Lintang dikejutkan dengan Breyana yang tiba-tiba demam tinggi, Sari membangunkannya tengah malam, Galak juga ikut terbangun. Breyana, kemarin saat di sekolah memang ikut ekskul renang, Sari sudah melarang karena Breyana tampak tak enak badan, namanya anak kecil, dilarang malah menangis. Sari jadi merasa bersalah, tapi Lintang dan Galaksi tak masalah, sudah saatnya sakit ya sakit saja, pikirnya. Karena ia tau Sari menjaga Breyana begitu penuh perhatian juga sayang.IGD menjadi saksi tangis Lintang saat dokter memberitahu jika Breyana tipes sehingga harus dirawat intensif di rumah sakit. Sari juga ikut menangis, bahkan meminta maaf kepada Lintang dan Galaksi."Kamu nggak salah Sari, saya cuma sedih lihat anak saya dipasang infusan sampai Breyana nangis jerit-jerit. Ibu mana yang nggak sedih, udah, kamu jangan sedih juga." Lintang mengusap lengan Sari. Ketiganya m
Lintang ingin sekali bisa beraktifitas normal, namun kehamilannya membuatnya harus bersabar dan mengalah kepada Karmen yang kini, mengantar jemput Breyana sekolah. Lintang selalu diingatkan Galaksi untuk sabar dan mengerti, kasihan Breyana juga nantinya.Siang itu, Lintang sedang membeli buah-buahan di supermarket buah, diantar Adjie yang sedang memiliki waktu luang, sementara Galaksi sibuk bekerja. Ia paham posisi dan kondisi suaminya itu, dan Adjie lah yang menjadi orang yang dihubungi saat darurat."Tang, enak kayaknya nih, pir, beliin gue ya, buat di rumah." Palak Adjie."Kebangetan. Udah kaya, masih malah gue." ketus Lintang. "Ambil!" lanjutnya. Lintang tak akan tega pada akhirnya."Eh iya, Bang Igo tanya, Breys cabang Jakarta, gimana prosesnya?" tanya Adjie."Aman, Kak Dita kan yang ngurusin. Gue udah nggak boleh mondar mandir ke sana, Jie, bawel banget Kak Dita, takut gue kenapa-kenapa." Lintang mendorong troli lagi, Berkeliling mencari buah dan camilan lainnya, Adjie mengekor,
"Saya tau kamu ibu kandung Breyana, tapi saya minta kamu untuk jujur, Karmen, sekali lagi saya mau tanya sama kamu. Apa... kamu berniat bawa Breyana tinggal dan menetap sama kamu?"Pertanyaan itu terlontar begitu lancar dengan nada bicara santai namun penuh penekanan. Lintang akan benar-benar menahan emosi dan egonya kali ini. Ia tam mau meledak-ledak apalagi gegabah. Hati Breyana yang ia harus jaga.Karmen menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. "Iya, Lintang, aku memang... suatu hari nanti berniat bawa Bre tinggal dan kembali ke aku, seenggaknya satu tahun ke depan."Lintang sudah menduga hal itu, lambat laun pasti akan begitu. Ia menunduk, mengangguk pelan. Hatinya sakit juga sedih, bagaimana ia suatu hari memang akan berpisah dengan Breyana."Aku minta maaf sama kamu Lintang, aku begitu naif beberapa tahun lalu, nggak mau bawa Bre untuk hidup sama aku karena menurutku, fokus saat itu ke suamiku sekarang. Aku mau memperbaiki hubunganku sama dia, di mana emang aku cintan
Galaksi sudah selesai mandi, segera ia duduk anteng di sebelah Lintang. Ia memperhatikan istrinya melayani dirinya makan. Padahal perutnya sudah semakin membesar. Dasar Galaksi, tetap saja ia iseng dengan mencolek-colek lengan istrinya yang semakin berisi. Bukan gendut, ya, Lintang bisa sewot kalau dibilang begitu. “Jadi, katakan Adinda, ada ghibahan apa? Supaya Kakandamu itu, tidak ketinggalan informasi hangat,” kata Galaksi. Lintang menjewer pelan telinga suaminya, “Nggak usah lebay gitu bisa, nggak sih, Lak … ya ampun …,” kesal Lintang dengan menyipitkan mata menatap Galaksi yang mengusap telinganya setelah jemari Lintang menjauh. “Sebel aku,” gerendeng Lintang. “Jangan sebel-sebel, nanti anaknya mirip aku, lho,” lanjut Galaksi kemudian meneguk air putih di gelas. “Ya pasti mirip, Galak… ini anakmu, kamu yang tanam bibitnya, aku potnya, pasti mirip kamu, masa mirip Goong Yoo!” “Hah! Siapa oyong!” Galaksi terbelalak. “Kok oyong …, hih! Goong Yoo! Nih, ya, bentar aku lihat
