan mengetuk pintu.Hening untuk sesaat sampai kemudian pintu kamar terbuka perlahan, memperlihatkan Cecilia di baliknya. Anak itu berujar, “Hanya lihat saja kan? Papa gak akan belisik kan?”Namun Alvaro tidak menimpali, karena lebih memilih mengutarakan pertanyaan lain. “Lia sedang apa?”“Main lumah-
“Iya, Mas. Sepertinya… aku hamil.” Saira refleks menyentuh perut ratanya, dengan tersenyum kecil. Tetapi hanya sesaat karena senyumnya kembali memudar begitu menyadari bahwa Alvaro tidak bereaksi sama sekali. Laki-laki itu hanya menatap Saira dengan mimik yang tidak terbaca. Ada apa? Apakah Suaminya itu tidak bahagia dengan kabar kehamilannya ini? “Kenapa Mas?” Alvaro gelagapan sebelum menimpalinya. “Ah… Gak apa-apa. Mas hanya sedikit terkejut saja. Mas lupa kalau kita selalu melakukannya tanpa pengaman ya?” Saira mengernyit, menatap sang Suami yang tertawa hambar. “Mas gak bahagia?” tanyanya kemudian. “Bukan gak bahagia Sayang. Hanya saja, ini diluar prediksi Mas. Harusnya kita merencanakannya dahulu kan? Paling enggak setidaknya sampai kamu benar-benar siap.” ‘Aku sudah siap, Mas. Dan aku sangat bahagia dengan kehamilan ini.’ Harusnya Saira mengatakan kalimat tersebut, tetapi kenapa ia justru mundur beberapa langkah—seakan menjauh, padahal Alvaro tidak bergerak sama sekali.