Hai! Terima kasih sudah membaca hingga bab ini, tapi jangan khawatir, akan ada ekstra partnya nanti, ya. Yuk, siap-siap pindah ke judul saya yang baru, nanti. Salam, Rianievy.
Menjadi seorang ibu, bagi Lintang satu kebanggaan juga kebahagiaan. Memiliki anak bukan satu kerepotan, apalagi jika benih yang tumbuh dirahimnya dari orang yang ia cintai dengan tulus. Selain itu, anak juga rezeki dari pencipta, semua sudah diatur oleh-NYA. Terkadang, manusianya saja yang suka berpikir seenaknya, lupa jika dia dulunya juga seorang anak. Tangannya menggandeny Breyana, mereka sedang di mal untuk membeli sepatu baru karena Breyana akan mengikuti turnamen basket wanita usia 16. Iya, Breyana sudah remaja. Ia tumbuh cantik dan lebih mirip Lintang--ibu sambungnya--dari pada Karmen. "Ma, jangan yang mahal-mahal, Bre nggak mau, yang penting nyaman," pintanya saat mereka masuk ke toko sepatu olahraga. "Oke, Kakak," jawab Lintang sembari melihat ke jajaran sepatu yang tertata apik di rak. "Bre," panggil Lintang. "Apa, Ma?" Breyana memegang sepatu basket dengan corak pink orange. Warna yang mencolok dan itu limited edition, tertulis dirak. Saat melihat harganya, Breyana ke
Lintang mendorong trolley belanjaan disalah satu supermarket besar seorang diri, ia sibuk memilih barang-barang belanjaan yang sudah ia catat di rumah. CATAT? iya, tapi pada akhirnya yang dibelanjakan akan beranak pinak dan jadi penuh dengan belanjaan unfaedah karena ke kalapan lintang."Makanan kucing mana sih, ya?" Lintang gerendeng sendiri. Saat ia menemukan letak rak tujuannya dan melihat produk makanan kucing yang ia biasa beli sedang ada diskon, ia langsung mendorong trolley dengan cepat."Orang baik, rezekinya juga baik, saikkk …," ucapnya terkekeh sendiri sambil memasukan satu kantung besar makanan kucing ke dalam trolley.Ia memutar lagi area jajahannya, hingga ke bagian persabunan. Memasukan sabun mandi sesuai kesukaannya,pasta gigi dan printilan kamar mandi lainnya. Matanya menjelajah ke label diskon. Mau apapun asal ada label diskon, ia akan mampir dan memastikan akan beli atau tidak.Suara tangis seorang anak terdengar sangat nyaring. Anak tersebut rewel. Lintang berbelok
"Antrian loket dua customer service,nomor antrian dua puluh satu," suara mesin panggilan antrian terdengar. Lintang dengan senyum ramahnya menyambut nasabah yang duduk dihadapannya."Nggak usah senyum-senyum tang, tolongin gue, kartu ATM gue ketelen," ucap seorang dihadapannya."Gue mau dapet point, jadi harus senyum dong," ucapan Lintang tertahan karena ia berbicara sambil tersenyum."KTP lo Edo ...." ia masih dengan ekspresi yang sama. Edo, tetangga sekaligus sepupu kandungnya nyengir sambil memberikan kartu tanda penduduk miliknya. Lintang lalu memprosesnya."Tang,""Ya, Bapak Edo.""Boss gue yang baru, si Galaksi," ucapan Edo membuat senyuman Lintang memudar dari wajahnya."Apa hubungannya sama gue?""Ada, lah. Banget malah.""Kemaren gue ketemu dia di supermarket, sama anaknya." Lintang sedikit memberikan informasi."Iya, sudah satu anaknya. Cewek, di bawa masa, ke kantor kemarin," sambung Edo."Ok. Ada lagi yang bisa dibantu bapak Edo ...." senyum palsu kembali diperlihatkan Lin
"Heh! Harus banget gue dateng ke acara itu. Malas tau nggak sih, itu para orang tua getol banget jodoh-jodohin gue sama anaknya Om Arya. Mentang-mentang gue janda. Nggak deh, gue absen kali ini." Lintang nesu-nesu saat berbicara dengan sepupunya—Meta, melalui sambungan telepon."Tang, lo pasti kalau nggak datang, bakal jadi sasaran empuk di pertemuan selanjutnya. Lo mau dua kali lipat jadi bahan gunjingan mereka?" Meta tetap berusaha membujuk Lintang supaya hadir di acara pertemuan keluarga besar ayahnya yang diadakan dua bulan sekali."Met, lo nggak inget terakhir kalo gue dateng, apa yang kejadian? Gue dijodoh-jodohin terus, mending kalo yang dijodohin worth it, ini, ah, gitu, deh.""Namanya orang tua, Tang, nggak baik kalau seorang janda lama-lama sendiri. Bisa jadi fitnah nanti.""Gue juga tahu, Met, tapi kan gila kali, gue baru beberapa bulan ditinggal meninggalkan, udah aja gitu-gituin.""Ehm, apa lo bawa cowok aja, Tang, pura-pura jadi pacar lo, biar mereka diem.""Siapa yang m