Menjadi seorang ibu, bagi Lintang satu kebanggaan juga kebahagiaan. Memiliki anak bukan satu kerepotan, apalagi jika benih yang tumbuh dirahimnya dari orang yang ia cintai dengan tulus. Selain itu, anak juga rezeki dari pencipta, semua sudah diatur oleh-NYA. Terkadang, manusianya saja yang suka berpikir seenaknya, lupa jika dia dulunya juga seorang anak. Tangannya menggandeny Breyana, mereka sedang di mal untuk membeli sepatu baru karena Breyana akan mengikuti turnamen basket wanita usia 16. Iya, Breyana sudah remaja. Ia tumbuh cantik dan lebih mirip Lintang--ibu sambungnya--dari pada Karmen. "Ma, jangan yang mahal-mahal, Bre nggak mau, yang penting nyaman," pintanya saat mereka masuk ke toko sepatu olahraga. "Oke, Kakak," jawab Lintang sembari melihat ke jajaran sepatu yang tertata apik di rak. "Bre," panggil Lintang. "Apa, Ma?" Breyana memegang sepatu basket dengan corak pink orange. Warna yang mencolok dan itu limited edition, tertulis dirak. Saat melihat harganya, Breyana ke
Lintang mendorong trolley belanjaan disalah satu supermarket besar seorang diri, ia sibuk memilih barang-barang belanjaan yang sudah ia catat di rumah. CATAT? iya, tapi pada akhirnya yang dibelanjakan akan beranak pinak dan jadi penuh dengan belanjaan unfaedah karena ke kalapan lintang."Makanan kucing mana sih, ya?" Lintang gerendeng sendiri. Saat ia menemukan letak rak tujuannya dan melihat produk makanan kucing yang ia biasa beli sedang ada diskon, ia langsung mendorong trolley dengan cepat."Orang baik, rezekinya juga baik, saikkk …," ucapnya terkekeh sendiri sambil memasukan satu kantung besar makanan kucing ke dalam trolley.Ia memutar lagi area jajahannya, hingga ke bagian persabunan. Memasukan sabun mandi sesuai kesukaannya,pasta gigi dan printilan kamar mandi lainnya. Matanya menjelajah ke label diskon. Mau apapun asal ada label diskon, ia akan mampir dan memastikan akan beli atau tidak.Suara tangis seorang anak terdengar sangat nyaring. Anak tersebut rewel. Lintang berbelok
"Antrian loket dua customer service,nomor antrian dua puluh satu," suara mesin panggilan antrian terdengar. Lintang dengan senyum ramahnya menyambut nasabah yang duduk dihadapannya."Nggak usah senyum-senyum tang, tolongin gue, kartu ATM gue ketelen," ucap seorang dihadapannya."Gue mau dapet point, jadi harus senyum dong," ucapan Lintang tertahan karena ia berbicara sambil tersenyum."KTP lo Edo ...." ia masih dengan ekspresi yang sama. Edo, tetangga sekaligus sepupu kandungnya nyengir sambil memberikan kartu tanda penduduk miliknya. Lintang lalu memprosesnya."Tang,""Ya, Bapak Edo.""Boss gue yang baru, si Galaksi," ucapan Edo membuat senyuman Lintang memudar dari wajahnya."Apa hubungannya sama gue?""Ada, lah. Banget malah.""Kemaren gue ketemu dia di supermarket, sama anaknya." Lintang sedikit memberikan informasi."Iya, sudah satu anaknya. Cewek, di bawa masa, ke kantor kemarin," sambung Edo."Ok. Ada lagi yang bisa dibantu bapak Edo ...." senyum palsu kembali diperlihatkan Lin
"Heh! Harus banget gue dateng ke acara itu. Malas tau nggak sih, itu para orang tua getol banget jodoh-jodohin gue sama anaknya Om Arya. Mentang-mentang gue janda. Nggak deh, gue absen kali ini." Lintang nesu-nesu saat berbicara dengan sepupunya—Meta, melalui sambungan telepon."Tang, lo pasti kalau nggak datang, bakal jadi sasaran empuk di pertemuan selanjutnya. Lo mau dua kali lipat jadi bahan gunjingan mereka?" Meta tetap berusaha membujuk Lintang supaya hadir di acara pertemuan keluarga besar ayahnya yang diadakan dua bulan sekali."Met, lo nggak inget terakhir kalo gue dateng, apa yang kejadian? Gue dijodoh-jodohin terus, mending kalo yang dijodohin worth it, ini, ah, gitu, deh.""Namanya orang tua, Tang, nggak baik kalau seorang janda lama-lama sendiri. Bisa jadi fitnah nanti.""Gue juga tahu, Met, tapi kan gila kali, gue baru beberapa bulan ditinggal meninggalkan, udah aja gitu-gituin.""Ehm, apa lo bawa cowok aja, Tang, pura-pura jadi pacar lo, biar mereka diem.""Siapa yang m