Adjie menghisap rokok elektriknya dan membuang asap yang cukup tebal dari bibir merahnya. Lintang lahap memakan mie ayam pangsit yang sudah kedua kalinya. "Gila lo, Tang. Nggak begah?" Adjie menatap takjub. Lintang menggeleng."Work out gue nanti sore," jawab Lintang santai.Adjie mengusap kepala Lintang. "Kakak perempuan gue yang paling bar-bar.""Ya… ya… ya…, terserah lo," jawab Lintang santai."Salam buat Vanka dari gue, ya, Tang.” kata Adjie yang membuat Lintang sontak menoleh."Serius lo?" sumpit yang ditangan Lintang menunjuk ke kedua mata Adjie."Iya. Lucu temen lo dilihat-lihat, mirip cewek-cewek gemes korea." lanjutnya."Najong," komen Lintang sambil kembali memakan mie ayam pangsitnya."Lo yang bayar ya, Tang, Mami belum kasih gue duit jajan tambahan, nih, habis bayar semesteran kemarin lusa," bisik Adjie. Lintang melirik sinis."Ada jasanya tapi," oceh Lintang."Pa-an?" jawab Adjie sambil kembali mengepulkan asap dari bibirnya."Seminggu jadi tukang ojek gue. Senin sampai j
Meja kerja Lintang sudah rapi, jam empat sore bank tempat kerjanya sudah tutup. Pekerja tinggal merapikan laporan harian sebelum pulang. Lintang menatap Vanka dimeja kerja seberang, tersenyum sambil menatap layar ponsel. Vanka yang sadar sedang ditatap Lintang kembali tersenyum dan menunjukan ponselnya."Iya iya, nanti dia jemput gue kok, Van, lo bisa ketemu Adjie," ucap Lintang sambil beranjak."Iyes, udah di depan orangnya," jawab Vanka sembari menahan senyum. Lintang melotot. Berjalan sambil berdecak heran menuju ke Vanka."Semoga berhasil sampai seterusnya ya, Van, lo nggak tau kan, Maminya Adjie gualaakkk banget, gue sebagai keponakannya aja jiper kalo di deket dia, nggak kebayang gue kalo Adjie bawa lo ke Maminya, wah wah wah," bisik Lintang menakut-nakuti Vanka. Vanka menelan ludah cepat."Tapi, jadian aja belum, Tang, baru dekat, masa udah begitu sikap Maminya?""Wah, lo nggak tau Adjie, sepupu gue itu, wah... udah lah, nanti lo juga tau, gue mau ke atas nyerahin ini, bye," tu
Kondisi ayah Lintang sudah stabil, sudah menempati kamar rawat juga. Lintang dan Adjie berjalan menuju ke meja suster karena harus ada yang dibicarakan."Lo balik aja, Jie, ke resto, kasian Mami sama Papi lo pasti nyariin. Gue nggak apa-apa kok.""Yaudah, nanti Mami juga mau ke sini katanya, sekalian bawain makanan buat lo sama Ibu.""Ok. Hati-hati, ya." Lintang berdiri di depan meja suster. Adjie memeluk Lintang lalu berjalan menuju lift.Lintang berdiri bersama suster yang menjelaskan beberapa hal, Lintang manggut-manggut mengerti. Hingga ia melakukan proses penandatanganan sebagai tanda ia setuju dengan prosedur yang akan dokter lakukan.Ia menunduk, memegang pangkal hidungnya sambil berjalan pelan. Kembali, suara tangis Bre terdengar. Lintang berjalan kembali ke meja suster."Sus, apa dilantai ini ada pasien anak-anak juga?" tanya Lintang"Ada, Bu. Di bangsal sebelah kiri, pintu kaca itu," tunjuk suster."Apa ada pasien anak atas nama Breyana?" tanya Lintang lagi. Suster menganggu
Sebulan berlalu. Lintang sedang berada di rumah kedua orang tuanya. Ia menyiapkan sarapan dan obat untuk ayahnya. Rutinitas yang ia jalankan sejak ayahnya pulang dari rumah sakit.Ia duduk di depan meja komputer yang ada di rumah kedua orang tuanya. Berselancar untuk mencari lowongan pekerjaan baru untuknya.'Asisten pribadi? Boleh juga.' Pikir Lintang sambil mencatat email perusahaan tempat ia akan melamar pekerjaan. Beberapa perusahaan sudah ia catat. Tidak ada lowongan aspri, tetapi lowongan customer service,marketing, hingga posisi secretaris."Mudah-mudahan cepet dapet kerjaan baru ya, Tang," ujar ibunya seraya meletakan pisang goreng di dekat Lintang."Makasih, Bu," jawab Lintang sambil tersenyum. Dengan santai ia mulai memakan pisang goreng dengan kaki diangkat satu.Ponselnya berbunyi, nama Adjie muncul."What's up broooo …." Jawab Lintang seraya menempelkan ponsel ke telinganya."Dipanggil Mami, Tang, suruh ke resto.""Resto yang mana?""Pusat.""Suruh ngapain?""Ngelapin kac